Rabu, 09 Mei 2012

Resi Bisma


Saat Uttarayana menghembuskan angin berita…….

Tentang rumput hijau yang tiba tiba saja mengering.
Semua kawanan burung memekik tidak percaya
Seorang penggembala kerbau menyelinap ke pangkuan ibunya, seraya berkata: 

“ Ibu seandainya, Sang Resi telah bersemayam di balik Mahameru, apakah masih ada lagi hari hari indah untuk anak miskin seperti aku ?”.
Saat itu sang mentaripun berkalang sejuta selendang bidadari, yang beranyam daun pandan semerbak harum mewangi, dan awan awan hitampun telah pulang ke peraduanya di balik Mount Everest.
Bulanpun di balik tirai kamar pengantinya telah sembab dengan air mata ksedihan
Sementara itu….., di pangkuan Sang Arjuna, Dewi Srikandi yang telah berselingkuh dengan Demi Amba, wanita dengan kulit kuning langsat, mengulum biji biji mentimun di bibir yang hangat menawan dan merah membara, tak ubahnya seperti merah mawar hasrat.
Demi sebuiah cinta Dewi Amba telah memperdaya busur waktu, untuk menjelajah dari episode ke episode berikutnya, guna sebuah pertemuan dengan Resi Bisma, pemuda tampan perkasa,halus budi pekertinya. Lantaran senyumnya semua Bunga Anyelir di Hastinapura menggelorakan kelopaknya.
***
Di Negara Kasi, saat Sang Resi Bisma telah menghamburkan sejuta sayap pesona,  sehingga mata bening indah dari Sang Amba tiada lepas memagutnya.
Tersebutlah suatu Titah Dewa, bahwa Resi yang piawai tentang filosofis hidup,,pikologi social dan pria Metroseksual serta cerdas, terbukti dengan sejuta prestasi akedemis yang pernah disandangnya berkat gemblengan Resi Bhrihaspati (Mahaguru ilmu politik ) dan Resi Vedangga (Mahaguru Ilmu Sosial ) dan ilmu perang dari Resi Parasurama. Mengikuti Sayembara tentang segala macam ilmu di Negara Kasi dan menanglah Sang Resi yang arif bijaksana tersebut.
Maka berserilah Dewi Amba yang telah merona jantung hatinya, gairah yang terpendam terus saja berkecamauk, . Namun Bisma telah bersumpah kepada dewa untuk tidak bersanding dengan siapapun. Maka merahlah wajah Dewi Amba dengan sekujur tubuhnya yang bergetar lantaran kekecewaan yang mendalam. Hatinya kini berkeping seribu lantaran langit jingga asmaranya kini menghitam jelaga.
Bahkan Sang Resi yang telah membulatkan tekad untuk menyerahkan jiwa raganya semata demi “kesentosaan hidup jalma manusia” terus saja melakukan tapa bratanya meminta Anugerah dan Petunjuk Kepada Yang Maha Kuasa. Bagi Dewi Amba sikap pemuda pujaannya itu, bukanlah halangan yang berarti, maka teruslah dia mencoba menggapai sebilah cinta yang agung itu.
Suatu saat pagi tersenyum gembira dihangati kuning langsat sang mentari yang genit, ilalang dan semak berhenti sesaat menggoyangkan badanya. Sang Merapi tiada lagi membarakan gelora amarahnya, tetapi duduk bersimpuh melihat adegan pertemuan dua insan manusia yang saling berjumpa.
Sang Amba menagih janji lantaran Sang Resi yan telah memenangkan sayembara  di negaranya itu. Di lain pihak Sang Resi tetap menginginkan tugas sucinya demi kedamaian umat manusia di bumi ini.
Keduanya Nampak bersitegang, kemudian berujung dengan ancaman Sang Resi dengan mengarahkan busur panahnya kepada Sang Amba, entah putaran bumi memang harus berjalan seperti itu,  lepaslah anak panah dari busurnya secara tak sengaja hingga tewaslah Sang Amba dengan meninggalkan sebuah janji pada Bharatayuda kelak, dia akan menitis menjadi Dyah Woro Srikandi.
“Gusti Ingkah Makaryo Jagad”-pun mengabulkan sumpah janji Sang Amba,dengan mempertemukan Sang Resi dengan Srikandi, yang berakhir dengan gugurnya Sang Resi.

