Kamis, 03 Mei 2012

Bulan Dalam Keranjang Sutra


Cerpen Remaja Effi Nurtanti

Lydia semakin acuh saja, saban aku lekatkan lagi hati ini. Namun semua itu bisa aku tepiskan, lantaran aku laki laki yang dikodratkan untuk tegar dalam menghadapi kehidupan. Entahlah kehidupan macam apa yang seperti ini. Kata hati  seperti ini saja yang mampu selalu aku benamkan dalam telaga hatiku yang berair jingga, hanya itu pula yang menjadi kekuatanku dalam menggapai angin sejuk yang akan aku sinari cahaya bulan dalam keranjang hati ini.
Dalam keranjang hati yang bersulam kain sutra selembut anganku, dalam sentuhan angina kemarau di senja hari. Selalu aku sertakan Lydia dengan sejuta sayapnya untuk terbang mengitari langit misteri, bermega jernih. Namun akupun tiada pernah meluruhkan sayapku kala rona wajah Lydia menjadi masam, berlembayung hitam dan nampak mengusung keragu-raguan. Inilah sebuah hasrat dariku Lydia, inilah kala sebuah hati harus menerjang tebing tebing tinggi yang menjadi pagar taman bunga. Namun sekokoh apapun sebuah pagar, tidak akan mampu menahan gelora Ombak Laut Selatan yang memiliki seribu tangan untuk menerkamnya.
Lydia masih saja menatap angkuh pada gambaran halaman hatiku, nampaknya apa yang ada di hatinya betul betul terkemas dalam batu pualam yang kokoh dan dikungkung seribu misteri.
“Lydia lihatlah dalam keranjang ini,  lembutnya kain sutra tidak selembut hatimu dan lihatlah pula bulan telah memberikan seberkas cahyanya untuk diri kamu “
“Herlin terjanglah gunung es jauh di depanmu, tak kan mampu kau mendapatkan keranjang itu. Arti sebuah persahabatan bagiku, perlu kamu simpan rapat dalam kantong bajumu “. Lydia membisikan sendu sedanya itu dekat telingaku.Hingga aku tak kuasa lagi untuk meneruskan tidurku lagi. Bergegaslah aku tepis mimpi  itu di tengah malam yang terpagut sepi. Nampaknya hanya malam saja yang bisa menjadi wujud untuk berbagi meradangnya hati, sehingga aku jaga malam itu dari terkaman fajar. Namun malampun harus bergegas pergi.
Hanya eksotis wajah pagi saja yang masih berminat menemaniku, dengan ocehan burung kenari di dahan pohon rambutan. Sekali sekali terdengar juga burung nuri yang ikut nimbrung simponi alam  ini. Pagi ini pula yang memberiku sebuah ide cemerlang, di tengahnya hati yang membujur dingin. Entah kekuatan apa yang membuat aku mau meluncur ke rumah Lydia minggu pagi ini. Ataukah  selaksa malaikat yang terjelmakan dari hasrat hatiku yang melemparkan aku ke tengah gedung loji milik keluarga besar Lydia yang berada di tengah Kota Semarang.
Namun kaki ini belum sempurna betul menyentuh pijakan bumi, kala aku harus melewati wajah wajah berselimut aneh menatapku asing, manusia manusia berpakaian perlente memenuhi halaman rumah Lydia yang luas berlantai rumput halus, disela-sela pohon palm dan pot pot bunga besar. Mereka mengelilingi Om Bernhard papinya Lydia entah berniat apa mereka berkumpul di sini. Oh Tuhan mengapa harus hari ini aku  ke rumah Lydia,  yang dapat aku lakukan hanya mengutuk diriku sendiri.

