Rabu, 16 Mei 2012

Diantara Peran Humanis dan Humoris Guru


Selalu saja semua pihak yang menseriusi, mencermati atau mengembangkan- gunakan pendidikan di Indonesia, hanya menyodorkan aspek kapasitas, kepiawaian dalam menerapkan model pembelajaran, profesionalisasi  dalam menyoroti figur guru untuk menyambut bola kemajuan pendidikan di negara kita. Padahal aspek Humanis yang melekat pada figur guru harus merupakan aspek yang tidak boleh ditepiskan. Peran Humanis guru selanjutnya akan lebih disambut peserta didik apabila guru menyodorkan juga aspek Humoris yang proporsional.
Sikap humanis adalah sikap yang dikedepankan oleh sesuatu pihak di lingkungan masyarakat yang di aplikasikan dengan sikap peduli kepada sesama anggota masyarakat. Sikap inilah yang menjadi dasar dalam proses interaksi sosial. Karena sekolah adalah suatu wahana yang efektif bagi kita untuk menginterprestakikan kepedulian tersebut,maka sudah sewajarnya aspek ini perlu diemban oleh pendidik,
Aspek humanis yang diusung oleh pendidik adalah sebuah  “peraga hidup”  yang dapat dengan handal membimbing peserta didik dalam ranah penanaman nilai dan norma dasar sosial pada peserta didik. Tanpa ini semua maka peserta didik yang nota bone adalah individu individu teenage yang masih belum kenal persisi tentang arti dan makna nilai sosial. Tanpa peranan humanis pendidik, maka pesera didikpun akan menempatkan kita sebatas hanya sebagai guru seperti pada sistim pendidikan feodal. Sistim ini bercirikan pada komunkasi pembelajaran yang searah, sehingga hanya gurulah yang dianggap sebagai sumber ilmu, yang tidak selayaknya disanggah, didebat, dikoreksi ataupun sikap tirani lainnya. Padahal kita harus ingat betul pada  pepatah lama “tak kenal maka tak sayang”.
Figur yang humanis pendidik lebih dibutuhkan pada bahan ajar yang memiliki tingkat kompleksitas relatif tinggi,  yaitu pada bahan ajar matematika, bahasa inggris, fisika, kimia dan ekonomi akuntansi. Apabila aspek ini telah konsisten diberikan pendidik kepada peserta didik, pendidikpun tidak akan serta merta memvonis dalam aspek “kognitif” pada peserta yang memiliki prestasi minim. Pendidikpun akan mampu lebih cermat dalam mengeksplorasi faktor kendala sosial yang hinggap di peserta didik tersebut. Karena walaupun bagaimana peserta didik adalah bagian dari masyarakat yang ada di sekolah, keluarga ataupun lingkungan sosial yang melingkunginya.
Pengalaman empiris telah banyak dijumpai penulis tentang figur guru yang ditakuti peserta didik yang kemudian bersikap mengambil jarak  kepada pendidik tersebut. Kasus ini banyak ditemui pada pendidik yang mengampu matematika,kimia dan fisika, meski pendidik tersebut berwajah cantik/ganteng, rapi, cerdas. Bila telah terjadi deviasi model pembelajaran seperti tersebut di atas, maka peserta didik selalu menjumpai pembelajaran yang tidak fleksibel, menakutkan/menegangkan. Selain itu peserta didikpun tidak mampu mengoptimalkan semua indera mereka dalam menyerap bahan ajar.
Humoris tidak selalu bisa kita hubungkan dengan wibawa/pamor seorang pendidik, bila dia melakukan secara proposional. Pendidik yang humoris berlainan jauh dengan pelawak, yang miskin dengan gagasan dan moralitas. Pada profil pelawak hanya lawakan lawakan segar yang mengocok perut yang  perlu dikedepankan. Sehingga pada lawakan lawakan tersebut tidak jarang kita dengar kata kata konyol yang tidak perlu diucapkan.
Namun bagi pendidik aspek humoris yang dia sodorkan, bukan semata mata lawakan segar seperti di atas. Humoris yang dilakukan pendidik adalah semata mata untuk  “mengendorkan  semua indera peserta didik  yang telah menegang” dan yang paling penting adalah membuang jauh- jauh  kesan menakutkan/seram /garang yang dimiliki pendidik.
Humoris  tentunya tidak bisa dimiliki semua pendidik, karena sikap ini adalah sikap bawaan yang sudah barang tentu bagi yang tidak memiliki sifat ini akan sulit melakukanya. Namun humoris bisa juga dilakukan dengan menyodorkan pembelajaran  vokalistik, yaitu suatu pembelajaran yang dilakukan dengan model bernyanyi yang aktif dilakukan peserta didik tanpa mengganggu kelas lainnya.
Humanis dan Humoris sebenarnya adlah dua hal yang melekat bersama sama dalam instrumen kejiwaan setiap orang sebagai suatu yang kodrati . Namun pada kenyataan humanis sering ditanggalkan pendidik karena egonya. Misalnya sering kita jumpai seorang pendidik yang membiarkan siswanya merokok di luar jam sekolah atau di luar lingkungan sekolah. Bahkan terkadang pendidik hanya berpangku tangan apabila melihat perserta didik yang tawuran di wilayah sekolahnya.  Apabila humonis tetap dikedepankan di bawah sekolah yang berbasis masyarakat, tentunya sedikit banyaknya tawuran antara pelajar bisa kita cegah.
Penulis :

