Cerpen Effi Nurtanti
Berias bunga
warna warni, bercanda ria dengan bidadari penghuni cakrawala senja. Layaknya
hidup di Kahyangan Suralaya Dari kedua kulit mereka memancarkan aroma
keharuman surgawi. Mereka sama sekali tiada mengenal waktu, angan dan
membanting tulang demi sepiring nasi jagung, sekerat singkong. Mereka tidur di
kasur angin, dengan bantal bersusun tujuh.Mereka hidup di suatu kehidupan yang
sama sekali tiada kebohongan, kemunafikan dan kebiadaban
Meski cuma
sesekali, kedua anaknya tiada pernah mau menengoknya, apalagi untuk menemaninya
menebar semai kehidupan di sawah mereka yang tidak seberapa luasnya.
Sekeranjang sembilu kini mengiris hatinya yang terus saja melemah melawan
kendaraan waktu yang tak mau meletih. Gubug bambunya kini sudah mulai
kelihatan, tak berdaya melawan ilalang yang tingginya hampir separo tubuhnya. Dia
hanya mampu menyelipkan hidupnya di sebuah gubug tua di tengah padang ,
yang berada di sudut kota
bersama istrinya yang renta.
Wajah gubug itu
langsung menyeringai dan memberikan senyum yang hambar, senyum yang dia sendiri
tak mampu mengartikan. Hanya saat saat
bahagia saja yang ada di benaknya kini. Meski kenangan itu telah
lewat entah berapa puluh tahun. Saat
Dirman anak sulungnya membantu menyisir tanah subur di sawahnya untuk semi padi
dan palawija sebelum matahari berani menampakan wajah di kampung yang telah didera revolusi, sementara Nurlela
putri bungsunya sibuk menghidangkan teh alam panas bercampur gula aren. Istrinya
Aryati telah terlebih dahulu menyongsong
kehidupan dengan pergi ke kebun untuk memetik sayur sekedar untuk sarapan
keluarga petani ini. Itulah sketsa hidup Soenaryo dan keluarganya di tengah
badai revolusi, yang ditiupkan komintern-komintern yang ganas.
Namun setumpuk
kisah perjalanan anak manusia yang dia miliki, yang memenuhi rongga dadanya kini
telah menjadi debu, termasuk kedua anaknya yang ikut terbakar bersama rumahnya,
yang kala itu terbuat dari papan jati yang megah menjulang tinggi, setinggi
cita-citanya kala dia masih muda. Rumah dan kedua anaknya ikut menjadi debu-debu
revolusi kala komintern membakar sebilah kehidupanya secara biadab.
Sementara itu
istrinya yang tercinta, sudah tak bertulang lagi lantaran terpagut dalam
kegetiran. Iapun langsung pinsan dipelukan laki-laki tegar pemimpin pemuda yang
kontra komintern dan berusaha menepis kehadiran komunis di tanah kelahiranya Ampel,
Boyolali . Tetapi Tuhan yang Kuasa masih berkenan memberikan KaruniaNYA, istrinya
mampu membuka tabir semu perlahan,mulai dan mampu mengerti makna realita hidup.
Meski mereka hanya segelintir hamba Tuhan yang terselip di bingkai kehidupan
yang telah pengap.
“Aku sudah buat teh hangat kesukaanmu, Pak!, minumlah sebelum dingin” .
Suaminya hanya diam membisu, tapi teh hangat kesukaanya kini telah membasahi
tenggorokanya, rona wajahnya kini agak segar, secuil keceriaan mulai muncul. Direbahkan
tubuhnya yang tinggi itu pada korsi renta, yang sudah kusam tapi masih setia
menemani Soenaryo sejak
“Alhamdulillah, hari ini lahan kita siap untuk ditanami, Bu !. Besok aku
coba untuk menebar bibit tembakau”
“Aki ikut, ya Pak “
“Sudahlah, kan pinggangmu belum sembuh, istirahatlah dulu sampai kamu
sehat, Kalau kamu sakit, siapa yang masak, siapa yang merawat gubug ini ?”
“Rasanya tambah hari bukanya tambah sembuh. Tapi tambah terasa sakit, Pak
“
“Makanya istirahat, biar tak kambuh lagi. Harusnya memang batu ginjalmu
dioperasi saja Bu ?”
“Biaya darimana, Pak ?”
“Aku melihatmu semakin hari,semakin pucat. Kita jual saja sawah kita to
Bu, untuk biaya operasimu ?”
“Kita mau makan apa ?. Hanya itu harta kita. Berapa banyak yang sudah
kita jual to Pak. Sekarang biarlah yang tersisa, menjadi sawah kehidupan kita”
“Aku masih mampu mengayuh becak, Bu ?”
