Kamis, 10 Mei 2012

Di Tengah Rengkuhan "Wedus Gembal"


Di bawah rengkuhan tubuh eksotis Merapi terbentanglah lembah, jurang, hijau tanaman sayur dari sawah dan ladang, yang menebar sepanjang liuk tubuhnya serta gemercik air kali sepanjang tahun dari tubuh raksasa biru itu, yang kadang diam ternyenyak dalam tidurnya dan kadang pula meradangkan amarahnya. Namun di bawah misteri seribu bahasa itu, tetap saja beberapa insan mencoba menoreh peluh dan asa, untuk menitipkan sebilah hidupnya. Bila telah terlelap dalam tidurnya, angin sore yang menyisir punggungnya mampu membawa kedamaian hidup dan kesejukan bagi daun daun sayuran yang telah menggulung lantaran terkaman sinar matahari satu hari penuh.

Namun bila wajah Merapi telah mengisyaratkan suatu duka nestapa, mereka yang bergayut di punggunya ikut serta larut jua dalam tetesan air mata, lantaran meratapi membaranya rona amarah dari wajah Merapi yang tertutup dengan debu dan asap asap yang menjulurkan tangan tangan raksasa penebar maut, yang sama sekali telah buta matanya untuk memburu siapa saja yang diterpanya. Tangan tangan raksasa yang meradangkan pilu itu, telah mampu menghanyutkan suatu kehidupan yang telah direnda oleh insan yang yang selama ini telah mengakrabinya. Namu itulah ego Sang Merapi yang telah menyelinap dengan kuat di kalbu mereka yang berladang di punggungnya, tanpa rasa benci sedikitpun, tanpa mencibirkan bibir mereka dan tanpa sorot mata dendam kesumat pada raksasa biru yang tiada pernah meninggalkan kecantikanya itu.

Demikian juga Hananto, petani desa yang mencoba menebarkan benih sayuran di petak ladangnya agar tetap mampu menggegam separo nafasnya. Agar tetap mampu juga menggapai cita citanya setinggi puncak Merapi yang tiap pagi dan sore selalu dipandangnya, sambil sesekali mengusap peluhnya yang tiada henti membasahi wajahnya, sederas sebuah cita citanya yang terus saja memenuhi nadi darahnya dan berputar memenuhi seluruh sendi tubuhnya, hingga mampu menyimpan cita citanya itu di sudut jantungnya, yang terus berdegup bersama dengan suka dan duka sebuah kehidupan petani ladang.

Roda waktu bergulir begitu saja dan wajah Merapipun tetap membugkam dalam candanya dengan awan awan putih yang berdatangan dari empat penjuru angin. Semai sayuran yang ditebar Hananto telah mulai membuat hidupnya kembali bergairah, panen di musim ini sudah diambang anganya. Sebagian hasil panenya nanti, akan diwujudkan dengan cincin yang akan dilingkarkan di jari manis Maya, gadis desa yang dikenalnya sejak mereka masih di kelas awal SMA di Cepogo beberapa tahu silam. Sebentar ia biarkan cangkul yang digenggam   sejak pagi melintang di tengah pematang ladangnya, persis di samping dia duduk sambil mengatur nafasnya.

Apakah cincin penaut dua hati yang sedang membarakan gairah asmara mampu benar benar melingkar di jari Maya.  Sedangkan kehidupan Hananto dengan Maya adalah dua sisi yang berpisah sejauh jurang jurang lereng Merapi. Hananto harus separoh nafas menggapai tentang sebuah kehidupan. Apa yang dia cita citakan masih bertaut di awan awan kelabu yang sering memenuhi isi langitnya. Sedangkan Maya adalah bidadari kahyangan yang dipingit keluarga RM Pranoto dengan gemerlap lampu warna warni.  Hananto merasa tidak ada kesempatan barang sekuku hitampun untuk bisa memiliki hati perawan desa, yang bertahi lalat di dagunya, berparas lembut dan melangkonis serta santun budi bahasanya. Entah mengapa manusia di muka bumi ini harus mengalami arti dari memiliki dan tidak memiliki, bisik hati seperti itu terus saja bersemayam dalam sudut bilik jantungnya.

Pagi merangkak dengan malas, sementara siang baru saja menuggunya dengan angkuh. Giliran sorepun kini menerjang langit lereng Merapi. Kini semua penghuni lereng Merapi bersiap untuk beranjak ke peraduan di tengah musih hujan yang tak merasakan penat. Hananto masih setia dalam lamunan yang mengambang di beranda rumahnya. Namun lamunan itu segera surut setelah lantai tanah berandanya tiba tiba saja bergoyang perlahan dan bertambah kuat. Diapun segera berlari kea rah dalam rumah untuk segera membangunkan ke dua adiknya dan bapak serta emaknya untuk segera keluar.

Batuk batuk dari puncak Merapi mulai terdengar membahana ke setiap penjuru Desa Gedangan Cepogo, semua penghuni desa terpencil itupun sontak berhamburan memenuhi jalan jalan desa untuk menyaksikan kemarahan sahabat karibnya yang sudah berpuluh tahun mereka mengenal kemisterianya. Namun wajah mereka tetap menyodorkan perasaan tenang dan pasrah dengan selalu menganggapnya Merapi hanya menyampaikan sapanya dalam salam candanya. Namun hari itu Merapi telah menujukan kemarahan yang sesungguhnya dengan mengepulkan awan panas yang membumbung tinggi,  mirip raksasa ganas yang berniat mencekik leher siapa saja yang ditemuinya.

Hananto dan seluruh keluarganya kini bergegas menuju ke tempat yang aman dari terkaman raksasa liar itu, bersama sama ribuan warga lainya yang menuju truk pengungsian yang disiapkan oleh aparat. Namun tiba saja sebuah teriakan kecil memanggilnya dari arah ujung jalan desa.

“Anto, Pak Noto mencari Maya, sejak pagi tadi Maya   menghilang  entah kemana “

“Kamu tahu dari siapa, Yan ?”

“Aku sendiri ikut mencarinya kemana mana, tapi tetap saja Maya menghilang “

“Terus Pak Pranoto sekarang di mana ?”

“Dia dipaksa oleh SAR untuk segera meninggalkan desa ini dan mengungsi bersama kita”

“Yan, beriatahu emak dan bapak, aku akan menyusul nanti. Aku akan mencari Maya dulu. Sampai ketemu di pendopo kabupaten Magelang “

“Anto, kamu gila !. Semua warga sudah mengungsi, sebentar lagi wedus gembel akan menyerang desa ini, Selamatkan diri kamu, masalah Maya serahkan saja tim SAR “

“Ah, masalah Maya biar aku yang mengurus, doalan aku ya Yan dan selamat ketemu di pendopo kabupaten ! “. Belum selesai Anto bicara tubuhnya kini sudah bergerak menyusuri jalan desa Gedangan, untuk menyusuri di mana Maya berada. Hananto tahu persis bahwa Maya sering bertemu dia di sekitar ladang milik bapaknya, disitu pula Maya mencoba untuk menanam anggrek anggek liar Merapi yang ditanam di pot dan diletakan begitu saja di tengah ladang. Itulah salah satu hobby Maya yang tidak pernah terlewatkan. Kadang pula dia mengajak Hananto untuk mencari anggrek anggrek liar di sekitar hutan semak Merapi, sambil menautkan bilah rindunya pada cowok ganteng pujaan hatinya itu.

