Minggu, 20 Mei 2012

L o v e

Sudah satu minggu ini Fransiska tenggelam dalam schedule yang disodorkan tim kreatif ‘Gajah Mada TV’, yang bakal menggelar kolaborasi diva remaja multitalen dengan Mr Chandra Orchestra, untuk menggerlapkan ultah stasiun TV tersebut. Fransiska kini hadir di tengah beberapa diva remaja yang mulai hadir di tengah publik, musisi dan vokalis lainnya, maka dia kini hanya mampu memberikan waktu luangnya untuk sokib-sokibnya hanya di kampus sekolah mereka, meskipun dia kangen dengan seloroh dan usil mereka, termasuk salah satu diantaranya dengan Jeffri. Sokib yang paling lengket dan paling   lama kenal denganya.
Bagi Fransiska yang punya talen vokal yang kuat,  dia sangat tersihir dengan even besar ini. Fransiska tetap mengusung sebuah harapan untuk menjadi pesaing  diva kondang di tanah air, Fransiska tetap menyemai ambisi untuk bisa mensejajarkan dia dengan KD, Juni Shara, Shahrini , meski entah kapan dia tidak tahu. Tapi langkah untuk mencapainya tiada pernah surut di benaknya. Fransiska belum mengenal sebuah sensasi, ambisi karir dan seabreg moralitas selebritis yang ‘nyleneh’. Fransiska hanya akrab dengan seloroh  yang lepas dengan siapa saja yang melingkunginya. Meski terdapat beberapa cowok melangkonis dan romantis yang berusaha mencuri de’ amour yang dipenuhi mawar merah dari hatinya.
***
Jeffri hanya bisa memandang Fransiska meski hatinya meluruh, saat Fransiska curhat denganya di suatu pagi, beberapa hari  sebelum dia  pentas dalam malam Gebyar Diva Remaja Multitalen.
‘Jeff, aku minta doa mu, ya !, ”. Seberkas pemintaan Fransiska disodorkan dengan senyum manis menawan.
‘OK, Siska aku berharap dan berdoa moga kamu mampu sukses malam minggu nanti’. Jeffri membalasnya dengan senyuman yang kelu dan resah kini menggayuti hatinya. Jeffri tidak mampu menyembunyikan perasaan takut kehilangan Fransiska, yang telah beberapa tahun menjadi sokib dekatnya. Jeffri merasa dirinya kini berada di sisi Fransiska yang tidak kokoh, padahal Jeffri mengharapkan  tautan yang lebih friendly bahkan getar hatinya lebih bisa dimaknai dengan kehangatan segalanya, apalagi kehangatan sebuah senyuman dari Fransiska seperti tadi.
‘Kamu harus tulus doa’in aku, ya Jeff !. Aku merasakan suatu tantangan yang berat. Semua diva remaja sudah go nasional. Sedangkan aku hanya bermodal vokal “
“Kok kamu ngomong kaya gitu sih !, inikan bukan malam bintang, konser inikan hanya untuk penyaluran bakat remaja tingkat nasional “.
“Aku tak bisa membayangkan bila aku kalah besaing dengan mereka, padahal ini adalah kesempatan emas bagi aku Jeff “. Wajah Fransiska mulai kelihatan terlipat,senyumnya kini telah hilang di sudut bibirnya. Sebuah keresahan kini membayangi cewek flamboyan, yang kini bersandar di jok mobil warna biru muda. Namun keresahan itu tidak seberapa dibanding resah yang hadir di degup jantung Jeffri.
“Aku mendapat informasi dari publik,bahwa vokal kamu memiliki spesifikasi dibanding difa lainnya. Kamu jangan merasa kalah dulu !”
“Ah, aku kira biasa aja, kemarin aku latihan dengan mereka sepertinya biasa saja”
“Tapi Siska !,kamu punya nilai lebih di banding mereka !” Jeffri mencoba menyelamatkan Fransiska yang mulai hanyut dengan perangkap kegagalan yang mulai dipasang diri Fransiska sendiri.
“Apa itu, Jeff !”
“Diantara mereka kamulah yang paling cantik. Kamulah yang paling punya potensi untuk menyihir publik dan mencuat ke blantika musik nasional dan aku bangga punya sahabat seperti kamu. Kalau kamu optimis, kesuksesan bakal kamu raih, betul Sis percayalah ! “
