Tentang rumput
hijau yang tiba tiba saja mengering.
Semua
kawanan burung memekik tidak percaya
Seorang
penggembala kerbau menyelinap ke pangkuan ibunya, seraya berkata:
“ Ibu seandainya, Sang Resi telah bersemayam di
balik Mahameru, apakah masih ada lagi hari hari indah untuk anak miskin seperti
aku ?”.
Saat itu sang mentaripun berkalang sejuta
selendang bidadari, yang beranyam daun pandan semerbak harum mewangi, dan awan
awan hitampun telah pulang ke peraduanya di balik Mount Everest.
Bulanpun di balik tirai kamar pengantinya telah
sembab dengan air mata ksedihan
Sementara itu….., di pangkuan Sang Arjuna, Dewi
Srikandi yang telah berselingkuh dengan Demi Amba, wanita dengan kulit kuning
langsat, mengulum biji biji mentimun di bibir yang hangat menawan dan merah
membara, tak ubahnya seperti merah mawar hasrat.
Demi sebuiah cinta Dewi Amba telah memperdaya
busur waktu, untuk menjelajah dari episode ke episode berikutnya, guna sebuah
pertemuan dengan Resi Bisma, pemuda
tampan perkasa,halus budi pekertinya. Lantaran senyumnya semua Bunga Anyelir di
Hastinapura menggelorakan kelopaknya.
***
Di Negara Kasi, saat Sang Resi Bisma telah
menghamburkan sejuta sayap pesona,
sehingga mata bening indah dari Sang Amba tiada lepas memagutnya.
Tersebutlah suatu Titah Dewa, bahwa Resi yang
piawai tentang filosofis hidup,,pikologi social dan pria Metroseksual serta
cerdas, terbukti dengan sejuta prestasi akedemis yang pernah disandangnya
berkat gemblengan Resi Bhrihaspati (Mahaguru ilmu politik ) dan Resi
Vedangga (Mahaguru Ilmu Sosial ) dan ilmu perang dari Resi
Parasurama. Mengikuti Sayembara tentang segala macam ilmu di Negara
Kasi dan menanglah Sang Resi yang arif bijaksana tersebut.
Maka berserilah Dewi Amba yang telah merona
jantung hatinya, gairah yang terpendam terus saja berkecamauk, . Namun Bisma
telah bersumpah kepada dewa untuk tidak bersanding dengan siapapun. Maka
merahlah wajah Dewi Amba dengan sekujur tubuhnya yang bergetar lantaran kekecewaan
yang mendalam. Hatinya kini berkeping seribu lantaran langit jingga asmaranya
kini menghitam jelaga.
Bahkan Sang Resi yang telah membulatkan tekad
untuk menyerahkan jiwa raganya semata demi “kesentosaan hidup jalma manusia”
terus saja melakukan tapa bratanya meminta Anugerah dan Petunjuk Kepada Yang
Maha Kuasa. Bagi Dewi Amba sikap pemuda pujaannya itu, bukanlah halangan yang
berarti, maka teruslah dia mencoba menggapai sebilah cinta yang agung itu.
Suatu saat pagi tersenyum gembira dihangati kuning
langsat sang mentari yang genit, ilalang dan semak berhenti sesaat
menggoyangkan badanya. Sang Merapi tiada lagi membarakan gelora amarahnya,
tetapi duduk bersimpuh melihat adegan pertemuan dua insan manusia yang saling
berjumpa.
Sang Amba menagih janji lantaran Sang Resi yan
telah memenangkan sayembara di negaranya
itu. Di lain pihak Sang Resi tetap menginginkan tugas sucinya demi kedamaian
umat manusia di bumi ini.
Keduanya Nampak bersitegang, kemudian berujung
dengan ancaman Sang Resi dengan mengarahkan busur panahnya kepada Sang Amba,
entah putaran bumi memang harus berjalan seperti itu, lepaslah anak panah dari busurnya secara tak
sengaja hingga tewaslah Sang Amba dengan meninggalkan sebuah janji pada
Bharatayuda kelak, dia akan menitis menjadi Dyah Woro Srikandi.
“Gusti Ingkah Makaryo Jagad”-pun mengabulkan
sumpah janji Sang Amba,dengan mempertemukan Sang Resi dengan Srikandi, yang
berakhir dengan gugurnya Sang Resi.
