Sabtu, 05 Mei 2012

malam pertama ini miliku


Puisi Effi Nurtanti

Bintang malam ,
menjadi  menyurut  pesonanya…bulan
tak kentara lagi membalikan wajah  malam
karena terpenggal satu dua nafas memburu,
kau ikat mereka menyelip di kelambu pengantinmu
aku tawarkan…pada sunyi berlarinya hari
namun kau memungutnya
hingga jarum waktu  membentak
haripun terbawa sayap seribu malaikat.

Aku bentangkan kebun bunga, agar
kau menggauli,  lepas semua sendi tulangmu
kau menerimanya…
akupun berkalang rembulan yang bernafas dengan
peluh…
kau menganyam beludru jingga, merah jambu
kelambu pengantin memang milikmu.

Hari hari telah jauh tertinggal
karena kau rajutkan peluh  dan nafas
dalam simphoni rindu…milik Dewi Supraba di
Indrakila. Aku menorehkan dalam setiap bentang
daun palma….agar  mengabarkan lewat angin
kita tak punya lagi saling menyayat hati.

Kau lumuri kanvas dalam lukisan alam
yang tanpa satupun bergambar gurat wajah,
terlipat karena eksotisnya kehidupan
lantas aku terima,
dengan menikamkan seribu  rona membara
hingga tak terdengar lagi gurau dan seloroh
semua terlipat dalam gelap malam
hingga rintihan terakhirmu,
meluruhkan tebing dan wajah malam
(Semarang, 22 Januari, 2012).


kutanyakan pada langit bumi


mengapa kita tak sederas air kali
yang sigap mengucuri sawah ladang dengan air
obat dahaga nafas yang hanya sampai leher
pada mentimun dan dan lobak yang kembali
menggapai angin, dari lekukan bukit-bukit
sepanjang cakrawala.

mengapa kita tak segesit pipit di dahan cemara
kala pagi, siang dan sore selalu saja menggambar prosa
tentang ketidakraguan, mengepakan sayap mencuri ceria
dari padang luas tempat “sang dajjal” mengumbar kesumat
di seputar atmosfer berdebu nanar dan buruk sangka

mengapa kita tak bertanam semerbak wewangi
aroma kemanusiaan,
padahal putting beliung telah merapatkan kaki
berbaris sepanjang “Negeri Archipelago”, berpagar
ratna mutumanikam, kita hanya mampu menguntai
nada parau, ditikam burung hantu yang mengepalkan tangan
“sang dajjal” telah menderapkan langkah , menebarkan
debu musim kemarau yang pengap dan anyir.

mengapa kita tak setegap petani desa
yang sahaja dari pacuan kuda binal
menerjang sisi hati setiap yang berbaju petinggi
bergigi pongah dan bibirnya yang sumbing
terus melengkingkan atmosfer hitam dan kotor
di istana berajut lengan lengan lemah sepanjang dindingnya

mengapa kita tak pandai
berbasuh air sejuk dari Puncak Semeru atau
menghangatkan badan ari bara api sepanjang
bumi Papua, yang tak mampu membendung
air matanya.

selalu mestinya kita bertanga
pada langit dan bumi

(Semarang, 17 Maret 2012)

rahwana dan ketua partai

rahwana menyisir lereng Himalaya
bara api di lidahnya
melekangkan ilalang
belukar tersenyum hambar
mahkota di istana Himalaya
bersigap

rahwana tajam mengerling
di hunian katulistiwa
riuh perhelatan  ketua partai
menyambut dengan
dentuman seribu  meriam

rahwana menajamkan taring
agar ketua partai tetap dalam seloroh
belukarpun terhempas
hingga kaki cakrawala

(Semarang, 17 Maret 2012)

pawai  artis

mereka di etalase, berbatas kaca negeri kahyangan
kita hanya setelan baju singkong.
mereka  berbaju daun pandan pengap
menjerat leher tempat merapatkan cangkul

etalase semakin glamour dengan ornament duka pilu
kita masih membasuh air negeri untuk
kebon bunga di halaman

untuk menjemput pagi penuh ceria

(Effi Nurtanti Semarang, 17 Maret 2012)
  

kau ulurkan ikatan bunga


Dalam senyum mengusung ornamen  debu dan hari
Untuk kau raih, aku tak mampu menggapai
Bila senja telah bertutur dalah bahasa pelangi.
Aku terbangkan angin waktu
Memburumu...tak kunjung aku sampai
Lantaran kau terselip dalam senja

Aku berikan seribu makna dalam sebuah
karangan kata, merah, jingga hingga biru
kau menolehkan wajah, dalam arti  yang aku
tak tahu.

Kau hanya memberi salam kepada angin lalu
Aku terhenyak, saat aku menggapai makna
Ini adalah garis langit
Yang bersemayam “Mahkota Bersusun Tujuh”
Akupun hanya mengakrabi doa
Agar pematang dan sawahmu dirimbuni
Padi yang menguning
Tempat kau berseloroh dengan bidadari
Selamat Jalan Kakanda.

(Semarang, 24 Januari 2012).



Ilalang di "Jonggring Saloko"


tatkala semua sisi  Jonggring Saloka
meggemparkan dengan tautan warna hari,
senandung lirih menyertai dalam rajutan  Negeri Kahyangan
angin angin yang jeli menyeruak dari  Sekar Kedaton
dalam taman, semua tak berkata dusta
aku terpojok dalam sudut hati
hingga aku melepas ikatan dalam benak  syak wasangka
tak kusadari aku terbaring
di tengah kelambu langit penuh benang kasih
hingga aku sepeti  sang penghuni Indraphrasta

luluh lantak yang terberai dalam cakrawala semu
aku punguti kembali,
aku semaikan dalam kelopak Edelweis,  namun tak kunjung mengering
menjulang dalam tatapan langit
sempat aku baca guratan yang berlalu
aku benamkan dalam lazuardi di balik dada

satu hari melaju…..
bermetamorfosis dalam peredaran bulan dan matahari
sehingga tak terasa satu dua bukit terlampaui
satu dua pulau, telah  akrab dengan pelanginya sendiri
akupun terjebak dalam canda terpingit hari
apalagi bila kembang warna warni turut berprosa
dalam bait yang runtut, namun hening dalam damai

satu hari terkapar
wajah hari lainnya mensemilirkan angin musim
satu hari meradang nanar dalam sorot mata binal
hari lainya menyodorkan Puncak Mahameru
dalam adonan Asmarandhana
hingga aku terpelanting dalam kicau pipit
kutilang, nuri dan burung penjaga pagi
kita di sebersit warna pelangi yang meluruh
karena putaran roda pedati yang rakus tak henti
aku mengusap peluh, engkau mengatur nafas
kita masih tetap dalam waktu

(Semarang, 6 April 2012