Peluh sudah membasahi sekujur tubuh Hananto, sementara hujan debu mulai menghalangi pandangan Hananto yang berlari sekuat tenaga menyusuri jalan setapak menuju ladang Pak Noto. Gelegar puncak Merapi sekali sekali terdengar di te;inganya. Namun Hananto tak menyurutkan langkah sebelum dia menemukan dimana Maya berada. Rasa khawatir kini memenuhi seluruh hatinya, apalagi jalan jalan setapak mulai berlubang dan retak akibat gempa yang terus saja menggoyang lereng Merapi. Bau belerang sudah mulai menyengat hidungnya, dimanakah kau Maya, ayolah Maya tunjukan dimana kamu berada. Oh Tuhan lindungi Maya, semoga dengan LindunganMU Maya bisa bersama aku mengungsi. Tak henti hentinya hati anak desa ini terus saja memanjatkan doa.

“Maya kau di mana ?”. Hampir habis tenaga yang digunakan pemuda desa itu untuk  berkali kali teriakan memanggil nama kekasih pujaan hatinya itu. Sementara itu kepalanya sudah mulai pusing akibat bau belerang yang menyengat. Begitu juga nafasnya sudah mulai sesak karena debu Merapi sudah memadati udara gunung.  Sepintas dia melihat tempat Maya menyimpan anggrek liarnya sudah bererakan, bahkan longsor dihantam gempa berkali kali.

“Maya kau di mana ?”

“Anto, aku dalam lubang ini ?’

“Maya!, kau tidak apa-apa ?”

“Entahlah, tapi kakiku sakit, aku tidak bisa naik ke  atas “ Wajah Maya sudah pucat pasi, lantaran dihinggapi rasa takut yang menderanya. Tanpa banyak waktu Hananto melepas bajunya dan dipilin menjadi tali untuk mengangkat tubuh Maya.

“Peganglah kuat kuat dengan kedua tanganmu, dan usahakan kedua kakimu bertumpu pada dinding lubang ini. Bersiaplah aku akan menarikmu “

“Ya “, dengan meringis kesakitan tubuh Maya perlahan lahan bergerak ke atas sambil terus menumpukan kedua kakinya, meski sebuah kakinya telah terkilir. Kini Mayapun sudah berada dalam pelukan Hananto.

Kini tubuh yang langsing dan semampai itu berada dalam dekapan Hananto untuk melangkah meninggalkan ladang yang porak poranda dihantam gempa dan debu kemarahan Gunung Merapi, sekuat tenaga mereka kerahkan untuk menyusuri jalan setapak dan jalan desa hingga sisa tenaga yang terakhir mampu mereka kerahkan tepat tidak jauh dari truk team SAR yang masih sabar menunggu warga yang tertinggal mengungsi.
***
RM Pranoto terus menerus menangis di samping tubuh istrinya yang lemah terbaring di pengungsian. Lantaran ketidakhadiran Maya di samping mereka. Sementara itu terdapat juga beberapa warga yang menangis histeris meratapi keluarganya yang menjadi korban tangan tangan raksasa awan Gunung Merapi. Situasi saat iru sungguh menjadikan episode kehidupan sebagai episode tentang betapa lemahnya makhluk yang bernama manusia.

Sititik harapan kini mulai bersemayam di hati RM Pranoto dan Hartinah setelah muncul truk pengungsi terakhir dihadapan mereka. Apalagi setelah melihat gadis berbaju jingga dengan rambut di kepang dua sebatas pinggangnya serta tahi lalat di dagunya. EM Pranoto segera memapah istrinya untuk menemui putri sulungnya dengan sejuta bunga bermekaran di sudut hatinya. Sebuah peluk cium dari ketiga insan itupun menjadi pemandangan semua pengungsi. Lain halnua dengan Hananto yang hanya berdiri terpaku dengan sejuta peraaan yang tidak percaya menghadapi kenyataan ini.  “Engkau tadi di mana, anaku “ seru RM Pranoto dengan rintihan tangis bahagia.

Mayapun segera menarik tangan Hananto untuk berdiri lebih dekat lagi dengan mereka bertiga.Maya segera menceritakan kejadian yang baru saja menimpanya.  “Trimakasih kami tak terhingga Nak Anto, maafkan kekasaran bapak dan ibu selama ini sama kamu “. Tanpa segan dan malu kini RM Pranoto memeluk tubuh pemuda ganteng itu dengan penuh ketulusan. Hanantopun menyambutnya dengan menepiskan segala macam dendam.