Tegalkuru dan Hati yang Tersayat


Layaknya seribu anak panah Hrusangkali  milik Srikandi yang menebas leher Resi Bisma, telah menancapkan benang sutra asmara di ulu hati Raden Abimanyu, kala bertemu Dewi Utari dalam pandangan mata yang pertama di beranda “Stinggil Kraton Wirata”. Tautan panah asmara yang  begitu kokohnya, sempat membuat Abimanyu termangu, mengapa bola mata Dewi Utari yang “lentik, bersih sekaligus halus” mampu membelah dadanya dan mencuatkan seribu prosa asmara dari dalam bilik jantungnya.

“Oh..Paman Prabu Matswapati, sang raja negara Wirata. Mantra sakti apa yang paman usungkan untuk para dewa, sehingga paman memiliki putei bungsu “Boneka India” yang berujud Dimas Dewi Utari”. Bisik hati Raden Abimanyu yang “keyungyung” terus saja mengalirkan  Kidung Asmarandhana dalam pembuluh nadinya.

Tatapan garang mata Abimanyu, segarang King Kobra yang berhasrat melumpuhkan mangsanya, kini menelisik ke tiap lekuk tubuh Dewi Utari, yang herada di depanya. Dewi Utaripun membalas uluran tangan “sapa salam” Putra Arjuna. Dengan rambut hitam pekat dan berombak  yang berderai ditikam angin kemarau Negeri Wirata, Dewi Utari mempersilakan pria tampan itu menghadap Romo Prabu Matswati. Setelah Abimanyu berhasil mengalahkan seribu raja Jawa yang dalam gelaran sayembara untuk “mencari pemenang” siapa yang layak menjadi Kembang Setaman Negeri Wirata.

Beruntunglah aku hai, para dewa. Engkau telah mempertemukan aku dengan ksatria muda yang tampan. Mengapa perasaanku terasa aneh siang hari ini, dadaku terasa sesak, tenggorokanku kering dan dadaku menyimpan seribu nafas hingga teras tersumbat nafasku

Bisik hati Dewi Utari kini memenuhi setiap sendi tulangnya. Bisikan wanita yang baik budi bahasanya, lembut, penuh peduli pada sesama dan santun menjadikan dia adalah wanita kekasih dewa. Maka bisikan itupun seketika didengar para dewa. Sehingga Bathara Guru Penguasa Tunggal Tribuwana , mengutus Bathara Narada untuk mengkabarkan segala sesuatu tentang perjodohan dia dan Raden Abimanyu.

“Hai Utari, cucuku” Bathara Narada dengan penuh santun kini sudah dihadapan Utari yang sedang bermandi seribu bunga. “ Ketahuilah ngger !, Perjodohanmu dengan Abimanyu telah menjadi “garis hidupmu” milik para dewa. Dalam dirimu telah bersemayam Wahyu Hidayat sebaliknya dalam diri Abimanyu juga telah tertanam kuat Wahyu Cakraningrat. Kedua wahyu itulah yang membawa suratan takdir kalian berdua untuk menurunkan raja raja Tanah Jawa. Hati hatilah Utari, jalani hidup kamu disamping Abimanyu dengan penuh bijaksana, adil, jujur dan juga ketabahan” Kata kata terakhir telah dilontarkan pada Dewi Utara bersamaan dengan menghilangnya Raga Bathara Narada.
***           
Langit bumi Wirata benar benar cerah, tanpa setitikpun mega hitam. Semua hijauan palem, perdu dan belukar saling bergesek, ditiup semilir angin kemarau. Udara bertambah sejuk setelah angin gunung mulai gabung di atmosfer Kraton Wirata, yang dipenuhi panji warna -warni serta prajurit kraton yang segelar sepapan di sela sela rakyat yang tumpah ruah.

Seluruh ruangan Pisowanan Agung  berornamen seribu warna, lengkingan gamelan kraton terus saja menggema di tengah wahjah yang berseri. Prabu Matswati, yang paling terlihat  menguntai senyuman, meski Utari hanya menundukan wajahnya dengan rona merah di kedua pipinya, Pertanda dia masih menyelipkan rasa malu.

Abimanyu kini telah berhadapan langsung dengan Sang Prabu Matswati.

 “Sungguh aku bahagia hari ini, bisa melangsungkan daup Utari anak kesayanganku dengan dirimu, Putra  Arjuna!!!”.

