Minggu, 06 Mei 2012

Istana di Balik Cakrawala


Cerpen Effi Nurtanti

Kedua kakinya sudah terasa berat untuk melangkah, urat nadinya tampak membesar dan menggurati kulit kakinya. Langkah yang berat  itu terus menapaki jalan jalan kecil, terpaan angin sore  mulai menghalangi langkah yang mulai gontai. Matanya yang tersembunyi di lengkung pipi sesekali menatap tajam dan lurus ke depan, sesekali juga menatap dalam dalam jalan jalan kecil desa yang masih berwarna merah tanah liat. Namun dia sama sekali tiada sedetikpun berani menatap cakrawala.yang bersemburat awan jingga, meski berkas berkas sinar matahari masih kelihatan menyela daun daun pisang sepanjang jalan itu. Lantaran di cakrawala itulah kini kedua anaknya merangkai kehidupam mereka.

Berias bunga warna warni, bercanda ria dengan bidadari penghuni cakrawala senja. Layaknya hidup di Kahyangan Suralaya Dari kedua kulit mereka memancarkan aroma keharuman surgawi. Mereka sama sekali tiada mengenal waktu, angan dan membanting tulang demi sepiring nasi jagung, sekerat singkong. Mereka tidur di kasur angin, dengan bantal bersusun tujuh.Mereka hidup di suatu kehidupan yang sama sekali tiada kebohongan, kemunafikan dan kebiadaban

Meski cuma sesekali, kedua anaknya tiada pernah mau menengoknya, apalagi untuk menemaninya menebar semai kehidupan di sawah mereka yang tidak seberapa luasnya. Sekeranjang sembilu kini mengiris hatinya yang terus saja melemah melawan kendaraan waktu yang tak mau meletih. Gubug bambunya kini sudah mulai kelihatan, tak berdaya melawan ilalang yang tingginya hampir separo tubuhnya. Dia hanya mampu menyelipkan hidupnya di sebuah gubug tua di tengah padang, yang berada di sudut kota bersama istrinya yang renta.

Wajah gubug itu langsung menyeringai dan memberikan senyum yang hambar, senyum yang dia sendiri tak mampu mengartikan. Hanya saat saat  bahagia saja yang ada di benaknya kini. Meski kenangan itu telah lewat  entah berapa puluh tahun. Saat Dirman anak sulungnya membantu menyisir tanah subur di sawahnya untuk semi padi dan palawija sebelum matahari berani menampakan wajah di kampung  yang telah didera revolusi, sementara Nurlela putri bungsunya sibuk menghidangkan teh alam panas bercampur gula aren. Istrinya Aryati telah  terlebih dahulu menyongsong kehidupan dengan pergi ke kebun untuk memetik sayur sekedar untuk sarapan keluarga petani ini. Itulah sketsa hidup Soenaryo dan keluarganya di tengah badai revolusi, yang ditiupkan komintern-komintern yang ganas.

Namun setumpuk kisah perjalanan anak manusia yang dia miliki, yang memenuhi rongga dadanya kini telah menjadi debu, termasuk kedua anaknya yang ikut terbakar bersama rumahnya, yang kala itu terbuat dari papan jati yang megah menjulang tinggi, setinggi cita-citanya kala dia masih muda. Rumah dan kedua anaknya ikut menjadi debu-debu revolusi kala komintern membakar sebilah kehidupanya secara biadab.

Sementara itu istrinya yang tercinta, sudah tak bertulang lagi lantaran terpagut dalam kegetiran. Iapun langsung pinsan dipelukan laki-laki tegar pemimpin pemuda yang kontra komintern dan berusaha menepis kehadiran komunis di tanah kelahiranya Ampel, Boyolali . Tetapi Tuhan yang Kuasa masih berkenan memberikan KaruniaNYA, istrinya mampu membuka tabir semu perlahan,mulai dan mampu mengerti makna realita hidup. Meski mereka hanya segelintir hamba Tuhan yang terselip di bingkai kehidupan yang telah pengap.