Sehalus Tirai Sutra


Senja itu Lydia hanya sendiri di kamar, berteman sepi dan hanya menjaring sejuta angan dari penjuru benak hati yang satu ke penjuru benak hati lainya. Sesekali tiupan angin kencang bercampur titik air gerimis senja menerpa kamarnya.  Namun Lydia tidak memperdulikanya.   sekali sekali sorot matanya diarahkan ke handpone warna biru muda, yang dia letakan begitu saja di atas seprei tempat tidurnya “Mengapa tak kau berikan teriakan nyaring, seperti yang sudah sudah dan mampu mengobati rasa rinduku pada Aldo, mengapa kamu keep silent ?”. Sesekali pula Lydia membalik balikan Hpnya itu. Barangkali saja power anten hpnya yang rusak. Ataukah memang Aldo telah terbang dengan sejuta sayapnya dan hinggap di mawar lainya,  yang segalanya lebih baik darinya.
Berkali kali nomor Aldo telah genap tertera di screen handphonenya, namun pada akhirnya dia urungkan untuk mendapatkan obat rindunya. Mengapa pula dia harus terjepit dan terpagut sepi,  kala Aldo dia “tawan dalam kain sutra”, yang halus namun kokoh. Padahal  beberapa bulan lagi dia harus meninggalkan Jakarta untuk segera bertugas di Puskesmas Kecamatan Hidup Baru Bengkulu, sebagai dokter muda. Mengapa pula dia sendiri yang justru menghendaki perpisahan dan menepiskan kehadiran Aldo. Padahal dia sudah lama menunggu saat demi saat untuk Aldo, hingga Aldo  mampu menjadi pria yang lebih dewasa dan mengerti. Lidiapun telah merasa cukup berkorban untuk Aldo.
Tetapi bagaimanapun juga Lydia tetap seorang perempuan yang masih harus benyak belajar pada hidup ini. Seorang dokter muda yang ditantang mampu menyembuhkan berbagai penyakit pada pasienya di daerah terpencil nantinya, namun penyakit hati yang ada di dalam dirinya begitu asing dan mampu meradangkan setiap urat nadinya.
Handhone dengan cassing biru muda itu kembali dia letakan di atas sprei tempat tidurnya. Diangkatnya seluruh tubuh yang melekat kuat di tempat tidur yang bersemangat menghisap tubuhnya  yang dipenuhi rasa penat. Lydia tidak mau terjebak pada perangkap kasur tidurnya, dia lebih baik berdiri di jendela kamar tidurnya dengan membuka sedikit korden dan kaca nakonya, barangkali saja angin senja membawa salam dari Aldo untuk dirinya. Namun hanya gemerlap lampu jalan Kota Jakarta yang sama sekali tidak mau mendengarkan bisikan hatinya.
Perlahan lahan Lydia menutup kaca nako dan korden, sementara dari kejauhan bising suara kedaraan bermotor masih menggetarkan gendang telinganya. Lydia masih menjadi sosok yang diburu  bayanganya sendiri, bayangan rasa sepi dan bayangan  yang dia bangun sendiri.
2
***
Ingin hatinya mengurungkan niatnya untuk bertugas ke Bengkulu. Untuk apa dia di daerah Bengkulu, bila rasa sepi yang menghantuinya tidak mampu dia tepis. Bahkan kini dia seperti anak ABG atau teenager yang lebay merindukan doinya. Namun pikiran itu dia buang jauh=jauh “Aku perempuan yang telah dewasa, aku harus menjadi Lidya yang tagguh. Bukankah kepergianya nanti ke Bengkulu adalah pilihanku yang semula ditolak tegas oleh mama dan papa” Bisik hati Lidya sendiri, kini menjadi karibnya sendiri.
“Teeet…teeet..teet “ Dering handphone yang sejak sore tadi terbungkam dingin, kini membangunkan Lydia, yang sudah mulai terhisap pada setiap lekukan springbed bersprei merah jambu.
 “Hallo Lidya ! “, dari speaker hp-nya melenting begitu saja suara  teman karibnya, yang serasa tahu betul apa yang hinggap di hati Lydia kini.
“Oh Aya.! Syukurlah kamu ngebel aku, dalam kamar sejak sore tadi. Rasanya aku seperti lagi menunggu hukuman gantung ! “
“Ada apa Lidya ?. Kok kamu ngaco gitu, sih !” Teriak Soraya, temen yang ganjen dan sudah sejak SMA dulu menjadi karib sejati Lidya.
“Nggak tahu aku Aya !. Sejak sore tadi aku gelisah, sebenarnya sih ingin enjoy!, tapi aku bingung harus bagaimana ?”.
“Heeh, kamu kan bukan ABG lagi, kamu sekarang bu dokter muda, yang sebentar lagi bakal menangani pasien di daerah terpencil, terus kalau kamu galau kaya gitu, eh bisa-bisa seluruh pasienmu mati dong, Lidya!”
“Ah ada aja kamu !, justru itu Aya !, setelah aku lulus  koskap dan harus bertugas sebagai dokter, aku semakin merasakan arti hidup ini. Aku nggak akan terus seperti ini kan?, ah aku nggak tahu Aya !”
“Lidya, mesti kamu lagi kesepian, iya kan ?. Kamu kangen sama Aldo ?, yang baru saja kau campakan !”. Ucapan Soraya dari balik speaker hp, layaknya sebuah anak panah yang tajam dan menusuk jauh ke dalam jantung hati Lidya, Apakah diriku  bersalah ? bila diriku kini mengharapkan Aldo?,  yang justru baru saja aku tepiskan segalanya. Hingga Aldo pria yang punya lifestyle suka  hidup bebas, kini telah terbang entah ke mana, Lidyapun tidak tahu. Kenapa aku mengharapnya kini ?, seperti menawan Aldo dalam rajutan kain sutra.
3
“Halloo…hallooo !, Lidya ..Lidya !, kamu lagi sensitif malam  ini ?. OK Lidya sorry ya !!!”
“Halo , Soraya !, nggak apa apa kok !. Aku hanya konyol saja malam ini  ?”
“Lidya !, seperti kataku dulu waktu kamu curhat sama aku. Aldo sebenarnya pria yang lembut dan dewasa, hanya dia memang susah diatur. Sebenarnya dia bisa kok menjadi suami yang baik untuk kamu. Tapi gimana lagi Lidya,! kamu harus kukuh
dalam meniti karir sebagai dokter. Aku harap kamu mampu menjadi dokter sekaligus istri yang baik untuk suamimu nanti yang lebih baik dari Aldo “
“Makasih,  ya Aya!. Kamu pernah  jumpa Aldo belakangan ini ?”
“Nggak pernah, Sudahlah Lidya !, sekarang lupakan saja dia, di depanmu kini menanti jalan karir yang panjang, OK deh Lidya lain waktu kita jumpa lagi. Met malam, ya !”
Kamar tidur itu kembali lagi membius Lidya dalam dingin dan sepi, ornament yang melekat di dinding kamarnya yang penuh variasi warna dan bergurat gaya Italia kini tak mampu lagi menghidupkan hatinya. Di tengah kegalauannya, Lidya sebenarnya masih menyelipkan
sebuah perasaan kodrati sebagai perempuan, yaitu sebuah hasrat membutuhkan kehadiran pendamping pria yang mampu melabuhkan perasaan kodrati itu. Sebagus apapun karirnya nanti dia tetap tidak mampu mengenyahkan perasaan itu. Kini semua yang dilihat dalam kamar menjadi samar dan menghilang, tinggalah kini Lidya yang direnggut mimpi mimpi indah.
***
Pagi berkabut menyelimuti Kota Jakarta, setelah semalam dibasahi gerimis, batang batang perdupun menjadi terbujur dingin. Tak ada lagi nyanyian burung Pipit, Kenari dan Kutilang di kota yang garang dan beringas seperti Jakarta. Apalagi angin musim penghujan bertiup agak kencang dan menjinjing rasa dingin . Namun bagi manusia yang masih memiliki sebilah nafas dan deru jantung, mereka  tetap menjemput hidup ini meski di tengah cuaca yang tak ramah seperti pagi ini.
Lidyapun bergegas menjemput hidup di pagi ini dengan wajah yang dilipat. Karena pagi ini dia harus mengurus berbagai  surat ke Kementrian Kesehatan untuk tugasnya ke Bengkulu dalam waktu dekat.  Apalagi wajah pagi kali inipun tidak mampu lagi mengusiknya untuk merajut senyum ceria, meski sarapan pagi
4
untuknya telah siap dan telah lama menanti. Namun semua sarapan paginya kini hanya diterkam dengan sorot mata yang dingin, hanya beberapa teguk teh hangat manis yang membasahi kerongkonganya. Sementara hatinyapun terbang entah ke mana, hanya Lidya yang tahu.
Perasaan aneh pada Lidyapun segera dapat dibaca oleh maminya yang sekarang duduk di depanya dan sekali sekali menyapu seluruh wajah Lidya yang pucat dengan pandangan yang lembut dan hasrat  untuk menelisik perasaan putri sulungnya. “Lidya !, seharusnya kamu bahagia saat saat  ini, kamu berhasil lulus menjadi dokter dan mampu meraih prestasi lulusan terbaik. Mama dan papa juga ikut senang. Apalagi kamu berhasil mendapat ikatan dinas menjadi dokter PNS dan kamu mau menerimanya kan ?, meski harus ke Bengkulu. Tapi kamu beberapa hari ini kelihatan suntruk , ada apa Lidya ?”.
“Ah, mami. Biarin saja mam !!, ini urusan Lidya kok dan Lidya bisa mengatasi sendiri “. Separo dari teh hangat kini sudah direguk oleh Lidya, namun sarapan yang ada di depanya masih dibiarkan Lidya hingga bertambah dingin. Lidyapun tidak mau maminya mengusik privasi yang ada di hatinya.  Apalagi bila maminya tahu bahwa yang mampu menghangatkan hatinya yang membujur kaku, hanyalah Aldo, bukanya Albert yang kehadiran di sisinya sangat diharapkan oleh mami dan papi Lidya.
“Tapi, kamu kan sebentar lagi tugas di Bengkulu. Kalau kamu sakit, papa jelas tidak setuju !.”
“Aku baik baik saja, mam ?”
“Apa kamu kesepian ?. Setelah Aldo kamu putuskan !”
“Mam !,  Lidya bukan anak kecil lagi, mami hargai dong ! privasi Lidya !”
Suara batuk batuk kecil tapi agak dalam, terdengar hingga tiap sudut ruang makan. Suara batuk itu berasal dari Pramono,  papi Lidya yang  belum mampu meninggalkan kebiasaan merokoknya. Lelaki separo baya itu merasa keberatan bila Lidya harus tugas ke Bengkulu sebagai dokter puskesmas.  Pramono lebih memilih  Lidya segera membantu papinya dalam mengembangkan konglomerasi Pramono Group. Pramonopun berambisi menempatkan Lidya, putra sulungnya sebagai staf direksi untuk menekuni manajerial di perusahaan besar milik papinya. Tapi apa mau dikata  Lidya lebih menyukai menjadi dokter di daerah terpencil, dengan alasan sebuah kepedulian dengan sesama dan ambisi untuk mendalami ilmu kedokteran.