“Tidak ada yang dapat hamba ucapkan, kecuali hanya dengan perasaan haru bisa menjadi menantu Panjengan Ndalem Prabu Matswati”

“Akupun tidak banyak mampu bicara, hanya dengan sebuah pesan saja, yaitu  Amalkan Dharmaning Satria dalam menitip hidup berumah tangga dengan Dewi Utari”

“Pesan pamanda prabu, akan aku laksanakan. hamba nyuwun pangestu

***
Senja telah menghampar di bumi Wirata, semua penduduk telah bersiap untuk menuju ke peraduan di bilik rumah mereka yang sederhana. Sementara Abimanyu kini hanya berdua dengan Dewi Utari di Bungalow, di lereng bukit Langensari. Lekuk tubuh Dewi Utari tidak mampu lagi menjaga jarak dengan tubuh Raden Abimanyu yang perkasa. Semakin malam semakin redup nyala api yang menerangi bungalow itu. Hanya dengus nafas mereka berdua yang mampu menyelinap hingga ke tengah malam. Peluh Raden Arjuna dan rintihan kecil sang dewi menjadi saksi perpaduan asmara mereka.

Raden Abimanyu menyeka peluh yang membasahi seluruh tubuhnya, secangkir teh hangat manis disodorkan oleh sang dewi. Kembali sang dewi berada di pelukan Putra Sang Raden Arjuna.

“Kangmas Pangeran Abimanyu ?”

“Diajeng Utari !, jangan malu –malu ada apa ?”

“Kangmas Pangeran !,  apakah Kangmas sudah beristri ?” Sejak mereka bergelora di peraduan hanya dengan bahasa sorot mata, kini sebuah sebuah pertanyaan pada Raden Abimanyu telah diucapkan Dewi Utari. Raden Abimanyu hanya membalasnya dengan peluk cium yang lembut dan romantis.

“Aduh Kakangmas Pangeran !, mengapa tidak kau jawab ?” Dewi Utari bertambah bergelora untuk bertanya. Sebersit rasa penasaran kini tumbuh di hatinya, padahal dari staf intelejen kerajaan Wirata, Pangeran Abimanyu baru saja melangsungkan pernikahan dengan Siti Sundari. Tetapi mengapa suamnya kini berbohong padanya ?.

“Hanya engkaulah sang dewiku “

“Mengapa Kakangmas Pangeran Abimanyu seorang satria keturunan Pandawa berani berbohong pada aku , pangeranku aku minta sebuah kejujuran?”

“Akulah kejujuran dimas !, akulah seorang satria utama yang selalu membela kebenaran, aku tidak mungkin berlaku curang dan nista, apalagi denga dirimu Utari !!! “ Ditengah kegusaran Raden Abimanyu, dia masih tetap menyodorkan harapan agar Utari percaya dengan jawabanya dia. Namun kenyataanya, Utari terus saja menyelipkan sikap ragu, yang dapat terbaca dari sorot matanya. Dan Putra Arjunapun telah kehilangan kesabaran serta kehalusan budi pekertinya. Maka kini segala yang terlontarkan dari mulutnya  tidak berdasarkan nalar dan pertimbangan yang bijaksana.

“Utari !, demi Dewa yang Mbaurekso Jagad, aku bersumpah, aku rela mati dengan luka arang kranjang di Bharatayuda bila  aku berdusta. Aku belum pernah punya istri sebelum bertemu dirimu !!!”

“Aduh  Kangmas Pangeran !!!”. Belum lama Utari mengucapkan kegaluan hatinya. Dia segera memeluk Rasen Abimanyu, yang kini hanya diam terbujur. Setelah terdengar suara petir memenuhi langit Wirata. Kembang api alam yang menusuk mata menggemakan suara pekik yang memekakan telinga, seakan berhasrat meruntuhkan langit. Penyesalan Utari kini menyesakan dadanya, apalagi dia kini menyaksikan sendiri Abimanyu yang hanya terbujur diam. Pelukan mesra masih saja dia berikan kepada suami tercintanya. “Aduh Kangmas, semoga Dewa berkenan mengurungkan niatnya untuk menurehkan sumpahmu . Oh Dewa maafkan kelancangan suami hamba!”

***
Gelaring jagad mercapada tidak ada satupun yang mampu menghentikan, baik dewa apalagi titah sawantah. Maka panah sang waktupun terus bergulir tanpa menoleh kebelakang. Segala sesuatu yang telah digariskan oleh Sang Kuasa tetap berjalan menurut apa yang sudah digariskan, termasuk gelaran Bharatayuda  Jaya Binanglung.

