Rabu, 23 Mei 2012

Seto Kendit


Syahdan di suatu negara entah  berantah  di Pulau Jawa ,  hiduplah seorang pemuda desa yang tinggal di Dukuh Makmur Sentosa.  Pemuda ini sangat rajin bekerja membantu Bapak Ibunya yang sudah renta.   Mereka hidup di  tepi hutan di sudut dukuh itu,  yang cukup jauh dari pemukiman penduduk.
Segala macam pekerjaan  selalu dia tangani sendiri, dari mulai  bertani,  mencari kayu bakar di hutan,  mencuci pakaian di sungai dan lain sebagainya, Hal ini  disebabkan kedua orang tuanya  sudah sering sakit-sakitan, sehingga siapa lagi kalau bukan pemuda itu yang merawat dan melayani kebutuhan mereka berdua.
Pada suatu hari yang cerah,  seekor macan kumbang yang besar entah darimana datangnya, mengamuk mencari mangsa ke tengah pemukiman penduduk, Sambil terus menggeram macan itu terus memburu siapa saja  yang dekat denganya.  Karuan saja kejadian itu membuat geger semua isi kampung. Seluruh prajurit  kerajaan yang kebetulan  sedang patroli di  dusun itupun tak kuasa menundukan macan itu.
Kini giliran pemuda itu menjadi sasaran terkaman macan itu,  saat dia hendak mencuci pakaian di kali. Namun anehnya  pemuda itu tidak memperlihatkan rasa takut barang sedikitpun,  meski macan itu kini sudah tepat berada di depannya. Dengan sikap tenang diletakannya keranjang berisi pakaian kotor, kemudian dia mengambil kayu seadanya yang ada di sekeliling dia berdiri.  Kayu itu dipegangnya kemudia dipukulkan kuat-kuat ken arah  kepala macan itu, sehingga macan itu mengerang kesakitan  dan  pingsan.
Tentu saja macan yang sudah tak berdaya itu menjadi sasaran yang empuk bagi penduduk yang telah meradang.  Namun ketika semua penduduk  berniat membunuh  macan itu , pemuda itu melarangnya bahkan  dia malah menyuruh salah satu penduduk untuk mengambil air. Hal ini karuan saja membuat semua penduduk menjadi heran sekaligus takjub dengan ulah pemuda itu, Setelah  dia mendapatkan air itu,  langsung diguyurkan ke kepala macan itu hingga basah kuyup.  Tak lama kemudia macan itu siuman kembali dan langsur ngloyor pergi kembali ke hutan.
Kini terdengarlah gemuruh  sorak sorai dari seluruh  Penduduk Dukuh Makmur Sentosa yang gempar lantaran keberanian pemuda itu menundukan macan itu. Sejak saat itu  seluruh penduduk memanggilnya  Joko Gempar.
Tak lama kemudian keharuman nama Joko Gempar telah sampai di istana. Mendengar kabar keharuman nama pemuda desa itu,   segeralah Raja Noto Kusuma  mengirimkan utusannya untuk memanggil Joko Gempar ke istana.  Kebetulan saat itu  Kerajaan Kembang Anom sedang dilanda krisis politik dengan meletusnya  pembrontakan besar, yang didalangi oleh Adipati  Gajah  Setyo dan bermarkas di Hutan Jurang Jero.
Karena kesaktian Adipati Gajah Setyo,   hingga kini pembrontakan itu  belum bisa dipadamkan.  Meski sudah bertahun-tahun menguasai Hutan Jurang Jero. Entah sudah berapa ratus prajurit dan beberapa senopati perangnya yang gugur di  peperangan menumpas pemberontakan itu.. Kini tibalah saatnya Baginda mencoba kesaktian  Joko  Gempar untuk menghadapi  Adipati Gajah Setyo hidup atau mati.
Setelah  Joko Gempar menerima utusan dari Baginda Kembang Anom,  maka dia lantas minta restu kepada  kedua orang tuanya, yaitu Kakek  dan Nenek Seto.  Kedua orang tuanyapun menanggapi dengan linangan air mata.  Karuan  saja hal ini  membuat Joko Gempar menjadi tidak tega  dan mengurungkan diri untuk meninggalkan kedua orang tuanya  itu. Padahal  beberapa hari lagi dia harus berada di istana menghadap Baginda.
            ” Berangkatlah anaku,  jangan pikirkan  bapak dan  ibumu. 
            ” Sungguh aku tidak tega meninggalkan Bapak dan Ibu. Siapa yang akan merawat Bapak Ibu nantinya, padaha;l perjalanan ini sungguh jauh.   Dan  bila aku  dikalahkan oleh  pimpinan pemberontak itu , hingga gugur siapa yang akan menemani Bapak dan Ibu ”
            ” Bapak ibumu  menangis bukan lantaran takut kehilangan kamu, Anaku ! ”
