Minggu, 13 Mei 2012

Maaf


Amran hanya duduk termenung di pojok kelas selama beberapa hari ini. Apalagi bila waktu istirahat tiba, sama sekali Amran tidak menampakan senyum manisnya seperti biasanya. Padahal sehari-hari dalam kelas Amranlah yang dikenal teman teman dan bahkan guru gurunya sebagai murid yang bawel atau suka membuat kegaduhan dalam kelas. Tentunya sesuatu terjadi pada diri Amran, hingga dia bersikap seperti itu.

Rasa was was dan ingin tahu sudah barang tentu sekarang menjalar ke tiap pasang mata yang ada dalam kelas, apa gerangan yang terjadi dengan Amran, jangan jangan Amran sakit keras,  tapi mengapa dia tiap hari berangkat sekolah, atau apa Amran mempunyai kesalahan pada bapak/ibu guru. Pertanyaan seperti itu sekarang terdengar dimana mana, namun tidak ada satupun siswa yang berani menanyakan langsng pada Amran. Hal ini karena tiap hari Amran selalu menampakan gurat wajah yang garang sekaligus sedih dan terkadang kelihatan bingung.

“Eh Adi, kamu kan ketua kelas!. Coba kamu sampaikan kepada wali kelas kita tentang Amran. Sebelum dia jatuh sakit atau apa. Sudah jelas Amran sudah tidak bisa sekolah lagi, kalau keadannya seperti ini terus” . Sebuah gagasan yang menarik timbul dari Melly, yang sontak disetujui oleh teman teman semua yang sedang kumpul di kantin belakang sekolah saat istirahat pertama.

“Ah …itu ide bagus Mel, tapi bagaimana aku menyampaikan pada Pak Tris ?”. Ada keraguan dalam diri Adi, lantaran dia takut bila Amran marah kepada dia bila masalahnya disampaikan wali kelas mereka. Alasan Adi sang ketua kelas memang masuk akal, karena Amran termasuk teman mereka  yang bandel dan urakan.

“Kenapa takut Di ?, biar aku antar kamu menghadap Pak Tris” seru Willy, siswa yang selalu menenmpati rangking pertama dalam nilai rapotseak kelas VII. Sehingga mereka semua memanggil Willy dengan sebutan “The Smart Boy”.

“Bukan gitu masalahnya, Smart !, aku takut Amran marah sama aku, kamu semua kan tau?, kalau Amran anaknya Sering membuat kacau”. Adi sang ketua kelas yang diakui berwibawa sekaligus cakap dan pandai serta berwajah ganteng, maka wajar saja kalau teman temanya memanggil dengan panggilan gaul “handsome”. Saat ini Handsome sepertinya ragu ragu untuk menyampaikan permintaan teman temannya.     

“Hai Handsome !, Kita serahkan masalah Amran pada wali kelas kita.Kenapa takut ?. Justru kita berniat menolong dia agar kembali seperti dulu lagi: Melly mendesak Handsome agat betul betul menyampaikan maksud baik temen temen sekelasnya Amran.

***

‘Kalian tidak usah sedih dan cemas tentang keadaan Amran. Bapak sudah tahu semuanya” Jawab Pak Tris kepada Smart, Handsome dan Melly kala mereka menghadapnya di kantor guru pada suatu siang.

“Lantas apa yang terjadi dengan Amran, Pak” Handsome tak sabar menunggu penjelasan wali kelas mereka.

“Sebelum Bapak jawab, Bapak sangat terkesan dengan sikap kalian semua yang peduli dengan dengan nasib teman kamu yang satu ini, Amran memang sedang mengalami tekanan dan penderitaan hidup yang berat bagi anak seusia kalian, Bayangkan saja, Ibu Amran sekarang sudah tidak mengirimkan wesel lagi “

“Lho…kemana perginya Ibu Amran, Pak !” Tanya Melly.