Layaknya seribu anak
panah Hrusangkali milik
Srikandi yang menebas leher Resi Bisma, telah menancapkan benang sutra asmara
di ulu hati Raden Abimanyu, kala bertemu Dewi Utari dalam pandangan mata yang
pertama di beranda “Stinggil Kraton Wirata”. Tautan panah asmara yang begitu kokohnya, sempat membuat Abimanyu
termangu, mengapa bola mata Dewi Utari yang “lentik, bersih sekaligus halus”
mampu membelah dadanya dan mencuatkan seribu prosa asmara dari dalam bilik jantungnya.
“Oh..Paman Prabu
Matswapati, sang raja negara Wirata. Mantra sakti apa yang paman usungkan untuk
para dewa, sehingga paman memiliki putei bungsu “Boneka India” yang berujud
Dimas Dewi Utari”. Bisik hati Raden Abimanyu yang “keyungyung”
terus saja mengalirkan Kidung
Asmarandhana dalam pembuluh nadinya.
Tatapan garang mata
Abimanyu, segarang King Kobra yang berhasrat melumpuhkan
mangsanya, kini menelisik ke tiap lekuk tubuh Dewi Utari, yang herada di
depanya. Dewi Utaripun membalas uluran tangan “sapa salam” Putra Arjuna. Dengan
rambut hitam pekat dan berombak yang
berderai ditikam angin kemarau Negeri Wirata, Dewi Utari mempersilakan pria
tampan itu menghadap Romo Prabu Matswati. Setelah Abimanyu berhasil mengalahkan
seribu raja Jawa yang dalam gelaran sayembara untuk “mencari pemenang” siapa
yang layak menjadi Kembang Setaman Negeri Wirata.
“Beruntunglah aku
hai, para dewa. Engkau telah mempertemukan aku dengan ksatria muda yang tampan.
Mengapa perasaanku terasa aneh siang hari ini, dadaku terasa sesak,
tenggorokanku kering dan dadaku menyimpan seribu nafas hingga teras tersumbat
nafasku”
Bisik hati Dewi Utari
kini memenuhi setiap sendi tulangnya. Bisikan wanita yang baik budi bahasanya,
lembut, penuh peduli pada sesama dan santun menjadikan dia adalah wanita
kekasih dewa. Maka bisikan itupun seketika didengar para dewa. Sehingga Bathara
Guru Penguasa Tunggal Tribuwana , mengutus Bathara Narada untuk mengkabarkan
segala sesuatu tentang perjodohan dia dan Raden Abimanyu.
“Hai Utari, cucuku”
Bathara Narada dengan penuh santun kini sudah dihadapan Utari yang sedang
bermandi seribu bunga. “ Ketahuilah ngger !, Perjodohanmu dengan Abimanyu telah
menjadi “garis hidupmu” milik para dewa. Dalam dirimu telah bersemayam Wahyu
Hidayat sebaliknya dalam diri Abimanyu juga telah tertanam kuat Wahyu
Cakraningrat. Kedua wahyu itulah yang membawa suratan takdir kalian
berdua untuk menurunkan raja raja Tanah Jawa. Hati hatilah Utari, jalani hidup
kamu disamping Abimanyu dengan penuh bijaksana, adil, jujur dan juga ketabahan”
Kata kata terakhir telah dilontarkan pada Dewi Utara bersamaan dengan
menghilangnya Raga Bathara Narada.
***
Langit
bumi Wirata benar benar cerah, tanpa setitikpun mega hitam. Semua hijauan palem,
perdu dan belukar saling bergesek, ditiup semilir angin kemarau. Udara
bertambah sejuk setelah angin gunung mulai gabung di atmosfer Kraton Wirata,
yang dipenuhi panji warna -warni serta prajurit kraton yang segelar sepapan di
sela sela rakyat yang tumpah ruah.
Seluruh
ruangan Pisowanan Agung
berornamen seribu warna, lengkingan gamelan kraton terus saja menggema
di tengah wahjah yang berseri. Prabu Matswati, yang paling terlihat menguntai senyuman, meski Utari hanya
menundukan wajahnya dengan rona merah di kedua pipinya, Pertanda dia masih
menyelipkan rasa malu.
Abimanyu
kini telah berhadapan langsung dengan Sang Prabu Matswati.
“Sungguh aku bahagia hari ini, bisa
melangsungkan daup Utari anak kesayanganku dengan dirimu, Putra Arjuna!!!”.