***
“Mohon maaf, apakah sudah ada appointment dengan Tuan Benhard“. Tanya seorang berbadan tinggi besar dan mengenakan jas dengan dasi yang panjang hingga ke pusarnya. Anehnya orang ini bertanya dengan wajah bersungut sungut,  bagaikan manusia yang dibuat dari mesin, tanpa memiliki hati barang sedikitpun. Bukankah ini Kota Semarang yang masih kental dengan nila kesantunan. Lantas apakah Lydia bersedia menemuiku bila berada di lingkungan seperti ini. Tapi memang aku yang tolol, bukankah Lydia tidak pernah bergaul sembarangan di kampus, yang sama sekali tidak pernah menorehkan sebuah senyumanpun pada aku kala berjumpa di kampus. Mengapa sekarang aku di rumahnya. Atau lantaran senyum Lydia kala menghiasi wajah yang melangkonis ini, dengan penampilan yang selalu serasi dengan kulit tubuhnya yang  kuning langsat  yang tidak mudah kulupakan.
Lantas mengapa pula Lydia sering minta tolong aku untuk ngerjain soal soal mekanika tehnik, kala kita satu kelas belajar bersama di perpustakaan. Bukankah aku juga berhak mengenalnya lebih dekat. Mengapa pula dia tidak pernah cerita kalau di putri seorang pebisnis besar. Sedangkan aku hanya anak seorang wartawan daerah dan penulis yang tidak seberapa mutu tulisanya. Namun papikupun terus membanggakan dirinya semata agar putra putra, termasuk aku mampu hidup dengan mandiri.
“Oh, maaf aku hanya teman satu kampus Lydia”
“Maaf tuan, Lydia hari ini sibuk sekali. Dia sebentar lagi memberi presentasi tentang rancangan Fly Over 
“Oh, maaf apakah dia mampu ?”
“Tuan ini siapa ?. Bicara tuan sangat merendahkan Tuan Lydia. Maaf tuan segera pergi dari tempat ini. Terus terang kedatangan tuan tidak dikehendaki Tyan Benhard “.
“Sebentar lagi aku akan pergi, memang ini bukan dunia saya. Tapia kun kasihan sama Lydia barangkali dia mengalami kesulitan dalam materi mekanika tehnik dan konstruksi beton. Tuan, Lydia sering bertanya padaku masalah out di kampus. Cobalah hubungi dia dulu “
“Baik tuan, untuk kali ini saja tuan saya beri kesempatan. Bila Non Lydia tidak bersedia, tuan, enyahlah dari rumah ini dan jangan ganggu Non Lydia lagi.
Suara pintu tebal dari kayu jati mengagetkan kedua laki laki itu, kala dengan terburu Lydia membuka pintu itu. “Sukurlah Herlin aku sangat membutuhkan kamu “. Tangan Lydia segera melilit  bahu Herlian dan segera menariknya menuju ruang kerjanya di pojok ruang tamu yang ditata dengan ornemen dan lay out model Jerman.

“Apa apaan Lydia, kamu udah gila ?”
“Masa bodoh, aku sudah nggak punya waktu lagi. Satu jam lagi papa menyuruhku presentasi. Aku masih banyak menemui kesulitan. Tolong Herlian aku minta bantuanmu”
Tentang apa ?”
“Mekanika tehnik untuk rancangan Fly Over di Kota Semarang “
“Jadi proyek besar dong Lydia ?”
“Ah itu nanti, sekarang lihatlah gambar ini.Tolong kamu analisa ini”
“Baik, kalau itu mah yang paling aku senangi. Maka aku mendapat nilai A untuk ini “
“Oh, ya. Kamu tahu dari mana aku mau presentasi”
“ Aku asal asalan saja ,main. Aku tadi naik BRT, aku punya rencana minggu ini main ke rumah temen 2x, termasuk kau Lydia
Lydia hanya diam membisu, sebentar sebentar pandangan matanya tertuju pada cowok udik yang nggak ngerti gaul dan hidup apa adanya, tapi pinternya minta ampun. Hari hari biasanya di kampus,  cowok ini kelihatan biasa biasa saja. Lantaran dandanan dan sikapnya yang nggak ngerti gaul. Tapi kala Lydia tidak sengaja mengamati keseriusan cowok ini dalam melakukan analisa. Lydiapun telah mengakui bahwa kegantengan Adipati Karna, tokoh dunia pewayangan  kini berada di depanya.