***
Fransiska merasakan sesuatu  yang aneh yang tersembunyi dalam ucapan Jeffriitu, tetapi perasaan itu dia tutup rapat-rapat. Meski Fransiska termasuk cewek yang dibilang gaul, smart, dewasa, namun selama ini dia hanya mampu menyodorkan persahabatan dengan siapapun, termasuk dengan Jeffri. Jeffri dipandangnya hanya sebagai sahabat yang sering menjadi limpahan curhat, ringan tangan dan piawai dalam memotivasi dirinya, yang dibutuhkan dirinya karena ortu Fransiska tidak mampu meluangkan waktunya barang sekepingpun untuk memperhatikan dirinya. Papa Fansiska hanya asyik merajut nafsu durjana dengan wanita-wanita murahan di bungalow miliknya pribadi. Sedangkan mamanya lebih memilih menjadi dosen ahli di Harvard University AS.  
“Kita pulang Sis ?”
“Aku lagi males !, aku cuma pengin lepas bebas terbang ke tiap penjuru Semarang. Kamu mau menemaniku, kan !. Santai aja Jeff, kalau kamu cape biar aku yang jadi driver !”
“Mana ada tuan puri bawa mobil, biar aku yang bawa saja, Sis !”
“Kalau sang pangeran yang ganteng yang ngikut, tuan putripun mau jadi driver ‘
“Sekarang tuan putri mau jadi driver, coba kalau sudah menjadi diva nasioanal dan menjadi selebritis kaya Shoimah atau Ayu Ting Ting, mana mau gabung bareng dengan Jefrri.”
Mengapa kini Jefrri lebay, mengapa pula dia kelihatan seperti khawatir bila aku berhasil nanti. Apakah ini sebuah persahabatan semata,atau lebih dari itu. Ah aku tak mengerti. Bertubi-tubi isi jantung hatinya dipenuhi bisikan seperti itu. Namun siapakah yang memulai, bukankah pertemuan seperti ini hampir setiap hari terjadi antara dia dan Jeffri. Ataukah hanya perasaan egois dirinya karena mengalami “under-pressure’ yang kuat selama beberapa pekan ini, atau memang Jeffri selama ini menginginkan  lebih dari sebuah persahabatan.
“Siska,kamu nglamun ya ?”
“Ah, nggak kok Jeff !”
“Kita makan siang dulu, aku sudah lapar. Aku coba cari makanan yang kamu suka. Kamu paling suka menu ini kan ”. Jeffri menghentikan mobilnya di warung garang asem, menu makanan yang paling Fransiska senangi. Fransiskapun hanya menganggukan kepalanya dan pada dirinya mulai timbul perasaan lembut, selembut benang halus yang menawarkan eksotis hatinya. Sedemikian besarnya perhatian cowok ini pada dirinya. Padahal sudah terhitung banyak cowok cowok ganteng yang mencoba meluruhkan hatinya, tapi mengapa hanya Jefrri saja yang dia dibat tak berkutik. Aku tidak tahu perasaan apa ini, aku dengan Jeffri kan sudah sering gabung bareng dimana dan kapan saja. Ah konyolnya hati ini. Entah setan apa yang kini singgah di hatiku, sehingga saat ini perasaanku  sering menjadi liar seperti ini. Oh Jeffri maafkan aku ya !.
“Aku kemarin kemarin sempat bingung, Sis !”
“Kenapa, bingung ?”
“Aku nggak punya temen !”
“Ngaco kamu, kan ada Windy,Natalia dan teman teman satu kelas lainnya “
Mereka sibuk masing-masing “
“Maaf aku ya Jeff, sebenarnya aku pengin ngajak kamu pembekalan di studio, tapi aku kasihan sama kamu. Latihan yang diberikan Om Chandra sangat menyita waktu”
“Sebenarnya nggak apa-apa  Sis,  asal aku punya teman gabung “
“Apa mereka semua bukan teman kamu?”
“Kamu kan sokib aku yang paling bisa membuat aku enjoy, saling mengerti dan bisa untuk curhat”
“Kamu aja yang lagi lebay hari ini Jef. Kamu lagi naksir sama siapa sih Jeff ?“
“Aku nggak pernah  naksir cewek lain, aku nggak punya sesuatu untuk yang lain. Tapi entahlah “
Mereka berdua saling membisu, Jeffri tidak mampu lagi meneruskan mencurahkan kata hatinya.Fransiskapun lahu persis bahwa dia harus menautkan benang-benang halus lebih rapat lagi seperti yang diminta Jeffri. Dia harus mulai menginjakan langkah pada sesuatu yang nyata antara mereka berdua, Fransiskapun kini dalam kungkungan “really in loving” dengan Jeffri,satu-satunya cowok yang paling dekat dengnya selama ini, bahkan lebih dekat lagi ketimbang dengan papa dan mamanya.
Fransiskapun kini merasakan sayap-sayapnya telah ringan untuk menyentuh langit berbintang,yang tiada sesuram malam-malam sebelumnya.