Tuhan aku datang lagi


Tuhan, aku datang lagi....
Dengan kemasan kado berbalut kain pasrah....
Telah meluruh bintang-gemintang...
Saat aku pingit di kering tenggrokanku....
.
Aku dengan genggaman yang longgar..
Saat menerkam semua belantara bermanik hitam....
Melilit dan memelantingkan, hingga.....
tinggal satu dua nafas yang aku punguti.....
Lantas aku ikat dalam ikatan bunga ibadah....
Hingga aku tersungkur.....
Menelan ludahku sendiri....

Aku dalam ritmis yang sahaja
Mengokohkan AsmaMU, di tiap rentangan angan
Berbatas tiada dan tiada
Engkaupun datang dalam bahasa angin, hujan dan debu
Namun hanya batas pandangku yang dapat
kuhadirkan ~Engkau tiada terkira
gemerlap semua puncak gunung dan padang
untuk menyunting bulan dan bintang

aku dalam pangkuanMU (Semarang, 3 /2/12).

Sepotong Roti Hangat Cintaku


Sepotong  cinta  yang kau sedu dengan sepotong roti  hangat
adalah  “suka cita”, yang lebih  menyihir ketimbang
lampu-lampu “mercusuar”, meski terpagut sepi
Belum cukup lajunya sang waktu
yang “menelikung” semua sayap-sayapmu
agar berbenah di istana senja bersusun
pelangi seribu warna.

Semarang, 22 Nopember 2011

Engkau dan Aku

Menepikan sejenak semua bekal hidup
Lantas kau sandarkan, “puting beliung” yang memusari
seluruh dahaga dan mata nanar
lalu lalang belalang  yang siap menerkam
ulu hatiku yang tiada seberapa luasnya
biar saja aku lipat, untukmu yang disisiku

Aku susun bantal beruntai kain emas
Agar kau rebah dan membisikan sebuah cerita
tentang birunya gejolak hati
aku menyepi….
Hanya aku tautkan pada awan jingga

Sekali sekali engkaupun berteriak
Kala kebon bunga di samping rumah
Telah mengering, ditawan sinar kuning mentari
Akupun tetap menjaganya,
Biarlah secawan “air segar” kehidupan
Terus saja memburu,
semua pilu dan gundah

satu dua hari, aku hitung
dan terperangah dalam lakon birama hidup
engkaupun mengenakan gaun pemgantin
bertabur gemerlap pantulan sinar mentari’
aku jinjing, meski lenganku berteriak

patahkan iri dengki…dengan halimun pagi hari (Semarang, 22 Nopember 2011)

Tengoklah  Jantungku

Tak kentara, sebuah nyanyian dari jantungku
Kau dengar, meski engkaupun tak selesai
Menyododorkan telingamu

Sebuah nyanyian dan orchestra,
Jangan kau tepis dengan biola parau
yang kau hirau, dalam galau yang melibas
semua lagu lagu tentang “nyanyi rindu”

Tetap simpanlah rapi rapi, untuk
“Bunga  Pengantin” dalam semaimu,
bila telah kau mulai membaurkan warna
di atas kanvas dalam jantungku,,,,,
(Semarang, 22 Nopember 2011)

Negeriku


Impian Untuk Negeriku

 “Sang Baghaskara”, kala mengintip dengan malu
Pada tiap penjuru “Negeri dengan dandanan sulaman
beludru biru”. Menapaki “Tanah tanah legam Papua”
dan sebentar membasuh wajahya, di “ Pemandian Arafuru”

Kita mengulum senyum, dengan bola mata
menyisir setiap “ Lekuk tubuh Borneo dan Minahasa”.