              Aku jadi tidak mengerti, Pak ! ”
            ” Bapak  dan Ibumu menangis karena haru dan bahagia ! ”
            ” Bahagia ?. Apa maksud ini semua Pak ? ”.  Joko Gempar menjadi penasaran dalam hatinya mendengar perkataan bapaknya itu. Maka diapun menuntut Bapak dan Ibunya untuk menjelaskan lebih jauh lagi.
            ” Karena  kini saatnya  kamu menemukan kebahagian yang telah lama  kita impi – impikan  Anaku ! ”
             ” Tolong Pak, ceritakan pada aku dengan gamblang. Perkataan Bapak tadi sungguh aku tidak mengerti ”
            ” Hadapi dulu Adipati  Gajah Setyo,   kamu akan mengerti semuanya ,  anaku ! ”.
            ” Seandainya aku gugur dikalahkan pembrontak itu,  apa aku akan tahu tentang apa yang dimaksud Bapak ” . Jawab Joko Gempar yang masih penasaran di hatinya
             ” Anaku,  seandainya Tuhan Yang Kuasa memberi Karunia kepadamu tentu tanpa  susah payah engkau akan membuat pimpinan pembrontak itu menyerah kepadamu. Tetapi dengan suatu syarat ” .
            ” Apa syarat itu, Pak  ! ”
            ” Bawalah  keris ini dan jangan kamu perlihatkan kepada siapa saja kecuali dihadapan Adipati Gajah  Setyo. Bila kau tunjukan keris ini dihadapanya, tentu kesaktian dia akan luntur. Maka itu usahakan  untuk bisa berhadapan langsung dengan Adipati Gajah Setyo. Tetapi sebaliknya bila engkau tunjukan keris ini pada siapa saja,  maka  akan membuatmu binasa. Camkan pesan Bapak ini baik – baik dan jangan berbuat gegabah. Sekali lagi barangkali ini jalan engkau menuju kebahagian hidup anaku ”
            ” Tetapi......Bagaimana aku bisa bertemu  langsung dengannya ”
            ” Teriakan kata  ”Seto Kendit”  sampai dia mendengarnya.  Pasti dia akan mencarimu ”
            ” Apa artinya Seto Kendit, Pak ? ”
            ” Janganlah banyak bertanya, anaku !, sebab  sikap seperti itu  adalah  tanda – tanda orang yang  kurang percaya  diri, Berangkatlah kamu ke istana Kembang Anom !. Hati – hati di jalan dan selamat jalan, anaku. Semoga engkau berhasil ! ” Joko Gempar memeluk mereka berdua sekaligus memohon restu kepada ke dua orang tuanya itu.
_________________
 Istana Kembang Anom sudah penuh dengan segenap abdi dalem.,  prajurit serta tumenggung yang sedang membahas bagaimana cara mereka bisa mengalahkan pemberontak, yang justru semakin hari semakin banyak mendapat pengikut. Sehingga semua kalangan istana kini menjadi kalang kabut.  Sementara Joko Gemparpun  kini sudah berhdapan dengan Raja  Noto Kusuma,
            ” Kamu yang bernama Gempar ” Tanya Baginda
            ” Betul, Tuanku ”
            ” Apa kamu sanggup mengalahkan Gajah Setyo, yang hingga kini belum ada yang mampu menandinginya ? ”
              Semoga Tuhan Yang Kuasa menganugerahi hamba ,  sehingga  hamba mampu mengalahkannya  
            ”Perlu  kamu ketahui anak muda. Bila kau berhasil mengalahkan Gajah Setyo, maka akan  aku hadiahi  ”Hutan  Wingitan ” aku serahkan untuk kamu , dan aku jadikan hutan itu sebaga Tanah Perdikan dan aku jadikan kau sebagai ”Penguasa Wingitan”,  Mengerti anak muda ! ”
            ” Daulat Tuanku, Hamba hanya menuruti kehendak Tuanku ”.
            ” Lantas  pusaka apa yang akan kamu gunakan mengalahkan  pembrontak itu ? ”
            ”Hanya tongkat ini yang dahulu digunakan untuk menundukan macan ”
            ” Hanya tongkat. Lantas apa yang ada dalam kantong itu, cah ndeso ? ”
            ” Ini hanya bekal untuk diperjalanan, nilainya  tidak seberapa. Tidak pantas untuk  hamba tunjukan pada Baginda ”. Joko  Gempar  berusaha menyembunyikan isi kantong itu sesuai dengan pesan Bapaknya  beberapa hari lalu.
            ”Baiklah  Gempar, sekarang tunggu  apa lagi berangkatlah bersama dengan prajurit Kembang Anom ”
            ”Daulat Baginda ! ” .