Bukankah Herlian berambut ikal bergelombang dan hitam dengan hidung mancung dan bibir yang tipis. Dan lagi postur tubuhnya yang ideal bila bersanding denganya, apanya yang kurang dengan cowok itu, tapi dekilnya memang membuat Lydia selama ini mengabaikan dia. Lydia merasakan sesuatu yang tidak adil, bila selama ini dia hanya minta tolong menyelesaikan tugas dan ujian semester.  Tentang kelembutan cowok ini Lydiapun  telah mengakuinya.
Lydiapun sekarang dengan tangkas dan mempesona memberikan presentasi rancangan konstruksi proyek papinya di depan hadirin. Sebentar sebentar mata yang indah dan bulat itu selalu memberikan sorotnya pada Herlian yang dipaksa ikut presentasi Lydia itu. Seakan akan Herlianlah yang  sekarang menjadi konsultan megakonstruksi proyek besar di Kota Semarang. Sudah barang tentu  kehadiran Herlian sekarang menambah pdnya.
“Herlian, terimakasih sekali kamu telah memberikan advice konstruksi ini, dan papapun kelihatanya puas dengan ide ideku,  yang sebenarnya adalah ide kamu. Aku nggak ngeti Lian, mengapa justru kamu datang saat aku membutuhkanmu. Aku dari pagi mencari no Hpmu, tapi nggak ketemu, dan alamat rumahmu apalagi..”
“Ah, hal kaya gitu biasa aja Lyn, nggak ada yang istimewa. Hari udah siang aku mau pulang. Sampai ketemu lagi besok di kampus “
“Ntar aku antar kamu pulang sekalian aku pengin tahu alamatmu. Trimakasih ya Lyan..” .Lydia tak meneruskan kata katanya. Karena bibirnya kini sudah memagut bibir cowok udik ini, bagai ular kobra yang mematuk mangsanya.
“Aku nggak pernah menerima biasa menerima ciuman kaya gini, Lydia ?”
“Herlian…!!! ” Lydiapun tambah manja dipelukan Herlian, yang kini sudah tidak canggung lagi. Tapi Herlian telah lama menghadirkan gadis manja itu di hatinya, hanya saja sikap cowok ini tidak eksotis dalam meabuhkan cintanya. Maka Herlianpun segera menyurutkan hasrat penuh gairah itu. Karena yang dia inginkan dari Lydia adalah segalanya, bukan hanya gairah cinta anak ingusan.
“Herlian …mengapa ?”
“ Kamu cantik Lydia, kamu segalanya. Suatu saat kitapun saling memiliki “
“Maafkan aku ya Herlian”
Herlian hanya memberikan senyuman yang mampu memberikan keteduhan bagi hati Lydia. Kedua remaja kinipun bergandengan tangan menemui papanya Lydia, lantaran sudah saatnya Herlian pamit. Om Bernhard menjadi kagum dengan kemampuan anak muda sekarang, yang jauh dengan masa mudanya dulu, yang hanya bisa berjuang menegakan nasionalisme dijaman revolusi dahulu. Sekarang jaman sudah berubah, yang sangat diperlukan adalah lahirnya The Smart Generation seperti mereka berdua.
“Lydia sayang, apa kamu sudah lama kenal Herlian “
“Sudah pap, Cuma Herlian agak pemalu jadi baru kali ini berani main ke rumah”
“Oh, begitu. Selamat jalan Herlian, besok besok jangan sungkan-sungkan main kesini !’
“Tentu, Om ! “.
Keduanya kini meluncur dengan mobil warna merah metallik, menelusuri jalan jalan kota Semarang yang dipagari tanaman bunga warna warni, kini keranjang yang tak layak telah berisi sinar bulan yang menerangi hati Herlian yang tadinya gelap mencekam. Keranjang itu pula kini berenda benang sutra yang halus dan lembut. Kedua remaja inipun kini menembus  kegelapan Kota Semarang