Dalam telanjangnya nafas ,
dan sejauh kita mampu meluruskan pandang mata,
Sejauh itu pula, bersolek bukit, lembah dan pematang sawah,
dengan bedak dari halimun
dari celah bukit dan puncak puncak gunung.
Bibir gincu perawan desa, adalah apa yang harus kita
saksikan. Dari eksotis tiap ramahnya padang dan sawah.

Apakah masih ada, sebuah keluh dari sepotong peluh
Hingga merontanya tangan kita, yang telah kosong  dari
guratan-giratan petuah nenek moyang kita
ataukah kita hanya ingin menjadi “tiupan prahara”
yang merontangkan tiap bunga bunga persembahan
sang pengantin baru.

Lantas sepi, hanya asap kedurjanaan.

Kita bentangkan tudung saji berkain biru,
Melengkung dari dua samudra lepas
Mengait pada “Laut Kidul” dan “Laut China Selatan”
Agar “Sang Atmosfer” di atas sana
Tidak menyeruakan lagi tentang kabar sumbang
Tentang ngarai yang hijau
di pinggir permadani kuning padi padi yang masak.

“Puncak Mahameru”, tak kan mungkin goyah
Untuk sebuah tambatan, dari hati yang menerjangkan
Bara api.
Kita jaga bersama
Agar sawah dan ngarai
Terus hadir dalam mimpi kita  (Semarang, 21 Nopember 2011)

Gadis Desa

Si gadis desa mengecup pagi ini,
Lantaran hanya itu yang dia miliki,
Berjajar beribu bunga menjadi pagar rumahnya
Dan sebuah basuhan air embun
Nurlela berikan tiap, mentari di Timur.
Karena hanyalah hidup damai yang dia
impikan.

Gadis desa sejenak menyambangi cermin miliknya
Di dinding bambu rumah panggung
Keriput dan lipatan wajahnya
Kini lebih kentara
Apa karena ini gambaran hidupnya ?
Dari apa yang pernah ia dengar
tentang dandanan seronok kehidupan ini.

Gadis desa,
Lebih memilih, merapikan tiap pagi
Yang hadir, pada tiap sendi tulangnya
Ketimbang menikam hidup
ini menjadi “pecahan kaca yang tajam” ….(Semarang, 21 Nopember 2011)

Ilalang Awang Awang Kumitir


tatkala semua sisi  Jonggring Saloka
meggemparkan dengan tautan warna hari,
senandung lirih menyertai dalam rajutan  Negeri Kahyangan
angin angin yang jeli menyeruak dari  Sekar Kedaton
dalam taman, semua tak berkata dusta
aku terpojok dalam sudut hati
hingga aku melepas ikatan dalam benak  syak wasangka
tak kusadari aku terbaring
di tengah kelambu langit penuh benang kasih
hingga aku sepeti  sang penghuni Indraphrasta

luluh lantak yang terberai dalam cakrawala semu
aku punguti kembali,
aku semaikan dalam kelopak Edelweis,  namun tak kunjung mengering
menjulang dalam tatapan langit
sempat aku baca guratan yang berlalu
aku benamkan dalam lazuardi di balik dada

satu hari melaju…..
bermetamorfosis dalam peredaran bulan dan matahari
sehingga tak terasa satu dua bukit terlampaui
satu dua pulau, telah  akrab dengan pelanginya sendiri
akupun terjebak dalam canda terpingit hari
apalagi bila kembang warna warni turut berprosa
dalam bait yang runtut, namun hening dalam damai

satu hari terkapar
wajah hari lainnya mensemilirkan angin musim
satu hari meradang nanar dalam sorot mata binal
hari lainya menyodorkan Puncak Mahameru
dalam adonan Asmarandhana
hingga aku terpelanting dalam kicau pipit
kutilang, nuri dan burung penjaga pagi
kita di sebersit warna pelangi yang meluruh
karena putaran roda pedati yang rakus tak henti
aku mengusap peluh, engkau mengatur nafas
kita masih tetap dalam waktu

(Semarang, 6 April 2012

Rumah Bambu Berhalaman Taman Bunga


Tengah hari Kota Semarang dibanjiri semburat sinar mentari yang panas membakar. Debu debu berceria dan berkejaran di hempas roda roda kendaraan besar, layaknya monster yang haus akan mangsanya. Jalan jalan aspal berkilauan memantulkan sinar matahari yang tegak lurus menikamnya.  Peluh dan sorot mata berang memenuhi semua insan yang mengais selembar demi selembar harapan untuk melonggarkan nafas. Guna menggenggam hidup.