Setelah banyak sudah para ksatria, raja dan rakyat jelata yang gugur, kini Bharatayuda memasuki hari ke-18. Sebuah episode peperangan antara darah Kuru    yang membawa pihak Pendawa pada perjuangan hidup mati. Prajurit pihak Kurawa langsung di bawah kendali Senopati Agung Resi Bisma dan Resi Dorna, yang berperan sebagai Senopati Pengapit.

Sementara Ksatria Betenge Pendowo, yaitu Raden Werkudoro dan Raden Arjuna telah meninggalkan pos mereka. Hanya Raden Abimanyu yang diunggulkan mampu mendobrak  “induk prajurit Kurawa”  yang terkonsentris di tengah dan dipimpin langsung oleh Resi Dorna, Pasukan Resi Dorna inilah yang menjadi kekuatan utama Kurawa, yang bergerak bagaikan air bah siap menelan bala tentara Pandawa.

“Abimanyu  putraku. Jangan kau lawan mereka. Aku rela Hastina dan Indraprasta menjadi milik Kakang Duryudono. Asal tidak ada korban  diantara kita “ Rintih Prabu Puntadewa menggema ke seluruh markas komando. Namun rintihan pamanda Abimanyu, sama sekali tak dihiraukan oleh Abimanyu.

“Pamanda Prabu, Bharatayuda telah digariskan oleh para Dewa, telah digariskan pula bakal membawa korban jiwa dan segala galanya. Adalah suatu kebanggan bagi seorang ksatria yang gugur di Rananggono. Pamanda Prabu !, putrandan mohon pamit  !“

Terompet pertanda maju dan siaga berperang telah menggetarkan gendang telinga semua prajurit Randu Gumbolo, pertanda bahwa mereka telah siap untuk menyabung nyawa membela kebenaran. Raden Abimanyu tanpa berpikir panjang lagi, dia segera memerintahkan semua unit pasukan khususnya untuk bersama merangsek menggempur Prajurit Resi Dorna yang tangguh, meski dia tahu bahwa tanpa dibantu Ayahanda Raden Arjuna dan Pamanda Werkudoro peperangan ini sangat beresiko sekali, terutama bagi keselamatan dirinya.

Namun diapun lebih tahu lagi, bahwa tanpa pengorbanan dia dan pasukan elitnya, Kubu Pamdawa bakal menemui kehancuran. Maka tanpa banyak pertimbangan dan rasa gentar sedikitpun, dia mengerahkan seluruh kesaktianya untuk menggempur musuhnya.
Kesaktian dan keberanian Abimanyu yang masih muda tternyata idak  cukup  untuk mengalahkan Resi Dorna. Dengan tipu muslihatnya Resi Dorna berhasil memancing Abimanyu untuk terus merangsek maju menjemput musuh. Hingga tak disadari oleh Abimanyu,  dia kini sebenarnya telah terkepung Prajurit Kurawa.

Satu dua anak panah Prajurit Kurawa mulai menembus kulit Raden Abimanyu. Tapi luka ditubuhnya sama sekali tidak dirasakan. Perasaan yang ada dihatinya hanyalah berusaha menghacurkan prajurit lawan satu demi satu. Dan kini lunglailah tubuh Abimanyu  dan tak sadarkan diri, karena telah tak terhitung anak panah yang menembus jantung, ulu hati dan kepalanya.

Prabu Duryudono dan saudara saudara Kurawa lainya serta semua Prajurit Kurawa melonjak  kegirangan, suara riuh rendah kegembiraan seluruh bala tentara Kurawa lebih dasyat dari suara seribu meriam. Apalagi mereka baru saja kehilangan Raden Lesmono, Putra Prabu Duryudono, yang  baru saja gugur. Tanpa menunggu perintah dari senopati perang , semua bala tentara Kurawa menghujani tubuh Raden Abimanyu dengan senjata apa saja yang ada di tangan mereka. Gugurlah Abimanyu, disertai dengan mendung hitam di atas Bumi Tegal Kuru***

Senyum Pak Guru Susanto



Rumah berhias bunga warna warni yang tegak di vas berbagai ukuran itu kelihatan asri. Tanaman bunga berjejer di beranda setinggi setengah badan, sedangkan sebagian lainnya    bergantung sepanjang tepi beranda. Sehingga rumah sederhana yang setengah berdinding papan itu tenggelam dalam lautan warna warni kembang. Belum lagi pekarangan rumah yang hanya beralasan rumput taman dengan ketinggian yang sama, terlihat seperti permadani hijau bertepi pagar bambu yang sudah mulai kelihatan lusuh. Di tengah permadani hijau itu,  berjejer rapi paving block selebar lebih dari satu meter menuju pintu depan rumah. Sedangkan di tepi tepi pekarangan itu tumbuhlah tanaman tanaman obat dan bumbu dapur, seperti tanaman kunyit, kumis kucing, jahe dan tanaman dapur lainnya.