Semi


 Cerpen Remaja Effi Nurtanti
Hampir   5  tahun  ini Bagas belum pernah  melihat wajah Bella yang kini entah kemana.  Sejak perpisahan   mereka  di awal tahun  2009 ,  keduanya nggak pernah  facebookan bareng, apalagi untuk jumpa.  Meski mereka berdua pernah menorehkan berkas cinta yang berbungkus keindahan . Namun mereka ternyata belum mampu untuk meletakan egonya di hati masing masing. Karena itu diantara mereka berdua hanya ada saling benci. Maka keduanyapun memilih untuk saling berpisah. Namun  bagi Bagas perpisahannya dengan Bella mungkin  sebuah jalan yang terbaik ketimbang mereka berdua terus berantem nggak pernah ada ujungnya.
Namun  heran juga buat Bagas, selama lima tahun dia  dekat cewek sana sini, selalu saja  dia gagal di tengah jalan.  Selalu saja ada alasan bagi dia dan ceweknya  untuk membenahi jalan hidup mereka masing-masing.  Tapi lepas dari itu semua Bagas kini bukan Bagas yang dulu, lantaran dari banyaknya  menghadapi cewek yang ego, kematangan pribadinya udah mulai tumbuh.
Suatu senja di Bulan April 2010,   Bagas  mencoba untuk tetap  setia sama sohib kentalnya  Fikqi , dengan  mememenui  undangan   ultahnya    yang  ke – 25.   Meski mereka berdua udah nggak bareng lagi d bangku SMA,  namun itu nggak membuat mereka  saling melupakan.
 “Oke deh Fic,  aku Cuma bisa ngucapin met ulang tahun,  semoga lu nggak sableng lagi kaya dulu dulu lagi“ .  Bagas  segera mengulurkan tangan persahabatan, dan  Fikqipun membalas dengan pelukan haru. Lantara dari seabreg sohib yang dimilinya,  hanya Bagaslah yang paling tahu tentang dia, Bagas pula tempat dia  curhat bila punya nganjalan hati.  
”Trims  ya friend,  aku lihat lu tambah dewasa aja  ”.  Sahut Fikqi sambil melepaskan pelukannya terhadap Bagas., namun tangannya masih saja  bergayut di pinggang Bagas, seraya menariknya ke meja perjamuan yang udah siap  berbagai   macam  food  and  softdrink. 
”He, Gas lu lihat nggak Bella  ? ”  tanya Fikqi
”Bella !....kok bisa dia datang di sini. Emangnya  lu  undang. ?. Ah dimana dia. Aku Cuma pengin denger kabarnya
”Tuh di ruang dalam. Dia tadi lagi asyik  ngobrol   ama temen-temennya. Aku nggak ngundang dia,  tapi dia tahu dari Kak  Sylvie kalau hari ini aku ultah.  Dia kan kini banyak main bareng ama Kak Sylvie             Bagaspun segera meluncur ke ruang dalam, tak lama kemudian dua matapun  sesaat saling bertemu. Bella kamu tambah cantik dan anggun aja. Tambah caem dan mempesona penampilanmu, apa lantaran aku banyak memandangimu dengan kebencianku dulu. Karena  kamu selalu berbeda pendapat  denganku. Sehinnga dulu hanya ada rasa benci. Demikian bisik hati Bagas  yang tambah menguat  menggumpal di  sudut hatinya.  Apalagi setelah dia  melihat senyum manis dari  Isabella Marciana yang sempat dulu merobohkan jantungnya.
Namun cinta adalah sekumpulan prosa keindahan yang penuh warna. Serasa tidak ada keindahan lain selain merengkuh apa yang namanya cinta. Kebencian yang begitu dalam seakan akan hanya timbul karena rasa cinta itu sendiri.  Untuk itu agar cinta tetap bersemi di benak manusia, kita harus pandai menyimpan kebencian itu rapat-rapat di relung hati ini.Bagaspun menyadari akan hal  itu, namun entah apa yang ada dsuduthati Bella  Bagaspun tidak tahu. Hanya saja saat pertemuan ini di rumah Fikqi, Bagaspun merasakan ada segumpal  perasaan aneh yang menguliti hatinya  , bahkan tenggorokan yang tadi dibasahi softdrink kini mengering kembali. Demikian juga Bella yang memberikan senyuman manis dengan pipi yang merona dan sorot tatapan mata yang menyimpan sesuatu.   Entah ada perasaan bagaimana  antara mereka berdua,  yang pasti  sepertnya mereka telah tahu isi hati masing-masing, Bellapun segera menarik tangan Bagas untuk duduk berdua mengambil tempat di  beranda rumah Fikqi, seperti dulu mereka pernah curhat satu sama lain. Barangkali saja kursi itu akan menjadi saksi lagi,  tentang dua hati yang  sama sama hampa hatinya.