Pertengahan Bulan Oktober ini, alam lebih senang mengerlingkan matanya pada bumi dengan kerling mata yang kering tiada dibasahi hujan setetespun. Sementara bumi sudah mulai melekangkan tubuhnya, mengeliat dengan panas yang mengungkunginya. Meski baru dua minggu hujan besar telah menyelinap di wajahnya. Namun kini bumipun sudah mulai menunjukan kegerahanya.

Apalagi bagi  Herlambang yang tiada selembarpun kesejukan  bersemayam di hatinya. Di tengah deru dan debu hidupnya, wajah Raras yang kini merantau ke negeri jiran selalu berada di benaknya. Setelah kerja setengah hari pada hari sabtu siang, sambil menunggu kedatangan anak anaknya pulang sekolah, selembar lamunan terus memagut anganya. Mengapa dia membiarkan istrinya menjadi TKI di negeri sebrang, yang hanya meninggalkan kepedihan itu. Apalagi bila malam tiba, saat Ririn putri bungsunya, memeluk tubuhnya kencang-kencang, lantaran dia tidak mau  kehilangan lagi tempat berlindung. Setelah mamanya meninggalkan mereka demi selembar kehidupan .

Masih membekas dalam relung ingatanya, kala dia selalu menyodorkan egonya, menghempaskan harapan Raras untuk membina maghligai rumah tangganya dengan lengan lengan mereka yang tiada seberapa kokohnya. Kala dia pernah memberi janji manis pada gadis pedagang jamu gendong di Kota Semarang, untuk memberikan segala kehidupanya demi membangun gubug mungil berhalaman taman bunga, meski hanya kembang sepatu, bakung dan nusa indah. Betapa indahnya hidup yang berisi penuh dengan gambaran fantasi itu dan Ririnpun menjadi hanyut terkulai di pelukan Herlambang.

Maghligai penuh kasih mereka tambatkan dalam rumah mungil meski berdidnding bambu. Dalam gubug bambu itu, selalu terdengar canda anak anak mereka yang mungil, imut, cerdas dan manja. Tangis sang anak adalah ibarat penyejuk saat hati merasakan getirnya kehidupan. Itulah yang diberikan Herlambang kepada Raras, meski hanya sebuah janji.

Masih membekas pula kala dia hanya mampu menghabiskan gaji bulananya di meja judi berteman botol botol miras yang hanya dingin membujur, saat dia kalah dan kalah terus hingga mengikiskan akal sehatnya. Membenamkan seribu janji yang pernah dia sodorkan kepada Raras tentang hidup di tengah gubug bambu namun berornamen kesahajaan dan kasih saying yang tulus.

“Bapak Ririn pulang “ sebuah suara lembut dan manja mengagetkan selembar lamunanya di siang hari. “Ririn sudah di kasih rapot  sama bu guru dan surat  untuk Bapak. Baca ya Pak. Dan Bapak di tunggu bu guru di sekolah ?’
“Ya Sayang, Bapak besok ke sekolah, mana rapotmu, sayang !. Biar Bapak lihat ?”
“Tapi Bapak masih marah ?”
“Oh Ririn sayangku, Bapak sudah nggak marah lagi, ya sayang !. Bapak tadi malam marah sama kakak kakakmu yang bandel”
“Baguskan rapotnya Ririn, Pak ?”
“Iya dong, anak siapa dulu “
“Nanti rapotnya di kirim ke mama ya Pak. Biar mama tahu rapot Ririn. Kapan mama pulang, Pak , Ririn kangen sama mama ?”. Air mata bening kini berada di kedua mata bocah yang hanya mengerti ketulusan hati. Air mata yang hanya datang dari hati yang paling dalam.

Herlambang kinipun tersudut di ketidaktahuan. Bagaikan bocah kecil yang tersesat di padang luas tak tahu arah. Kala menerima permintaan dari Ririn samudra hidupnya.
“Pak, janji sama Ririn ya, cepat cepat menyusul mama “ Suatu pertanyaan yang paling mengiris hatinya kini datang lagi,dari bocah yang lugu dan tidak sepantasnya jauh dari sisi mamanya.