“Tidak
ada yang dapat hamba ucapkan, kecuali hanya dengan perasaan haru bisa menjadi
menantu Panjengan Ndalem Prabu Matswati”
“Akupun
tidak banyak mampu bicara, hanya dengan sebuah pesan saja, yaitu Amalkan Dharmaning Satria dalam
menitip hidup berumah tangga dengan Dewi Utari”
“Pesan
pamanda prabu, akan aku laksanakan. hambanyuwun pangestu”
***
Senja
telah menghampar di bumi Wirata, semua penduduk telah bersiap untuk menuju ke
peraduan di bilik rumah mereka yang sederhana. Sementara Abimanyu kini hanya
berdua dengan Dewi Utari di Bungalow, di lereng bukit Langensari. Lekuk tubuh Dewi
Utari tidak mampu lagi menjaga jarak dengan tubuh Raden Abimanyu yang perkasa.
Semakin malam semakin redup nyala api yang menerangi bungalow itu. Hanya dengus
nafas mereka berdua yang mampu menyelinap hingga ke tengah malam. Peluh Raden
Arjuna dan rintihan kecil sang dewi menjadi saksi perpaduan asmara mereka.
Raden
Abimanyu menyeka peluh yang membasahi seluruh tubuhnya, secangkir teh hangat
manis disodorkan oleh sang dewi. Kembali sang dewi berada di pelukan Putra Sang
Raden Arjuna.
“Kangmas
Pangeran Abimanyu ?”
“Diajeng
Utari !, jangan malu –malu ada apa ?”
“Kangmas
Pangeran !, apakah Kangmas sudah
beristri ?” Sejak mereka bergelora di peraduan hanya dengan bahasa sorot mata, kini
sebuah sebuah pertanyaan pada Raden Abimanyu telah diucapkan Dewi Utari. Raden
Abimanyu hanya membalasnya dengan peluk cium yang lembut dan romantis.
“Aduh
Kakangmas Pangeran !, mengapa tidak kau jawab ?” Dewi Utari bertambah bergelora
untuk bertanya. Sebersit rasa penasaran kini tumbuh di hatinya, padahal dari
staf intelejen kerajaan Wirata, Pangeran Abimanyu baru saja melangsungkan
pernikahan dengan Siti Sundari. Tetapi mengapa suamnya kini berbohong padanya ?.
“Hanya
engkaulah sang dewiku “
“Mengapa
Kakangmas Pangeran Abimanyu seorang satria keturunan Pandawa berani berbohong
pada aku , pangeranku aku minta sebuah kejujuran?”
“Akulah
kejujuran dimas !, akulah seorang satria utama yang selalu membela kebenaran,
aku tidak mungkin berlaku curang dan nista, apalagi denga dirimu Utari !!! “
Ditengah kegusaran Raden Abimanyu, dia masih tetap menyodorkan harapan agar
Utari percaya dengan jawabanya dia. Namun kenyataanya, Utari terus saja
menyelipkan sikap ragu, yang dapat terbaca dari sorot matanya. Dan Putra
Arjunapun telah kehilangan kesabaran serta kehalusan budi pekertinya. Maka kini
segala yang terlontarkan dari mulutnya
tidak berdasarkan nalar dan pertimbangan yang bijaksana.
“Utari
!, demi Dewa yang Mbaurekso Jagad, aku bersumpah, aku rela mati
dengan luka arang kranjang di Bharatayuda bila aku berdusta. Aku belum pernah punya istri
sebelum bertemu dirimu !!!”
“Aduh
Kangmas Pangeran !!!”. Belum lama Utari
mengucapkan kegaluan hatinya. Dia segera memeluk Rasen Abimanyu, yang kini
hanya diam terbujur. Setelah terdengar suara petir memenuhi langit Wirata. Kembang
api alam yang menusuk mata menggemakan suara pekik yang memekakan telinga,
seakan berhasrat meruntuhkan langit. Penyesalan Utari kini menyesakan dadanya,
apalagi dia kini menyaksikan sendiri Abimanyu yang hanya terbujur diam. Pelukan
mesra masih saja dia berikan kepada suami tercintanya. “Aduh Kangmas, semoga Dewa
berkenan mengurungkan niatnya untuk menurehkan sumpahmu . Oh Dewa maafkan kelancangan
suami hamba!”