 ”Kamu tega  !,  lama nggak ngasih kabar sama aku, Gas ! ”
 ”Emang aku udah lama di Jakarta,  tapi aku sekarang balik ke Semarang lagi, Aku sekarang kerja di konsultan bareng sama  Mba Sylvie kakaknya Ficki. Aku tahu ultah Fikqi  dari Mba Sylvie ”
 ”Ah...ya udah yang penting kabar  kamu baik – baik aja, Seneng dong Bell  kamu   bisa kerja sekarang. Selamat ya.. .! ”
”Makasih Gas,  kamu  sendiri sekarang kerja di mana ? ”
”Ngaak tahu Bel,  aku bulan kemarin  emang diwisuda lulus dari Arsitek Unika. Tapi aku belum dapat job yang cocok.  Doa, in  aku dong Bel. Biar cepet dapat kerja ”
Hanya senyuman manis yang menghias wajah yang jelita dan menawan itu. Sekali sekali Bella  menggapai tangan Bagas,  lantaran mungkin  menyimpan seabreg rasa rindu yang menggrogoti bilik jantungnya. Namun Bellapun tahu,  bahwa  Bagas sekarang udah bukan miliknya lagi, demikian juga dirinya . Meski silih berganti cowok ganteng  yang pernah singgah di hatinya, Namun tidak  ada  yang  seindah kehadiran Bagas di hatinya dulu.
”Aku juga denger dari Mba Sylvi e kalau  kamu bulan kemarin wisuda ”
” Kok kamu juga nggak ngasih ucapan selamat ”
”Aku takut kalau  Rossi cemburu.  Aku denger juga kau dulu bareng ama Rossi”
”Rossi sekaranmg udah marriage dengan Anton dan kini udah hidup bahagia di Bandung. Itulah  kehidupan Bell,  selalu saja ada pertemuan dan perpisahan. kamu sendiri gimana . aku dulu sempat denger dari  temenmu kalau kamu mau marriage ?. Aku tunggu undanganmu Bel !.        
”Itulah masalahnya Gas, maka aku nggak mau bareng Papa dan Mama di Jakarta. Aku lebih memilih di  Semarang. Aku baru  balik  ke Jakarta kalau aku udah marriage ’
” Emangnya  ada  apa  ? ”
”Papa dan Mama orangnya kolot,   aku dianggapnya Siti Nurbaya yang  seenaknya saja dijodohin  sama temen bisnis  Papa yang kaya raya. Dia  sering menolong Papa kalau lagi ada masalah bisnisnya. Nama Om Chandra dan dia seorang duda beranak dua.   Aku belum siap dan lagian aku masih pengin  bebas sendiri ”
”Ah  masa  papa  seperti  itu  Bell,  padahal dulu aku kenal papamu adalah ortu yang baik ”
”Seperti yang kamu bilang tadi, itulah kehidupan. Manusia bisa saja berbuat apa saja untuk  menuruti egonya ”
” Sekarang  kamu tinggal dimana ”
”Ya masih di rumah papi dulu, kamu enggak pernah mampir kan.  Sepertinya kamu sengaja menghindariku ”
”Ah sama aja  kamu Bel  !,   aku yakin kamu pasti juga  punya niat nggak akan pernah ketemu aku lagi. Sepertinya   aku juga sengaja ingin melupakan perpisahan dengan kamu dulu.  Lama memang aku enggak ngasih kabar ama kamu lantaran aku pengin melupakan  kamu”
” Jadi kamu menyesal kalau sekarang ketemu aku, maafin aku ya Gas ”.  Bagas menjadi tak  tahu harus  menjawab apa, karena selama lima tahun berpisah dengan Bella,   malah bertambah menumpuk rasa rindunya. Meski niatan dia untuk melupakan Bella sungguh kuat sekali.  Bahkan rasa  rindunya itu enggak bisa hilang meski telah silih berganti cewek yang ada di sampingnya termasuk juga Rossi.
” Ah... kau tambah cantik Bel dan pula tambah dewasa, enggak seperti dulu lagi ”Bella hanya menundukan wajahnya,   matanya kini  mulai berkaca-kaca, sebentar-sebentar dia menadahkan wajahnya untuk memberi senyuman mesranya kepada Bagas. Bagaspun menjadi penasaran tentang sikap Bella.
” Maafin aku ya Bell, malam ini aku janji nggak akan nyakiti kamu lagi, anggak seperti dulu dulu lagi ”
” Nggak Gas, kamu enggak nyakiti aku. Aku hanya haru, udah lama aku nggak denger kata kata itu lagi ! ”.
” Udah malam Bel, yuuk aku antar kamu pulang ”
Bella hanya memberi anggukan kecil, kini kedua remajapun saling bergandengan tangan untuk menuju ke ruang tengah guna berpamitan .  Sekali sekali Bagas memberi ciuman mesra pada  cewek pujaannya itu dan Bellapun membalasnya dengan pelukan yang lembut, sepertinya suatu pertanda dia tidak mau kehilangan Bagas lagi. Malam itu telah menjadi saksi dua hati yang lama berpisah, dan mengering di kesunyian kini menambatkan hatinya kembali