“ Sejak dia masih duduk di kelas VII, dia sudah ditinggal ibunya menjadi TKW di Saudi Arabia. Tapi selama itu kiriman wesel ibunya selalu lancar, namun  3 bulan belakangan ini kiriman wesel ibunya terhenti sama sekali, bahkan selembar kertas suratpun tidak pernah dikirim ibunya, setelah Negara itu mengalami kekacauan”

“Amran kan masih punya bapak ?” Dalam diri Smart kini mulai timbul rasa iba terhadap nasib Amran.

“Huuuh..berapa sih penghasilan bapaknya yang hanya bekerja sebagai abang becak, apalagi bapaknya sekarang sedang sakit keras, karena bersedih memikirkan nasib ibunya Amran yang hingga kini belum jelas nasibnya “

“Oh ya Pak, Amran kan masih punya adik  ?”

“Betul Mel, dia masih punya 2 adik yang masih duduk di sekolah dasar. Kamu bayangkan betapa paniknya  Amran. Seusia bapak saja belum tentu kuat menghadapi cobaan seperti temanmu itu, jadi doakan Amran agar dia bisa tabah menghadapi ini semua.”

“Terus siapa yang membiayai Amran dan adik adiknya ?” Tanya Handsome.

“Bapak tidak sampai hati menanyakan ini semua, bapak sudah bisa membayangkan betapa beratnya beban anak ini. Oleh karena itu, bapak mencoba untuk menyampaikan masalah Amran kepada Bapak Kepala Sekolah “

“Apa jawaban bapak kepala,  Pak,?” Tanya Smart

“Yah..sekolah hanya mampu memberikan keringanan pembayaran untuk Amran dan berencana memberikan beasiswa yang akan diterimanya pada Upacara Hari Peringatan Ibu Kartini, 21 April nanti”

“Tetapi kebutuhan hidup Amran dan keluarganya kan masih banyak, Pak !, mana cukup kalau hamya dari beasiswa saja” Melly sambil membuka kedua tanganya mengajukan protes kepada pihak sekolah

“Sekolah hanya bertugas mengantarkan Amran supaya bisa berhasil dalam UN SMP tahun ini, selebihnya adalah tugas masyarakat temasuk kalian semua. Pak Guru harap kalian jangan mengucilkan dia, karena dendam dan marah. Pak Guru tahu Amran anaknya bandel dan sok usil, sehingga sering merepotkan kalian. Tapi dalam diri anak itu sebenarnya dia anak yang baik. Hanya kasih sayang orang tuanya saja yang dia tidak utuh menerimanya “

“Kasihan Amran ya teman teman !…Sebaiknya Handsome dan kau Smart segera membentuk Tim Penyelamat Nasib Amran…he..he..he” Canda dari Melly segera mendapatkan sambutan senyuman dari mereka yang berkympul.

“Beres Mel, kelas kita kan satu tim penyelamatan untuk tugas seperti itu” sahut Handsome, yang disambut dengan tepukan tangan Pak Tris wali kelas mereka.

“Baik anak anaku, terserah kalian saja untuk memberi bantuan apa saja kepada Amran. Kita sudahi saja pertemuan ini, hari sudah siang. Kalian kan sebentar lagi mengikuti pelajaran tambahan. Silakan ke kelas, Pak Guru pamit. Selamat siang anak anaku !”

***
Rumah berdinding papan kayu beralas tanah masih kelihatan lengang,  meski hari Minggu ini matahari telah sepenggalah tingginya di belakan bumi sebelah timur. Pintu depan rumah tua itu hanya tertutup tak terkunci, dari dalam rumah tak terdengar suara musik atau hiburan apapun. Hanya suara daun daunan di kebon samping rumah itu yang saling bergesek diterpa angin kemarau. Tanpa canggung tim Squad, yang terdiri dari Hondsome, Smart, Melly, Riska dan Teddy berusaha masuk ke rumah Amran, setelah cukup lama mengetuk pintu tanpa terdengar si empunya rumah.