Sepintas bagi siapa saja yang menapakan kaki di rumah Pak Guru Susanto, akan merasakan kesejukan hati, lantaran suguhan estetika Pak Guru yang setengah baya itu  dalam menata rumahnya. Kesejukan hati terasa lebih melekat lagi,  bila mereka mendapatkan sambutan sebuah senyuman pak guru, yang gampang terlontarkan pada siapa saja yang berkunjung. Termasuk senyum tulus pak guru kepada Pak RW yang sekali sekali mampir di rumah teman kentalnya yang sudah bertahun dikenalnya, entah hanya iseng saja atau berdiskusi mengenai pembenahan kampung mereka yang masih harus banyak dibenahi.  Mereka berdua sering berdiskusi dengan kentalnya, sekental kopi pahit yang mereka nikmati bersama sesudah selesai melakukan kerja bakti bersama.

Tak khayal lagi mereka berdua kini kembali berdiskusi, layaknya anggota dewan yang sedang mencari aspirasi guna memberi advisenya kepada pemerintah, seperti yang terjadi pada Hari Minggu pagi ini. Dengan beberapa teguk kopi pahit saja, pembicaraan mereka terkadang melebihi hasil studi banding wakil rakyat ke negeri sebrang. Apalagi saat hari Minggu ini, beberapa fans pak guru murah senyum itu sengaja mejeng, mirip anak ABG gaul menunggu sang kekasih hati. Tentu saja Pak RW tidak ketinggalan pada suasana pesta kopi pahit di rumah pak guru itu yang layaknya menjadi ajang mendapatkan aspirasi untuk pembangunan wilayahnya.

            “Agak lega pikiran saya, Pak Santo !. Hujan sudah mulai berkurang, lantai rumah warga  sudah mulai kering. Tapi aku masih kuatir, kadang kadang hujan besar masih bisa turun. Kasihan warga yang rumahnya kebanjiran”, kepedulian Pak RW mengawali “pesta kopi pahit” kesukaan pak guru dan Pak RW. Sementara Pak Burhan, Pak RT kian akrab dengan singkong goreng dan kopi pahit yang menjadi menu yang cocok di Hari Minggu pagi yang masih digayuti awan hitam.

            “Pak RW !. aku setuju dengan gagasan yang digosipkan banyak warga, agar kita mem-planing-kan peninggian jalan dan pengerasan saluran warga yang sering mampat di sana sini. Karena yang aku takutkan hanya wabah diare dan virus tukus yang sering
melanda pemukiman yang banjir”, pak guru dengan senyuman yang khas mencoba untuk menyemai gagasan kepada mereka yang duduk melingkar di atas kursi bambu, di bawah pohon mangga yang rindang.

            “Aku setuju dengan gagasan pak Santo, hanya kendala kita tetap di dana. Keadan warga kita yang pas pasan jelas tidak mampu mendanai proyek ini” jawab Pak RT.

            “Itulah masyarakat kita Pak RT, bayangkan saja sebagian besar warga kita adalah warga tidak mampu, mereka hanya abang becak, pemulung, kuli bangunan dan pengemis, paling banter hanya buruh pabrik Padahal kita bermukim di atas kawasan banjir rob dan hujan. Aku sendiri sangat kuatir dengan penyakit penyakit itu. Bahkan sebagian warga kita sudah ada yang menderita gatal gatal “ Seteguk kopi pahit, kini menyegarkan wajah Pak RW yang dilintasi perasaan prihatin.

            “Yaah, itulah kampung kita, banyak sebenarnya yang harus kita perbuat, tapi bila kita saksikan betapa jatuh bangunnya saudara kita yang miskin, kitapun menjadi pesimis untuk membenahinya “ pak guru juga mempunyai nurani yang sama dengan Pak RW.

