Masyarakat awam
merasa kesulitan bila menghafal jenis jenis pesawat yang ada di dunia ini. Jangankan
untuk menghafal nama pesawat, melihat
dengan mata kepala sendiri wujud nyata dari pesawat itu sendiri sebagian besar
masyarakat kita belum pernah melihatnya, Yang jelas sebuah alat transportasi jenis pesawat,
adalah jenis transportasi capaian iptek multidisiplin yang komplek. Terhadap
jenis transportasi pesawat ini, jelas melibatkan factor prototype design,
aerodimika, tehnik mesin, sistim navigasi satelite, komputerisasi instrument
vital dan lain sebagainya dan aspek yang tidak bisa ditinggalkan dalan rancang
bangun pesawat tersebut, yaitu aspek komersialisasi. Sebab menjual satu buah
pesawat, bukan hanya menjual prototype pesawat begitu saja. Tetapi menjual
sebuah pesawat kepada pihak lain adalah sama saja dengan transfer iptek kepada
pihak pembeli.
Pihak pembeli
(negara atau perusahaan maskapai swasta) di manapun berada, tidak segan segan mengulurkan tangan kepada
pihak manajemen pembuat pesawat yang inovatif, untuk menerima tawaran unjuk
kebolehan tiap pesawat yang baru di rancang bangun, dengan inovasi mencakup
aspek ekonmis, maintenan, suku cadang dan kriteria landas pacu yang paling
tidak merepotkan petugas bandara. Dengan
adanya kompleksitas yang tinggi, yang harus dilibatkan bagi calon pembeli guna
penentuan pesawat yang dipilihnya, maka lahirlah sodoran dan rayuan dalam
bentuk yang bervariasi dari manajemen perancang bangun.
Namun tetap saja
secanggih apapun software yang menjadi rohnya pesawat canggih ini tetap saja
masih kalah dengan software yang melekat kuat pada diri manusia yang setia
dari manusia itu lahir. Apabila kompleksitas
software manusia yang ada di balik iptek setinggi apapun (man behinh the gun) mengalami
gangguan fungsi, maka capaian iptek manusiapun tak akan berarti apa apa. Kita
tentunya masih ingat peristiwa tewasnya 7 astronot dalam kecelakaan pesawat ruang angkasa
Chalenger pada tahun 1986. Pesawat Chalenger tersebut meledak setelah 73 detik
meluncur di ketinggian 14.000 meter dan
menewaskan 7 astronotnya, yaitu Judith
Resnik, Ellison Onizuka, Ronald McNair, Payload Specialists Gregory Jarvis dan
Christa McAuliffe. Saat itu tanggal
28 January, 1986, silam
Challenger mengemban misi - STS
51L untuk bergabung dengan 2 satelit. Mereka kemudian hancur di Kennedy Space Center, Kegagalan
tersebut disebabkan karena kegagakan fungsi sil pada udara pendingin sehingga menyebabkan udara panas bertekanan
tinggi meledak. Misi lain yang menelan korban jiwa, karena aspek human error
adalah misi Apollo 1 tahun 1967, yang mengalami kebakaran sebelum sistim
berhasil meluncurkan roket. Kecelakaan ini menimbulkan 3 astronot tewas (BBC
News, Januari 2011).
Oleh karena itu
meski kita bukan termasuk negara perancang bangun pesawat pesawat jenis air bus
seperti Sukhoi Super Jet atau Boeing, Antonov dan
lain sebagainya. Namun terhadap
kesigapan, ketelitian, tanggung jawab, dan mentalitas lainnya dari semua pihak
yang bergelut dengan apa saja yang berhubungan dengan keselamatan dan
kenyamanan penumpang, harus selalu dikedepankan dan terinternalisasi dengan
kuat, menjadi sebuah etos kerja yang kokoh. Sehingga korban korban Sukhoi yang
memilukan di Gunung Salak menjadi tak terulang lagi***