“Amran..Amran…. bangunlah..aku Willy” berkali kali Handsome menggoyang kaki dan tangan Amran. Jelas kalau temanya itu, masih terkantuk akibat kurang tidur.

“Oh..kamu, sudah lama kamu di sini, sorry teman , aku tadi malam baru bisa tidur  larut malam. Silakan duduk di tikar ini” sahut Amran.

“Kenapa kamu begadang, Mran ?” Tanya Teddy

“Semalam bapak badanya panas, setelah adik adiku tidur baru aku memijit bapak yang hingga kini masih panas badanya. Aku terimakasih dan minta naaf “

“Maaf apaan Man, kamu kan tidak punya salah “

“Aku tidak bisa memberimu minum dan…..” jawab Amran dengan suara merintih dan terbata.

“Ah, nggak perlu kamu punya rasa bersalah pada kami semua,Mran !” Teddy memeluk dan merangkul  tubuh Amran yang terlihat semakin kurus dan kering. Karena dalam hati Teddy, temen Amran yang paling banyak mendapat getah dari sikap Amran yang sok jagoan di kelas, telah timbul perasaan yang iba.

“Aku sering menyakiti kalian di kelas, maafkan aku ya…!”  seru Amran dengan suara yang masih terdengar merintih.

Mendengar rintihan Amran yang memang datang dari hatinya yang sangat bersedih, mereka berlima segera mendekatkan ke arah Amran, sambil memberikan perhatian kepada temen mereka yang malang.

“Amran, kami semua adalah wakil temen temen kelas IX , yang datang menjengukmu. Kami telah memaafkan semua kesalahan kamu dan setulus hati kami ingin agar kamu rajin belajar dan lulus dari UN nanti. Kita akan bertemu lagi, kan Mran ?” Handsome mewakili semua kata hati temen temenya.

Amran hanya diam membisu sambil menundukan wajahnya. Dalam hatinya kini timbul perasaan yang bangga terhadap teman temanya. Mereka bukan hanya memaafkan kesalahan mereka tetapi masih menunjukan rasa prihatinya pada nasibnya serta mereka bersedia mengumpulkan dana untuk meringankan beban penderitaannya. Ah betapa indahnya sebuah persahabatan, demikian hati kecil Amran berbisik.