5
Dalam ambisinya yang mengental sekeras batu, Pramono akrab dengan Albert Harjo Wongso, direktur muda sekaligus putra mahkota Raja Baja Indonesia yang masih lajang. Meski Albert, seorang direktur yang usianya jauh di bawahnya, namun kemampuan dalam memanage perusahaan besarnya sungguh brillian. Terbukti dengan tangan diingin dan langkah strategis Albert mampu mengembangkan Wongso Group, yang bergerak di bidang jasa baja dari hilir hingga hulu. Dari ide ide cemerlang Albert inilah, Pramono memiliki ambisi untuk mengembangkan sayap Pramono Group, dan Lidya telah menjadi pilihan hatinya untuk menjadi central direksi di groupnya.
Sebersit ide cemerlang telah menghantui Pramono dari waktu ke waktu, untuk mempertemukan Albert dengan putri  sulungnya, guna melancarkan ambisinya sekaligus menyiapkan masa depan semua putra putranya. Namun hasrat itu telah sirna karena kehadiran Aldo, pria yang dianggapnya tidak punya visi hidup. Apalagi dengan rencana Lidya yang berambisi menjadi dokter puskesmas di Bengkulu.
“Lidya !, kamu sakit ?”. Dengan penuh kelembutan papanya menyapa Lidya di pagi hari yang sudah mulai dipenuhi sinar kuning mentari.
“Nggak pap !, Lidya hanya lagi tidak selera hari ini “
“Kamu sepertinya sedang memikirkan sesuatu?. Tuh lihat adik adikmu sarapan hari ini dengan penuh selera “. Papi Lidya berusaha menghibur Lidya, yang kini berada di tengah ke dua adiknya yang lahap menikmati sarapan paginya dengan nasi hangat dan ayam goreng yang dibumbui dengan saos tomat.
“Sudah ada kabar!, kapan kamu berangkat ke Bengkulu ?’
“Belum tahu pap, hari ini Lidya coba menanyakan surat tugasnya ke kementrian !”
“Kok belum selesai sih surat tugasnya ?”
“Nggak tahu!, pap. Lidya juga bingung! “          
“Lidya, mengapa mesti harus ke Bengkulu ?. Kalau kamu berambisi ingin jadi dokter yang sukses, mudah bagi papimu memasukan kamu ke Cipto sambil mengambil spesialis di UI. Pikirkan dulu, sebelum kamu ke Bengkulu “
“Iya, Lidya!, papi juga sependapat dengan mama. Kalau kamu tidak pengin membantu papa di perusahaan, ya OK lah !. Tapi mengapa harus ke Bengkulu ?”

6
“Piss mam, jangan ungkit ungkit lagi masalah itu . Nanti juga ujung ujungnya ke Albert, Lidya jadi pusing !”
“Lidya !, papa sama sekali tidak melarangmu ke Bengkulu, toh kalau naik pesawat dari Jakarta nggak ada 1 jam. Tapi apa kamu bisa tahan menghadapi tantangan di sana?. Kalau tugasmu di puskesmas daerah Jakarta papa tidak ambil pusing”
“Papa mama inginkan punya putra putra yang mandiri ?. Maka itu papa!,  Lidya hanya ingin belajar sebuah kemandirian dan makna hidup. Lidya masih ingat, sejak dari TK hingga sekarang Lidya berkubang dengan kecukupan apapun. Lidya ingin mandiri di tengah masyarakat desa yang terpencil, barangkali disanalah Lidya menemui makna hidup “
Tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut mama dan papanya, hanya peluk cium yang dia dapatkan dari kedua adik Lidya  yang minta pamit  berangkat sekolah. Lidyapun minta pamit pada mama dan papanya yang terkadang merasa kasihan sekaligus merasa kagum dengan visi hidup putra sulung mereka. Namun perasaan risau papanya masih saja bersemayam di dadanya. Mengapa perjodohan Albert dan putrinya belum menjadi kenyataan.
***
Mobil sedan warna merah metalik masih menderukan mesinya dan tak lama kemudian membisu. Lidya keluar dari mobilnya yang diparkir di halaman Genius Café tempat dirinya mangkal bersama sokib sokib lainya saat masih kuliah di Fakultas Kedokteran UI. Sudah agak lama Lidya tidak menjenguk café itu, namun beberapa bartendernya masih jelas mengenalinya.
“Non Lidya, sekarang bertambah cantik, tapi kok agak kurusan sedikit “
“Makasih Icca, bagaimana kabar kamu. Masih betah kerja di sini ?”
“Aku baik baik Mba, ya habis mau kerja di mana lagi, mba. Ah disini juga lumayan mba ? bisa untuk membeli susu anaku “
“Oh kamu sudah marriage ya !. Selamat ya !”
“Makasih mba, oh ya Aldo juga nasih sering ke sini mba ?’ Icca tabpa sengaja mengabarkan tentang Aldo.
“Ngapain dia ke sini ?”
“Aku nggak tahu, mba. Tapi maaf ya mba ?”
7
“Ya ada apa ?”
“Ah nanti mba Lidya tersinggung, benar nih ?”
“Sure Icca !, aku nggak bakalan tersinggung. Aku dan Aldo kan sekarang hanya sahabat dekat saja “
“Aldo sekarang pacaran dengan Trisnani, katanya sih dia penyanyi. Tapi belakangan ini aku lihat Aldo nggak urakan seperti dulu, dan sebentar lagi katanya mereka mau marriage. Mba belum tahu kabar ini ?”
“Belum, ya makasih infonya ya Icc, aku ikut bahagia jika Aldo marriage dengan eh siapa saja”
Sesaat eksotis café di siang itu menjadi memudar bagi Lidya, setelah sebuah mobil Pajero warna hitam parkir di halaman depan. Mobil itu tidak lain adalah milik Aldo, yang tidak lama kemudian Aldo sudah berada di depan meja bartender, untuk memesan kopi dan Virgin Cake kesukaanya. Aldo pu terperanjat kaget melihat Lidya di sudut meja cafe itu dengan segelas besar air jeruk dan beberapa pengal roti untuk makan siangnya.
“Lidya, kamu sudah lama, bagaimana kabarmu ?”
“Baik baik saja Aldo, ngapain kamu disini. Bagaimana kabarmu Aldo?”
‘Aku baik baik saja, aku ke sini hanya sekedar membunuh waktu saja. Karena aku belum kerja. Kamu juga ngapain di sini ?”
“Aku mau ke kesehatan, tapi tadi lagi meeting, Jadi aku nunggu di sini”
“Ngapain ke kesehatan, Lidya ?”
“Aku mau mengambil surat tugas sekalian SK capeg. Aku ditugaskan di puskesmas terpencil di Bengkulu. Oh ya mumpung kita ketemu, aku pamit ke Bengkulu, sekaligius aku minta doamu semoga aku berhasil “
“Lidya, kamu memang sahabat yang baik hati. Tentu aku terus berdoa untuk sahabatku yang di Bengkulu. Lidya sering kabar kabar dong sa aku kalau ada apa apa ? Sama aku juga akan selalu memberi kabar sama kamu, mama dan papa”
“Aldo, aku dengar katanya kamu mau marriage?”