Sehalus Benang Sutra


 Cerpen Remaja Effi Nurtanti

Wajah papinya menyimpan beribu bara yang siap membakar hasrat, angan sekaligus cintanya yang lembut, yang terpancar dari pribadi Anggun. Kala sore hari di ruang tamu berdampingan dengan mamanya, yang juga menghadang Anggun dengan sorot mata yang liar, bagai sang singa jantan yang siap menerkam kambing yang tiada berdaya. Anggunpun berusaha menyelipkan keberanian untuk menghadapi kedua insan yang sangat dicintainya itu.

Anggun hanya duduk dengan hati yang  mengembara ke tiap sudut langit, setiap cakrawala di kaki langitpun menawarkan taman bunga untuk bersemayamnya dia dan Rony, mahasiswa fakultas tehnik yang papa. Namun meskipun kepapaanya itu menggayuti sejak dia di bangku SMA, upaya untuk melanjutkan sudi tak kunjung reda.

Hingga suatu senja, langit berwarna cerah. Bintang mulai menghitung awan yang memerah. Bulanpun menunjukan wajahnya, mulai memberi salam canda kepada bintang senja yang juga belum tahu perasaan Anggun menghadapi hati insan berdua yang telah lekang, yang tiada mau peduli sebuah hati yang lembut bagaikan kain sutra. Adalah hak Anggun sebagai manusia untuk menambatkan hatinya yag bening kepada Rony. Namun mereka berdua berniat untuk menepiskan, apa yang ada di hati Anggun.

Anggun hanyalah sebilah hati yang sama sekali tiada mampu menghardik kemauan mereka. Tercampaklah Anggun dengan pergulatan antar “cintanya yang sebening sutra” dengan cinta kasih kepada kedua orang tuanya. Namun hidup adalah hidup, manusia sama sekali tidak mau belajar dari apa yang pernah dialami dahulu.

Mama papanya mengemasi hidup menyatu dalam titian cinta sebening embun. Mereka berdua selalu bersama dalam perguliran suka dan duka. Merekapun tahu persis tentang cinta antara dua anak manusia, yang berusaha menerjang apa saja meskipun seribu aral menghadang. Justru warna warni kehidupan kedua orang tuanya yang telah menempa kepribadian Anggun. Namun mengapa pula mereka berusaha mengharubirukan sesuatu yang lembut, yang bersemayam di hatinya. Demikian desah hati cewek yang kaya raya namun bersahaja..

“Anggun, mama papa tahu persis getar hati setiap manusia yang lagi mengalami seperti kamu. Mama papapun pernah muda”. Suara parau dan serak itu menggema mengisi setiap udara yang ada di ruang tamu itu. Suara datar itu keluar dari mulut Wijiyo, pengusaha sukses di Jogjakarta.

Anggun hanya mampu berlarian dari awan satu ke awan lainnya, di langit biru yang telah menyodorkan kedua tanganya untuk menerima Aggun kala hatinya pilu. Anggun sama sekali tidak mengeluarkan sepatah katapun.