Cerita Kakek


Kakek bercerita kepadaku tentang pengalamanya ketika masih sekolah  SD dahulu.  Kakek mulai bercerita dengan segelas kopi kental yang menemaninya : Ketika aku mulai menapaki masa sekolah dasar  tepatnya pada tahun 1974, aku hanya memiliki seutas cita- cita yang merasuki sumsum tulangku, sebuah- cita- cita mendambakan sesuatu yang menurut ukuran manusia sekarang adalah sebuah barang yang umum, murah dan sepele, yaitu sebuah sepatu hitam, mengkilat dan sebuah perasaan  gagah bila aku memakainya. Dari mulai kelas 1  hingga kelas V SD, aku menyaksikan sendiri betapa terbelakangnya anak anak Indonesia kala itu, karena tidak ada satu siswapun yang mengenakan sepatu. Keadaan itu juga aku saksikan pada teman sekolah lainya, termasuk juga pada  kakak kelasku anak anak kelas VI SD, meskipun mereka duduk di tahun terakhir  sekolah dasar.
Semua teman-temaku kala itu selalu beranggapan bahwa sepatu hitam mengkilat, adalah lambang “anak orang kaya” bagi siapa yang memakainya, karena betapa gagahnya mereka bila mengenakanya. Sedangkan kala itu  orang tua kami belum memiliki kesadaran akan  kegunaan sepatu untuk anaknya yang bersekolah. Begitu juga teman teman kami merasa bebas bila sekolah tak bersepatu, mereka selalu membayangkan betapa repotnya bila bersekolah dengan mengenakan sepatu. Rasa takut terjadinya luka lecet, berat untuk melangkah dan tidak bisa lincah untuk bermain “kasti”.
Suatu hari kebetulan seorang teman mengajaku pulang berdua berjalan kaki usai pelajaran. Tidak seperti biasanya hari itu dia pulang tidak dijemput sopir pribadi bapaknya. Biasanya saban hari dia pulang pergi ke sekolah naik mobil sedan merek “Opel “ warna putih cemerlang. Saban hari aku hanya bisa memandang, dan membayangkan ”Oh betapa gagahnya bila dia keluar masuk mobil mewah itu dengan bersepatu hitam mengkilat”.  Namun karena sesuatu hal, dia terpaksa berjalan kaki sejauh hampir 5 km di tengah terik matahari.
“Oh betapa repot dan sakit kakinya” .Bayangan yang mengerikan selalu hadir di hatiku sepanjang perjalanan menuju rumahnya, yang kebetulan tidak jauh dari rumahku.
***
Matahari bersinar demikian garangnya, aspal hitam yang mengering dan mulai berlobang di sana sini ikut juga memanas dan mampu membuat nyeri kulit telapak kaki bagi yang menginjaknya. Meski telapak kakiku sudah menebal karena terbiasa  tanpa alas kaki ke manapun aku pergi. Tetapi saat itu, kakiku terasa terbakar terkena aspal yang menghangat digoreng panasnya sinar matahari. Maka aku lebih baik memilih menyelusuri jalan tanah yang terhapar sepanjang tepi aspal jalan. Namun temanku, Bismo tanpa merasakan sedikitpun rasa nyeri, berjalan dengan gagahnya menginjak aspal yang disedu matahari. Suara “prok...prok...prok “ dari setiap langkahnya menambah kegagahanya.
2
Sekali aku sempat menanyakan “Apa tidak pegal dan nyeri telapak kakimu ?”. Bimo menjawabnya dengan menggelengkan kepalanya sambil terus tersenyum. Terbesit dalam hatiku untuk meminta bapak membelikan aku sepatu seperti Bimo nanti bila aku naik kelas VI SD.
Bapak hanya tersenyum cerah mendengar permintaanku, “Kan bapak sudah berniat membelikan kamu sepatu sejak kamu naik kelas V SD, tapi kamu tidak mau. Lihatlah bapak kalau ke kantor pakai sepatu, gagah kan ?”.
“Terimakasih, ya pak !!!” aku melonjak kegirangan mendengar jawaban bapak.
“Tapi dengan satu syarat ?”
“Syarat apa, pak !”
“Kamu harus dapat rangking dan naik kelas enam “
“Ya, pak !”
Setelah itu akupun mengurangi waktu main,  agar aku bisa  belajar sungguh-sungguh demi sepatu kulit hitam, yang siang dan  malam sudah aku angankan. Tentunya semua temanku di sekolah nantinya akan berdecak kagum melihat sepatuku. Akupun tidak merasa kakiku akan nyeri lagi bila berjalan kaki pulang sekolah. Aku bisa berjalan dengan gagah seperti Bimo, meskipun bapaku tidak punya mobil. “Ah betapa senangnya bila aku memiliki sepatu”, berkali kali  kata hatiku muncul di mana saja aku berada.
Kakek sebentar menghentikan ceritanya, kopi kental yang ada di meja depan direguknya,  sehingga kini tinggal separo gelas. “Terus gimana kek !, kakek jadi punya sepatu ?” .Aku sudah tidak sabar mendengarkan kisah sepatu hitam kakek, yang kala itu masih dianggap barang langka dan berharga. Kakek kembali meneruskan ceritanya : Karena aku terlalu keras belajar, bahkan sering susah tidur membayangkan sepatu hitam yang baru, akupun jatuh sakit, sehingga aku harus ikut susulan tes kenaikan kelas.
Akupun bertambah sedih, karena aku naik kelas enam tanpa rangking, semua pujian teman temanku yang aku tunggu kini tidak terdengar. Bapakupun merasa sedih dengan sakitku, meskipun kini di ruang perawatan rumah sakit telah ada sepatu  hitam baru yang mahal harganya dan mengkilat, kini masih tersimpan rapat di kardusnya. Bapak sengaja membelikan sepatu itu agar aku cepat sembuh. Tapi aku masih belum puas, karena teman temanku tidak ada yang memuji karena sepatu baruku dan kenaikanku yang penuh prestasi.
Karena sakitku tidak kunjung sembuh, bapak dan ibu menjadi khawatir. Maka pada suatu sore bapak dengan penuh lembut, menasehatiku:
“Berlian !, cepat sembuh ya !, tidak baik mengharapkan pujian orang lain ?”
3
“Tapi Berlian malu,pak !. Berlian tidak masuk rengking !, untuk apa sepatu itu !”
“Kamu jangan salah paham apa yang bisa memakai sepatu hanya anak anak yang masuk rangking ?. Tidak Berlian !, sepatu dipakai setiap orang,  termasuk kalau kamu sudah duduk  di SMP, adalah untuk keselamatan, kesopanan dan kerapian, bukan untuk gagah-gagahan. Tanpa rangkingpun bapak sudah merencanakan membelikan kamu sepatu. Sebab tahun depan kamu sudah masuk SMP dan diwajibkan memakai sepatu. Mengerti, Berlian ?”
“Aku pengin seperti Bimo, pak !, yang kelihatan gagah kalau berjalan di sekolah !”
“Makanya cepat sembuh, nanti di kelas enam kamu akan lebih gagah dari Bimo, cepat sembuh ya !”. Aku hanya mengangguk kecil dan aku teringat betul nasehat bapak tentang sepatu hitam itu, bukan alat untuk menyombongkan diri.
Sekarang aku tidak tahu lagi, apa kakek sudah selesai bercerita atau akan disambung lagi dengan cerita lain, karena hari sudah pagi, saatnya aku bersiap masuk sekolah.***