8
‘Aku belum berani ngasih kabar sama kamu, nanti deh kalau semuanya sudah OK. Kamu tidak ganti nomor hp kan ?”
Lidya hanya menggelengkan kepalanya, lantaran tidak mampu member jawaban degan lidah yang kelu, tenggorokan yang sesak dan seribu perasaan yang tidak menentu. Pria yang ada di depaya kini sama sekali tidak memberikan harapan baru lagi. Pria yang ditawan dalam tirai sutranya kini lepas bagaikan burung dmerpati yang lepas dari sangkarnya. Lidya tambah kokoh berniat pergi ke Bengkulu***

Episoda Cinta di Hutan Jati


Sepanjang perjalananya, Hans  hanya melihat pohon pohon jati yang berjejer di kanan kiri jalan desa, yang masih beralas tanah liat dan meliuk ke kanan kiri dan naik turun, seperti Barongsai yang menggeliatkan tubuhnya di hentak tambur Imlek. Kabut dingin musim hujan di akhir Desember tahun ini terus saja menenggelamkan angan Hans yang masih terbujur kaku, hatinya kini telah diterkam ganasnya kehidupan dan ketersudutan dirinya pada bibir gincu yang semula mengalirkan gairah dalam liku tubuhnya.
Hans melangkah hati hati mendekati rumah setengah papan di perkampungan di seputar  hutan jati. Rumah itu masih tertutup rapat, meski hari sudah mulai terang. Semburat sinar matahari sebagian telah menerangi beranda rumah papan itu. Siul aneka burung hutan terus memagutkan simphony melangkonis pada tepi hati Hans. Kembali sebuah harapan muncul di tengah kelembutan pagi ini, agar Vera menghabiskan liburan tahun baru di kota asalnya yang sunyi dan masih hijau alami seperti ini. Hans tidak mampu menyembunyikan desir bilik jantungnya bahwa di telah terkesima dengan hijuanya hutan jati di seputar rumah ortunya Vera. Apalagi bila birama hidupnya itu disertai hadirnya Vera.
Pintu kayu jati di depanya kini terbuka perlahan ditandai dengan suara berderit karena gesekan antara kayu jati yang sudah tua namun tetap kokoh.  Hans melangkah mundur dan segera merekahkan sebuah senyum pada nenek tua berambut putih yang juga ramah menyambut senyum Hans. Denga senyum tetap berderai di bibirnya yang sudah keriput, nenek itu mencoba menelisik pria di depanya yang asing. Nenek tua itu menjadi terperangah setelah tahu siapa dirinya dan maksud kedatanganya.
“Vera baru saja datang tadi habis subuh, sekarang dia sedang istirahat. Silakan Mas Hans duduk dulu, biar saya bangunkan Vera “
“Ah, biarkan saja dia istirahat Nek!, nggak usah dibangunin. ”.
Vera di bilik papan yang berada di tengah bangunan  kuno itu rupanya belum mampu menyelinap dalam mimpi indahnya, meski rasa penat menggigit sekujur tubuhnya karena seharian penuh dia menggayutkan pada kereta api fajar Jakarta Purwokerto. Rasa tidak percaya kini mulai menusuk denyut jantungnya, mengapa Hans bisa berada di rumahnya, apa maksudnya dan sejuta pertanyaan pada dirinya kini memenuhi benaknya. Apa yang dia cari di Desa Margasari yang terpencil ini. Bukankah Jakarta mampu menjanjikan segalanya untuk Hans yang sukses sebagai manager di group  perusahaan milik papanya sendiri. Mengapa di akhir Bulan Desember dia ada  mengapa pula Hans rela menepiskan kesempatan yang mahal di akhir tahun ini.
Sementara hujan Bulan Desember mulai bangkit lagi membasahi bumi hutan jati, Vera bergegas menuju ke beranda beralas tanah di depan rumahnya dengan penasaran masih
menggayuti perasaannya. Sorot mata Vera masih menyimpan rasa kagum pada pria lajang  yang usianya beberapa tahun lebih tua darinya, tapi mendung hitam yang pernah kokoh di hatinya belum hilang betul saat Hans menghempaskan dia begitu saja.  Namun sorot mata kebencian sengaja Vera sembunyikan, tertutup rasa iba pada diri Hans yang begitu jauh meluncur ke desanya dari Jakarta.
“Mas Hans!, mengapa repot repot datang ke sini mas. Margasari hanya desa kecil, Mas!”
“Aku tak mampu mengatakan, Vera ?”
“Jauh jauh dari Jakarta mas hanya mau diam seribu bahasa ?”
“Entahlah, Vera !”
“Apa karena tidak kerasan di sini Mas ?. Tidak semestinya Mas Hans di akhir tahun berada di desa kecil ini ?” . Serasa ada jutaan jarum kecil di jantung Vera yang menggelitikan penasaran, mengapa pria penuh pesona itu datang ke desanya. Padahal  eksotis Kota Jakarta mampu memingit Hans dengan sejuta pesona bunga bunga ranum. Pesona itulah yang menyihir Handoko Susetyo untuk mendapatkan pesona itu meski dia harus menghamburkan kekayaanya beberapa tahun silam. Sehingga Vera harus menepi tenggelam dalam kesepian, meski glamour kota itu telah disodorkan oleh lampu-lampu jalan warna warni layaknya pelangi yang tersesat di hutan beton.
“Mengapa giliran kamu yang tersudut dalam diam, Vera ?”
“Aku lagi terjebak dalam symphoni hutan jati di akhir tahun ini. Hutan Jati ini adalah tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. Meski sejak lulus SMA aku menggayutkan hidup sebagai buruh pabrik. Namun aku tekuni sambil aku kuliah akunting dan sekarang aku bisa menjadi manager akunting”. Vera mengusap air mata yang mulai membasahi pipinya.Betapa berharganya sepenggal hidup yang dia arungi. Oleh kaena itu, tidak ada seorang priapun di dunia ini bisa melecehkan dirinya begitu saja.
Bagi Vera  tujuh  tahun waktu yang telah dia lalui, adalah sesuatu cukup berat menerpanya. Betapa tidak, dengan  hanya bermodal percaya diri dan tangguh sebagai buruh konveksi di Jakarta,  dia mampu menempatkan dirinya sebagai manager akunting yang handal. Keberhasilan seperti itu, tidak mungkin direngkuh oleh wanita yang kolokan dan mudah tergiur pada hipnotis jaman. Pengalaman pahit yang dia dapatkan dari perlakuan Handoko Susetyo menambah dewasa dan
tangguh.   Sebuah hikmahpun telah terselipkan dihatinya. Bukan berarti dia dengan lebay akan memohon pada Hans untuk bersanding di sampingnya kembali.
***
Matahari bertambah tinggi, tanah yang  berwarna kehitaman diguyur gerimis sejak pagi kini mulai mengering. Seteguk demi seteguk kopi kental telah membasahi kerongkongan Hans yang sama seperti Vera, terjebak  dengan nafas hutan jati. Namun sihir hutan jati bagi Hans hanya menumbuhkan penyesalan pada dirinya. Sehingga diapun mengharap kehadiran seribu malaikat untuk menyihir hati Vera agar mau membuka hatinya, menepiskan awan hitam yang kemudian mampu membirukan cerah langit.
“Maafkan aku, Vera !, aku menyesal ?”
“Mas Hans !, aku rak pernah sakit hati dengan masa lalu !, Lama aku telah memaafkan Mas Hans !. Mas Hans kan tahu keadaan keluargaku sekarang?. Apa apa yang aku peroleh di Jakarta adalah hasil perjuangan wanita desa yang tangguh,  bukan wanita yang mengaku modern tapi dia rapuh”.
“Terimakasih Vera !, masa lalu itu begitu menghantui aku, Vera !”
“Mengapa Mas !, Mas Hans kan sudah berhasil mendapatkan segala sesuatu yang mas inginkan ?”
“Vera, sebenarnya bukan hanya maaf yang aku harapkan di tengah hutan jati ini “
Vera menjadi tidak tahu bagaimana di harus menjaga hatinya yang liar. Meski dia adalah wanita tangguh dan telah kenyang makan garam penderitaan, tapi Vera juga insan  yang masih  menyisakan sifat feminis. Mengapa sikap Hans yang lebay  hadir di depanya kini, saat dia telah  berhasil merawat luka hatinya dan mulai menerima kehadiran pria yang mengerti segalanya tentang Vera.
“Sudah sewajarnya kan Mas !, bila kita saling memaafkan sebagai seorang sahabat ?”
“Betul Vera !, akupun demikian. Terutama papi yang dulu sempat menghancurkan hidup kamu “
“Oh ya, sampaikan salam saya pada papamu saat mas kembali ke Jakarta !”
“Dia sudah meninggal tiga bulan yang lalu”
“Aku turut bersedih atas kematian papamu, aku juga turut kehilangan papamu, dia ayah yang tegar. Sebenarnya kita semua membutuhkan figur seorang ayah seperti papamu. Karena papamu tidak pernah menganggap enteng hidup ini. Memang
adalah suatu kenyataan yang harus dijumpai tiap manusia, bahwa hidup ini tidak segampang yang kita duga”
“Kamu masih dendam dengan papa ?”         
“Beberapa bulan setelah Mas Hans meninggalkanku, aku sangat goncang. Kata kata, sikap dan penilaian papa terhadapku sungguh menyakitkan. Namun lembaran itu berhasil aku tepiskan dengan menyibukan diriku berkuliah di jurusan akutansi. Sementara perusahaan menuntutku untuk terus mencermati audit yang ketat. Sehingga aku terhanyut dalam hidup yang memang harus kuhadapi dengan kerja keras. Di situlah memang seharusnya Vera berdiri , mas !”
“Aku sungguh menyesal Vera, seharusnya aku tidak menuruti papa untuk meninggalkan kamu, Vera !”
