Selasa, 15 Mei 2012

Tentang Sukhoi


Masyarakat awam merasa kesulitan bila menghafal jenis jenis pesawat yang ada di dunia ini. Jangankan untuk  menghafal nama pesawat, melihat dengan mata kepala sendiri wujud nyata dari pesawat itu sendiri sebagian besar masyarakat kita belum pernah melihatnya,  Yang jelas sebuah alat transportasi jenis pesawat, adalah jenis transportasi  capaian  iptek multidisiplin yang komplek. Terhadap jenis transportasi pesawat ini, jelas melibatkan factor prototype design, aerodimika, tehnik mesin, sistim navigasi satelite, komputerisasi instrument vital dan lain sebagainya dan aspek yang tidak bisa ditinggalkan dalan rancang bangun pesawat tersebut, yaitu aspek komersialisasi. Sebab menjual satu buah pesawat, bukan hanya menjual prototype pesawat begitu saja. Tetapi menjual sebuah pesawat kepada pihak lain adalah sama saja dengan transfer iptek kepada pihak pembeli.

Pihak pembeli (negara atau perusahaan maskapai swasta) di manapun berada,  tidak segan segan mengulurkan tangan kepada pihak manajemen pembuat pesawat yang inovatif, untuk menerima tawaran unjuk kebolehan tiap pesawat yang baru di rancang bangun, dengan inovasi mencakup aspek ekonmis, maintenan, suku cadang dan kriteria landas pacu yang paling tidak merepotkan petugas bandara.  Dengan adanya kompleksitas yang tinggi, yang harus dilibatkan bagi calon pembeli guna penentuan pesawat yang dipilihnya, maka lahirlah sodoran dan rayuan dalam bentuk yang bervariasi dari manajemen perancang bangun.

Namun tetap saja secanggih apapun software yang menjadi rohnya pesawat canggih ini tetap saja masih kalah dengan software yang melekat kuat pada diri manusia yang setia dari  manusia itu lahir. Apabila kompleksitas software manusia yang ada di balik iptek setinggi apapun (man behinh the gun) mengalami gangguan fungsi, maka capaian iptek manusiapun tak akan berarti apa apa. Kita tentunya masih ingat peristiwa tewasnya 7 astronot  dalam kecelakaan pesawat ruang angkasa Chalenger pada tahun 1986. Pesawat Chalenger tersebut meledak setelah 73 detik meluncur di  ketinggian 14.000 meter dan menewaskan 7 astronotnya, yaitu  Judith Resnik, Ellison Onizuka, Ronald McNair, Payload Specialists Gregory Jarvis dan Christa McAuliffe. Saat itu tanggal  28 January, 1986, silam  Challenger mengemban misi  - STS 51L untuk bergabung dengan 2 satelit. Mereka kemudian hancur di  Kennedy Space Center, Kegagalan tersebut disebabkan karena kegagakan fungsi sil pada udara pendingin  sehingga menyebabkan udara panas bertekanan tinggi meledak. Misi lain yang menelan korban jiwa, karena aspek human error adalah misi Apollo 1 tahun 1967, yang mengalami kebakaran sebelum sistim berhasil meluncurkan roket. Kecelakaan ini menimbulkan 3 astronot tewas (BBC News, Januari 2011).

Oleh karena itu meski kita bukan termasuk negara perancang bangun pesawat pesawat jenis air bus seperti Sukhoi Super Jet atau Boeing, Antonov dan lain  sebagainya. Namun terhadap kesigapan, ketelitian, tanggung jawab, dan mentalitas lainnya dari semua pihak yang bergelut dengan apa saja yang berhubungan dengan keselamatan dan kenyamanan penumpang, harus selalu dikedepankan dan terinternalisasi dengan kuat, menjadi sebuah etos kerja yang kokoh. Sehingga korban korban Sukhoi yang memilukan di Gunung Salak menjadi tak terulang lagi***

sebuah harap kau berikan


pada gugusan bintang gemintang
pada sekumpulan lampion kertas warna warni ; menghantarkan
dirimu menuju “altar suci” untuk sebuah ikrar; senja tak lagi merebah
menuangkan sisi hatinya pada perahu layar; yang selalu mengencang
sorot matanya; ombak ombak berdesis bisa
yang melumpuhkan lambung perahu; kau jaga tautan perjalanan
pada empat penjuru langit, di sana aku mengayuh angin
merapikan pematang sawah

kau masih menyisakan suara sayup
gamelan jawa yang memantul dari sisi cakrawala tentang
tembang tembang kasmaran milik penghuni  di balik awan
awan putih bersih,
akupun hanya merasa sengau; namun aku biarkan
semuanya bermatomorfosis dengan ikatan bunga dan bulan

(Effi Nurtanti, Semarang 16 Mei 2012).




merpati merpati liar


merpati  merpati liar itu ……
menukikan sorot mata, melipatkan sayapnya
 panas dan garangnya atmosfer tak lagi mengirim seloroh
saat buaian panjang dari sisi langit
sempat melebarkan sayapnya yang berjanji takan mengoyak
sayap sayapnya yang ringan berbalut nyanyian suka
lantas kegalauan sang bagaskara, membuatnya lepuh semua sayapnya.

merpati di awal hari hari yang digulirkan bumi,
tak lagi merengkuh keranjang keranjang untuk menawan
angin tenggara, yang penuh rona ayu
dan bergurat lukisan dewa dewi dari negeri kahyangan
merpati membuang jauh jauh keranjang hanya menepis terkaman
kemarau kering dari perjalanan panjang

merpati menawarkan kicauan saat dia merajang kasmaran
namun terdengar parau, bentangan hidup di bumi
lebih beraut muka bengis dan durjana ketimbang “solar flare”
merpatipun mengepak sayap,
namun hanya satu dua makna hidup yang melintas
di benaknya yang berenda hitam putih, kemunafikan di antara pelangi
yang membentang pada tebing tebing menunduk wajahnya.

merpati tak tahu lagi garis bujur
yang membedakan episode tentang bumi ini, tapi terus lurus
menerjang batas yang dia tak tahu artinya
merpati, menjadi tersudut dalam ruang dan waktu bumi
jarum detik ikut menguliti semua nanar matanya
rembulanpun hanya memberkasi sinarnya di balik awan

merpati hanya ingin bernaung….
pada gelak tawa tak ada dusta di pesta bulan purnama
seperti di Indrakila berhalaman pagi bunga setaman
kala bening embun pagi, membagi harinya
menyodorkan ssecangkir cinta pada kekasihnya
namun hanya legam yang membalut sayapnya,

merpati kini merentang sayap
terbang tinggi menuju istana di balik awan
tak menyisakan lagi galau

(Semarang, 15 Mei 2012)