***
Gelaring
jagad mercapada tidak ada satupun yang mampu menghentikan, baik
dewa apalagi titah sawantah. Maka panah sang waktupun terus
bergulir tanpa menoleh kebelakang. Segala sesuatu yang telah digariskan oleh
Sang Kuasa tetap berjalan menurut apa yang sudah digariskan, termasuk gelaran Bharatayuda
Jaya Binanglung.
Setelah
banyak sudah para ksatria, raja dan rakyat jelata yang gugur, kini Bharatayuda
memasuki hari ke-18. Sebuah episode peperangan antara darah Kuru yang membawa pihak Pendawa pada perjuangan
hidup mati. Prajurit pihak Kurawa langsung di bawah kendali Senopati
Agung Resi Bisma dan Resi Dorna, yang berperan sebagai Senopati
Pengapit.
Sementara
KsatriaBetengePendowo, yaitu Raden
Werkudoro dan Raden Arjuna telah meninggalkan pos mereka. Hanya Raden Abimanyu
yang diunggulkan mampu mendobrak “induk
prajurit Kurawa” yang terkonsentris di
tengah dan dipimpin langsung oleh Resi Dorna, Pasukan Resi Dorna inilah yang
menjadi kekuatan utama Kurawa, yang bergerak bagaikan air bah siap menelan bala
tentara Pandawa.
“Abimanyu putraku. Jangan kau lawan mereka. Aku rela Hastina
dan Indraprasta menjadi milik Kakang Duryudono. Asal tidak ada
korban diantara kita “ Rintih Prabu
Puntadewa menggema ke seluruh markas komando. Namun rintihan pamanda Abimanyu,
sama sekali tak dihiraukan oleh Abimanyu.
“Pamanda
Prabu, Bharatayuda telah digariskan oleh para Dewa, telah digariskan pula bakal
membawa korban jiwa dan segala galanya. Adalah suatu kebanggan bagi seorang
ksatria yang gugur diRananggono. Pamanda Prabu !, putrandan
mohon pamit !“
Terompet
pertanda maju dan siaga berperang telah menggetarkan gendang telinga semua
prajurit Randu Gumbolo, pertanda bahwa mereka telah siap untuk
menyabung nyawa membela kebenaran. Raden Abimanyu tanpa berpikir panjang lagi,
dia segera memerintahkan semua unit pasukan khususnya untuk bersama merangsek
menggempur Prajurit Resi Dorna yang tangguh, meski dia tahu bahwa tanpa dibantu
Ayahanda Raden Arjuna dan Pamanda Werkudoro peperangan ini sangat beresiko
sekali, terutama bagi keselamatan dirinya.
Namun
diapun lebih tahu lagi, bahwa tanpa pengorbanan dia dan pasukan elitnya, Kubu
Pamdawa bakal menemui kehancuran. Maka tanpa banyak pertimbangan dan rasa
gentar sedikitpun, dia mengerahkan seluruh kesaktianya untuk menggempur
musuhnya.
Kesaktian
dan keberanian Abimanyu yang masih muda tternyata idak cukup
untuk mengalahkan Resi Dorna. Dengan tipu muslihatnya Resi Dorna
berhasil memancing Abimanyu untuk terus merangsek maju menjemput musuh. Hingga
tak disadari oleh Abimanyu, dia kini
sebenarnya telah terkepung Prajurit Kurawa.
Satu
dua anak panah Prajurit Kurawa mulai menembus kulit Raden Abimanyu. Tapi luka
ditubuhnya sama sekali tidak dirasakan. Perasaan yang ada dihatinya hanyalah
berusaha menghacurkan prajurit lawan satu demi satu. Dan kini lunglailah tubuh
Abimanyu dan tak sadarkan diri, karena
telah tak terhitung anak panah yang menembus jantung, ulu hati dan kepalanya.
Prabu
Duryudono dan saudara saudara Kurawa lainya serta semua Prajurit Kurawa
melonjak kegirangan, suara riuh rendah
kegembiraan seluruh bala tentara Kurawa lebih dasyat dari suara seribu meriam.