“Mas Hans tidak  perlu menyesal, karena itulah sebuah kehidupan. Beruntung aku dilahirkan di tengah hutan jati yang terpencil, yang tidak mampu menjanjikan setiap manusia yang hidup di tengah tengahnya. Aku masih ingat betul, Mas !. Betapa masa kecilku selalu dihadapkan pada perjuangan  dari mulai mengangsu air hingga kebutuhan lainnya”
“Apa hubunganya dengan ini semua, Vera ?”
“Aku wanita yang berasal dari desa yang tanahnya tidak subur. Sehingga keluargaku miskin dan tak mampu membiayai sekolah hingga perguruan tinggi. Karena itulah aku harus berhati besar dalam menghadapi segala kehidupan. Dalam keadaan tersudutpun aku harus mampu menggeliat untuk bangun, karena aku tidak punya apa apa Mas !”
“Tapi, bukan berarti, aku telah kehilangan kesempatan ke dua, Vera !”
“Jenjang Mas Hans masih sangat panjang, Mas Hans masih punya kesempatan untuk mencari wanita lainya yang layak”. Sebuah senyuman tulus merekah dari bibr Vera, wajahnya kini memerah. Handoko Susetyo sebenarnya telah akrab dengan senyuman wanita ayu dan flamboyant yag duduk di depanya. Meski Vera adalah wanita desa yang lahir dan dibesarkan di tengah hutan jati. Namun sifat feminis yang ada padanya sama sekali tidak berbeda dengan wanita gaul lainya yang pernah dia temui.
Meski segala sesuatu tentang Vera pernah dia lempar jauh jauh di tebing egonya yang kokoh. Namun dia sendiri tidak tahu, mengapa kini dia harus meraih senyuman Vera yang pernah dia  lentingkan jauh jauh. Gelimang harta dia dan keluarganya telah membutakan mata hatinya, apalagi papanya yang menginginkan wanita di samping Handoko Susetyo adalah tipe wanita yang sukses segalanya.
Tetapi manusiapun tahu bahwa apa yang digapai manusia belum tentu disodorkan oleh Yang Kuasa. Sebuah kenyatan telah menorehkan sesuatu yang lain dari ambisi Kemal Iskandar ayah Handoko Susetyo, yaitu sebuah kanker ganas stadium IV yang memenuhi jantungnya dan pebisnis yang tangguh inipun akhirnya menyerah melawan kankernya. Meski dia selalu berhasil dalam memenangkan persaingan dengan pebisnis lainnya. Bukan hanya itu saja Kemal Iskandar juga dengan keras menginginkan agar putra-putra mengalami kegagalan dalam menghadapi hidup mereka, termasuk hasrat menjadikan  Handoko Susetyo menjadi pebisnis ulung. Maka kehadiran Vera di sisi putranya membuat laki laki paro baya itu menjadi gerah.
“Hans, kamu mampu mendapatkan wanita tipe apa saja !. Tetapi kamu malah memilih wanita udik, bisa apa dia dan apa kerjanya ?”
“Dia kerja di perusahaan konveksi, pap !”
“Apa jabatanya ?”
“Dia staf akunting, kepercayaan Om Budi”
“Apa dia mampu mendampingimu dalam bisnis yag sedang papa rintis?”
“Dia  kan akunting, pap ?
“Hanya itu !, apa dia mampu menyuntikmu dana bila dibutuhkan demi konglomerasi yang akan papa bangun ?”
“Tapi pap !, Hans kan butuh pendamping hidup,  bukan pendamping bisnis ?”
“Hans kamu tahu apa !, dalam sebuah group bisnis semua anggota keluarga harus turut aktif di dalamnya. Sudahlah!,  kamu cari calon lain saja, Papa mama tidak mau kamu berhubungan dengan  dia lagi”. Hans terpaku dalam perasaan yang tidak menentu. Sekujur tubuhnya terasa dipagut aliran listrik dari petir di siang hari bolong. Kini dia hanya mampu merebahkan punggung di sofa  warna hijau lumut dan bercorak Timur tengah. Selama ini dia masih menggayutkan hidupnya pada papa dan mamanya, meski dia telah lulus  Administration Bisnis of Harvard University tiga tahun silam, maka apa yang dikehendaki papanya sama sekali dia tak mampu menepisnya. Termasuk mengenyahkan Vera dari sisinya.
***
Jarum waktu terus menerbangkan asa manusia manusia yang memburunya hingga terbang ke langit. Terkadang pula jarum waktu menenggelamkan manusia dalam telaga hitam yang paling dalam. Hasrat Kemal  Iskandar untuk mencakar dan  merobek langit taka ada yang mampu menghalanginya. Milyar demi milyar rupiah keuntungan perusahaanya terus dia tunai,  sementara dia tidak pernah menghiraukan ketahanan fisiknya yang terus menerun akibat hidupnya terbelenggu dengan uang dan uang.
Nafasnya kini tersengal, wajahnya pucat pasi sekujur tubuhnya terasa kehilangan tulang belulangnya, akhirnya dia memutuskan untuk beristirahat dan berobat di Singapor Hospital. Diagnosa demi diagnose diberikan oleh dokter dokter ahli dari Eropa, tapi tanpa menuai hasil yang melegakan. Kemal Iskandar kini terpuruk oleh sesuatu yang tidak mampu dia lawan, maka di akhir hayatnya dia memilih untuk beristirahat saja di tanah air sembari menguntai kenangan hitam-putih hidupnya yang dia lampaui.
“Hans !, kemarilah mendekatlah ke sini !”.Entah kekuatan apa yang ada di dalam diri papanya. Semenjak dua minggu silam, papanya sama sekali tidak mau bicara. Namun kali ini dengan lembut dia mengajukan permintaan secara jelas pada Hans.
“Hans, kau tidak mengajak Vera ke sini ?”
“Tidak papa !”
“Temuilah dia !, ajaklah dia kemari !. Aku ingin memandangnya dan mengajukan maaf pada Vera ?’
“Baik pap !, secepatnya akan aku ajak Vera !”
“Tidak usah terburu-buru Hans. Jika papa kembali menghadap Illahi, sampaikan salam  papamu ya Hans. Hans !”
 “Ya, pap !, akan aku pintakan maaf papa pada Vera !”
“Hans, maukah kamu menerima permintaan papa ?”
“Tentu, pap ?”
“Jadikanlah dia pendamping hidupmu, Hans. Papa yang salah, papa yang memandang sebelah mata padanya. Hans turuti pesan papa ya !”
***
 Jarum waktu terus menerbangkan asa manusia manusia yang memburunya hingga terbang ke langit. Terkadang pula jarum waktu menenggelamkan manusia dalam telaga hitam yang paling dalam. Hasrat Kemal  Iskandar untuk mencakar dan  merobek langit taka ada yang mampu menghalanginya. Milyar demi milyar rupiah keuntungan perusahaanya terus dia tunai,  sementara dia tidak pernah menghiraukan ketahanan fisiknya yang terus menerun akibat hidupnya terbelenggdengan uang dan uang. Nafasnya kini tersengal, wajahnya pucat pasi sekujur tubuhnya terasa kehilangan tulang belulangnya, akhirnya dia memutuskan untuk beristirahat dan berobat di Singapor Hospital. Diagnosa demi diagnose diberikan oleh dokter dokter ahli dari Eropa, tapi tanpa menuai hasil yang melegakan. Kemal Iskandar kini terpuruk oleh sesuatu yang tidak mampu dia lawan, maka di akhir hayatnya dia memilih untuk beristirahat saja di tanah air sembari menguntai kenangan hitam-putih hidupnya yang dia lampaui. “Hans !, kemarilah mendekatlah ke sini !”.Entah kekuatan apa yang ada di dalam diri papanya. Semenjak dua minggu silam, papanya sama sekali tidak mau bicara. Namun kali ini dengan lembut dia mengajukan permintaan secara jelas pada Hans.
“Hans, kau tidak mengajak Vera ke sini ?”
“Tidak papa !”
“Temuilah dia !, ajaklah dia kemari !. Aku ingin memandangnya dan mengajukan maaf pada Vera ?’
“Baik pap !, secepatnya akan aku ajak Vera !”
“Tidak usah terburu-buru Hans. Jika papa kembali menghadap Illahi, sampaikan salam  papamu ya Hans. Hans !”
 “Ya, pap !, akan aku pintakan maaf papa pada Vera !”
“Hans, maukah kamu menerima permintaan papa ?”
“Tentu, pap ?”
“Jadikanlah dia pendamping hidupmu, Hans. Papa yang salah, papa yang memandang sebelah mata padanya. Hans turuti pesan papa ya !”
***
Angin hutan jati mulai mengajukan protes pada manusia manusia yang bertindak tanpa peduli pada perasaan orang lain. Sementara sinar matahari mulai menerkam bumi Margasari. Atap seng rumah Vera bergerak naik turun dimanja angin Bulan Desember. Hans masih terpaku pada kenangan masa lalu, saat dia bersama Vera sekaligus saat dia menepis cinta Vera sepihak.
“Itulah Ver, aku kesini setelah tiga bulan aku mencari alamatmu”
“Maaf Mas Hans, aku tidak bisa !”
“Vera !, bila seseorang telah memiliki kamu, akupun akan menyurutkan langkah. Tapi bila engkau masih Vera sepeti yang dulu, berilah aku kesempatan yang kedua. Meski aku harus menunggu ! “Jadi Mas Hans menginginkan aku dan  lari dari aku demi papa dan mamamu ?”
“Vera !, aku tidak seperti itu !, memang aku tidak mampu mengucapkan apa yang ada di hati ini !, Cukuplah waktu di depan kita yang akan membuktikanya !. Yang penting bagi aku berilah aku kesempatan yang kedua ini Vera ?”
“Maaf Mas, berat rasa hati ini untuk menerima Mas Hans kembali !”. “Kamu memang harus bersikap seperti ini. Karena yang aku sodorkan pada kamu, adalah bukan sesuatu yang sepele, seperti juga waktu lalu. Namun karena aku belum siap segalanya, inilah Hans Vera !”
Selembut angin hutan jati dan sedamai rumah papan kuno itu, demikianlah perasaan Hans kali ini. Verapun masih membiarkan benak hatinya diliputi berkecamuknya antara masa lalunya dan sikap feminisnya yang iba terhadap Hans. Sementara suara terompet tahun baru mulai memenuhi hutan jati itu***