Sketsa Tentang Negeri Hujan


Ketika sang waktu telah menyelinap di antara hamparan Antartika hingga Gurun Sahara, kemudian meletakan sayapnya di Archipelago, yang kelihatan dari angkasa kini terbuai  bermandi buih lautan. Lantas kawanan sang bidadari mengipasinya dengan angin pasat, pertanda nafas sang waktupun telah menyesak di dada. Maka segenap penghuni kahyangan menjadi tersenyum ceria, betapa syahdu dan indahnya negeri  itu, demikian guman hati para dewa. Segera dari langitpun bertebaran bunga warna-warni yang semerbak harum mewangi.

Kini dihamparan dua samudra, telah melambai sejuta nyiur yang berjejer di pantai negeri  itu. Sembari memberi kabar kepada bioma bioma nun jauh disana, agar  mau berguyur mandi air hujan yang terkucur dari mata air Cupu Manik Astagina yang digenggam tangan Sang Hyang Pramesthi Bathara Guru,  pemimpin para dewa di Kahyanga Suralaya. Sambil bermesraan menonton sendratari Ramayana di halaman Candi Prambanan yang mencakar langit, dengan puja dan puji untuk meminta kemurahan sang dewa. Konon menurut legenda, para dewa di Kahyangan Suralaya menjadi berselimut derai tawa. Pertanda pralaya hanya mampu mengintip dari balik awan. Entah dalam perjalanan  sang waktu natinya.

Sang Pralayapun lebih senang bersemayam di Mahameru, simbol “derajat pangkat” negeri yang sejuk dengan terpaan hujan sepanjang tahun.

“Hai, sang pralaya, kuatkan peganganmu di puncak Mahameru, jangan dulu engkau terlena dengan tarian para bidadari yang sedang bercengkerama di tepi telaga.
Biarkan saja semua yang hidup di negri yang tak pernah lekang itu, mampu tersenyum ceria. Biarkan dahulu bocah desa bertiup seruling bambu di atas kerbau.
Biarkan dulu permadaniku berwarna kuning di hamparan sawah yang sejuk da mengalir air yang bening sepanjang tahun “ Demikian titah Sang Hyang Wenang.

“Akupun akan turun ke tengah mereka bersama denga luapan magma, tsunami, gempa dan badai petir, bila aku sudah merasakan gerah di sini. Lantaran banyak diantara manusia yang saling melempar ego, saling merugikan lainya. Bila pula mereka sudah tidak mau lagi tawajuh  marang sesembahan.