            “Contohnya aku Pak Santo”
            “Aku tidak bermaksud menghinamu. Lho,  Pak Karim !”
            “Memang itu kenyataan, Pak Santo, jadi aku tidak menganggap Pak Santo menghinaku. Sekarang abang becak sepertiku, tidak bisa menjamin penghasilan yang lumayan. Karena keadaan, tapi aku juga punya pendapat, lho !” Pak Karim tidak mau kalah dengan peserta pesta kopi pahit lainnya.

            “Pendapat, apa Pak !“ sahut Pak RW
            “Meski aku hanya tukang becak, namun aku mau kalau tiap warga ditarik lima ribu per bulan”
            “Ya, nanti di rapat RT tolong dikemukakan” pinta Pak RT.
            “Bagaimana, Pak Santo ?” kembali Pak Karim mencoba meyakinkan gagasanya itu.
            “Oh itu gagasan yang menarik, Pak Karim. Hanya saja, jumlah warga di RW kita berapa ya Pak ?” Tanya Pak Santo pada Pak RW.
            “Sekitar 250 warga”
            “Jadi tiap bulan kita hanya mampu mendapatkan dana sebesar kira kira satu juta lebih sedikit. Padahal wilayah 1 RW meliputi 12 RT, jelas kapan kita mau selesai. Dengan dana sekecil itu , saya kira kita belum mampu membenahi kampung kita”
            “Apa kita naikan menjadi sepuluh ribu, Pak ?”
            “Ah, terlalu tinggi, Pak Karim !. Kasihan warga !“
            “Betul, Pak Santo, aku juga tidak setuju !’ Pak RW juga menyetujui pendapat Pak Santo, lantaran mereka tahu persis keadaan tetangga tetangganya.

            “Atau kita kerjakan semampu kita Pak RW, bertahan meski selesai beberapa tahun mendatang “ usul Pak RT
            “Memang, begitulah kemampuan kita Pak RT. Habis mau bagaimana lagi “
            “Aku juga sependapat dengan Pak RW, hanya saja iuran warga setidak tidaknya disetujui semua warga. Tetapi kita harus juga mencari cara lain untuk membenahi kampung ini”
            “Pak Santo, punya ide lain ?” Tanya Pak Karim.
            “Ah..kita sudah terlalu serius, ayo dong habiskan pisang dan singkongnya !”

Pak guru yang murah senyum itu, kembali menawarkan suasana agar lebih rileks lagi, lantaran diskusi anak bangsa yang masih terjerambab dalam kehidupan yang pelik itu menjadi bertambah serius. Pak guru itupun kemudian meningalkan mereka sementara untuk menambah kopi pahit dengan sedikit gula, karena kopi yang ada di eskan sudah mulai mendingin.

            “Ayo bapak bapak, kopi pahit ini akan menambah gairah kita untuk menjual ide masing masing”. Ucapan dan senyuman pak guru itu disambut dengan suasana meriah dari yang hadir di situ.

            “Pak Santo ada ada saja !” Pak Kalim langsung menuangkan kopi panasnya ke dalam gelasnya yang sudah kosong.
            “He.he..trimakasih, Pak Santo !” jawab Pak RW.
            “Ah apa sih,  cuma kopi pahit saja “ Seloroh Pak Guru Santo, dan dilanjutkan dengan nada pekataan yang serius, namun senyum yang tulus tetap menggurati wajahnya.
            “Bapak bapak !, kita harus berbuat sesuatu, tidak mungkin hanya dengan mengandalkan uang warga” Pak Santo memang kelihatan sangat bergairah untuk mengentaskan lingkungan dan masyarakatnya.
            “Caranya, bagaimana Pak Santo ?” Tanya Pak RT.
            “Pak Santo, dari semua warga di wilayah ini, hanya Pak Santolah yang berpendidikan dan berwawasan luas, sedangkan kami kami ini hanya tenaga kasar, pendidikan kami paling tinggi hanya sampai SMP, maka ide gagasan Pak Santo kami butuhkan” pernyataan Pak RW tersebut hanya disambut senyuman ramah Pak Santo.
            “Begini saja, bapak bapak. Wilayah rw kita kan sebenarnya hanya korban dari pembangunan wilayah yang ceroboh. Kita perhatikan dahulu wilayah kita tidak pernah banjir, bahkan seluruh saluran warga bisa berjalan lancar. Namun sekarang. Akibat pembangunan pabrik, hotel dan perkantoran yang semena mena, wilayah kita menjadi tergenang” Pak Santo dengan lancar dan berwibawa menyampaikan makalahnya pada semua hadirin pesta kopi pahit itu.
            “Terus, ide Pak Santo bagaimana ?” Tanya Pak RW.
            “Kampung kita berhak untuk mengajukan diri sebagai kampung binaan. Nanti aku akan minta informasi lebih lanjut ke berbagai pihak. Terutama pengajuan proposal ke DPRD, agar mereka mendesak pemerintah daerah untuk membenahi kampung kita”
            “Apa bisa Pak Santo, kita mendapat bantuan pemerintah?” Tanya Pak Karim
            “Kenapa tidak ?. Hanya saja aku tidak berjanji, aku hanya mencoba mencari jalan keluar untuk kampung kita yang sebenarnya hanya menjadi korban pembangunan yang menepiskan keserasian lingkungan, habitat dan drainase. Dan sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk ikut membenahi kampung kita. Termasuk juga pengobatan masal oleh berbagai pihak, dari tahun ke tahun selalu ada saja warga kita yang terkena penyakit DB, virus tikus, malaria dan lain sebagainya” Pak Guru Santo tidak meneruskan lagi lagi orasi ilmiahnya, seteguk kopi pahit memberhentikan orasinya itu namun senyum masih saja menghiasi wajahnya yang dipenuhi guratan penderitaan hidup sebagai seorang guru swasta di kotanya.
           