Bulan Siapakah Dirimu


Memasuki masa akhir bulan April tahun ini, angin malam yang turun dari Gunung Ungaran mulai menggigit tulang semua penghuni lereng gunung itu. Mendung hitam yang biasa menyelimuti langit Kabupaten Semarang kini hilang, berganti dengan kerlipan bintang yang menghiasi langit hitam. Sang rembulan yang lama jarang menampakan diri, kini menampakan wajahnya yang bundar dan kuning menerangi malam malam sepanjang akhir Bulan April ini.

Penghuni lereng Gunung Ungaran kini tak lagi terkungkung hujan seharian disertai petir dan guruh yang bersautan menakutkan. Sehingga mereka semua memilih untuk berlindung di balik selimut tidur. Apalagi bagi sebagian besar anak anak, malam malam yang mulai diterangi sinar bulan membuat mereka berceria bersama di pekarangan rumah yang mulai mengering. Kawanan Tomcat   dan ulat bulu yang bulan kemarin banyak memenuhi pekarangan mereka kini telah lenyap. Mereka kini, setelah belajar saling berteriak  memanggil dan mengajak lainnya untuk berlarian,  berkejaran,  saling bernyanyi lagu-lagu ceria.

Di bawah sinar bulan yang bulat penuh, mereka duduk bergerombol berkelakar tentang apa saja. Terkadang mereka menceritakan kejadian kejadian lucu yang mereka jumpai tadi pagi di sekolah, yang segera disambut derai tawa mereka semua. Apalagi hari besok mereka libur, karena mulai esok pagi kakak kelas mereka harus menempuh ujian nasional.

Entah karena kagum dengan wajah bulan yang bulat menguning, mereka kini mengarahkan wajahnya ke atas, menyaksikan bulan yang tepat lurus di atas kepala mereka. Tak hentinya mata mereka melototi bulan itu, bulanpun hanya diam membisu tak sepatah katapun dia sapa pada anak anak di bawahnya yang penuh telisik memperhatikanya.