Sang Hyang Wenangpun kembali ke kahyangan Awang-Awang Kumitir dengan senyuman tersungging di wajahnya yang putih bersih, tanpa suatu patah katapun dilontarkan. Sang pralaya segera mengencangkan sayapnya yang bertaut erat di puncak Mahameru. Sesekali diapun bergumam dalam hatinya. “Hai manusia di negeri hujan, akupun akan menelanmu bila memang saatnya aku menjalankan tugas. Bila pula para dewa di Suralaya sudah merasa gerah dengan budi candolo yang menjadi panutan kalian semua. Tiadakah diantara engkau yang lebih memberi manfaat pada lainnya ?, agar aku mampu memejamkan mataku di Mahameru ini.”

Angin Pasat, angin Kumbang, angin Gending  ataupun angin Bahorok  yang lahir dari kipas para bidadari terus saja setia menyertai kehidupan di sela jajaran nyiur. Semai padi dan palawija saling bertautan dengan panen tanaman itu. Demikian seterusnya dari masa ke masa. Hujanpun masih setia mungusung kehidupan mereka, tidak ketinggalan pula metamorfosis hidup dan suratan takdir diantara penghuni negeri, tiada pernah terhalang oleh nafsu durjana mereka sendiri. Alam para dewapun menjadi damai tentram.Dalam pakeliran agung semua titah sawantah tiada satupun yang bergeming. Tiada busur panah yang meregang, tiada satupun pedang yang tak bersarung, tiada satupun tombak yang njati ngarang. Semua berbudi santun yang kondang kawentar hingga ke bioma gurun dan padang rumput serta nunjauh di sana.

Sesaat tangan Sang Hyang Pramesthi Bathara Guru yang menjinjing  pusaka Trisula dan Jaludara lambang kekuasaan yang terlimpahkan kepada titah sawantah bergetar hebat,      
Singasana Marcu Pundhamanik tempat pemimpin dewa tersebut memimpin alam raya terasa memanas. Hal ini telah membuat gusar para dewa, sehingga Bathara Bromo, Endro, Kamajaya, Yamadipati, Surya, Indra, Bayu bergegas menghadap pemimpin mereka Sang Hyang Pramesthi Bathara Guru  untuk meneliti bencana besar yang   melanda mercopodo.

Lantaran hinggapnya penasaran yang mengganjal di dada Bathara Guru, maka diapun segera membuka langit untuk mengamati sumber penyebab kegoncangan kahyangan. Sang Bathara Guru menjadi bersungut sungut wajahnya, yang kini terlihat memucat. Dilihatnya  Bathari Durga dan Bathara Kala dari Kahyangan Gondomayit telah melepas ikatan Sang Pralaya, untuk menyebarkan angkara murka di negeri hujan itu.

”Bathari Durga dan Kala ! dan kau Pralaya, bukankah bukan tempatmu bermukim di negeri hujan ini. Dan mengapa kalian bertiga menyebar angkara di negri hujan tempat mandi bidadariku ?” ujar Sang Bathara Guru.

”Hai kau Guru pemimpinku. Kau lihat kini negeri hujan berisi hanya petir, akibat panasnya mercopodo dibakar oleh hawa nafsu para  titah sawantahnya, yang saling melempar kebencian satu dengan lainnya. Tiada lagi tarian santun atau tegur sapa yang lembut, semuanya kini berhamburan ke jalan dengan menghunus pedang. Pemimpin mereka hanya mampu mengumbar kepuasan dia sendiri”