Apalagi mereka baru saja kehilangan Raden Lesmono, Putra Prabu Duryudono,
yang baru saja gugur. Tanpa menunggu
perintah dari senopati perang , semua bala tentara Kurawa menghujani tubuh
Raden Abimanyu dengan senjata apa saja yang ada di tangan mereka. Gugurlah
Abimanyu, disertai dengan mendung hitam di atas Bumi Tegal Kuru***
Rumah berhias
bunga warna warni yang tegak di vas berbagai ukuran itu kelihatan asri. Tanaman
bunga berjejer di beranda setinggi setengah badan, sedangkan sebagian
lainnyabergantung sepanjang tepi
beranda. Sehingga rumah sederhana yang setengah berdinding papan itu tenggelam
dalam lautan warna warni kembang. Belum lagi pekarangan rumah yang hanya
beralasan rumput taman dengan ketinggian yang sama, terlihat seperti permadani hijau
bertepi pagar bambu yang sudah mulai kelihatan lusuh. Di tengah permadani hijau
itu,berjejer rapi paving block selebar
lebih dari satu meter menuju pintu depan rumah. Sedangkan di tepi tepi
pekarangan itu tumbuhlah tanaman tanaman obat dan bumbu dapur, seperti tanaman
kunyit, kumis kucing, jahe dan tanaman dapur lainnya.
Sepintas bagi
siapa saja yang menapakan kaki di rumah Pak Guru Susanto, akan merasakan
kesejukan hati, lantaran suguhan estetika Pak Guru yang setengah baya itu dalam menata rumahnya. Kesejukan hati terasa
lebih melekat lagi, bila mereka mendapatkan
sambutan sebuah senyuman pak guru, yang gampang terlontarkan pada siapa saja
yang berkunjung. Termasuk senyum tulus pak guru kepada Pak RW yang sekali
sekali mampir di rumah teman kentalnya yang sudah bertahun dikenalnya, entah
hanya iseng saja atau berdiskusi mengenai pembenahan kampung mereka yang masih
harus banyak dibenahi. Mereka berdua
sering berdiskusi dengan kentalnya, sekental kopi pahit yang mereka nikmati
bersama sesudah selesai melakukan kerja bakti bersama.
Tak khayal lagi
mereka berdua kini kembali berdiskusi, layaknya anggota dewan yang sedang
mencari aspirasi guna memberi advisenya kepada pemerintah, seperti yang terjadi
pada Hari Minggu pagi ini. Dengan beberapa teguk kopi pahit saja, pembicaraan
mereka terkadang melebihi hasil studi banding wakil rakyat ke negeri sebrang.
Apalagi saat hari Minggu ini, beberapa fans pak guru murah senyum itu sengaja
mejeng, mirip anak ABG gaul menunggu sang kekasih hati. Tentu saja Pak RW tidak
ketinggalan pada suasana pesta kopi pahit di rumah pak guru itu yang layaknya
menjadi ajang mendapatkan aspirasi untuk pembangunan wilayahnya.
“Agak lega pikiran saya, Pak Santo
!. Hujan sudah mulai berkurang, lantai rumah warga sudah mulai kering. Tapi aku masih kuatir,
kadang kadang hujan besar masih bisa turun. Kasihan warga yang rumahnya
kebanjiran”, kepedulian Pak RW mengawali “pesta kopi pahit” kesukaan pak guru
dan Pak RW. Sementara Pak Burhan, Pak RT kian akrab dengan singkong goreng dan
kopi pahit yang menjadi menu yang cocok di Hari Minggu pagi yang masih digayuti
awan hitam.
“Pak RW !. aku setuju dengan gagasan
yang digosipkan banyak warga, agar kita mem-planing-kan
peninggian jalan dan pengerasan saluran warga yang sering mampat di sana sini. Karena
yang aku takutkan hanya wabah diare dan virus tukus yang sering
melanda
pemukiman yang banjir”, pak guru dengan senyuman yang khas mencoba untuk menyemai
gagasan kepada mereka yang duduk melingkar di atas kursi bambu, di bawah pohon
mangga yang rindang.
“Aku setuju dengan gagasan pak
Santo, hanya kendala kita tetap di dana. Keadan warga kita yang pas pasan jelas
tidak mampu mendanai proyek ini” jawab Pak RT.
“Itulah masyarakat kita Pak RT,
bayangkan saja sebagian besar warga kita adalah warga tidak mampu, mereka hanya
abang becak, pemulung, kuli bangunan dan pengemis, paling banter hanya buruh
pabrik Padahal kita bermukim di atas kawasan banjir rob dan hujan. Aku sendiri
sangat kuatir dengan penyakit penyakit itu. Bahkan sebagian warga kita sudah
ada yang menderita gatal gatal “ Seteguk kopi pahit, kini menyegarkan wajah Pak
RW yang dilintasi perasaan prihatin.