“Apa yang bisa kamu harapkan dari Rony, yang hanya pedagang lesehan di malioboro. Aku nggak tega kalau kamu berumah tangga dengan dia, anaku !. Aku Ibumu, tidak mungkin akan membiarkan kamu menderita. Jauhi Rony, anaku, kamu kan masih muda.Kamu cantik lho. Banyak pria yang mengejarmu, anaku ?. Mereka mau memberikan apa saja demi mendapatkanmu”

“Betul mamamu, anaku !, papi sudah pilihkan pria yang segalanya lebih baik dari Rony. Dia nggak kalah ganteng dengan Rony, apa sih Rony hanya penjaja barang seni di malioboro. Sementara Martin, yang aku kenalkan dulu sama kamu sudah lulus dari amerika. Kamu bisa tinggal di Jakarta di blok perumahan yang elit. Mama dan aku tentunya akan bahagia, anaku !”

“Tapi, bukan itu semua yang aku cari, Pap !”
“Lalu apa yang kamu cari dalam hidup ini, Anggun !!. Cobalah mengerti maksud mamamu ini. Lagian semua bahtera rumah tangga semuanya berujung ke materi, untuk keperluan hidup ini. Cobalah mengerti, ya sayangku !” .Mamanya kini sudah berada di sampingnya, kedua tanggan Anggunpun di renggutnya. Pertandan wanita ini sama sekali tidak mau kehilangan putrid semata wayangnya.

“Mam, Anggun bahagia disamping Mas Rony. Itu saja sudah  cukup !”
“Anggun !” Suara petir di tengah hujan gerimis masih kalah mencekamnya dibanding pekik papanya, yang sudah membara hatinya.

“Sabarlah Pap, jangan marah dulu. Bagaimanapun dia anak kita satu satunya. Kita berdua sudah bertekad bakal membahagiakan, bukanya menyakitinya, Pap !”

“Apa karena papa menguliahkanmu di psychology, sehingga kamu sok tahu tentang hidup. Oh…Anggun, kamu belum apa apa, cobalah kamu mengerti maksud papamu ini, yang sudah banyak makan garam. Mengerti..!!!”
“Sudahlah Pap, biar mama saja yang bicara !”
“Mam, Anggun mengerti perasaan mama dan papa. Tapi Anggun nggak bisa menerima pria lain. Aku sudah lama mencoba melupakan Mas Rony  demi mama dan papa. Mas Ronypun menerima dengan besar hati. Karena Mas Rony sadar dia akan mengecewakan mama dan papa “

‘Lantas mengapa kau tidak melupakan saja anak itu, Anggun ?” Papanya dengan nafas yang panjang lantaran tidak mampu lagi menahan amarahnya. Menuntut Anggun melakukan apa yang dia tidak sangup lakukan.

“Papa, kejam…aku anakmu Pap, mengapa papa tega ?”
“Masa bodoh, anaku. Ini semua papa lakukan demi masa depanmu. Setidak tidaknya kalau kamu tidak mau menerima Martin. Carilah pria lain yang sanggup membahagiakanmu, bukan pemuda itu.!”

“Tapi aku…”
“Sudahlah Anggun, papa sudah tidak sabar lagi, papa sudah memberi waktu cukup untuk kamu. Kamu satu satunya putriku, masa depanku, buah hatiku. Maka papa sudah tidak mau main main lagi. Dari kecil hingga besar kamu papa manjakan. Tapi yang satu ini papa tidak mau mengalah,”
“Sabarlah, Mas Broto !, Anggunkan anakmu “
“Justru karena dia anaku, Mam. Maka aku harus bertindak tegas “
“Tapi Mas Broto !, Anggun anaknya lembut, Mas Broto jangan terlalu keras. Atau sekarang mama yang bicara saja”

“Biar aku yang bicara. Inilah anakmu yang selalu kamu manjakan, sehingga seperti ini jadinya. Sekarang papa beri pilihan dalam tiga hari. Kamu putuskan anak itu atau papa dan mama yang akan keluar dari rumah ini. Ambilah rumah ini seisinya beserta dengan deposito papa. Deposito itu sudah papa atas namakan kamu,ambilah. Hiduplah dirumah ini dengan pria gembel itu “

“Mas Broto !!!”.. Suara terakhir di ruang tamu Soebroto dan semuanya kini di bius pekatnya malam.