Debu dan Jaman


Jalan peninggalan Gubernur Jenderal  Herman Willem  Daendels yang melintang di pantai Utara Pulau Jawa dipenuhi debu debu liar dan tak berdaya. Jalan yang peeuh dengan kanvas lukisan sejarah dari jaman ke jaman itu ikut diam membisu meski sinar matahari  siang itu menerkamnya   tanpa ampun. Sama seperti beberapa puluh tahun silam ketika Anjing NICA  menggerus jalan itu untuk terus melaju, menghentakan roda roda besi untuk menghancurkan rumah rumah  beratap rumbai ilalang milik inlander inlander bermata cekung, bertubuh kurus kering dan bersorot mata menantang. Apalagi kedatangan gemuruh roda besi dan pesawat tempur cocor merah justru terjadi setelah Soekarno Hatta meneriakan sebuah kemerdekaan anak bangsa yang hidup dengan separo nafas.

Jalan yang terlihat coklat kehitaman itu terus saja menampakan raut wajahnya yang kelam, meski anjing NICA telah menyelinap menembus Samudra Hindia untuk pulang ke negeri Bunga Tulip itu. Jalan yang melintang di setiap kota di pantai utara itu, sepertinya masih mengaduh kesakitan, entah karena tangan tangan kotor saudagar VOC atau karena gigi taring tajam anak negeri yang menghisap darah darah dari bilik jantung orang orang kecil di negeri ini.Atau karena jalan jalan itu sudah tidak mendengar lagi lolongan Water Mantel 12,7 atau senapan otomatis Thomson milik pejuang yang memberangus anjing penjajah, atau memberangus kebodohan serta dinginya sorot mata mata anak negeri terhadap kepincangan, ketidakpedulian, ketidakadilan dan tabiat kejahatan kerah putih.

Debu debu sepanjang Jalan Daendles di saat ini berceria, renyah tersenyum dan berterbangan ringan dan liar berhamburan dihempas angin kemarau, ditelikung panasnya sinar mentari, tapi tetap tunduk pada kodrat gravitasi yang mencengkeramnya. Meskipun roda roda garang dari beribu tronton, bis dan kendaraan berat lainnya menghempaskanya ke tiap arah. Sebagian lagi hinggap di celana dan baju waita wanita super elit yang hilir mudik menghamburkan uang di mall mall yang menjamur. Sehingga kulit mereka yang sawo matang terlihat bertambah kusam.