“Iya sayang, besok Bapak ke sekolah kamu dan habis itu Bapak menyususl mama. Nanti Bapak belikan baju baru, ya ?”
“Nggak mau, Pak. Ririn hanya mau mama pulang !”.

Anak kesayanganya itu masih dalam gendonganya, namun hatinya kini memenuhi isi langit, mengembara jauh tiada tepi untuk menemukan seribu cara meminta kepulangan Raras yang entah di mana. Tiada selembar suratpun dia terima setelah perpisahan mereka.Ririnpun terkulai tidur di bahunya yang legam da kokoh. Sementara itu Iwan putra ke duanya dengan langkah terburu menghampirinya, sambil terengah berusaha mengatur nafas.

Ada apa, Wan ?”
“Pak, aku tadi di sekolah dikasih uang ?”
“Siapa yang ngasih uang kamu ?”
“Nggak tahu, Pak. Dia mengaku teman mama di Malaysia. Dan kini dia pulang ke Indonesia dan nggak tahu dia ngasih aku uang untuk Ririn, aku dan Mbak Winda ?”
“Namanya siapa ?”
“Namanya Tante Lilis dan dia memberi alamat aku, katanya rumahnya di Kalisari, ini pak alamatnya. Untung Iwan tulis di buku alamatnya Tante Lilis. Janji ya Pak !, nanti jemput mama ?”
“Bapak nanti akan jemput mama, tapi Bapak nyari alamat Tante Lilis dulu. Eh..jangan ngomong sama Ririn dulu, ya..janji !”
“Iwan janji, Pak asal Bapak mau jemput mama secepatnya”
“Jangan kuatir, anaku !, demi kalian bertiga Bapak akan jemput mamamu”

******

Semula Lilis ragu dalam hatinya setelah bertemu dengan Herlambang, di rumahnya. Apakah pria yang ada didepanya kini adalah suami teman akrabnya di Malaysia. Namun perasaan ragu kini telah hilang setelah mereka berdua larut dengan perbincangan mengenai Raras.

“Dia memang kecewa dengan dirimu,Mas “
“Akupun mengerti perasaan Raras, namun demi anak anak aku harap dia mau kembali ke Indonesia. Dan akupun sudah tidak seperti dulu lagi, aku adalah manusia yang punya hati. Sepeninggal Raras,  kesedihan dan rasa rindu mereka bertiga sungguh mengiris hati ini. Maka aku akan kirim surat padanya agar mau berkumpul dengan mereka yang masih kecil”
“Bukan hanya anakmu saja yang menangis. Sering pula aku menjumpai Raras menangis, merindukan mereka bertiga”
“Tetapi mengapa dia tidak segera kembali “
“Raras segera mengurungkan niat kembali ke Indonesia bila ingat perlakuanmu padanya, Mas !”.
“Apakah tidak ada kesempatan bagi saya untuk membuktikan janji aku sama Raras?. Maka tolong Jeng Lilis, beri aku alamat Raras. Walau bagaimana dia adalah istriku “
“Tapi, Raras melarangku untuk memberimu alamat “
“Kalau memang tidak ada kesempatan untuku, suruhlah dia kembali, Jeng demi anak anak. Terutama untuk Ririn”

Saat Herlambang menyebut nama Ririn,  seketika itu pula terlibat butiran air mata Lilis memenui seluruh rongga matanya. Lilis mampu membayangkan betapa tersiksanya Raras di hampir setiap malam tiba,  kala teman karibnya menahan rindu yang mendalam.

“Bila Jeng Lilis tidak mau memberiku alamat, tolonglah kirimi dia surat, sampaikan padanya bahwa betapa menderitanya Ririn kehilangan dia. Bila dia tidak mau bertemu aku lagi. Bawalah Ririn dan kakak-kakaknya sesuka dia, meski hatiku berat ”. Herlambang adalah pria yang kokoh hatinya, namun menghadapi kenyataan ini semua Herlambang tak lebih seperti  bocah cilik yang kehilangan mainan.

“Baiklah Mas, aku beri nomor Hpnya, pakailah hpku saja supaya dia mau membuka,  biar Mas bisa menyampaikan sendiri ?”

Dengan tangan gemetar Herlambang memegang Hp Lilis, kini hatinya merasa tak percaya ketika sebuah suara yang paling dia kenal memenuhi semua pendengaranya.