“Yaah, itulah kampung kita, banyak
sebenarnya yang harus kita perbuat, tapi bila kita saksikan betapa jatuh
bangunnya saudara kita yang miskin, kitapun menjadi pesimis untuk membenahinya
“ pak guru juga mempunyai nurani yang sama dengan Pak RW.
“Contohnya aku Pak Santo”
“Aku tidak bermaksud menghinamu.
Lho,Pak Karim !”
“Memang itu kenyataan, Pak Santo,
jadi aku tidak menganggap Pak Santo menghinaku. Sekarang abang becak sepertiku,
tidak bisa menjamin penghasilan yang lumayan. Karena keadaan, tapi aku juga
punya pendapat, lho !” Pak Karim tidak mau kalah dengan peserta pesta kopi
pahit lainnya.
“Pendapat, apa Pak !“ sahut Pak RW
“Meski aku hanya tukang becak, namun
aku mau kalau tiap warga ditarik lima ribu per bulan”
“Ya, nanti di rapat RT tolong
dikemukakan” pinta Pak RT.
“Bagaimana, Pak Santo ?” kembali Pak
Karim mencoba meyakinkan gagasanya itu.
“Oh itu gagasan yang menarik, Pak
Karim. Hanya saja, jumlah warga di RW kita berapa ya Pak ?” Tanya Pak Santo
pada Pak RW.
“Sekitar 250 warga”
“Jadi tiap bulan kita hanya mampu
mendapatkan dana sebesar kira kira satu juta lebih sedikit. Padahal wilayah 1
RW meliputi 12 RT, jelas kapan kita mau selesai. Dengan dana sekecil itu , saya
kira kita belum mampu membenahi kampung kita”
“Apa kita naikan menjadi sepuluh
ribu, Pak ?”
“Ah, terlalu tinggi, Pak Karim !.
Kasihan warga !“
“Betul, Pak Santo, aku juga tidak
setuju !’ Pak RW juga menyetujui pendapat Pak Santo, lantaran mereka tahu
persis keadaan tetangga tetangganya.
“Atau kita kerjakan semampu kita Pak
RW, bertahan meski selesai beberapa tahun mendatang “ usul Pak RT
“Memang, begitulah kemampuan kita
Pak RT. Habis mau bagaimana lagi “
“Aku juga sependapat dengan Pak RW,
hanya saja iuran warga setidak tidaknya disetujui semua warga. Tetapi kita
harus juga mencari cara lain untuk membenahi kampung ini”
“Pak Santo, punya ide lain ?” Tanya
Pak Karim.
“Ah..kita sudah terlalu serius, ayo
dong habiskan pisang dan singkongnya !”
Pak guru yang
murah senyum itu, kembali menawarkan suasana agar lebih rileks lagi, lantaran
diskusi anak bangsa yang masih terjerambab dalam kehidupan yang pelik itu
menjadi bertambah serius. Pak guru itupun kemudian meningalkan mereka sementara
untuk menambah kopi pahit dengan sedikit gula, karena kopi yang ada di eskan sudah
mulai mendingin.
“Ayo bapak bapak, kopi pahit ini
akan menambah gairah kita untuk menjual ide masing masing”. Ucapan dan senyuman
pak guru itu disambut dengan suasana meriah dari yang hadir di situ.
“Pak Santo ada ada saja !” Pak Kalim
langsung menuangkan kopi panasnya ke dalam gelasnya yang sudah kosong.
“He.he..trimakasih, Pak Santo !”
jawab Pak RW.
“Ah apa sih,cuma kopi pahit saja “ Seloroh Pak Guru
Santo, dan dilanjutkan dengan nada pekataan yang serius, namun senyum yang
tulus tetap menggurati wajahnya.
“Bapak bapak !, kita harus berbuat
sesuatu, tidak mungkin hanya dengan mengandalkan uang warga” Pak Santo memang kelihatan
sangat bergairah untuk mengentaskan lingkungan dan masyarakatnya.
“Caranya, bagaimana Pak Santo ?”
Tanya Pak RT.