Belum sanpai matahari tenggelam di ufuk Barat,  Joko Gempar dan ribuan prajurit Kembang Anom sudah tergelar berhadapan dengan  pemberontak Jurang Jero. Masing-masing kekuatan itu sudah siap melibas satu sama lain. Ditengah  prajuirt pemberontak  terlihatlah seorang prajurit berkuda putih. Dengan badan kekar dan tegap, bertampang angker dengan kumis dan jambang memenuhi wajahnya.  Tangan kananya memegang pedang yang gemerlapan  memantulkan sinar matahari.   Sorot matanya tajam menyaksikan setiap gerak – gerik  Joko Gempar   sebagai prajurit andalan Kembang   Anom.
Aba aba menyerbu  telah dikumandangkan oleh  panglima kedua  kubu prajurit, kini  semua prajurit mulai merangsek menembus pertahanan lawan untuk menyabung nyawa, demikian juga Joko Gempar langsung menantang maju  Gajah Setyo. Merkapun kini bertempur mati – matian. Joko Gemparpun mengakui  ilmu bela diri lawannya itu.
Namun Joko Gemparpun bukan lawan sembarangan Gajah Setyo,   dari kecil dia sudah digembleng seni beladiri  oleh  Kakek dan Nenek  Seto yang juga memiliki ilmu bela diri yang telah tinggi tatarannya.  Setelah menghabiskan bererapa jurus, kini Joko Gempar  mulai terdesak mundur.   Demikian juga  Gajah  Setyo mulai mengendorkan serangannya, karena dia sedikit mengenal jurus-jurus silat yang dimainkan oleh anak muda itu.
He siapa namamu anak muda ? ”.  Teriak  Adipati Gajah Setyo  dengan lantang.
            ” Aku Gempar ”
            ” Siapa nama Bapak kamu  ? ”
            ” Seto, , Seto kendit ”
Kalau kau mengaku murid Seto Kendit. Sekarang aku tantang kamu untuk menghadapi aku di balik bukit itu. Sekarang juga
            ” Baikllah, aku tidak akan mundur selangkahpun ”. Joko Gemparpun telah tanggap dengan apa yang dimaksud  Adipati Gajah Setyo.
Kedua kuda itupun kini menerobos kerumunan prajurit yang sedang menyabung nyawa  untuk menuju lembah di balik ”Bukit Klampisan”,   seperti yang diminta Gajah Setyo.  Tentu saja semua  prajurit yang menyaksikan  kedua pendekar  gagah berani  itu melangkah untuk menyabung nyawa di Bukit Klampisan  menghentikan pertempurannya dan memberikan  tepukan yang  membahana. Masing-masing prajurit memberikan semangatnya pada  jagonya masing – masing.
Sekarang kita sudah berhadapan satu lawan satu, jauh dari prajurit lainnya, Sekarang  tunjukan  bukti  bahwa kau  anak Seto Panuntun atau Seto Kendit
” Baiklah,   ini keris  Bapak  Seto yang diberikan padaku ”  jawab Gempar sambil menunjukan keris itu.
Aduh.. . .Kakak Seto,  dua  puluh tahun aku tidak bertemu denganmu. Semoga engkau sehat – sehat saja.  Hai anak muda  !,    Apa Bapak Ibu mu masih hidup  ? ”
 ” Masih, tetapi sekarang selalu sakit – sakitan.  Memangnya  ada apa ? ”
Aduh anak muda, ternyata engkau  yang aku tunggu – tunggu selama 20 tahun lebih
“ Ditunggu untuk apa ?. apa maksud semua ini ”.
” Baiklah anaku,  demi  laggengnya  Keturunan  Brahma  Wijaya.  Sekarang juga penggal kepalaku dan serahkan  kepalaku  kepada   Noto Kusuma,  Ayo jangun takut dan ragu-ragu anaku !.  Ini semua demi kebahagiaan  kita semua !  Pinta  Gajah Setyo dengan  permintaan yang mendesak. 
Jelas  Joko  Gemparpun tak mau melakukan sesuatu yang tidak tahu  menahu maksud dan tujuannya. Maka dia pun lantas minta penjelasan dari pemberontak yang mengaku sebagai ortunya itu. Mungkin pula itu hanya tipu muslihat Gajah Setyo  saja,  tapi apa maksud keris yang dibawakan Bapaknya itu.   Kini pikiran  Joko Gempar pun menjadi berputar tujuh keliling, meski semua prajurit dari kedua kubu telah meundur lantaran  matahari telah penat menyaksikan ulah manusia yang mengumbar nafsu amarah,  sehingga matahari lebih memilih beristrahat di bilik langit sebelah barat.
”Baiklah Gempar,  nama sebenarmu adalah Wisnu  Adityaningrat putra Raja Kembang Anom yang bergelar  Prabu Brahma  Adiningtyas.  Saat itu  20  tahun yang silam kala aku seusiamu,   terjadilah  pembrontakan yang dipimpin Noto  Kusuma sang senopati prajurit yang berkhianat. Noto Kusuma berhasil membunuh bapakmu dan menghabisi seluruh keluargamu.  Sehingga  dia hingga  kini  bisa bertahta  di Kembang Anom. ”