“Siapa sebenarnya bulan itu ?, teman teman !” teriak Savitri kepada teman temannya. Semuanya diam karena tidak tahu jawaban apa yang harus mereka berikan kepada Savitri.

“Aku sering bertanya pada bapak dan ibu, mereka selalu memberiku jawaban hanya dengan senyuman. Apa mereka juga tidak tahu ?” kembali Savitri bertanya kepada teman temanya yang duduk bersebelahan denganya.

“Kata neneku,  bulan adalah rumah nenek sihir yang terbakar “ jawab Sebastian.

2
“Lantas mengapa rumah nenek sihir itu terbakar  Iyan ?” Savitri malah menjadi penasaran dengan jawaban Sebastian .

“Entahlah Fitri !, neneku pernah cerita. Nenek sihir itu sangat jahat. Tetapi pada suatu hari dia tidak sengaja menjatuhkan lampu minyak yang ada di kamar tidurnya dalam rumah besarnya. Api segera berkobar karena minak tanah pada lampu itu membasahi lantai kayu rumah nenek sihir itu. Dan karena rumahnya sangat besar, hingga kini nyali api itu belum padam”

“Aku tidak percaya, Yan !” sahut Galang lantang.

“Eh, lihatlah  bulan itu ! sepertinya bergambar seorang nenek yang menangis !” terang Sebastian.

“Oh ya aku juga lihat, sepertinya Iyan benar “ tutur Savitri.

“Ah mana ada rumah nenek sihir di atas sana ?” kembali Galang menyanggah mereka.

“Tapi menurutku bulan itu adalah mata raksasa bermata satu yang hidup di luar bumi “ pendapat Handoko tadi malah semakin membuat mereka bimbang. Sehingga kini mereka hanya diam membisu untuk beberapa lama. Namun wajah mereka semau tidak henti hentinya memandang sang bulan. Seandainya bulan itu mampu berbicara seperti kita, tentunya anak anak desa yang penasaran itu mampu mendapatkan jawaban yang jelas.

“Teman teman !, pamanku pernah bercerita tentang bulan. Bulan itu berasal dari seekor naga raksasa yang mulutnya mampu menyemburkan api. Bulanlah yang menjadi api naga itu ! ”. Di tengah ketidaktahuan mereka tentang bulan, Prakoso mencoba untuk menjelaskan tentang bulan kepada teman temanya.

“Mengapa api itu tidak pernah padam ? “ tanya Sebastian.

“Sang naga itu sengaja terus menyemburkan api itu agar kita tidak dalam kegelapan bila malam hari “ jawab Prakoso.

“Benar juga jawaban Prakoso, tapi besok besok coba aku tanyakan pada Bu Guru Kadarwasih, siapakah sebenarnya bulan itu”

 “Aku setuju, nanti kita coba tanyakan bersama sama agar kita puas

3
***

Pagi pagi benar mereka sudah berada di depan ruang guru, sambil berbisik bisik mereka semua langsung berjalan menuju meja Bu Kadarwasih guru kelas mereka. Bu Kadarwasih menjadi kaget bukan kepalang menyaksikan mereka yang bersama sama sudah ada di depan mejanya.

“Apa yang terjadi anak anaku sayang ?” Senyum Bu Kadarwasih masih menghiasi bibirnya meski dalam hatinya merasa penasaran dengan kedatangan mereka semua.

“Bu Guru ! aku, Galang, Iyan. Praseto dan handoko kemarin kemarin berbincang  masalah siapa sebenarnya bulan !” sahut Savitri.

“Berbincang masalah bulan ?. Oh bagus !, kalian memang anak ibu yang pandai. Bagaimana hasilnya ?” tukas Bu Savitri.