“Pak Santo, dari semua warga di
wilayah ini, hanya Pak Santolah yang berpendidikan dan berwawasan luas, sedangkan
kami kami ini hanya tenaga kasar, pendidikan kami paling tinggi hanya sampai
SMP, maka ide gagasan Pak Santo kami butuhkan” pernyataan Pak RW tersebut hanya
disambut senyuman ramah Pak Santo.
“Begini saja, bapak bapak. Wilayah
rw kita kan sebenarnya hanya korban dari pembangunan wilayah yang ceroboh. Kita
perhatikan dahulu wilayah kita tidak pernah banjir, bahkan seluruh saluran
warga bisa berjalan lancar. Namun sekarang. Akibat pembangunan pabrik, hotel
dan perkantoran yang semena mena, wilayah kita menjadi tergenang” Pak Santo
dengan lancar dan berwibawa menyampaikan makalahnya pada semua hadirin pesta
kopi pahit itu.
“Terus, ide Pak Santo bagaimana ?”
Tanya Pak RW.
“Kampung kita berhak untuk
mengajukan diri sebagai kampung binaan. Nanti aku akan minta informasi lebih
lanjut ke berbagai pihak. Terutama pengajuan proposal ke DPRD, agar mereka
mendesak pemerintah daerah untuk membenahi kampung kita”
“Apa bisa Pak Santo, kita mendapat
bantuan pemerintah?” Tanya Pak Karim
“Kenapa tidak ?. Hanya saja aku
tidak berjanji, aku hanya mencoba mencari jalan keluar untuk kampung kita yang
sebenarnya hanya menjadi korban pembangunan yang menepiskan keserasian
lingkungan, habitat dan drainase. Dan sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk
ikut membenahi kampung kita. Termasuk juga pengobatan masal oleh berbagai pihak,
dari tahun ke tahun selalu ada saja warga kita yang terkena penyakit DB, virus
tikus, malaria dan lain sebagainya” Pak Guru Santo tidak meneruskan lagi lagi
orasi ilmiahnya, seteguk kopi pahit memberhentikan orasinya itu namun senyum
masih saja menghiasi wajahnya yang dipenuhi guratan penderitaan hidup sebagai
seorang guru swasta di kotanya.
Semua hadirin
pesta kebun itu kini hanya mampu saling pandang satu sama lainnya, seperti
tersesat kehilangan arah di tengah padang rumput. Sementara mendung di langit
sudah terkikis dihempaskan angin tenggara, tinggalah kini sengatan matahari
yang berada tegak lurus di atas kepala mereka, pertanda mereka semua harus
minta ijin pulang. Rapat kopi pahit itupun kini usai namun masih menyisakan
senyum tulus Pak Guru Susanto.***
Padi yang sudah menguning kini
telah dibantai habis dengan arit tajamnya, langsung Pak Guru segera merontokan
dengan mesin perontok gabah seharian penuh, hingga seluruh tubuhnya kini dibasahi peluh. Karena kegiatan yang dia
lakukan sehari hari itu, maka tak chayal lagi seluruh kulit tubuhnya melegam
diterkam sinar matahari. Namun semangat untuk memberi pembelajaran kepada siswa
siswanya di sekolah tidak kunjung reda, tanpa sedikitpun ditepis penderitaan
hidupnya, yang hanya memiliki selembar pengharapan untuk masa depan anak dan
istrinya.
Tergopoh gopoh istrinya
menyongsong sang guru tersebut di tengah terik matahari di tengah sawah luas.
Ditangan kiri istrinya yang kurus kering itu bergelantung tas plastic berisi bakul
nasi dan lauk serta jajanan, sedangkan tangan kananya menjinjing ketel
alumunium berisi air teh hangat. Dibelakang istrinya terlihat anak sulung mereka Bergas, yang ikut
mulai membantu bapak dan ibunya, yang belum mampu memberikan janji untuk
memberi biaya kuliah seusai dia lulus dari SMA, meski Bergas kini baru duduk di
kelas IX SMP.
Suaminya segera menghentikan
alat perontok gabah sederhana dan bersiap untuk istirahat, demikian juga ke
lima teman sekampungnya yang membantu
panenan pak guru, yang dianggap figure panutan bagi mereka bila mereka
menemukan segala sesuatu tentang kehidupan. Kini mereka semua duduk melingkar ,
untuk bersiap melahap sebakul nasi dan lauk serba gorengan, dari ikan asing
hingga tempe goreng. Sementara Bergas sibuk membantu menuangkan sayur asem pada
baskom yang cukup besar.
