Semua sorot mata yang ada di halaman rumah tua itu melotot ke arah
Dasimin yang berada di tengah kerumunan. Berpuluh pasang mata itu seakan
berniat menguliti Dasimin, yang terlihat berwajah pucat pasi dengan tubuh
gemetar, bukan hanya menghadapi garangnya sorot mata yang tajam, tetapi lengkingan
teriakan ganas tetangga-tetangganya yang silih berganti menusuk hatinya, kadang
teriakan warga sekampungnya itu jelas jelas menghinanya, menyalahkan dan
menyuruhnya secara kasar kepada dirinya untuk merobohkan pagar halamanya yang
sudah terlanjur ditembok permanen. Dasimin merasakan tubuh dan hatinya yang gerah bukan kepalang, meski
tanah dan daun daun pepohonan di sekitar rumahnya telah basah diguyur gerimis
yang turun sejak siang tadi, disertai dengan angin penghujan yang merindingkan
kulit.
Sekali sekali sorot mata Dasimin
dilemparkan pada ketua RT, yang diharapkan mampu menjadi penengah antara dia
dan tetangganya yang telah kalap, meski tak satupun tetangganya yang menjinjing
senjata tajam. Namun apa yang diharapkan Dasimin sama sekali tidak ia dapatkan,
justru pak RT sama liarnya dengan
warganya. Maka Dasiminpun hanya mampu diam seribu bahasa di atas pecahan tembok
yang berceceran di halaman rumahnya. Dasimin hanya mengharapkan semua
tetangganya tenang untuk memberi kesempatan dia bicara, tentang alasan mengapa
dia tidak mau membangun pagar tembok halaman rumahnya beberapa meter kebelakang. Sehingga menutup
jalan kampung untuk lalu lalang tetangganya.
Teriakan para tetangganya hingga
saat ini belum reda juga, meski gerimis masih terus membasahai tubuh manusia
manusia yang bergetar membara. Entah sudah berapa lama Dasimin dan istrinya
yang berdampingan, menggigil ketakutan dilingkungi
warga yang meradang itu. Tangan kanan Dasimin masih erat membawa foto copian
sertifikat tanahnya yang sah dari notaris kenalanya. Untung saja beberapa
minggu sebelum dia menambah bangunan di bagian depan rumahnya dan bangunan
pagar dari tembok permanen yang menjadi biang permasalahanya, Dasimin sudah
melengkapi dengan IMB yang diurusnya dari kelurahan setempat.
***
Dengan langkah setengah berlari
menebas kerumunan warganya yang sedang kalap itu, Pak RW kini sudah berada di
tengah mereka dan berdiri disamping suami istri Dasimin, dengan kedua tangan
terangkat Pak RW mencoba untuk menyurutkan langkah warganya yang semakin rapat
mengurung Dasimin. Kini jarak antara
Dasimin dan warga semakin dekat, beberapa diantaranya mulai leluasa menudingkan
telunjuknya tepat ke wajah Dasimin, yang sudah mulai kalap juga dengan
perlakuan mereka yang semakin kurang ajar. Menyaksikan gelagat yang kurang baik
itu, kini Pak RW mulai bertindak tegas juga dengan mereka, apalagi kala terdengar
teriakan sebagian warga yang memanaskan atmosfer malam dingin itu.
“Bunuh, anak sombong itu “.
Sebagian lain berteriak “Habisi
anak ingusan ini”.
“Cobalah bapak bapak mundur dulu,
kita bicarakan masalah ini dengan baik “ teriak Pak RW yang suaranya tenggelam
dalam kegaduhan itu.
Dasimin menjadi heran mengapa
tetangganya yang dahulu kental bergaul dengan dia dan keluarganya kini menjadi
demikian liarnya, mereka sebagian besar adalah teman main Dasimin sejak masih
di SD dahulu, mereka semua biasa bermain denganya di sawah yang mengering
karena diterkam kemarau panjang, untuk bermain layang layang. Saat musim hujan,
sehabis bersekolah mereka bersamanya sepanjang sore mencari yuyu sepanjang pematang
sawah yang basah . Sebagian dari merekapun pernah bekerja bersama sebagai
tukang bangunan di Jakarta beberapa puluh silam. Bahkan saat Dasimin menjadi
pemborong kecil-kecilan merekapun
bekerja denganya sebagai buruh harian, Dasimin tidak pernah terlambat membayar
mereka, bahkan apabila mereka sakit, Dasiminpun tidak sayang meminjamkan
uangnya.
***
“Mengapa mereka seperti ini?, Pak
RW ?” seru lantang Dasimin pada Pak RW, di tengah keputusasaan Dasimin.
“Sabarlah Dasimin, sementara ini
kamu jangan mengambil sikap dulu, biarkan aku menenangkan mereka dahulu ”
Dasimin hanya menganggukan kepala.
“Saudara saudaku, sabarlah dan
mundurlah, permasalahan ini harus diselesaikan dengan tenang, Dasiminkan
saudara kita semua. Cobalah kita ke balai RW untuk membicarakan ini semua, aku
dan Pak RT akan berusaha menyelesaikan permasalahan ini” seru Pak RW.
“Ah, percuma Pak RW , kita sudah berkali kali
membicarakan masalah ini, tapi anak bengal ini masih sombong, tidak mau
mengerti keadaan kampung kita “ tukas Susanto.