”Tapi hentikan dulu ulah kalian semua”
”Aku bertiga sudah tidak mampu lagi menundanya, sang pralayapun telah lepas ikatanya”
”Bukankah para pemimpin mereka telah menerima petuah  Kakanda Bathara Ismoyo ?”
”Kakanda Ismoyo sudah tidak digubris lagi, lantaran mereka telah menjadi titah yang angkuh”
”Tetap aku akan ke Awang Awang Kumitir menghadap Romo Syang Hyang Wenang”
”Percuma saja, kakaku !, Karena Sang Hyangpun takan mampu menolongnya. Karena ini telah menjadi suratan takdir Gusti Ingkang Makaryo Jagad, maka hanya dialah yang mampu memutuskan ”

Hening suasana mercopodo saat itu, lantaran untuk sejenak Bathari Durga dan Kala menangguhkan dulu misi mereka, mereka kini hanya melihat kilatan cahaya menuju Awang  awang Kumitir tempat bersemayamnya Sang Hyang Wenang, yang kini terlihat duduk memagut di hadapan Bathara Ismayo yang juga hanya menundukan kepala.

”Sabarlah dulu, Manikmaya. Aku tahu betapa gundahnya hatimu mendengar geger di negara hujan.Ketahuilah bukan hanya engkau saja.Perhatikan bagaimana kau lihat sedihnya kakakmu Ismoyo, yang sangat dalam penyesalannya mengenai marcopodo” Demikian petuah sang panutan para dewa kepada Manikmaya. Dengan suara datar namun menyentuh Bathara Guru, hingga kedua matanya kini mengucurkan air mata kesedihan

”Betul dinda !. Sejak jaman Palasara hingga Bambang Wisanggeni, mereka sangat patuh dan mau mendengarkan nasehat-nasehatku.Tapi entah titah mercopodo di negeri hujan. Mereka sama sekali tidak mau mendengarkanku lagi, terutama para petingginya yang angkuh dan kaya raya. Negara hujan kini berganti warna menjadi negara merah membara. Maka wajar saja banyak titah yang saling bunuh, saling fitnah ,saling serang dan saling hasut atau mereka banyak yang bunuh diri. Bahkan banyak diantara mereka yang tega membuang bayinya”, Sang Ismoyo kini ikut berusaha menentramkan hati pemimpin para dewa itu.

”Akupun kini sudah tidak mampu berbuat apapun. Ke empat pusakaku telah aku turunkan agar mereka kembali menjadi negara santun, saling peduli, saling memberi manfaat dan memberikan sebagian kekayaannya kepada yang miskin. Namun tetap saja sekarang mereka senagnbebrbuat onar” Tutur Baathara Guru.

’Ya, akupun memakluminya. Aku akan turunkan Ismoyo dalam wujud seribu bayang-bayang yang mampu menyusup ke tengah hati mereka semua. Teutama untuk para pemimpinya. Sehingga mereka menjadi sejuik hatinya kembali. Tidak ada lagi ontran ontran yang menjadi sarapan kedua mereka”

”Akuipun  memiliki satu permohonan, Romo Pukulun !”
”Sampaikanlah. Ananda Manikmaya ?”
”Aku mohon, turunkan segera satria piningit ke negeri hujan ?”

Sang Hyang Wenagpun bangkit dari singasananya, di dekatinya putra kesayanganya yang didamba menjadi penerus kepemimpinan para dewa. Dipegang erat kedua pundak pujaan hatinya itu. Dengan senyum manis yang hinggap di wajahnya, panutan para dewa itu berkata :

”Satria piningit itu telah aku turunkan jauh jauh hari, yaitu kepatuhan mereka pada darma kebajikan yang sudah diajarkan para nenek moyang mereka. Itulah sebenarnya satria piningit. Anaku kini tugasmulah dan dibantu Ismoyo untuk segera melahirkan satria piningit ”

Sang dalangpun segera menutup pakeliran drama kehidupan,lantaran hari sudah beranjak fajar. Sementara itu semua penonton telah berada di peraduan mereka masing-masing. Panggung sketsa negeri hujan kinipun lengang.