Semua hadirin pesta kebun itu kini hanya mampu saling pandang satu sama lainnya, seperti tersesat kehilangan arah di tengah padang rumput. Sementara mendung di langit sudah terkikis dihempaskan angin tenggara, tinggalah kini sengatan matahari yang berada tegak lurus di atas kepala mereka, pertanda mereka semua harus minta ijin pulang. Rapat kopi pahit itupun kini usai namun masih menyisakan senyum tulus Pak Guru Susanto.***

Kebahagiaan Sang Guru


Padi yang sudah menguning kini telah dibantai habis dengan arit tajamnya, langsung Pak Guru segera merontokan dengan mesin perontok gabah seharian penuh, hingga seluruh tubuhnya kini  dibasahi peluh. Karena kegiatan yang dia lakukan sehari hari itu, maka tak chayal lagi seluruh kulit tubuhnya melegam diterkam sinar matahari. Namun semangat untuk memberi pembelajaran kepada siswa siswanya di sekolah tidak kunjung reda, tanpa sedikitpun ditepis penderitaan hidupnya, yang hanya memiliki selembar pengharapan untuk masa depan anak dan istrinya.

Tergopoh gopoh istrinya menyongsong sang guru tersebut di tengah terik matahari di tengah sawah luas. Ditangan kiri istrinya yang kurus kering itu bergelantung tas plastic berisi bakul nasi dan lauk serta jajanan, sedangkan tangan kananya menjinjing ketel alumunium berisi air teh hangat. Dibelakang istrinya  terlihat anak sulung mereka Bergas, yang ikut mulai membantu bapak dan ibunya, yang belum mampu memberikan janji untuk memberi biaya kuliah seusai dia lulus dari SMA, meski Bergas kini baru duduk di kelas IX SMP.

Suaminya segera menghentikan alat perontok gabah sederhana dan bersiap untuk istirahat, demikian juga ke lima teman  sekampungnya yang membantu panenan pak guru, yang dianggap figure panutan bagi mereka bila mereka menemukan segala sesuatu tentang kehidupan. Kini mereka semua duduk melingkar , untuk bersiap melahap sebakul nasi dan lauk serba gorengan, dari ikan asing hingga tempe goreng. Sementara Bergas sibuk membantu menuangkan sayur asem pada baskom yang cukup besar.