“Kami belum tahu, bu !. Kata nenek Sebastian, bulan itu rumah nenek sihir yang terbakar. Kata Handoko bulan sebenarnya adalah mata raksasa, tapi menurut Prakoso bulan itu bola api yang disemburkan dari mulut naga, yang benar yang mana ya bu ?” tanya Savitri dengan polos.

“Anak anaku !, sekarang juga kamu masuk kelas, nanti ibu jelaskan di depan kelas kamu. Kebetulan hari pertama ini ibu akan meneruskan pelajaran IPA. Nanti ibu akan jelaskan apa sebenarnya bulan itu ?”

“Nggak mau, bu !, Savitri dan teman teman minta sekarang juga ibu menjelaskan tentang bulan. Semua teman teman sekarang masih penasaran “ desak Savitri yang disambut dengan anggukan kepala teman temanya.

“Baiklah anaku sayang !, memang kalian anak ibu yang kritis. Bulan itu bukan siapa siapa. Bulan itu ya sepeti bumi kita ini. Hanya ukuranya lebih kecil. Bulan kelihatan bercahaya karena pantulan sinar matahari, jadi bukan rumah nenek sihir yang terbakar atau semburan naga raksasa, apalagi mata raksasa. Karena bulan mengelilingi bumi maka bulan disebut satelit bumi. Nah itu jawaban sementara dari ibu, nanti kita lanjutkan di kelas, yo anak anaku kita masuk kelas !!!!”. Kedua tangan Bu Kadarwasih merangkul mereka semua dan menariknya dengan penuh sayang menuju kelas mereka ***

Akhir Musim Kemarau


Semak belukar di lingkungan rumah Hardian kini terlihat kuning meranggas. Sejauh mata memandang hanya terlihat permadani kuning yang tergelar luas. Pemandangan ini disebabkan musim kemarau yang panjang, dengan diselingi tiupan angin kemarau yang kencang dan kering serta tidak membawa uap air. Musim kemarau yang kering ini diperparah dengan mengeringnya sumur dan sungai yang mengalir di desa Hardian.

Siang hari itu, usai Hardian dan teman temanya makan siang, mereka berkumpul dan bermain di sawah yang telah mengering tidak jauh dari rumah Hardian. Sawah itu kini telah ditumbuhi ilalang yang tinggi dan mengering, sehingga sebagian ilalang tersebut telah roboh dan sebagian lain masih berdiri tegak. Hanya sebentar sebentar terlihat beberapa burung jalak, kutilang dan kenari yang hinggap di pucuk ilalang, untuk mencari makan semut atau serangga lainnya yang berada di pucuk ilalang.

Hardian  dan beberapa temanya sangat ceria bermain bola di sawah yang kini menjadi padang  gersang.  Meski panas kemarau masih terasa menyengat kulit mereka, tapi semua tidak memperdulikan. Barangkali mereka semua adalah anak desa yang terbiasa dengan sengatan matahari. Permainan bola yang mengasikan itu, mendadak terhenti kala mereka menyaksikan beberapa kawanan burung telah terbang berarak menyeberangi langit dari arah timur ke barat. Bahkan terlihat pula kawanan burung yang trebang dari arah tenggara menuju barat laut.