***
Rony terperanjat dan berbunga hatinya kala sebuah taksi memasuki ruangan halaman rumah kosnya di Pasar Telo. Ronypun telah menebak sebelumnya, kalau sabtu sore ini “jelita pujaan hatinya” bakal menemui dia, untuk melabuhkan perahu rindu di tengah samudra ganas yang menebar ombak bergulung. Ombak yang menghempaskan angan dihatinya untuk meniti hari hari kehidupanya bersama dengan Anggun.

Anggun melepas senyuman yang tipis di balik wajahnya yang pucat dan mata yang sembab, yang membuat deru jantung cowok ganteng itu bertambah cepat memburu misteri yang ada di balik wajah ayu kekasihnya itu.

“Aku sudah membayangkan jauh jauh hari sebelumnya, papa kamu suatu saatpun akan bertindak seperti ini !”
“Lantas kita hatus bagaimana ?”
“Anggun , aku adalah manusia yang sudah banyak mengenyam penderitaan. Karena aku hidup hanya dengan seorang ibu yang ditinggal bapaku sejak aku duduk di SMP. Aku bisa kuliah di fakultas tehnik karena aku mengais rejeki sendiri dengan cara seperti ini”
“Apa hubunganya dengan masalah kita”
“Justru inilah yang menjadi alasan utama papamu menolak aku “
“Kok kamu tega bicara seperti ini, Mas !”
“Anggun, sudah saatnya kamu mengenal dunia realita, tinggalkan jauh jauh kata hatimu. Sekarang berpikirlah dengan realita !”
“Jadi, kamu mau meninggalkanku, Mas Rony ?”
“Aku tidak akan meninggalkanmu, Anggun. Meski suatu saat kau menjadi milik orang lain. Kamupun tetap dalam hatiku”
“Ah,,aku jadi tak mengerti. Aku tak bisa jauh darimu,, “
“Cobalah untuk mengerti, aku siap kehilangan apa saja dalam hidupku.Karena aku sudah terbiasa kehilangan hidupku sendiri. Tapi kamu anak manusia yang masih memiliki segalanya, jangan kau sia siakan sebuah harapan demi masa depanmu. Sudahlah aku siap kamu tinggalkan, kamu harus berbahagia bersama mama dan papamu “

Tubuh Rony kini, kini berguncang setelah kedua tangan Anggun merengkuhnya, Kini dara ayu yang bersahaja sesuai namanya sudah berada di pelukan Rony. Anggun sama sekali tidak menyangka Rony memilih jalan seperti itu, padahal jauh dalam hatinya dia siap menghadapi apapun yang terjadi demi sebuah cinta. Anggunpun tahu bahwa cintanya kepada cowok malang ini, bukanlah sesuatu yang buta melainkan cinta yang bening dan lembut. Selembut benang benang sutra yang diharapkan bisa saling merajut membentuk kain sutera.

“Anggun, cobalah mengerti, kau harus bahagia. Bukan mengais kehidupanmu nanti dengan cara seperti aku. Kamu dan aku tidak pernah akan merasa kehilangan bila kita saling menerima atau kehilangan segala sesuatu dengan ikhlas. Kamu kan nggak mau kehilangan mama dan papamu, sayang ?’

Anggun mulai melepas pelukannya secara pelan meski dia sama sekali belum siap menerima kenyataan ini. Antara papa dan kekasihnya, tiada yang mampu dia pilih. Hanya desir angin malam Kota Jogja yang kini membaluti tubuh kedua anak Adam.
‘Hari sudah malam, aku antar kau pulang. Pasti mama dan papamu mengkhawatirkanmu”.

Anggun memilih berjalan kaki menuju rumahnya melewati jalan jalan kota Jogja yang mulai lengang. Keduanya melewai malam ini sebagai malam terakhir sebuah pertemuan cinta anak manusia yang lembut, agung sekaligus romantis. Meski harus berakhir di pintu gerbang rumah Anggun yang kokoh, yang menjadi saksi akan perpisahan kedua insan itu. Meski Anggun masih belum mampu menerimanya.

“Mas Rony, terimalah aku lagi, bila suatu saat aku kembali”. Ronypun hanya menganggukan kepalanya sembari melepas kedua tangan Anggun, yang hilang di kegelapan malam halaman rumahnya.