Tapi mengapa aku masih hidup ”
”Seto Panuntun adalah ”abdi dalem”  yang setia kepada Bapakmu,  maka  dia segera menyelematkanmu  dengan cara  membawamu lari hingga  Dukuh  Makmur  Sentosa  di kaki Bukit  Wingitan,   sampai kini tidak ada   satupun  prajurit yang tahu, kecuali aku
” Mengapa demikian ? Dan siapa sebenarnya  engkau ? ”
Wisnu !. walaupun  aku seorang pemberontak,  tetapi aku adalah Pamanmu.  Aku adalah adik kandung Bapakmu  Kakak Brahma  Adityaningrat. Kala  itu aku tidak mampu membela Bapakmu karena harus melawan prajurit yang jumlahnya ratusan,  dalam keadaan luka parah terpaksa aku melarkan diri,  untuk kembali lagi di  kesempatan lain untuk  menyelamatkan negara
” Lantas apa hubungan  dengan keris ini ”
”Dalam pelarianku ,  di tengah perjalanan tepatnya di dukuh Ngresep aku berjumpa dengan Seto Panuntun dan istrinya. Disitulah aku merencanakan  pertemuan seperti ini denganmu kala engkau masih bayi, dan sebagai tanda pengenal  engkau aku  berikan keris itu
Joko Gempar  atau Wisnu Adityaningrat menjadi terpaku dalam-dalam ke bumi.  Pikiran dan hatinya  goncang setelah dia mengetahui siapa sebenarnya dia.  Perjalanan hidup yang ditempuh selama  ini ternyata hanya menapak bayangan  semu,  tetapi  siapakah yang sepatutnya dipersalahkan,  itulah  yang disebut suratan takdir. 
” Kendalikan perasaanmu, anaku !.  Kini bersyukurlah karena Tuhan Yang Maha  Esa telah menemukan aku dengan dirimu
”Lantas  apa rencana Paman besok pagi ”
“Besok pagi adalah penentuan nasib kita berdua.  Dekatkanlah pasukanmu dan pasukanku, sedekat mungkin.   Jangan  takut dengan  sikap  Senopati  Mahesa   Gerindra  pemimpin pasukan Kembang Anom.. Paman  tahu betul hati senopatimu itu  lebih mencintai trah  Brahma Adityaningrat dari pada   Noto Kusuma.  Besok pagi tunjukan keris itu kepada seluruh prajurit Kembang Anom dan kabarkanlah seakan-akan aku menyerah padamu , setelah itu aku serta semua prajurit setiaku akan berusaha untuk mempengaruhi seluruh prajurit agar membelot terhadap Noto  Kusuma .  Karena kamulah pewaris yang sebenarnya, Anaku !.
Agar semua prajurit Kembang Anom tidak curiga dengan niat kita, maka  lukai tubuhmu sendiri dan aku juga demikian.  Sehingga mereka percaya bahwa kita telah bertempur mati-matian . Sekarang hari telah larut,  kembalilah ke induk pasukanmu dan beristirahatlah.  Sampai besok ketemu lagi.  Selamat Istirahat anaku ”
Ribuan obor kini memenuhi tenda Pasukan Kembang Anom.  Sebagian besar prajurit  lengkap dengan para perwiranya belum bisa tidur pulas.  Mereka semua dengan  was – was  menunggu  kabar tentang Joko Gempar. Terlihat pula  Senopati  Mahesa Winasis mondar – mandir di depan tendanya,  hatinya   menjadi khawatir dengan  keselamatan  Gempar, yang menjadi tanggung jawabnya,
Dari jauh terdengar sayup suara derap kuda yang  terdengar bertambah keras. Semua prajurit yang masih diliputi khawatir, segera berlarian menuju arah kuda itu. Ternyata dia adalah benar Joko Gempar yang  duduk lemas diatas pelana kuda dengan luka terlihat di lengn dan pipinya.
Sontak semua prajurit pengawalnya langsungh memapahnya dan membaringkan di dalam tenda sang senopati.
            ” Adik....Adik  Gempar  ! kau tidak apa – apa  ? ”
            ” Aku tidak apa – apa, Aku bertempur mati – matian  dengan  Gajah Setyo dan inilah yang aku dapatkan ”. Seru Joko Gempar sambil menyerahkan keris dan ikat kepala Gajah Setyo seraya berpura-pura mengerang kesakitan.
            ”Apa artinya semua ini Adi ? ” seru Mahesa  Winasis Sang Senopati.
             ”Dia berhasil aku kalahkan dan besok pagi – pagi benar dia dan pasukannya akan menyerahkan diri ”
            ” Mengapa tidak kau bunuh sekalian , Gajah Setyo yang merepotkan Kembang Anom selama betahun-tahun ”
            ”Aku memang mengampuninya agar di kelak hari tidak ada masalah lagi. Dengan menyerahkan keris ini,   bagi dia adalah menyerahkan segala-galanya. Sebab tanpa  keris ini dia tak memiliki kekuatan apapun ”