Sontak mereka berlarian menemui Pak Wiji, yang sedang membersihkan ilalang dan membakarnya di petak sawah sebelah mereka bermain. Mereka tidak takut dan malu dengan Pak Wiji yang mengajar kelas VI di sekolah mereka. Pak Wijipun menyambut mereka dengan ramah dan senyum menanggapi pertanyaan mereka.
            “Pak Wiji apa ada kebakaran hutan?. Burung burung itu beterbangan bersama sama menujuke arah barat dan utara”. Tanya Bisri pada guru mereka yang kini duduk di tikar bambu di tengah padang gersang.
            “Iya, Pak. Aku takut bila kebakaran itu juga menerjang desa kita”. Hardian mencoba mencurahkan kekhawatiran pada guru yang ramah itu.
            “Ha..ha..ha, apabila terjadi kebakaran hutan di sebelah selatan, maka burung burung itu tidak terbang menuju ke barat laut. Tetapi mereka akan hinggap di pohon pohon di desa kita untuk mengungsi “
            “Apa sebabnya, Pak ?” . Kukuh tidak mau kalah dengan teman temanya untuk mencari tahu penyebab kejadian itu.
 “Kejadian yang kamu lihat di langit ini adalah kejadian yang dinamakan migrasi kawanan burung” seru Hamzah.
2
            “Migrasi itu  artinya apa, Pak ? Dan mengapa burung tersebut melakukanya ?”
            “Migrasi itu artinya perpindahan dari tempat satu ke tempat lainnya. Hamzah !, mereka berpindah tempat mencari daerah baru yang sudah memasuki musim hujan. Tujuanya adalah untuk mencari makanan, karena bila musim hujan tiba,  alam menyediakan makanan yang berlimpah bagi burung burung tersebut.
            “Mengapa mereka bisa mengetahui daerah yang sudah memasuki musim hujan” Kukuh kembali lagi mengajukan pertanyaan, karena dia masih penasaran dengan kejadian perpindahan burung burung tersebut.
            “Itulah naluri mereka , Kukuh !”
            “Naluri?, apa saya juga memiliki naluri, Pak?” seru Hamzah
            “Kamu semua adalah makhluk yang paling sempurna, yang memiliki akal. Sehingga dengan akal yang ada manusia bisa mengetahui cuaca tanpa menggunakan naluri. Naluri diberikan Tuhan yang Kuasa kepada hewan, karena mereka tidak memiliki akal”
            “Pak Wiji, mengapa di desa kita belum turun hujan. Padahal di daerah lain sudah hujan ?” Kembali Hardian menyerukan sebuah pertanyaan.
            “Barangkali sebentar lagi, Hardian !. Biasanya kalau terlihat gejala alam seperti ini, tidak lama lagi desa kita akan diguyur hujan” jawab Pak Wiji dengan senyum yang lebar.
            “Ah…mengapa datangnya musim hujan tidak serempak, ya Pak” Kukuh menyela pembicaraan mereka dengan kembali bertanya.
            “Kamu semuakan sudah belajar bahan ajar Kepedulian Diri Pada Lingkungan. Pada pembelajaran itu, kamu diajar guru kamu bahwa alam sekitar kita telah rusak akibat ulah kita semua. Zat Ozon yang ada di atmosfer kita telahbanyak yang rusak, selain itu atmosfer sudah banyak dicemari bahan bahan buangan. Ini semua mengakibatkan “effek rumah kaca”, sehingga musim sekarang telah kacau.
            “Pak, Pak Wiji, boleh aku bertanya?” Tanya Ningrum yang mulai tertarik dengan pembicaraan mereka di tengah sawah.
            “Oh, silakan Ningrum !”
            “Bagaimana cara Ningrum, agar bisa mempercepat datangnya musim hujan ?”
            “Ningrum !, tidak ada yang bisa kamu lakukan, yang penting bagi kamu belajar yang rajin bahan ajar Kepedeulian Lingkungan dan IPA. Dan nanti di rumah kamu bersihkan sampah sampah yang ada di saluran air agar tidak mampat menyebabkan banjir dan jangan jajan di sembarang tempat, karena pada awal musim hujan biasanya akan berjangkit penyakit diare dan disentri, ya !. Sekarang hari sudah sore sebentar lagi gelap, kalian mandi yang bersih dan belajar ya ?”
            “Ya, Pak Wiji “ semua menjawab dengan serentak tanpa ada yang menuruhnya.
Sementara itu langit di atas desa mereka sudah mulai gelap. Suara petir silih berganti disusul kemudian munculnya kilat yang menyambar desa mereka. Tidak lama kemudian
3
datanglah hujan yang pertama kali, yang sudah lama mereka tunggu.