Kamis, 17 Mei 2012

fitri


Merajut Damai dengan Dahaga

Telah aku rajutkan seribu benang
pada seribu kelopak bunga lepas
agar tidak bertaut dengan “kumbang kelana”

aku beri juga.
sudut sudut hati agar mengerti
kekosongan jiwa

Kembali merajut dalam diri……
sehingga persinggahan mentari
tak nakal lagi…akupun bertambat
pada hati yang kujaga

Semarang, 8 September 2010

Duka Lara dalam Lapar

Aku kembalikan tubuh ini
yang terlelap di pembaringan
tiada tepi
Berbatas kaki langit
Dari belahan utara hingga langit selatan

Aku tegakan tubuh ini
Agar lebih jelas mendengar
riuh rendah guratan pagi..sementara itu
debu kini kupunguti
dari nyanyian hati..yang lusuh

Biarkan saja debu bercerita
kepada handai tolan di angjasa biru
sementara itu….. akupun
berlari sekuat untuk menepis

Semarang, 8 September 2010



 Sebuah Sajak untuk Adzan Maghrib

Jangan kau durhakai lagi
Lantas kau urungkan….sebuah kerinduan
yang kau baringkan di puncak Himalaya
Kejarlah selendang jingga
kala bertaut di kanvas barat
biar hitam tinta hidup
tak lagi menengok bilik jantung

Kita rajutkan satu benang emas
agar cahaya tak lagi baur
agar mata kita tak tersorot lagi
dengan iri dan dengki

Semarang, 8 September 2010

Kekasih yang Pergi

Engkau yang pergi
Tak meninggalkan sembilu…
Hanya  sebuah pesan….
Janganlah jemari melonggar demi kekosongan
rengkuhlah “seribu melati”
beraroma …

Selamat tinggal
pada yang tak menyisakan bayang
aku datang lagi…
kaupun menjauh tak menghirau
bila engkau yang datang
dipenuhi ombak Laut Selatan
di halaman hati yang sejuk

(Effi Nurtanti, Semarang, 8 September 2010)

Melati dari Negeri Kaca


Bila engkau mampu seputih buih di laut,
tiada pernah membawa kebohongan hingga ke tepian
merentang sayap dan kelopakmu
hingga kau letakan, tangkai yang menyedu riak dan gelombang
agar menjadi ikatan mawar sehalus sutra.

Melati, tak kan lagi kau berseloroh dengan camar
Yang bergincu ‘nyanyian parau” dari tajamnya kerikil hidup
Benahilah wajah pagi semurni sudut jantungmu
Tajamkan sang waktu, hingga kau jinjng
bekal untuk tidur pulasmu,
Ketika rembulan malam mencibir dengan dandanan
eksotis hidup
meski hanya sebuah rumah bambu
namun mampu kau bersandar pada hijau huma
tempat sebilah hidup menawanmu dengan cemerlang
seputih mahkotamu
(Effi Nurtanti ,  Semarang, 14 Desember 2011)