Catatan:

Archipelago                 : Gugusan pulau yang dikeliling lautan
Bioma                          : Lingkungan biologi yang memliki specifikasi tertentu
Mahameru                   : Puncak Gunug Semeru
Sendratari                   : Pentas teatrikal yang disajikan dengan bentuk tarian
Kahyangan Suralaya  Nama suatu tempat bersemayamnya para dewa.
Pralaya                       : Keadaan kacau yang melanda tempat tertentu.       
Sang Hyang Wenang  : Panutan para dewa yang bersemayam di kahyangan    
                                awang-awang kumitir
Tawajuh marang
sesembahan                 : Merendahkan diri dihadapan Sang Pencipta.
Budi candolo               : Sifat jahat  umat  manusia
Pakeliran                     : Babak dalam pentas wayang           
Njati ngarang              : Tombak yang berdiri dan dibawa kawanan prajurit. Sehingga   
                                      mirip dengan pohon jati yang berjejer rapat.
Kondang kawentar      : terkenal di mana mana
Cupu Manik Astagina : Air kehidupan yang digenggam Bathara Guru.
Titah sawantah            : Manusia pada umumnya
Trisula dan Jaludara   : Pusaka yang dipegang oleh Bathara Guru
Singasana Marcu Pundhamanik :Singasana tempat duduk Bathara Guru dalam
  memimpin dunia.
Bathari Durga dan Bathara Kala : Dewa pemimpin para setan dan iblis yang  
  bersemayam di Kahyangan Gondomayit
mercopodo.                 : Dunia dan seisinya.
Bathara Ismoyo/Semar: Dewa yang diturunkan ke dunia untuk memberi pencerahan
                                      kepada pemimpin/petinggi
 Gusti Ingkang Makaryo Jagad :Tuhan Yang Maha Pencipta
Manikmaya.                : Nama lain Bathara Guru

Di Negeri Angin


Kedua kakinya sudah terasa berat untuk melangkah, urat nadinya tampak membesar dan menggurati kulit kakinya. Langkah yang berat  itu terus menapaki jalan jalan kecil, terpaan angin sore  mulai menghalangi langkah yang mulai gontai. Matanya yang tersembunyi di lengkung pipi sesekali menatap tajam dan lurus ke depan, sesekali juga menatap dalam dalam jalan jalan kecil desa yang masih berwarna merah tanah liat. Namun dia sama sekali tiada sedetikpun berani menatap cakrawala.yang bersemburat awan jingga, meski berkas berkas sinar matahari masih kelihatan menyela daun daun pisang sepanjang jalan itu. Lantaran di cakrawala itulah kini kedua anaknya merangkai kehidupam mereka.

Berias bunga warna warni, bercanda ria dengan bidadari penghuni cakrawala senja. Layaknya hidup di Kahyangan Suralaya Dari kedua kulit mereka memancarkan aroma keharuman surgawi. Mereka sama sekali tiada mengenal waktu, angan dan membanting tulang demi sepiring nasi jagung, sekerat singkong. Mereka tidur di kasur angin, dengan bantal bersusun tujuh.Mereka hidup di suatu kehidupan yang sama sekali tiada kebohongan, kemunafikan dan kebiadaban

Meski cuma sesekali, kedua anaknya tiada pernah mau menengoknya, apalagi untuk menemaninya menebar semai kehidupan di sawah mereka yang tidak seberapa luasnya. Sekeranjang sembilu kini mengiris hatinya yang terus saja melemah melawan kendaraan waktu yang tak mau meletih. Gubug bambunya kini sudah mulai kelihatan, tak berdaya melawan ilalang yang tingginya hampir separo tubuhnya. Dia hanya mampu menyelipkan hidupnya di sebuah gubug tua di tengah padang, yang berada di sudut kota bersama istrinya yang renta.