“Aku sudah buat teh hangat kesukaanmu, Pak!, minumlah sebelum dingin” . Suaminya hanya diam membisu, tapi teh hangat kesukaanya kini telah membasahi tenggorokanya, rona wajahnya kini agak segar, secuil keceriaan mulai muncul. Direbahkan tubuhnya yang tinggi itu pada korsi renta, yang sudah kusam tapi masih setia menemani Soenaryo sejak

“Alhamdulillah, hari ini lahan kita siap untuk ditanami, Bu !. Besok aku coba untuk menebar bibit tembakau”
“Aki ikut, ya Pak “
“Sudahlah, kan pinggangmu belum sembuh, istirahatlah dulu sampai kamu sehat, Kalau kamu sakit, siapa yang masak, siapa yang merawat gubug ini ?”
“Rasanya tambah hari bukanya tambah sembuh. Tapi tambah terasa sakit, Pak “
“Makanya istirahat, biar tak kambuh lagi. Harusnya memang batu ginjalmu dioperasi saja Bu ?”
“Biaya darimana, Pak ?”
“Aku melihatmu semakin hari,semakin pucat. Kita jual saja sawah kita to Bu, untuk biaya operasimu ?”
“Kita mau makan apa ?. Hanya itu harta kita. Berapa banyak yang sudah kita jual to Pak. Sekarang biarlah yang tersisa,   menjadi sawah kehidupan kita”
“Aku masih mampu mengayuh becak, Bu ?”
“Masya Allah, Pak !, tua bangka seperti kita mampunya hanya menunggu berkalang tanah. Kalau  tiap hari kamu masuk angin terus bagaimana mau jadi tukang becak ?”.

Tiada sepatah katapun yang mampu dilontarkan Soenaryo dari mulut yang terkunci, terkatup bibir bibir yang menghitam dan keriput. Teh manisnya kini mulai mendingin, namun direguknya hingga habis. Gubugnya kini dikungkung oleh temaram senja yang meremang. Namun sebersit anganya kini mulai bergayut di hatinya. Betapa berbedanya dia kini dengan kehidupan kala dia masih muda, kala pemuda di desanya menunjuknya dia menjadi ketua front pemuda. Pemuda Soenaryo yang  kondang sebagai pemberani tiada tandingnya, saat itu telah malang melintang di Boyolali menggalang kekuatan anti komunis.

Maka suatu hari yang tiada pernah dilupakan, di tengah selimut malam yang menggigit, pintu depan rumahnya telah digedor kawanan pemuda PKI yang jumlahnya ratusan, yang dipimpin Sadewo simpatisan Barisan Tani Indonenesia Boyolali.

“Kamu tanda tangani surat ini, atau mati “ pekik Sadewo  dengan sorot mata yang tajam dan tangan yang kekar kini sudah berada di leher Soenaryo. Pekik ketakutan kedua putra Soenaryopun kini memenuhi setiap sudut ruang tamunya yang luas, berdinding kayu jati dan berlantai semen.

“Sadewo, kamu anak kemarin sore, jangan berani berhadapan denganku. Sedikitpun aku tak gentar, bila harus berhadapan denganku. Sampai kapanpun aku tidak akan menjadi anjing komunis di negara ini. Aku manusia beragama, bukan kafir seperti kamu ! “
“Jangan banyak bicara, tanda tangani ini, atau seluruh rumah ini akan hangus”
“Anak ingusan beraninya hanya menggertak, apa ini yang disebut revolusi merah. Apa dengan cara begini Aidit akan memimpin negri ini. Aku tak sudi dipimpin manusia-manusia biadab sepertimu. Ini yang kau bilang Indonesia di Jalan  Baru gagasan Muso itu, ayo jawab, Sadewo !, atau kamu sekarang menjadi anjing…yang hanya  berani menyalak”

“Kurang ajar, kau pantas mati, namun saksikan dahulu rumahmu dimakan api. Memang harus dengan cara begini manusia kontra revolusi pantas mati”