“Inilah suatu kebagian tersendiri lho, di tengah sawah
yang panas, kita makan dengan sayur asem yang segar dan ikan asin, hehehe, aku
sudah sering merasakan makan di rumah makan besar di kota besar, tapi nikmatnya
tidak seperti di sini, ya kan bapak bapak !!! !” seru Pak Guru Kamtijo pada ke
lima tetangganya yang sudah seperti saudaranya sendiri.
“Entah, Pak, orang aku belum pernah ke rumah makan.
Paling banter ke warteg di Semarang, heheheh..” Kang Dibyo terus saja terkekeh,
sehingga kelihatan gigi giginya yang hitam dimakan asap rokok.
“Percuma Kang !, orang masakanya juga tidak selezat yang
dimasak istri kita di rumah “
“Tenan !, pak guru ?” Pade Saripan tidak percaya dengan apa yang
dikatakan pak guru.
“He..eh tenan De, aku sering ditugaskan kantor ke
Surabaya, Solo Jogja bahkan sampai Jakarta. Nggak ada yang senikmat ini hehehe
“
“Betul kata Pak Guru !, aku pernah kerja di Jakarta 3
tahun sebelum aku ketemu Suminah. Aku merasakan kenikmatan kalau makan di rumah
bersama istri juga kalau aku di tengah sawah seperti ini. Apalagi baru saja aku
hidup sebagai petani bersama Suminah” seru Suripto sambil menikmati rokok
rintingan sesudah dia selesai makan.
“Jadi kalau sampeyan kembali lagi ke Jakarta dan kerja
disana, mau Ripto ?” Tanya Pak Guru Kamtijo.
“Jelas tidak mau, pak guru !. Aku milih di sini saja,
hidup tentram dan tenang “ jawab Suripto.
“Di Jakarta, nyari duit gampang lho Ripto !, nggak
seperti di sini, kita hanya mengandalkan panenan, untuk dagangpun sulit karena
desa kita terpencil. Maka banyak anak anak kita yang hanya lulus SMP terus
merantau ke Jakarta. Cucu sampeyan sudah beberapa tahun di sama, Mbah Wakidi ?”
Tanya Pak Guru Kamtijo kepada tetangganya yang bersebelahan dan hampir 20 tahun
bertetangga.
Sembari batuk batuk Mbah Wakidi yang umurnya hampir 70
tahun menjawab dengan pandangan mata kosong, lantaran begitu lama ditinggal
cucu pertama dan kesayanganya.
“Ah..sudah lama mas guru !, aku tidak ingat sudah berapa
tahun, tapi aku bersyukur sekarang aku ditemani Hamzah adiknya Ahmad. Dan
kemanapun aklu pergi Hamzah ini selalu menemaniku “ Selembar wajah tua renta
Mbah Wakidi kembali berseri seri.
Semuanya hanya terdiam meski
dalam hati terbesit rasa kasihan terhadap nasib Mbah Wakidi, yang ditinggal
istrinya sudah lama sekali menghadap Tuhan Yang Kuasa. Sementara anaknya satu
satunya Warti kini pergi ke tanah arab menjadi TKW, setelah cerai dengan
Susanto.
Kini dia hanya ditemani Hamzah
yang masih duduk di bangku SMP, untuk itulah kakek tua renta itu mau bekerja
apa saja demi menyekolahkan Hamzah dan bila dia membutuhkan bantuan apa saja,
maka Pak Guru Kamtijolah tempat dia menerima bantuan tersebut.
“Kerjaan kita sudah selesai, bapak bapak, tinggal membawa
gabah ini ke tepi jalan untuk diangkut mobil. Saya kira panen ini hanya 2 ton
saja, oh ya nanti silakan bapa bapak bawa 1 karung gabah. Oh ya mari kita
bergegas, sebelum sore hari”
Mereka semua kini
menyelesaikan pekerjaan yang sudah biasa mereka kerjakan, sehingga belum sampai
matahari condong ke barat mereka sudah bisa beristirahat di rumah masing
masing. Pak Guru Kamtijo dan keluarganya kini tersenyum puas, bukan karena
hasil panenya, tapi karena rasa persaudaraan yang dia bina dengan tetangga
tetangganya. Inilah kebahagian sendiri untuk pak guru selain memberi
pembelajaran pada putra putranya di sekolah.