Wajah gubug itu langsung menyeringai dan memberikan senyum yang hambar, senyum yang dia sendiri tak mampu mengartikan. Hanya saat saat  bahagia saja yang ada di benaknya kini. Meski kenangan itu telah lewat  entah berapa puluh tahun. Saat Dirman anak sulungnya membantu menyisir tanah subur di sawahnya untuk semi padi dan palawija sebelum matahari berani menampakan wajah di kampung  yang telah didera revolusi, sementara Nurlela putri bungsunya sibuk menghidangkan teh alam panas bercampur gula aren. Istrinya Aryati telah  terlebih dahulu menyongsong kehidupan dengan pergi ke kebun untuk memetik sayur sekedar untuk sarapan keluarga petani ini. Itulah sketsa hidup Soenaryo dan keluarganya di tengah badai revolusi, yang ditiupkan komintern-komintern yang ganas.

Namun setumpuk kisah perjalanan anak manusia yang dia miliki, yang memenuhi rongga dadanya kini telah menjadi debu, termasuk kedua anaknya yang ikut terbakar bersama rumahnya, yang kala itu terbuat dari papan jati yang megah menjulang tinggi, setinggi cita-citanya kala dia masih muda. Rumah dan kedua anaknya ikut menjadi debu-debu revolusi kala komintern membakar sebilah kehidupanya secara biadab.

Sementara itu istrinya yang tercinta, sudah tak bertulang lagi lantaran terpagut dalam kegetiran. Iapun langsung pinsan dipelukan laki-laki tegar pemimpin pemuda yang kontra komintern dan berusaha menepis kehadiran komunis di tanah kelahiranya Ampel, Boyolali . Tetapi Tuhan yang Kuasa masih berkenan memberikan KaruniaNYA, istrinya mampu membuka tabir semu perlahan,mulai dan mampu mengerti makna realita hidup. Meski mereka hanya segelintir hamba Tuhan yang terselip di bingkai kehidupan yang telah pengap.

“Aku sudah buat teh hangat kesukaanmu, Pak!, minumlah sebelum dingin” . Suaminya hanya diam membisu, tapi teh hangat kesukaanya kini telah membasahi tenggorokanya, rona wajahnya kini agak segar, secuil keceriaan mulai muncul. Direbahkan tubuhnya yang tinggi itu pada korsi renta, yang sudah kusam tapi masih setia menemani Soenaryo sejak

“Alhamdulillah, hari ini lahan kita siap untuk ditanami, Bu !. Besok aku coba untuk menebar bibit tembakau”
“Aki ikut, ya Pak “
“Sudahlah, kan pinggangmu belum sembuh, istirahatlah dulu sampai kamu sehat, Kalau kamu sakit, siapa yang masak, siapa yang merawat gubug ini ?”
“Rasanya tambah hari bukanya tambah sembuh. Tapi tambah terasa sakit, Pak “
“Makanya istirahat, biar tak kambuh lagi. Harusnya memang batu ginjalmu dioperasi saja Bu ?”
“Biaya darimana, Pak ?”
“Aku melihatmu semakin hari,semakin pucat. Kita jual saja sawah kita to Bu, untuk biaya operasimu ?”
“Kita mau makan apa ?. Hanya itu harta kita. Berapa banyak yang sudah kita jual to Pak. Sekarang biarlah yang tersisa,   menjadi sawah kehidupan kita”
“Aku masih mampu mengayuh becak, Bu ?”
“Masya Allah, Pak !, tua bangka seperti kita mampunya hanya menunggu berkalang tanah. Kalau  tiap hari kamu masuk angin terus bagaimana mau jadi tukang becak ?”.

Tiada sepatah katapun yang mampu dilontarkan Soenaryo dari mulut yang terkunci, terkatup bibir bibir yang menghitam dan keriput. Teh manisnya kini mulai mendingin, namun direguknya hingga habis. Gubugnya kini dikungkung oleh temaram senja yang meremang. Namun sebersit anganya kini mulai bergayut di hatinya. Betapa berbedanya dia kini dengan kehidupan kala dia masih muda, kala pemuda di desanya menunjuknya dia menjadi ketua front pemuda. Pemuda Soenaryo yang  kondang sebagai pemberani tiada tandingnya, saat itu telah malang melintang di Boyolali menggalang kekuatan anti komunis.