            ” Benar juga keteranganmu Adi !, namun kita jangan lekas percaya. Kita harus berhati-hati jangan sampai termakan tipuannya.  Kepada semua perwira yang berkumpul disini aku harap tetap merahasiakan kabar ini. Siagan besok pagi layaknya  prajurit yang siap tempur ”
            ” Aku harap juga begitu Senopati !. ” Joko Gempar tak mampu lagi bicara . Karena penat terasa di seluruh tubuhnya dan kini diapun tertidur pulas.  Perkemahan prajurit Kembang Anom kembali senyap,  hanya terlihat prajurit yang ronda saja.
____________
Apa yang dikatakan Joko Gemparpun ternyata bukan hanya isapan jempol saja. Terbukti kini ribuan pasukan  Gajah Setyo tidak memasang umbul – umbul perang. Semua  pembrontak telah menyarungkan pedangnya masing-masing,  tidak ada lagi peralatan panah, tombak dan tameng, Bahkan Gajah Setyopun tidak membawa sebuah senjatapun.
Namun demikian prajurit Kembang Anom yang  tidak kalah jumlahnya,  belum  percaya benar dengan sikap pemberontak.  Meski pasukan pemberontak terus merangsek maju hingga berjarak 15 meter satu sama lain, namun mereka tetap dalam barisan yang rapi.
            ” Salam hormat  Panglima Mahesa Winasis   Seru Gajah Setyo dengan suara lantang hingga suaranya bisa didengar semua prajurit. Pertanda da adalah tokoh yang memiliki kesaktian yang cukup tinggi,
 ”Salam hormat pula aku sampaikan pada engkau,   Gajah Setyo.  Lantas apa arti semua ini. Aku harapkan kita meneruskan pertempuran secara ksatria ”
 ”Justru akulah yang akan bertindak ksatria,  dengan mengaku kalah dengan  Joko Gempar ”
            ” Rasanya tidak mungkin bila engkau dikalahkan begitu saja oleh anak muda ”
            Ketahuilah Senopati, disamping ilmu kesaktian Joko  Gempar yang tinggi,  dia  juga junjungan kita semua.  Dia adlah Prabu Wisnu  Adityaningrat putra dari Prabu  Brahma Adityaningrat.  Dia adalah raja yang sebenarnya dari  Kraton Kembang Arum. Maka aku rela menyerahkan apa saja kepada dia
” Tipu muslihat macam apa ini,  Gajah ! ”
Adipati Gajah  Setyo tidak banyak bicara lagi , Untuk meyakinkan  semua prajurit yang  berkumpul dia mempersilahkan Seto  Panuntun dan istrinya  maju ke depan untuk menceritakan segala sesuatu 20 tahun silam.  Sebagian prajurit telah percaya dengan keterangannya itu, namun sebagian lainnya masih menol;ak mentah – mentah termasuk juga Panglima Mahesa Winasis dan para  perwiranya.
” Aku ingin bukti lain agar aku bisa yakin dengan keteranganmu.  Kamu jangan seenaknya saja bicara.  Ini adalah menyangkut kelanjutan Kraton Kembang Arum ”
”Baiklah Winasis jika engkau ingin bukti lainnya ”.  Sang Seto Panuntun yang sebenarnya sosok abdi Prabu Brahma Adityaningrat yang sakti mandraguna segera mengeluarkan keris milik kerajaan yang selama ini dinyatakan hilang, pusaka itu adalah ”Keris Sosro           Kembang” milik pribadi Prabu Brahma Adityaningrat.
Setopun menceritakan bahwa sebelum sang prabu menghembuskan nafas terakhirnya, dia menitipkan pusaka itu dan juga keselamatan putranya Joko Gentar yang tak lain adalah Prabu Wisnu Adityaningrat.
Baik prajurit pembrontak dan Kembang Anom lengkap dengan senopati dan perwira – perwiranya kini merendahkan badanya berjongkok sambil meletakan senjata masing-masing,  termasuk juga  termasuk juga Adipati Gajah Setyo,  Seto Panuntun dan istrnya,  yang terlihat menangis haru.
Segera saja Prabu Wisnu Gempar,  demikian gelar yang diminta sendiri olehnya,  segera memerintahkan semua prajurit dari dua kubu untuk menuju Kraton Kembang Anom.  Namun sayangnya setelam mereka berhasil memasuki kraton, hanya terlihat para emban dan abdi dalam saja yang menjaganya. Karena Prabu Moto Kusuma telah meninggalkan istana terlebih dahulu,
Dengan demikian berakhir sudah penderitaan Joko Gempar dan Orang tua asuhnya yakni Bapak dan Ibu Seto, serta perjuangan Paman Adipati Gajah Setyo dalam menegakan kebenaran di bumi ini.