            “Inilah suatu kebagian tersendiri lho, di tengah sawah yang panas, kita makan dengan sayur asem yang segar dan ikan asin, hehehe, aku sudah sering merasakan makan di rumah makan besar di kota besar, tapi nikmatnya tidak seperti di sini, ya kan bapak bapak !!! !” seru Pak Guru Kamtijo pada ke lima tetangganya yang sudah seperti saudaranya sendiri.
            “Entah, Pak, orang aku belum pernah ke rumah makan. Paling banter ke warteg di Semarang, heheheh..” Kang Dibyo terus saja terkekeh, sehingga kelihatan gigi giginya yang hitam dimakan asap rokok.
            “Percuma Kang !, orang masakanya juga tidak selezat yang dimasak istri kita di rumah “
            “Tenan !, pak guru ?”  Pade Saripan tidak percaya dengan apa yang dikatakan pak guru.
            “He..eh tenan De, aku sering ditugaskan kantor ke Surabaya, Solo Jogja bahkan sampai Jakarta. Nggak ada yang senikmat ini hehehe “
            “Betul kata Pak Guru !, aku pernah kerja di Jakarta 3 tahun sebelum aku ketemu Suminah. Aku merasakan kenikmatan kalau makan di rumah bersama istri juga kalau aku di tengah sawah seperti ini. Apalagi baru saja aku hidup sebagai petani bersama Suminah” seru Suripto sambil menikmati rokok rintingan sesudah dia selesai makan.
            “Jadi kalau sampeyan kembali lagi ke Jakarta dan kerja disana, mau Ripto ?” Tanya Pak Guru Kamtijo.
            “Jelas tidak mau, pak guru !. Aku milih di sini saja, hidup tentram dan tenang “ jawab Suripto.
            “Di Jakarta, nyari duit gampang lho Ripto !, nggak seperti di sini, kita hanya mengandalkan panenan, untuk dagangpun sulit karena desa kita terpencil. Maka banyak anak anak kita yang hanya lulus SMP terus merantau ke Jakarta. Cucu sampeyan sudah beberapa tahun di sama, Mbah Wakidi ?” Tanya Pak Guru Kamtijo kepada tetangganya yang bersebelahan dan hampir 20 tahun bertetangga.
            Sembari batuk batuk Mbah Wakidi yang umurnya hampir 70 tahun menjawab dengan pandangan mata kosong, lantaran begitu lama ditinggal cucu pertama dan kesayanganya.
            “Ah..sudah lama mas guru !, aku tidak ingat sudah berapa tahun, tapi aku bersyukur sekarang aku ditemani Hamzah adiknya Ahmad. Dan kemanapun aklu pergi Hamzah ini selalu menemaniku “ Selembar wajah tua renta Mbah Wakidi kembali berseri seri.

Semuanya hanya terdiam meski dalam hati terbesit rasa kasihan terhadap nasib Mbah Wakidi, yang ditinggal istrinya sudah lama sekali menghadap Tuhan Yang Kuasa. Sementara anaknya satu satunya Warti kini pergi ke tanah arab menjadi TKW, setelah cerai dengan Susanto.

Kini dia hanya ditemani Hamzah yang masih duduk di bangku SMP, untuk itulah kakek tua renta itu mau bekerja apa saja demi menyekolahkan Hamzah dan bila dia membutuhkan bantuan apa saja, maka Pak Guru Kamtijolah tempat dia menerima bantuan tersebut.

            “Kerjaan kita sudah selesai, bapak bapak, tinggal membawa gabah ini ke tepi jalan untuk diangkut mobil. Saya kira panen ini hanya 2 ton saja, oh ya nanti silakan bapa bapak bawa 1 karung gabah. Oh ya mari kita bergegas, sebelum sore hari”
           
Mereka semua kini menyelesaikan pekerjaan yang sudah biasa mereka kerjakan, sehingga belum sampai matahari condong ke barat mereka sudah bisa beristirahat di rumah masing masing. Pak Guru Kamtijo dan keluarganya kini tersenyum puas, bukan karena hasil panenya, tapi karena rasa persaudaraan yang dia bina dengan tetangga tetangganya. Inilah kebahagian sendiri untuk pak guru selain memberi pembelajaran pada putra putranya di sekolah.
***     




Di boulevard cintamu


Puisi Effi Nurtanti
Saat aku berulang tahun hari ini

kau sajikan hidangan malam,
berdiri kokoh di pelataran tempat harap bersanding
engkau telusuri getar  dan denyut nadi,
sementara daun pandan di depan rumah
menyimpan egonya dan meluruhkan semua senyumnya
bintang menumpahkan salam,
rembulan menerpakan pandangnya
tak mampu lagi berkawan dengan rasa cemburu

boulevardmu masih menyimpan bulir bulir yang semi
di hati, nadi jantung dan rambut hitamku
aku harumkan dalam keranjang bulanku
sehingga kau mampu menerangi malam ini
aku gapai tepi malam bergurat mawar jingga
kau tangkap satu bintang
dan kau suguhkan pada halaman depan boulevardmu

kau tesenyum,
aku menyelusuri bahumu
kau bagaikan bintang yang liar
akupu bulan yang meredup, karena hypnotism
malam masih menghadang kita

selorohpun tehenti..sepi

(Semarang, 9 Mei 2012)