Soenaryo kini tak berdaya, kala beberapa pasang tangan menyeret tubuh dia  dan istrinya menuju halaman rumahnya yang luas. Beratus mulut mulut biadabpun kini ikut mengulilti pasangan suami istri itu dengan cacian “anjing kapitalis, anjing imperialis, anjing nekolim dan cacian lainya yang sudah tidak mampu lagi dia dengar. Kini Soenaryo menyaksikan sendiri rumahnya terbakar habis bersama dengan kedua belahan jiwanya. Teriakan kedua anaknya dari dalam rumah begitu menusukan selaksa kegetiran dalam hatinya, yang tiada pernah mampu dia lupakan.

Kursi kuno kayu jati kini terlihat bergoyang pelahan, lantaran darah dalam nadinya mendidih dan menggetarkan otot tubuhnya yang telah rapuh. Kedua tanganya mengepal dengan dengus nafas yang panjang.

“Sudahlah, Pak. Memang inilah jalan hidup kita”
“Kenapa jalan hidup kita seperti ini. Aku selalu berdoa tiap waktu, agar Dirman dan Nurlela di alam kelanggengan berbahagia. Mereka berdua adalah anak anak korban revolusi, sudah selayaknya mereka mendapat pertolongan dari Tuhan yang Kuasa”
“Itulah kekuatan kita, Pak !. Hari sudah malam dan pinggangku semakin nyeri tertusuk angin malam. Aku sekarang mau tidur, tubuhku sudah mulai lemas. Aku membayangkan anak anak kita di sana selalu tidur berkasur angin, sehingga tubuh mereka tidak merasa penat. Berbeda dengan kita yang renta, tidur di kasur empukpun masih terasa sakit “

Soenaryo segera mengulurkan tanganya untuk membimbing istrinya ke tempat peraduan di dalam bilik bambu yang mulai rapuh di makan usia. Kini mereka hanya pasrah menghadapi hari esok yang kelam.Namun mereka berdua masih menyelipkan perasaan bahagia, karena mereka yang menghancurkan hidup keluarganya telah mendapat balasan yang setimpal.