Pedang Naga Perkasa


Suto meminta kembali pedang saktinya yang lama dipinjam olehPaman Haryo, pada pertemuan mereka yang bersitegang di bawah sinar bulan purnama di beranda rumah gedong juragan kaya itu. Nampak dariwajahnya, Suto tidak main – main lagi dengan permintaanya.Sementara terlihat sikap Paman Haryo yang mencoba berkelit dan selalu mencoba meluruhkan amarah yang ada di kalbu Suto.

Meskipun Paman Haryo dapat dengan mudah mengalahkan keponakanyai tu, lantaran tataran olah kanuragan Suto masih jauh di bawahnya. Namun menganiaya sudara ingusanya itu,tentunya bakal memperkeruh suasana di Bukit Kenanga Kadipaten Semarang.Karena Suto adalah putra kakaknya sendiri yang hingga kini masih menjabat Kanjeng Bupati Kadipaten Semarang. Padahal ambisi untuk menggantikan jabatan kakaknya telah lama dipersiapkan dengan matang. Salah satunya adalah meminjam Pedang Pusaka Naga Perkasa milik Kanjeng Sultan Hadiwijaya, yang langsung dipercayakan kepada Suto Pamungkas, seorang pemuda santun dan pemberani yang berhasil menghipnotis kanjeng sultan untuk memberikan perhatian khusus padanya.Sehingga memberikan hadiah            Pedang Pusaka Naga Perkasa kepada pemuda yang berhati baik itu adalah pilihan yang tepat untuk  Kanjeng Sultan Hadi Wijoyo dari Negara Pajang.

Malam  semakin larut, cahaya purnama makin mengelupas seiring dengan wajah sang bulan yang bertambah menjauh, lantaran rasa gerahnya pada manusia yang selalu meradangkan nafsu segalanya demi mendapatkan kenikmatan duniawi yang semu. Terbukti meski sudah hampir 3 tahun Paman Haryo Pamundi memegang pedang bertuah itu, namun pemberontakan Geger Lowo Ijo di wilayah Kademangan Kenanga belum sirna. Inilah yang menjadi alasan mengapa Paman Haryo belum juga dengan tangan terbuka melepas pedang bertuah itu.

Memang bagi manusia tamak dan licik seperti Paman Haryo, sama sekali tidak pernah mencoba untuk menelaah seberapa kuat kesaktian sebuah benda bertuah, yang seharusnya manunggal dengan yang memegangnyaterutama dari kebersihan hatinya. Maka wajar saja bila pamor sang benda bertuah itu tidak mampu meredam amuka marah LowoIjo yang sakti .Meskipun demikian Paman Haryo tak pernah surut untuk melepas Pedang Pusaka Naga Perkasa. Bukan hanya kekuatan magis pedang Naga Perkasa yang diharapkan olehnya, namun butir-butir mutiara yang bergelapan tertaburkan di “gagang” berkayu cendana telah juga menarik ambisi lebih dalam lagi untuk memilikinya.

Lampu—lampu minyak kelapa yang mengelilingi beranda joglo Paman Haryo, satu dua sudah mulai meredup. Remang malam kini lebih kentara lagi melingkungi pertemuan Denmas Suto dan Paman Haryo masing-masing dengan pengikut setia mereka.Malam kali ini benar-benar telah larut, satu dua hati mulai meradangkan bara amarah. Paman Haryo tetap bersitegang mempertahankan pedang itu,  demikian juga Suto, yang sudah mulai kehabisan akaluntuk memintapedang itu kembali.

“Paman, aku harus mengatakan apa lagi !, dengan penuh hormat kedatangan kami kesini semata-mata meminta kembali apa yang pernah paman pinjam”, getar suara Suto mulai keluar dari bibirnya. Kedua kepal tanganya mengencang, sorot matanya mulai tajam menusukan kebencian. Rasa hormat dan segan, yang sedari sore sudah memenuhi benaknya, kini meluruh bersama dengan larutnya malam. Tak ada lagi niatan Suto untuk meminta pedangnya kembali dengan hormat.


2
“Suto ! anaku !. Tak ada niatan dalam kalbu pamanmu ini untuk mengkhianati perjanjian denganmu beberapa waktu silam. Hanya saja Geger Lowo Ijo masih merajalela di kademangan ini. Apabila perkara pemberontakan itu tidak  segera di tepis, kewibawaan Kakanda Kanjeng Bupati Kadipaten Semarang atau ayahandamu sendiri akan terongrong. Mengertilah Suto anaku !

“Paman Haryo !, alasan pamanda bukankah telah disampaikan beberapa tahun silam ?. Tetapi mengapa tidak pernah paman mengerti, betapa beratnya hati ananda ini yang harus menerima amanah dari kanjeng sultan !”.

“Biarlah masalah kanjeng sultan menjadi urusan pamanda !. Beliau tentunya tidak akan keberatan meminjamkan pada pamanda !”