“Tapi kaliankan terlanjur
merobohkan pagar tembok Dasimin, bagaimanapun itu tindakan yang salah “
“Pak RW, tembok pagar itu jelas
jelas menutup jalan kampung ini, mengapa kita disalahkan? “ protes Harlan yang
disambut dengan tepukan meriah semua warga, pertanda mereka semua telah
terhinoptis dengan kemauan egonya.
“Sekali lagi bapak – bapak,
tindakan kita semua salah, karena Dasimin membangun tembok itu di tanahnya
sendiri yang disahkan dengan sertifikat ini “ Pak RW mengacungkan foto copian
sertifikat tanah yang masih diatas namakan orang tuanya Dasimin.
“Apakah benar, kita bisa semaunya
merobohkan bangunan yang dibangun seseorang di atas tanahnya sendiri yang
secara sah dibuktikan dengan sertifikat. Cobalah saudara semua berpikiran
dewasa” Kembali Pak RW melantangkan suaranya hingga kini mulai dapat didengar
dari warga di sebrang jalan kampung yang sempit, yang tidak ikut berkerumun
mendzolimi Dasimin, lantaran teriakan teriakan emosi warga kini mulai meluruh.
***
Kerumunan itu kini mulai surut,
namun gerimis semakinderas. Satu dua warga mulai meninggalkan ceceran batu bata
yang memenuhi sebagian halaman rumah Dasimin. Sebagian yang pulang kerumah
masing masing, masih melantunkan lisan
menggerutu, sebagian lagi hanya diam membisu,
bahkan sebagian lainnya kini mulai was was jangan jangan masalah ini
akan berbuntut panjang, lantaran mereka tahu bahwa sebenarnya Dasimin tidak
bersalah. Namun mereka yang was was tidak tahu entah angin apa yang bertiup di
hati saudara mereka semua hingga kini
mejadi liar.
“Sudahlah, bapak bapak mari ikut
aku ke Balai RW, di sana kita duduk dengan tenang, berdiskusi untuk memecahkan
masalah yang sering menghalangi kita. Kalau dulu kita mampu rembug dengan
kepala dingin, mengapa sekarang tidak ?. Sebenarnya aku dan Dasiminpun heran,
mengapa masalah ini bisa bapak bapak lakukan dengan gegabah ?, mari bapak bapak
kita ke Balai RW” ajakan Pak RW semula tidak
ada yang merespon, hanya dia dan Dasimin yang kini mengayunkan langkah
menuju Balai RW.
***
Pak RW kini duduk bersila di salah
satu sisi ruang rapat Balai RW yang beralasan karpet kumal bersanding dengan
Dasimin dan istrinya. Sementara Pak RT dan beberapa warga duduk di sisi lainya.
Wajah mereka semua kini tidak segarang senja tadi. Sebaliknya Dasimin kini
mulai berani memandangi wajah mereka satu demi satu. Sejuta rasa penasaran kini
masih terselip di hati Dasimin.
“Pak RT, apabila Dasimin mengadukan
ini semua ke aparat yang berwajib, maka Pak RT dan warga akan berurusan dengan
aparat. Tapi tentunya Dasimin tidak akan melangkah sejauh itu, ya Pak Dasimin
?”.
“Betul, Pak RW , aku tidak akan
mengadukan hal ini. Tapi saya hanya ingin tahu mengapa tembok pagar saya
dirobohkan. Padahal tembok itu masih di atas tanah peninggalan bapak yang bersertifikat
sah, lihatlah setifikat ini” suara Dasimin terdengar datar dan berat, karena
hatinya masih dihinggapi perasaan yang tidak menentu.
Memang sudah beberapa kali Pak RT
memohon Dasimin tidak membangun pagar itu tepat di batas itu, Dasimin diminta
untuk mundur beberapa meter, namun Dasimin tidak menyetujui hal itu, lantaran
mendiang bapaknya beberapa tahun silam telah menyumbangkan tanah miliknya beberapa meter untuk jalan.Maka Dasiminpun
bersikokoh untuk tidak menyurutkan batasnya, malah dia menghendaki agar Karno,
Tedjo dan Sumantri , tetangga sebrang jalan
yang gantian mengundurkan batasnya,
sehingga jalan kampung itu menjadi cukup lebar.
“Jadi begini Pak RW, awalnya memang
ada isu jalan kampung itu, bakal digunakan truk material untuk proyek
pengembang perumahan, sehingga warga yang berniat bekerja di proyek menjadi
tidak sabar melebarkan jalan itu” ucapan
Pak RT kini mulai membuka tabir kemelut yang baru saja terjadi.
“Isu dari mana, Pak RT ?” tanya Pak
RW.
“Sudah seminggu yang lalu kami
kedatangan pengembang yang melakukan survey lokasi termasuk jalan di depan
Dasimin”
“Aduh, Pak RT, kalau memang
lingkungan kita akan dikembangkan proyek perumahan, tentunya Pak Lurah mesti
memberitahu aku, tapi nyatanya hingga kemarin Pak Lurah tidak membicarakan itu.
Ah...ini hanya isu saja,kenapa bapak bapak mudah terpancing dengan isu itu.
Maafkan warga kami ya Pak Dasimin”
Dasimin hanya menganggukan
kepalanya***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar