Di bawah rengkuhan tubuh eksotis
Merapi terbentanglah lembah, jurang, hijau tanaman sayur dari sawah dan ladang,
yang menebar sepanjang liuk tubuhnya serta gemercik air kali sepanjang tahun
dari tubuh raksasa biru itu, yang kadang diam ternyenyak dalam tidurnya dan
kadang pula meradangkan amarahnya. Namun di bawah misteri seribu bahasa itu,
tetap saja beberapa insan mencoba menoreh peluh dan asa, untuk menitipkan
sebilah hidupnya. Bila telah terlelap dalam tidurnya, angin sore yang menyisir
punggungnya mampu membawa kedamaian hidup dan kesejukan bagi daun daun sayuran
yang telah menggulung lantaran terkaman sinar matahari satu hari penuh.
Namun bila wajah Merapi telah
mengisyaratkan suatu duka nestapa, mereka yang bergayut di punggunya ikut serta
larut jua dalam tetesan air mata, lantaran meratapi membaranya rona amarah dari
wajah Merapi yang tertutup dengan debu dan asap asap yang menjulurkan tangan
tangan raksasa penebar maut, yang sama sekali telah buta matanya untuk memburu
siapa saja yang diterpanya. Tangan tangan raksasa yang meradangkan pilu itu,
telah mampu menghanyutkan suatu kehidupan yang telah direnda oleh insan yang
yang selama ini telah mengakrabinya. Namu itulah ego Sang Merapi yang telah
menyelinap dengan kuat di kalbu mereka yang berladang di punggungnya, tanpa
rasa benci sedikitpun, tanpa mencibirkan bibir mereka dan tanpa sorot mata
dendam kesumat pada raksasa biru yang tiada pernah meninggalkan kecantikanya
itu.
Demikian juga Hananto, petani
desa yang mencoba menebarkan benih sayuran di petak ladangnya agar tetap mampu
menggegam separo nafasnya. Agar tetap mampu juga menggapai cita citanya
setinggi puncak Merapi yang tiap pagi dan sore selalu dipandangnya, sambil
sesekali mengusap peluhnya yang tiada henti membasahi wajahnya, sederas sebuah
cita citanya yang terus saja memenuhi nadi darahnya dan berputar memenuhi seluruh
sendi tubuhnya, hingga mampu menyimpan cita citanya itu di sudut jantungnya,
yang terus berdegup bersama dengan suka dan duka sebuah kehidupan petani ladang.
Roda waktu bergulir begitu saja
dan wajah Merapipun tetap membugkam dalam candanya dengan awan awan putih yang
berdatangan dari empat penjuru angin. Semai sayuran yang ditebar Hananto telah
mulai membuat hidupnya kembali bergairah, panen di musim ini sudah diambang
anganya. Sebagian hasil panenya nanti, akan diwujudkan dengan cincin yang akan
dilingkarkan di jari manis Maya, gadis desa yang dikenalnya sejak mereka masih
di kelas awal SMA di Cepogo beberapa tahu silam. Sebentar ia biarkan cangkul
yang digenggam sejak pagi melintang di
tengah pematang ladangnya, persis di samping dia duduk sambil mengatur
nafasnya.
Apakah cincin penaut dua hati
yang sedang membarakan gairah asmara
mampu benar benar melingkar di jari Maya. Sedangkan kehidupan Hananto dengan Maya adalah
dua sisi yang berpisah sejauh jurang jurang lereng Merapi. Hananto harus
separoh nafas menggapai tentang sebuah kehidupan. Apa yang dia cita citakan
masih bertaut di awan awan kelabu yang sering memenuhi isi langitnya. Sedangkan
Maya adalah bidadari kahyangan yang dipingit keluarga RM Pranoto dengan
gemerlap lampu warna warni. Hananto
merasa tidak ada kesempatan barang sekuku hitampun untuk bisa memiliki hati
perawan desa, yang bertahi lalat di dagunya, berparas lembut dan melangkonis
serta santun budi bahasanya. Entah mengapa manusia di muka bumi ini harus
mengalami arti dari memiliki dan tidak memiliki, bisik hati seperti itu terus
saja bersemayam dalam sudut bilik jantungnya.
Pagi merangkak dengan malas,
sementara siang baru saja menuggunya dengan angkuh. Giliran sorepun kini
menerjang langit lereng Merapi. Kini semua penghuni lereng Merapi bersiap untuk
beranjak ke peraduan di tengah musih hujan yang tak merasakan penat. Hananto
masih setia dalam lamunan yang mengambang di beranda rumahnya. Namun lamunan
itu segera surut setelah lantai tanah berandanya tiba tiba saja bergoyang
perlahan dan bertambah kuat. Diapun segera berlari kea rah dalam rumah untuk
segera membangunkan ke dua adiknya dan bapak serta emaknya untuk segera keluar.
Batuk batuk dari puncak Merapi
mulai terdengar membahana ke setiap penjuru Desa Gedangan Cepogo, semua
penghuni desa terpencil itupun sontak berhamburan memenuhi jalan jalan desa
untuk menyaksikan kemarahan sahabat karibnya yang sudah berpuluh tahun mereka
mengenal kemisterianya. Namun wajah mereka tetap menyodorkan perasaan tenang
dan pasrah dengan selalu menganggapnya Merapi hanya menyampaikan sapanya dalam
salam candanya. Namun hari itu Merapi telah menujukan kemarahan yang
sesungguhnya dengan mengepulkan awan panas yang membumbung tinggi, mirip raksasa ganas yang berniat mencekik
leher siapa saja yang ditemuinya.
Hananto dan seluruh keluarganya
kini bergegas menuju ke tempat yang aman dari terkaman raksasa liar itu, bersama
sama ribuan warga lainya yang menuju truk pengungsian yang disiapkan oleh
aparat. Namun tiba saja sebuah teriakan kecil memanggilnya dari arah ujung
jalan desa.
“Anto, Pak Noto mencari Maya,
sejak pagi tadi Maya menghilang
entah kemana “
“Kamu tahu dari siapa, Yan ?”
“Aku sendiri ikut mencarinya
kemana mana, tapi tetap saja Maya menghilang “
“Terus Pak Pranoto sekarang di
mana ?”
“Dia dipaksa oleh SAR untuk
segera meninggalkan desa ini dan mengungsi bersama kita”
“Yan, beriatahu emak dan bapak,
aku akan menyusul nanti. Aku akan mencari Maya dulu. Sampai ketemu di pendopo
kabupaten Magelang “
“Anto, kamu gila !. Semua warga
sudah mengungsi, sebentar lagi wedus gembel akan menyerang desa ini, Selamatkan
diri kamu, masalah Maya serahkan saja tim SAR “
“Ah, masalah Maya biar aku yang
mengurus, doalan aku ya Yan dan selamat ketemu di pendopo kabupaten ! “. Belum
selesai Anto bicara tubuhnya kini sudah bergerak menyusuri jalan desa Gedangan,
untuk menyusuri di mana Maya berada. Hananto tahu persis bahwa Maya sering bertemu
dia di sekitar ladang milik bapaknya, disitu pula Maya mencoba untuk menanam
anggrek anggek liar Merapi yang ditanam di pot dan diletakan begitu saja di
tengah ladang. Itulah salah satu hobby Maya yang tidak pernah terlewatkan.
Kadang pula dia mengajak Hananto untuk mencari anggrek anggrek liar di sekitar
hutan semak Merapi, sambil menautkan bilah rindunya pada cowok ganteng pujaan
hatinya itu.
Peluh sudah membasahi sekujur
tubuh Hananto, sementara hujan debu mulai menghalangi pandangan Hananto yang
berlari sekuat tenaga menyusuri jalan setapak menuju ladang Pak Noto. Gelegar
puncak Merapi sekali sekali terdengar di te;inganya. Namun Hananto tak
menyurutkan langkah sebelum dia menemukan dimana Maya berada. Rasa khawatir
kini memenuhi seluruh hatinya, apalagi jalan jalan setapak mulai berlubang dan
retak akibat gempa yang terus saja menggoyang lereng Merapi. Bau belerang sudah
mulai menyengat hidungnya, dimanakah kau Maya, ayolah Maya tunjukan dimana kamu
berada. Oh Tuhan lindungi Maya, semoga dengan LindunganMU Maya bisa bersama aku
mengungsi. Tak henti hentinya hati anak desa ini terus saja memanjatkan doa.
“Maya kau di mana ?”. Hampir
habis tenaga yang digunakan pemuda desa itu untuk berkali kali teriakan memanggil nama kekasih
pujaan hatinya itu. Sementara itu kepalanya sudah mulai pusing akibat bau
belerang yang menyengat. Begitu juga nafasnya sudah mulai sesak karena debu
Merapi sudah memadati udara gunung.
Sepintas dia melihat tempat Maya menyimpan anggrek liarnya sudah
bererakan, bahkan longsor dihantam gempa berkali kali.
“Maya kau di mana ?”
“Anto, aku dalam lubang ini ?’
“Maya!, kau tidak apa-apa ?”
“Entahlah, tapi kakiku sakit, aku
tidak bisa naik ke atas “ Wajah Maya sudah pucat pasi, lantaran
dihinggapi rasa takut yang menderanya. Tanpa banyak waktu Hananto melepas
bajunya dan dipilin menjadi tali untuk mengangkat tubuh Maya.
“Peganglah kuat kuat dengan kedua
tanganmu, dan usahakan kedua kakimu bertumpu pada dinding lubang ini.
Bersiaplah aku akan menarikmu “
“Ya “, dengan meringis kesakitan
tubuh Maya perlahan lahan bergerak ke atas sambil terus menumpukan kedua
kakinya, meski sebuah kakinya telah terkilir. Kini Mayapun sudah berada dalam
pelukan Hananto.
Kini tubuh yang langsing dan
semampai itu berada dalam dekapan Hananto untuk melangkah meninggalkan ladang
yang porak poranda dihantam gempa dan debu kemarahan Gunung Merapi, sekuat
tenaga mereka kerahkan untuk menyusuri jalan setapak dan jalan desa hingga sisa
tenaga yang terakhir mampu mereka kerahkan tepat tidak jauh dari truk team SAR
yang masih sabar menunggu warga yang tertinggal mengungsi.
***
RM Pranoto terus menerus menangis
di samping tubuh istrinya yang lemah terbaring di pengungsian. Lantaran ketidakhadiran
Maya di samping mereka. Sementara itu terdapat juga beberapa warga yang
menangis histeris meratapi keluarganya yang menjadi korban tangan tangan
raksasa awan Gunung Merapi. Situasi saat iru sungguh menjadikan episode
kehidupan sebagai episode tentang betapa lemahnya makhluk yang bernama manusia.
Sititik harapan kini mulai
bersemayam di hati RM Pranoto dan Hartinah setelah muncul truk pengungsi
terakhir dihadapan mereka. Apalagi setelah melihat gadis berbaju jingga dengan
rambut di kepang dua sebatas pinggangnya serta tahi lalat di dagunya. EM
Pranoto segera memapah istrinya untuk menemui putri sulungnya dengan sejuta
bunga bermekaran di sudut hatinya. Sebuah peluk cium dari ketiga insan itupun
menjadi pemandangan semua pengungsi. Lain halnua dengan Hananto yang hanya
berdiri terpaku dengan sejuta peraaan yang tidak percaya menghadapi kenyataan
ini. “Engkau tadi di mana, anaku “ seru
RM Pranoto dengan rintihan tangis bahagia.