“Pedang Naga Perkasa bukanlah sembarangang pedang !. Pedang itu harus manunggal dengan sang empu yang memegangnya. Apabila kita tidak menggunakan tataran  batiniah yang dalam. Maka pedang itu tidak lebih dari logam biasa.Tidak ada gunanya bila pamanda harus menghadap kanjeng sultan ! “

“Suto, anaku !. Kamu anak kemarin sore, tahu apa kamu tentang tataran hidup ?”

“Bagi ananda gampang saja !”

“Hmm...engkau bertambah lancang !”

“Pamanda !, apabila hati pamanda telah bersih dan suci sesuci embun dini hari, tentunya Geger Lowo Ijo, akan gampang dimusnahkan. Pedang Naga Perkasa hanya sebuah lantaran untuk menggapai pertolongan dari Sang Hyang Murbeing Jagad. Bukan hanya disimpan untuk dijadikan kekuatan dan pengayoman Kademangan Kenanga !”

“Sekali lagi, Suto !. Kamu tahu apa !. Jangan sekali-kali lagi engkau mencoba memberi wejangan kepada aku !!!!” Kedua mata Haryo Pamundi mulai mengusung sebuah amarah yang membara, kedua tanganya sudah bergetar kuat. Dia segera mendekat ke arah meja bundar dari kayu jati bertaplak sutera tempat pedang sakti itu diletakan.Semua prajurit kademanga sudah bersiaga untuk merangsek menghempaskan Suto dan beberapa pengikutnya. Namun tiga tokoh dunia persilatan pengawal Suto hanya terdiam membisu, meski tidak mengurangi kewaspadaan mereka untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.

***
“Angger Haryo, ijinkah aku yang renta ini mengajukan beberapa saran demi menjaga hubungan persaudaraan angger dengan cucuku ini “ Sorot mata semua yang mendidih nada darahnya di tengah malam yang hampir usai itu mulai meluruh, setelah tersengar suara lembut dan santun dari Eyang Wiro Setyo dari Padepokan Bringin Bumi Kadipaten Semarang. Seorang resi yang amat disegani di seantero Tanah Jawa bagian Timur.

“Dengan senang hati Pamanda Wiro Setyo !, anakmu ini memang gampang menuai amarah. Mohon pamanda mema’afkan aku dan prajurit kademangan. Aku sangat mengharapkan sekali wejangan dan pitutur yang  arif dari  pamanda “

“Ki Demang terlalu berlebihan memuji aku yang pikun ini. Sebelumnya mohon maaf yang sebesarnya, bila aku yang tak tahu diri ini terlalu lancang bersuara di depan Ki Demang yang bijaksana. Sebenarnya aku tidak akan memihak kepada Ki Demang

3
ataupun cucuku Angger Nakmas Suto. Aku hanya sekedar hendak mengurai kewibawaan Pedang Naga Perkasa yang keramat itu, Ki Demang ?”

“Ah, jangan sungkan sungkan pamanda untuk memberikan pitutur kepada kami. Karena hanya pamanda yang mampu menyelami pedang ini. Pamanda ! aku sama sekali masih buta tentang pedang ini. Apa yang harus aku lakukan”

“Sebenarnya Pedang Naga Perkasa, hanyalah pengejawantahan keprihatinan para hamba Gusti Hyang Wisesaning Jagad, yang mengajukan doa demi ketentraman Tanah Jawa. Selebihnya pedang itu hanya sebuah logam saja. Kanjeng Sultan Hadi Wijoyo berhasil mukti wibowo di Tanah Jawa ini, bukan lantaran pedang itu”. Eyang Wiro Setyo sengaja menahan diri untuk tidak melanjutkan perkataanya, lantaran dia menyaksikan segala gejolak hati dari Ki Demang  Haryo Pamundi yang demikian menggelora. Terlihat dari matanya yang terbelalak dan berputar menyaksikan satu demi satu yang hadir di keremangan malam itu.

“Lantas, mengapa kanjeng sultan demikian mengagungkan pedang itu, Pamanda Wiro !”

“Ki Demang, jangan salah paham !, apalagi menuduhku untuk memutarbalikan fakta !”

“Maksud pamanda bagaimana ?”

“Bagi kanjeng sultan Pedang Naga Perkasa hanya dijadikan simbol belaka. Tapi yang paling mendasar adalah nggulawentah sanubari dan hidup beliau untuk tetap pasrah dan berserah diri kepada Sang Hyang Widi !”

Ki Demang Haryo Pamundi dan segelar prajurit kedemangan tidak percaya sama sekali dengan keterangan lelaki beruban itu.

“Maka, serahkan kembali pedang itu pada kami, pamanda !” . Melihat gelagat Ki Demang yang selalu mempertahankan pedang itu Suto kembali mengajukan ketidaksabaranya  pada pamanda yang selalu menampakan gurat wajah tidak senang.