“Ras, tolong jangan di tutup Hp ini. Aku Herlambang, tolong Ras aku ditunggu anak anak untuk mendapat jawaban darimu. Terutama Ririn yang tiap malam mencarimu”
“Untuk apa lagi, Mas.  Bukankah Mas dulu mengusirku pergi, Bukankah keberangkatanku telah minta ijin Mas, lagi pula Mas dengan dingin memintaku pergi sejauh yang aku suka”
“Raras, itu dulu. Aku tidak akan seperti itu lagi”
“Aku sudah tidak percaya kamu lagi, Mas !. Sejak kapan manusia sepertimu bisa memegang janji. Aku rela berpisah dengan anak anak karena janji yang kau lupakan. Bahkan dirimu memperlakukan aku…….”

“Ras, aku menyesali itu semua, setelah tiap malam Ririn dalam pelukanku dan selalu menyebut namamu di tengah tidurnya. Kau kan istriku, kaulah yang paling berhak memeluk Ririn kala malam tiba “

“Setelah aku kembali dan Ririn bersamaku lagi, kau bebas memperlakukanku lagi ?”
“Aku harus berkata apa lagi, bila kau terus seperti itu, Oh ya tadi Ririn menyuruhku mengirim rapotnya, dia naik kelas dua. Ririn tadi mengambil  rapot bersama dengan kakeknya. Dan besok aku harus ke sekolah memenuhi panggilan gurunya”

“Ririn naik kelas, Mas. Lantas mengapa gurunya memanggilmu ?”
“Dia bisa naik kelas dengan catatan harus banyak mendapatkan perhatian khusus dari ortunya. Aku laki laki Ras, tidak mampu memberi perhatian selembut dirimu. Maka kembalilah demi Ririn “

“Jangan kau harap aku akan kembali. Tapi tolong, Mas kirimkan copi rapotnya Ririn”
“Mengapa sama sekali kamu tidak mau kembali di tengah anak anak. Aku yang salah bukan mereka Ras. Demi kebagiaan kamu dan mereka,meski berat hati aku rela mereka semua kau ajak pergi. Ini memang sudah sepantasnya buat aku, Ras !”

“Tapi aku sudah tidak bisa menerimamu lagi, Mas !”
“Itu hakmu!, yang penting anak anak bisa berkumpul denganmu lagi. Aku rela kehilangan semuanya”

Herlambang tidak berani meneruskan lisanya lagi, kala sebuah isak tangis membahana di Hp Lilis. Herlambang menjadi tak mengrti mengapa hari ini kehidupanya penuh diwarnai isak tangis. Sebuah renungan mendalam menghiasi kalbunya, hingga menghasilkan niatan yang kuat untuk membenahi kehidupanya, bersama istri dan anak anaknya. Sebuah niatan untuk memyodorkan sebuah realita tentang rumah mungil berhalaman taman bunga, seperti yang dulu pernah dia janjikan.

“Ras, beri aku janji kapan kau akan kembali. Sebelum aku ke rumah Jeng Lilis, aku telah berjanji kepada anak anak tentang kedatanganmu”

“Mas, kamu pulang dulu. Catatlah nomor Hpku biar aku di rumah bicara sama anak anak”
“Ya, itu lebih baik, Ras. Aku sudahi saja, Selamat berbahagia dan jumpa lagi”

***

“Bapak, kapan mama pulang ?’ pekik Ririn dengan lucunya dan langsung menubruk tubuh Bapaknya yang tinggi besar.
“Duduk dulu di kursi ya. Nanti dengarkan sendiri janji mama”
Sebuah dering panjang dari Hp Herlambang memenuhi tiap sudut ruang tamunya dan kini Hp itu sudah berada di telinga Ririn. Ketiga anaknya kini bisa sepuas hati melepas kerinduan mereka terhadap mamanya. Mereka menjadi puas hatinya kala mendengar janji mamanya aka kembali ke tengah mereka minggu depan.

Waktu merambat bagai anak panah melesat dari busurnya, dengan penantian yang dirasa panjang ketiga anak Herlambang kini merasakan kehadiran mama mereka, terutama Ririn yang tidak mau lepas bergayut di lengan wanita setengah baya yang cantik itu.