Angin Kemarau


Cerpen Effi Nurtanti

Bila manusia memang harus meniti takdir dari Yang Kuasa, itu memang kekuatan manusia itu sendiri. Memang kadang begitu pahit yang kita rasakan, untuk sekedar mereguk curahan kodrat. Namun memang harus bagaimana lagi, karena kita hanya manusia biasa. Mampukan kita memberontak melawan rengkuhan langit biru, disanalah mahkota untuk kita akan dikenakan bila kita mau bersabar meniti kemauan Yang Kuasa.
Beberapa kali sudah Winda menjerit menghempaskan apa yang direngkuhnya dalam hidup, karena apa yang didapatkan selalu kegetiran yang mengganjal tenggorokan dan dada Winda yang tidak sebera kokohnya.  Pria pujaan hatinya yang selalu member janji janji emas tiada pernah mengemas janji dan menyodorkan padanya dengan sebilah cinta suci. Hanya sebilah sembilu yang menusuk tiap sudut hatinya.
Winda kini hanya winda yang telah mati hati dan jiwanya, tiada lagi asa untuk mendapatkan lagi kehangatan dari pria manapun, mesti silih berganti pria mencoba untuk merobohkan kedinginan yang selalu saja terbujur.
Aku mengenalnya dengan raut mukanya  yang pucat pasi dan dada penuh rasa benci, layaknya harimau lapar yang hendak menerjang mangsanya. Sementara matanya tajam menikam meneliti setiap pori-pori kulitku. Hanya kadang senyum tipis dan sinis yang diharapkan mampu menerbangkan tubuhku  entah kemana.  Tetapi terus saja anganku bergelut dengan diriku sendiri untuk memberi kehangatan padanya. Meski akupun tahu sebuah karang yang kokoh akan kuhadapi. Namun akupun memang harus terus mencobanya, dengan segenggam harap mampu memberikan kembang warna warni pada Winda teman sekantorku.
Rumah mungil Winda peninggalan orang tuanya kini sunyi senyap, sementara semua anak anaknya tertidur, karena siang ini angin kemarau begitu sejuknya. Sesejuk hatiku yang berhasil menemui rumah Winda. Ada segumpal ganjalan dalam dada ini bila aku menemui dia. Perempuan dengan sejuta pesona, rambut yang terurai  hingga bahu, wajah manis dengan hidung mancung menghiasinya. Tetapi lebih menarik lagi bagiku adalah ketegaran jiwanya yang berhasil memingit hatiku, mengosongkan batas ruang hatiku untuk melupakan semua kenangan dulu.
“Win, aku Prasetyo” Di tengah kesunyian rumah mungil dan sederhana itu aku coba membangunkan Winda yang sedang terlelap di tengah dua anaknya yang masih kecil.
“Oh kamu Mas Pras “ Suara yang bening dan datar terasa meghentikan jantungku. Bertapa tidak suara itulah yang sanggup menghantarkan aku untuk menengok kebun bunga warna warni di langit biru.
“Maafin aku mengganggu tidurmu”
“Oh enggak Mas, aku tidur sudah dari tadi kok. Ngapain Mas datang kemari, ngapain  datang ke rumah hina ini, apa nggak ada acara lain?”. Bagaikan sebilah pedang yang berkelebat menebas jantung hati ini. Jawaban Winda dengan senyuman getirnya membuat aku harus meneduhkan hatiku sendiri. Terasa kebencian Winda kepada semua pria yang mencoba menggapai hatinya begitu besarnya, termasuk kepada diriku.
“Win,  kamu  marah karena aku mengganggu tidurmu. Oh ya kamu boleh tidur lagi Win biar aku duduk di depan saja, nggak apa apa kok Win”
“Kok kamu menyuruhku sih Mas, silakan duduk Mas. Biar aku buatin kopi”
“Kok kamu baikan sama aku sih Win?”
“Kamu kan teman sekantorku,  dan   sudah banyak kebaikan yang kau berikan padaku. Hanya segelas kopi saja Mas Pras, maaf aku nggak punya apa-apa”
“Emangnya aku minta apa ?. Win rumahmu terasa sejuk, beda dengan rumah di tengah kota, gerah dan kumuh. Apalagi masih banyak tanah kosong di kanan kiri rumahmu” Winda hanya diam seribu bahasa, sempat aku tertegun memandang wajah yang tak pernah bosan aku pandangi. Wajah itulah yang selalu menyertai aku dan hatiku di setiap saat.
“Ya beginilah rumahku Mas, beda jauh dengan rumahmu. Maka aku heran mengapa repot tepot Mas Pras datang ke sini. Kalau perlu aku, besok kan kita bisa ketemu di kantor”