“Masya Allah, Pak !, tua bangka seperti kita mampunya hanya menunggu
berkalang tanah. Kalau tiap hari kamu
masuk angin terus bagaimana mau jadi tukang becak ?”.
Tiada sepatah
katapun yang mampu dilontarkan Soenaryo dari mulut yang terkunci, terkatup
bibir bibir yang menghitam dan keriput. Teh manisnya kini mulai mendingin,
namun direguknya hingga habis. Gubugnya kini dikungkung oleh temaram senja yang
meremang. Namun sebersit anganya kini mulai bergayut di hatinya. Betapa
berbedanya dia kini dengan kehidupan kala dia masih muda, kala pemuda di
desanya menunjuknya dia menjadi ketua front pemuda. Pemuda Soenaryo yang kondang sebagai pemberani tiada tandingnya,
saat itu telah malang
melintang di Boyolali menggalang kekuatan anti komunis.
Maka suatu hari
yang tiada pernah dilupakan, di tengah selimut malam yang menggigit, pintu
depan rumahnya telah digedor kawanan pemuda PKI yang jumlahnya ratusan, yang
dipimpin Sadewo simpatisan Barisan Tani Indonenesia Boyolali.
“Kamu tanda
tangani surat
ini, atau mati “ pekik Sadewo dengan
sorot mata yang tajam dan tangan yang kekar kini sudah berada di leher
Soenaryo. Pekik ketakutan kedua putra Soenaryopun kini memenuhi setiap sudut
ruang tamunya yang luas, berdinding kayu jati dan berlantai semen.
“Sadewo, kamu anak kemarin sore, jangan berani berhadapan denganku.
Sedikitpun aku tak gentar, bila harus berhadapan denganku. Sampai kapanpun aku
tidak akan menjadi anjing komunis di negara ini. Aku manusia beragama, bukan
kafir seperti kamu ! “
“Jangan banyak bicara, tanda tangani ini, atau seluruh rumah ini akan
hangus”
“Anak ingusan beraninya hanya menggertak, apa ini yang disebut revolusi
merah. Apa dengan cara begini Aidit akan memimpin negri ini. Aku tak sudi
dipimpin manusia-manusia biadab sepertimu. Ini yang kau bilang Indonesia di
Jalan Baru gagasan Muso itu, ayo jawab,
Sadewo !, atau kamu sekarang menjadi anjing…yang hanya berani menyalak”
“Kurang ajar, kau pantas mati, namun saksikan dahulu rumahmu dimakan api.
Memang harus dengan cara begini manusia kontra revolusi pantas mati”
Soenaryo kini
tak berdaya, kala beberapa pasang tangan menyeret tubuh dia dan istrinya menuju halaman rumahnya yang
luas. Beratus mulut mulut biadabpun kini ikut mengulilti pasangan suami istri
itu dengan cacian “anjing kapitalis, anjing imperialis, anjing nekolim dan
cacian lainya yang sudah tidak mampu lagi dia dengar. Kini Soenaryo menyaksikan
sendiri rumahnya terbakar habis bersama dengan kedua belahan jiwanya. Teriakan
kedua anaknya dari dalam rumah begitu menusukan selaksa kegetiran dalam
hatinya, yang tiada pernah mampu dia lupakan.
Kursi kuno kayu
jati kini terlihat bergoyang pelahan, lantaran darah dalam nadinya mendidih dan
menggetarkan otot tubuhnya yang telah rapuh. Kedua tanganya mengepal dengan
dengus nafas yang panjang.
“Sudahlah, Pak. Memang inilah jalan hidup kita”
“Kenapa jalan hidup kita seperti ini. Aku selalu berdoa tiap waktu, agar
Dirman dan Nurlela di alam kelanggengan berbahagia. Mereka berdua adalah anak
anak korban revolusi, sudah selayaknya mereka mendapat pertolongan dari Tuhan
yang Kuasa”
“Itulah kekuatan kita, Pak !. Hari sudah malam dan pinggangku semakin
nyeri tertusuk angin malam. Aku sekarang mau tidur, tubuhku sudah mulai lemas.
Aku membayangkan anak anak kita di sana
selalu tidur berkasur angin, sehingga tubuh mereka tidak merasa penat. Berbeda
dengan kita yang renta, tidur di kasur empukpun masih terasa sakit “
Soenaryo segera
mengulurkan tanganya untuk membimbing istrinya ke tempat peraduan di dalam
bilik bambu yang mulai rapuh di makan usia. Kini mereka hanya pasrah menghadapi
hari esok yang kelam.Namun mereka berdua masih menyelipkan perasaan bahagia,
karena mereka yang menghancurkan hidup keluarganya telah mendapat balasan yang
setimpal.