“Sabarlah!, Ngger Suto cucuku!, engkaupun tidak sebaiknya berlaku seperti itu, apabila engkau tahu maksud Sinuwun Kanjeng Sultan Hadiwijoyo memberikan pedang itu padamu !”

Keremangan malam itu menjadi terbius dengan pemamaran wejangan dari resi yang arif itu. Setelah sekian lama mereka berseteru memperebutkan pedang itu. Baru kali ini  Eyang Wiro Setyo menyeruakan segala hal ikhwal pedang itu.

“Mohon maaf, pamanda !, setahu aku yang dungu ini. Pedang sakti itu mampu mengantarkan siapa saja yang mengagungkan mampu mukti wibowo menjadi penguasa di tanah jawa ini, betulkah demikian pamanda !!”

“Betul Ki Demang !”

“Ah, aku jadi bertambah tidak mengerti, pamanda !. Mengapa kanjeng sultan hanya menganggapnya sebagai simbol, padahal beliau telah menyimpanya selama bertahun-tahun ?, dan sekarang terbukti beliau telah muktiwibowo ?”

“Kalau memang pedang itu yang membawanya mukti wibowo, mengapa pula beliau menyerahkan pedang itu pada Angger Nakmas Suto ?”
4
“Karena Sutolah yang dipilih sinuwun  mewariskan tahta beliau, pamanda !”

“Ki Demang !, Nakmas Suto sama sekali tidak punya hak untuk menduduki tahta Pajang, karena Nakmas Suto tidak memiliki hubungan darah. Sehingga Pedang Naga Perkasa itu sama sekali tidak ada hubunganya dengan tahta, kehormatan dan derajat  pemiliknya “

“Mohon maaf  Pamanda Resi Wiro !, ananda sama sekali belum bisa menerima wejangan pamanda !. Mengapa pula ananda Suto berambisinya meminta kembali pedang itu ?”

“Nakmas Suto hanya sekedar ngugemi amanah kanjeng sultan ?”

“Itukan berarti kanjeng sultan memang menginginkan Suto untuk mukti wibowo di kadipaten ini !”

“Benar, Ki Demang. Asalkan Suto dan semua petinggi baik sekarang ataupun di masa depanyang   sanggup memenuhi pitutur para sesepuh Tanah Jawa yang tertulis di semua bagian pedang itu !”

Ki Demang Haryo Pamundi bertambah penasaran, maka diapun segera memungut Pedang Naga Perkasa  yang berlapis emas dan segera melepas warongkonya. Terlihatlah beberapa goresan huruf  jawa yang bertebaran di sepanjang bilah pedang itu.

“Perhatikan seksama Ki Demang, itulah pesan dari semua pepunden kita untuk para petinggi Tanah Jawa di tlatah manapun, yang harus mengedepankan adil, wicaksana, mengayomi, mendahulukan kepentingan kawula, jujur, tekun menyembah kepada Penguasa Alam Semesta. Inilah Pedang Naga Perkasa   yang sebenarnya hanya wejangan para alim, seperti Kanjeng Prabu Sultan Agung Hanyokrokusumo dan lain sebagainya”

“Apa arti tiga mutiara yang ada di pegangan pedang ini, pamanda ?”

“Itu tidak lebih, hanya symbol rasa asih, asah dan asuh para petinggi Tanah Jawa kepada kawulanya ?’

Ki Demang Haryo Pamundi meletakan kembali pedang itu yang sudah dimasukan ke dalam warongkonya. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa pedag sakti itu hanyalah sebuah pitutur belaka. Diapun kini menyurutkan langkah untuk kembali duduk di dipan panjang dengan seluruh sendinya terasa lepas dari tubuhnya.

“Mohon maaf Ki Demang, apabila keterangan aku yang pikun ini membuat Ki Demang bersedih. Selanjutnya aku dengan lancang mewakili Angger Nakmas Suto untuk memberimu waktu menyimpan pedang itu, Kid Demang!”

“Aku tidak membutuhkan  lagi, pamanda resi !, yang kubutuhkan hanyalah kesaktian sebuah benda pusaka untuk menghancurkan Lowo Ijo “

“Apabila Ki Demang, betul-betul mengamalkan pitutur yang ada di pedang itu. Maka Lowo Ijo pasti akan musnah dengan sendirinya, percayalah Ki Demang !”

Ki Demang Haryo Pamundi hanya menganggukan kepalanya, bibirnya terkunci rapat. Sorot matanya kosong, kedua tanganya hanya ber[egangan pada bibir tempat duduknya.
Kokok ayam jantan mulai terdengar, udara dingin mulai menjenguk sendi tulang semua yang hadir di beranda joglo kademanganya. Tanpa sepatah katapun Ki Demang
5
mengulurkan  kedua tanganya yang memegang pedang sakti itu kepada Suto sambil mencium kedua pipi putra keponakanya itu***

Penulis             :           Effi Nurtanti- Semarang