“Winda !, apa aku nggak boleh mampir ke rumahmu ?. Kamu seharusnya bahagia lho Win. Engkau masih memiliki Reki dan Bella, itulah kebahagianmu. Sedangkan aku, meski rumahku bagus, tetapi berisi kehampaan semenjak Santi meminta perpisahan, dan semua anaku ikut dia. Entah sampai kini akupun tidak tahu kemana anaku tinggal”
“Ah itulah kehidupan Mas, kehidupan yang akan aku jalani bersama kedua anaku. Aku sangat mengharapkan mereka berdua bahagia kelak” Winda hanya mencibirkan bibirnya dan sedikit berhias senyuman sinisnya. Meski tanpa lipstick dan make up layaknya wanita modern. Winda masih menyisaka keayuan yang alami.
“Tapi engkau akan tetap tersiksa Win, tanpa ayah mereka disisimu”
“Tolong Mas Pras, jangan ungkit ungkit itu lagi”
“Aku akan tetap memintamu untuk itu Win !. Meski sampai kapanpun. Kamu manusia yang juga berhak bahagia di dunia ini”
“Masalah itu urusanku to Mas !” Winda mula memerah pipinya. Pertanda sama sekali dia tidak mau mengingat masa lalunya.
“Winda, akupun merasakan sama seperti kamu. Bahkan kamu lebih berbahagia. Tapi cobalah kita hadapi bersama hidup ini. Tentunya kamu sudah kenal lama aku”
“Aku harap Mas Pras jangan melangkah seperti itu lagi, percuma Mas!.  Sikap saya sama seperti yang dulu duu, tetap tidak berubah”  Suara Winda mulai terdengar ketus hingga membangunkan kedua anaknya. Windapun segera menghampiri mereka berdua, untuk membelai si kecil Bella, agar tidak menangis. Ternyata di balik kehidupan Winda yang dingin, masih terselip kebahagiaan degan memberikan kasih sayang pada anak anaknya. Beginilah harkat dari kehidupan ini, akupun rindu dengan keteduhan jiwa seperti ini.
“Mas Pras, tunggulah dulu, aku tak menidurkan Bella dan Reki”
“Aku tunggu di luar saja Win.  Di luar angin kemarau mulai kencang“
Suara dari dalam rumah kembali hening, mereka berdua di buai angin kemarau yang mulai kencang dan sejuk. Sementara aku masih berdiri di depan rumah yang berdiri di tengah padang di tepi kota. Tak lama Windapun menyusulku dan duduk di kursi tua dari bambu.
“Mereka sudah tidur, ? “
“Sudah Mas, mereka berdua memang saya didik mandiri, sehingga tidak manja” Kini terlihat rambut Winda yang panjang terberai di terpa angin kemarau, akupun segera duduk di sebelahnya.
“Win apa salahnya sih, setiap mereka bermanja kita berdua selalu disisi mereka”
“Aku nggak bisa, maaf Mas ?”
“Mereka butuh itu Win “
“Tapi mereka kan tahu kalau Mas bukan bapaknya”
“Lama lama mereka juga akan percaya”
“Mas masih banyak wanita yang cocok mendampingimu. Apalagi Mas Pras keren dan kaya serta punya jabatan”
“Apa arti semua itu sih Win?”
“Tapi bagi wanita kota kan berarti sekali Mas’
“Tapi bukan itu yang jadi ukuran hidupku Win?”
“Maksud Mas ?”
“Buat apa aku kaya, kalau nggak punya siapa siapa. Apalagi tanpa kamu disisiku”
“Ah Mas Pras berlebihan. Tolonglah Mas, aku nggak bisa Mas”
“Tapi demi Reki dan Bella kamu perlu mencobanya Win “
“Mas Pras kok terus merayuku, maaf Mas. Jawabanku sama seperti saat kita di kantin, saat kita piknik ke Bali sam temen-temen kantor. Mas pun memintaku dan jawabanku tetap sama”.
Barangkali saja aku laki laki yang paling menderita di muka bumi, akupun tak tahu lagi. Kalau toh Winda memang tidak bisa aku miliki, biarlah angin kemarau di tengah padang ini yang akan menjadi saksi ,  bahwa cinta kasih antara sesama manusia memang harus berasal dari lubuk hati yang paling dalam. Meski aku sudah lama kenal Winda sebagai teman kerjaku, tapi toh Winda adalah tetap Winda yang hanya bayangnya saja hadir di hidupku. Lamunanku menjadi pudar, setelah mendengar kedua Bella dan Reki yang terbangun dari tidurnya dan kini menark tanganku mengajak bermain di tengah padang.
Hari sudah hampir petang, mereka berduapun telah puas dan lelah main di tengah padang. Winda segera menyuruh mereka berdua masuk rumah untuk mand.
“Win !, aku bisa kan menjadi ayah mereka, mengapa kamu tidak bisa ?” Winda hanya menunduka wajahnya, dan sorot matanya kini berisi suatu kesejukan di balik bening air matanya. Akupun memberanilan diri untuk mengusap rambut Winda dan diapun hanya memberikan senyum penuh arti.