“Mas aku akan bawa mereka ke Malaysia, karena disanalah kehidupanku”. Suatu senja di beranda rumah. Raras mengajukan sebuah permintaan

“Meski dengan berat hati, silakan Ras, demi kebahagiaan mereka. Mereka sudah cukup menderita, sekarang giliran mereka untuk menggapai bahagia bersamamu”
“Apa kamu tidak kehilangan, Mas ?”
“Siapa orang tua yang mau kehilangan anak , Ras !. Tapi andaikan kau melihat betapa menderitanya mereka selama kau tinggalkan.Kamupun akan rela berkorban apa saja demi kebahagiaan mereka. Apalagi semua ini karena salahku”.
“Apa karena kau sudah jera direpoti mereka ?”
“Sesaat kamu pergi, memang aku merasa mereka merepotkanku. Tapi itulah duniaku, itulah masa depanku, kalau toh aku inginkan semua kembali bersatu. Sudah tidak ada gunanya lagi, karena kamu sudah tidak percaya aku lagi”

Raras diam seribu bahasa, kentara dia masih menyimpan ganjalan di hati yang sangat berat untuk disampaikan kepada Herlambang. Herlambangpun mengerti perasaan istrinya itu, yang melebih es dinginya selama mereka berjumpa lagi.

“Aku tahu semuanya, Ras.Tidak usah kamu tutupi perasaanmu. Tidak usah kamu takut, Herlambang dahulu dengan sekarang berbeda. Meski Jeng Lilis tidak crita tentang ini, tapi aku bisa membaca isi hatimu. Tapi perlu kamu ketahui,merekapun tidak mau lagi menerima arti sebuah kehilangan, apalagi selama ini akulah yang paling dekat dengan mereka. Aku berkata seperti ini bukan untuk mengemis kehadiranmu, tapi demi anak-anak.Karena mereka semua, adalah masa depan kita”

“Tapi kehidupanku disana akan lebih menjanjikan, Mas !. Mereka tentunya akan bahagia bersama kehidupan mereka yang baru”
“Sebaiknya kamu jangan terburu buru menyimpulkan. Pintalah pada mereka satu per satu. Kalau memang mereka mau,apa salahnya ? ”
“Betul, Mas ?. Kamu tidak akan merasa kehilangan ?”
“Arti sebuah kehilangan telah akrab dengan diriku sejak kecil, Ras. Sejak ditinggalkan ortuku,kehilangan jati diriku dan kehilangan kamu “
“Kamu telah berubah sekali,Mas “

“Ya, karena berada di tengah mereka selama dua tahun. Penderitaan mereka telah menyadarkanku dan mendewasanku. Justru perasaan itulah yang membuat aku siap segalanya menerima semua kehilangan seperti yang kau pinta”.

“Tapi aku sudah terlanjur melangkah, Mas ?”
“Itu,masalahmu, Ras, yang penting kamu bahagia. Tinggal kini anak anak bisa menerima tidak. Terutama Ririn, dia sekarang sedang mengalami penyembuhan psychology. Sebaiknya kamu jangan melangkah terburu-buru”
“Ah…aku tidak tahu, Mas !. Aku harus berbuat apa ? ”
“Bahagiankan dahulu hati kamu di tengah mereka. Niatan menggapai hidup di Malaysia kamu tunda dahulu. Meski sekarang kamu sudah di tengah mereka. Anak anak masih tidak percaya realita ini. Ririnpun masih menyimpan rasa takut kehilangan dirimu lagi “
“Akupun kini mulai ingat akan janji-janjimu dulu Mas. Tentang rumah kecil namun bahagia di tengah tawa canda mereka. Seperti yang pernah kamu janjikan “
“Kamu tidak sadar, Ras !. Bahwa janji janji itu mulai aku tepati. Setidak tidaknya kita sering berkumpul bersama dengan mereka, tanpa ada yang merasa kehilangan.Hanya kamu saja yang masih berniat menggapai kehidupan di Malaysia. Namun aku tak berani menghalangimu, karena itu hakmu. Yang penting mereka bertiga berbahagia”.
“Akupun tau, Mas. Namun kadang kadang aku masih tidak percaya ?”
“Maka waktulah yang akan memberimu kepercayaan kembali”

Malampun mulai menyisihkan senja, rumah mungil itu kini tidak perduli lagi terhadap datangnya malam. Karena kehangatan kini mereka dapatkan kembali, setelah beberapa lama tercabik oleh derunya nafsu manusia. Rumah mungil itu kini kembali diwarnai dengan halaman tempat taman bunga bersemi.