Maka suatu hari yang tiada pernah dilupakan, di tengah selimut malam yang menggigit, pintu depan rumahnya telah digedor kawanan pemuda PKI yang jumlahnya ratusan, yang dipimpin Sadewo simpatisan Barisan Tani Indonenesia Boyolali.

“Kamu tanda tangani surat ini, atau mati “ pekik Sadewo  dengan sorot mata yang tajam dan tangan yang kekar kini sudah berada di leher Soenaryo. Pekik ketakutan kedua putra Soenaryopun kini memenuhi setiap sudut ruang tamunya yang luas, berdinding kayu jati dan berlantai semen.

“Sadewo, kamu anak kemarin sore, jangan berani berhadapan denganku. Sedikitpun aku tak gentar, bila harus berhadapan denganku. Sampai kapanpun aku tidak akan menjadi anjing komunis di negara ini. Aku manusia beragama, bukan kafir seperti kamu ! “
“Jangan banyak bicara, tanda tangani ini, atau seluruh rumah ini akan hangus”
“Anak ingusan beraninya hanya menggertak, apa ini yang disebut revolusi merah. Apa dengan cara begini Aidit akan memimpin negri ini. Aku tak sudi dipimpin manusia-manusia biadab sepertimu. Ini yang kau bilang Indonesia di Jalan  Baru gagasan Muso itu, ayo jawab, Sadewo !, atau kamu sekarang menjadi anjing…yang hanya  berani menyalak”

“Kurang ajar, kau pantas mati, namun saksikan dahulu rumahmu dimakan api. Memang harus dengan cara begini manusia kontra revolusi pantas mati”

Soenaryo kini tak berdaya, kala beberapa pasang tangan menyeret tubuh dia  dan istrinya menuju halaman rumahnya yang luas. Beratus mulut mulut biadabpun kini ikut mengulilti pasangan suami istri itu dengan cacian “anjing kapitalis, anjing imperialis, anjing nekolim dan cacian lainya yang sudah tidak mampu lagi dia dengar. Kini Soenaryo menyaksikan sendiri rumahnya terbakar habis bersama dengan kedua belahan jiwanya. Teriakan kedua anaknya dari dalam rumah begitu menusukan selaksa kegetiran dalam hatinya, yang tiada pernah mampu dia lupakan.

Kursi kuno kayu jati kini terlihat bergoyang pelahan, lantaran darah dalam nadinya mendidih dan menggetarkan otot tubuhnya yang telah rapuh. Kedua tanganya mengepal dengan dengus nafas yang panjang.

“Sudahlah, Pak. Memang inilah jalan hidup kita”
“Kenapa jalan hidup kita seperti ini. Aku selalu berdoa tiap waktu, agar Dirman dan Nurlela di alam kelanggengan berbahagia. Mereka berdua adalah anak anak korban revolusi, sudah selayaknya mereka mendapat pertolongan dari Tuhan yang Kuasa”
“Itulah kekuatan kita, Pak !. Hari sudah malam dan pinggangku semakin nyeri tertusuk angin malam. Aku sekarang mau tidur, tubuhku sudah mulai lemas. Aku membayangkan anak anak kita di sana selalu tidur berkasur angin, sehingga tubuh mereka tidak merasa penat. Berbeda dengan kita yang renta, tidur di kasur empukpun masih terasa sakit “

Soenaryo segera mengulurkan tanganya untuk membimbing istrinya ke tempat peraduan di dalam bilik bambu yang mulai rapuh di makan usia. Kini mereka hanya pasrah menghadapi hari esok yang kelam.Namun mereka berdua masih menyelipkan perasaan bahagia, karena mereka yang menghancurkan hidup keluarganya telah mendapat balasan yang setimpal.