Angin negeri khatulistiwa



 Puisi Effi Nurtanti

satu dua ikatan angin dari kutub liar
tak  mau meluruhkan sauh, atas kerlingan mata semua
yang tertelikung di bukit luas menjulang
menunggu sang  dan ilalang  menggelar permadani
mengatur nafasnya, basah tenggorokan mereka.

beberapa macam guratan indah, menawarkan sorga
di atas nampan kayu jati, tetap beraroma anyir
diusung hati yang membujurkan awan hitam
sedingin bola salju dari Antartika

kita jangan terus dibenamkan sepatu laras
berkulit macan dengan gigi pongah
namun menghardik dan menggeram
pada lengan-lengan kecil berhias mahkota mawar merah
dengan kelopak menghadap langit biru

demi setetes embun dan sejuknya pagi hari
kita bersama meratakan jalan licin tanah liat
menuju kedua rongga mata mereka yang
bulat,jernih dan mampu sigap melentingkan
tali asih, menuju jendela langit
bukan wedus gembel berwajah angkara

kita sepadan dalam menundukan angin kutub
agar mampu bersemayam di keranjang bambu
yang hanya kita miliki, untuk senyum sang fajar
yang menyelingkuhi kita sang pengantin baru
kita dalam damai.....

(Semarang, 4 Pebruari 2012).

S e j u k

belum juga kau datang
berkencan dengan baju robek
semilir angin
membelit tulang iga kita
hingga terbang semua
burung pipit berkepak
menjinjing kabar
kesejukan di tanah lapang
sejuk yang kita tunggu
masih di halimun senja
kita yang merindu bulan
terengah di sudut jaman
dengan terkaman mentari
menjulurkan lidahnya

satu dua bilah bambu
di halam rumah
mengoyakan nasionalisme
kita benahi
hardikan benang waktu

kita satukan
meski telah lepas
dipingit kata hati
bertaring tajam
dan berkerah hedonisme

(Semarang, 4 Pebruari 2012).

Kelambu Biru

dalam kata hati kita menepis
“solar flare” dan adonan parau
dari gumpalan awan beroman durjana
kita masih dalam kelambu biru
bertepi sang kata sakti
dan menjulangkan hamparan beludru biru
kita beratap kata seloroh hunian
Katulistiwa, dengan pilar
sesejuk padang luas berimbun
padi dan palawija

(Semarang, 4 Pebruari 2012).

Koruptor

biarlah  sang koruptor
melenggang dengan serampang dua belas
bertalu genderang, layaknya VOC memburu hasrat
telah menghitam panggung Ramayana
di pelataran Prambanan

sang koruptor dengan gontai memungut hari
senja memburu secepat kilat
sementara pagi mencibirkan  bibirnya
telah menyendiri nafas beraroma melati
kenanga dan mawar....

(Semarang, 4 Pebruari 2012).


saat pagi mengayunkan langkahmu


Puisi Effi Nurtanti

saat telah sembuh telapak kakimu
dari tajamnya duri yang kau pinang sendiri
aku bawakan senampan hiasan hari
agar lebih akrab engkau dengan pagi~tanpa kedurjanaan
bukankah harus kau tawarkan semua
sembilu yang, menyudutkan hatimu

tak lupa satu bait selamat pagi,
aku hujamkan pada tepi hatimu
engkaupun merobek wajah pagi
dengan untaian mawar merah yang kau selip
pada kain beludru tirai ranjang pengantin kita

kedua lengan ini menjadi kencang
karena pagi masih membentang dalam jalan panjang
meliuk ~ menjadi pematang tanah liat,
yang licin dan mengusung sebuah cermin
agar kau pandai bergincu, meski dengan merah mawar
lebih aku suguhkan, dengan putih melati
seperti hari ini, yang kau kayuh di tengah pagi

(Semarang, 1 Pebruari 2012).