Berbeda dengan jaman Herman Willem  Daendels kala masih bercokol di negeri ini. Noni Noni Belanda dengan andong yang ditarik sepasang kuda hilir mudik untuk menghamburkan gulden di rumah rumah makan eksotis dan berarsitektur kincir angin sekedar mengenyangkan perut mereka dengan santapan Huzaren Sla,  Holland Kroket Bitter Ballen atau Stamppot Met Wosrt. Beberapa gelas Netherland Beverage telah mereka reguk dengan tangan tangan usil mereka mengibaskan kipas artistic berbalut kain sutera.Sama sekali mereka tidak memperdulikan perempuan inlander yang menawarkan panganan dari ketan, ubi, singkong rebus, getuk dan panganan inlander lainnya. Meski roda delman yang ditumpanginya telah melindas debu debu jalan milik kaum inlander yang tertunduk lesu, lunglai lengan lenganya dan kosong sorot matanya.
***
2
Tapi itulah jaman, haru biru, prahara yang dilahirkan selalu saja  menyudutkan debu  jalan  Daendels untuk menjadi saksi, entah debu yang merona merah darah lantaran percikan darah dari korban jaman yang saling diberingasi manusia manusia yang menuntut kebenaran, mengencangkan egonya serta mengalahkan lainnya. Termasuk juga tetesan darah pejuang yang tersungkur ditebas peluru anjing NICA. Mereka terus menerbangkan debu Perang Diponegoro, Perang Kemerdekaan I dan II. Bahkan beruang merah yang berniat mencengkeram lengan lengan rapuh dari anak bangsa yang baru saja bangun dari tidurnya setelah 350 tahun bermimpi, ikut pula memerahkan debu debu jaman di negeri tempat mandi bidadari.

Namun kawanan debu kini lebih merapatkan satu sama lain, bukan lantaran “global warming” atau “solar flare “ bahkan bukan pula karena “Supermoon”. Meski cuaca ekstrim telah menambah mereka untuk lebih ringan menempel ke setiap titik tujuan dan menyampaikan pengaduan tentang nasib mereka dan sebuah keluh kesah  tentang birama kehidupan ini. Kawanan debu menjadi bingung tujuh keliling, lantaran mereka terhempas oleh manusia manusia yang berkulit sama, yaitu sawo matang, berhidung pesek serta berbicara denga bahasa sama.

Debu debu jalan Daendels itu sempat memasang telinga mereka dan menyelipkan tubuhnya pada roda becak, kaca gerobag mi ayam, dan tempat terselip lainya untuk mengetahui teriakan nyaring manusia manusia yang terhipnotis untuk berseteru dengan  lainya yang  terus saja menghamburkan enerji dan amarah kepada kawanan manusia lain yang serupa dan diikrarkan menjadi musuh mereka. Musuh yang saling tidak mengetahui satu sama lainnya, mengapa mereka lupa akan makna persahabatan.

“Bakar rumah mereka, bakar apa saja milik mereka “ teriak salah satu manusia yang bermata garang, sambil mengepalkan tinjunya serta berdiri di posisi paling depan. Sementara manusia manusia lainya yang berdiri di belakangnya terus saja melempar apa yang dimiliki ke arah manusia manusia lainya yang bergerombol di sebrang jalan.

“Ayo maju terus..ayo sergap mereka dan usir mereka” sebuah teriakan lantang terdengar.

“Majulah kau manusia laknat, kami tidak takut !” jawab salah satu manusia lain di sebrang jalan, yang bersembunyi di balik barikade dari batang pohon Akasia yang dirobohkan, bangkai mobil yang terbakar. Sementara di atas barikade beterbangan bom molotov dari dua arah. Semua batu dari bebagai ukuran telah mereka usung untuk meliampiaskan kebencian dan kekecewaan pada manusia lainnya yang dianggap jahanam dan durjana, entah dari sisi yang mana, mereka sendiri tidak tahu. Hitam kelam warna
3
wajah mereka semua hampir sama dengan debu debu jalan  Daendels  yang tak pernah diam dan selalu larut dalam prahara yang ditebar manusia, dari jaman Majapahit hingga kini.

Debu debu jalan Daendels  serentak bersama melemparkan pandang ke arah  beberapa manusia yang berseragam sama, yaitu bekemeja coklat muda dan bercelana coklat tua dengan mengibarkan bendera putih, di belakang mereka berjalan perlahan mobil yang memuntahkan suara sirene memekakan telinga. Terdengar suara lantang dari megaphone yang dijinjing manusia yang berdiri di tengah.

“Hentikan, hentikan semuanya saudaraku “

Satu dua bom molotov berjatuhan tidak jauh dari kerumunan orang berbaju coklat itu.
Namun beberapa saat kemudian suasana mencekam menjadi meluruh.

“Kami minta saudara jangan menyerang kami, kami hanya mengajak saudara semua untuk berunding. Majulah ke depanku siapa yang menjadi pemimpin kalian”

Untuk beberapa saat hujan batu dan benda lainya berhenti, hanya teriakan dan pekikan memecah atmosfir siang hari itu. Debu debupun kini mengendap di sembarang tempat dengan tetap memasang telinga mereka. Debu debu jalanan  kini mulai berdiri tegak lantaran telah kembali lagi nyali mereka,  yang sekian lama terpagut prahara yang ditebar dua kelompok manusia.

“Lihat, peperangan ini telah selesai” pekik salah satu debu.

“Belum tentu, mereka tak segampang itu “ jawab debu lainnya.

“He,..darimana kamu tahu ?”

“Aku lihat wajah mereka masih merah merona”  jawab debu yang tadi.

“Ah, sudahlah apa arti debu seperki kita yang terhempas kesana kemari tak punya daya” tutur debu yang berada di tumpukan paling bawah.

Tak lama kemudian semua debu debu jalanan yang mengusung seribu kebimbangan itu menjadi terbungkam seribu kata, tatkala sekelompok manusia dari arah sebelah kiri jalan  mendatangi manusia manusia berseragam coklat, seraya mengibaskan bendera putih. Namun debu debu itupun menjadi tercengang  tatkala pula menyaksikan sekumpulan kepala manusia muncul dari balik barikade yang digelar di sebelah kanan jalan. Mereka kini malah berdiri dengan sorot mata yang masih memendam rasa amarah dan curiga kepada manusia manusia yang muncul dari sebrang jalan mereka. Suasana kembali mencekam dan masih menghantui jalan kota yang meradang bara permusuhan,  terutama bagi  debu debu yang memusari jalan itu.

Detik dan detik terus berlari menembus atmosfer kota yang panas itu, sepanas dua kelompok manusia yang kini berhadapan untuk saling mengumpat, memaki atau bahkan saling menyalahkan tanpa adanya hasrat untuk bersama mencari titik temu, meski matahari telah mulai condong ke barat. Biru langit mulai sedikit gelap, lampu lampu kota telah mulai menyala di sepanjang jalan yang lengang bagai jalan kota mati. Namun kedua kelompok itu masih terus menggulirkan nafsu amarah, meski semua benda keras yang tergenggam di kedua tangan mereka telah mereka serahkan kepada sang juru damai antara mereka. Namun entahlah, hanya matahari fajar esok hari saja yang akan menjadi saksi esok pagi, apa mereka masih menyabung nyawa dengan saudaranya sendiri ataukah mereka akan memulai  kehidpan ini dengan damai, sedamai debu debu jalanan yang sudah tak bertenaga lagi, lunglai dan nestapa di sepanjang jalan mati itu***