Minggu, 10 Juni 2012

Pertemuan


Sucipto menjalani kehidupan sehari hari sebagai pejabat pemerintah di Kota Semarang dengan  sejuta keangkuhan. Begitu kokohnya jabatan yang diemban bertahuin- tahun di instansinya serasa tidak akan pernah berakhir. Karuan saja semua hasrat hati yang terpendah dalam meretas keindahan hidup yang semu, dia lampiaskan tiada batasnya. Meski dia memiliki keluarga yang harmonis, bersanding dengan istrinya Nandia yang tergolong muda dan cantik serta anak anak yang berkehidupan mewah.Namun anugerah Yang Kuasa tersebut tidak pernah ia sukuri.
Nandiapun merasakan kebahagian duniawi yang serba cukup, maka wajar saja dia bertingkah ibarat noni belanda dengan dandanan yang mewah di balik kosmetik yang  melekat di tubuhnya, yang tentu saja berharga puluhan  juta. Setiap penampilan dia di depan pesta kalangan instansi suaminya,  dia terlebih dahulu bersolek di bawah tangan juru rias yang berkelas di Semarang.Lantaran menghamburkan uang berjuta-juta bagi Nandia sama sekali tidak berarti.
Hingga akhirnya Nandia tidak mau repot bolak bolak ke salon langgananya, dia lebih memilih pembantu yang juga pintar dalam mendandani si noni ini. Tidak sayang Nandia menggaji Else dengan bayaran yang tinggi, asalkan Else mau menjadi juru rias pribadinya, yang ibaratnya setiap saat mau mendandani Nandia dengan asesori yang serba mahal dan serasi. Maka jadilah Nandia yang mirip dengan Rati Inggris “Kate Middlelton”.
Hasrat Nandia yang sudah kelewat mewah ini, sama sekali tidak pernah dihalangi oleh suaminya. Bahkan kehadiran Else di rumah Sucipto, menjadikan laki laki setengah baya yang seperti “kucing garong” di sambut tangan terbuka. Namun rupanya hanya isi hati Sucipto saja yang tahu sebuah hasratyang terpendam.
Hari berganti minggu, bulan demikian seterusnya, kemewahan hidup Sucipto masih saja belum sirna. Saat itu di suatu hari yang kelam bernoda, Sucipto merayu Else dengan segudang janji kemewahan hidup, seperti yang dia berikan pada Nandia, asalkan Else mau melayani nafsu membara Sucipto. Di rumah yang sepi itu terjadilah perbuatan durjana yang dilakukan dua insan yang sama sama melepas nafsu birahi.
Rupanya perbuatan itu membawa dua insan yang terus menerus dibuai kenikmatan sesaat, Else berhasil mendapatkan kemewahan hidup apapun yang diminta Else dari Sucipto, tanpa sepengetahuan Nandia. Hingga perbuatan laki laki durjana itu membuah hasil sebuah janin di rahim Else. Elsepun menangis dan memohon di pangkuan Sucipto untuk menikahi dirinya.
Namun bagi Sucipto, menikahi Else adalah hal yang tidak mungkin dia lakukan demi jabatan yang dia dapatkan dengan susah payah. Meski tangis itu setiap waktu berada di pangkuan Sucipto, namun tetap saja Sucipto tidak mau bertanggung jawab terhadap perbuatan biadab itu.
            “Else, aku bertanggung jawab terhadap semua perbuatanku, asal jangan sebuah pernikahan. Bukankah semua kemauanmu  sudah aku berikan, rumah, pakaian dan mobil yang harganya di atas apa yang dimiliki Nandia. Jadi perlu kamu tahu saja, perbuatan kita berdua, adalah perbuatan yang tidak pernah aku janjikan dengan sebuah pernikahan”
            “Tapi, ini darah dagingmu sendiri. Mas Cipro !!. kelak anak kita akan mencari bapaknya, aku tidak mau merobek kebahagian anak kita.
            “Sudahlah Else, antara kita tidak pernah ada ikatan apapun,  jadi pulang saja kamu ke Magelang, akan aku berikan deposito untukmu dan anakmu hingga dewasa. Akutidak segan segan membuat kamu menderita bia kamu menuntutku untuk menikahi kamu, iniah jalan yang terbaik untuk kita”
2
            Tidak ada satu patah katapun yang mampu Else lontarkan dari bibir yang sudah memucat. Laksana beribu batu memberati kalbunya yang teriris pedih menghadapi hinaan dari Sucipto yang mencapakan dia begitu saja. Langkah kaki terakhir dari lantai marmer rumah gedongan Sucipto sangat menyisakan kenangan pahit, yang tidak pernah dapat Else lupakan. Namu bagi Sucipto,  kepergian  Else dari hadapan  tiaa menyisakan kenangan barang sedikitpun, meskipun uang ratusan juta rupiah telah lenyap begitu saja, yang bagi Sucipto  tidak berarti apa apa.
***
Roda waktu yang menggulirkan siang dan malam  tidak mampu dihentikan  Sucipto, karena dia tetap manusia biasa, yang tidak punya daya upaya, termasuk juga umur dia yang terus merambat.  Sucipto kini harus bertekuk lutut pada keputusan instansinya yang mempesiunkan dirinya.
Jelas setelah pensiun, Sucipto tidak lagi mampu memberikan kebahagian duniawi bagi istrinya, yang jauh lebih muda. Karena Nandia belum menginjak usia setengah baya, maka wajar saja kalau Nandia terus menuntut untuk hidup bergelimang kemewahan, yang kini tidak lagi mampu diberikan Sucipto. Hingga maghligai rumah tangga yang dahulu seperti perjalanan perahu di laut lepas tak berombak, kini berganti dengan perjalanan perahu di tengah ombak ganas yang dihempas badai, hingga pecahlah perahu kayu yang tidak seberapa kuatnya itu.
Nandia dan kedua anaknyapun meninggalkan Sucipto begitu saja, Nandia lebih memilih Hagi, laki laki hidung belang yang jauh lebih muda dari Sucipto, namun sangat licik bagaikan ular sanca, yang berniat menghisap harta yang dimiliki Nandia, yang diperoleh kala Nandia menjadi istri bos besar “Sucipto”. Hingga tanpa terasa baik Sucipto, maupun Nandia kini jatuh miskin.
Namun bagi Sucipto, dia lebih memilih berpisah dengan Nandia dan hidup menyendiri di rumah tuanya yang berada di atas bukit, di bilangan Semarang Selatan yang sejuk. Sedangkan Nandia dan kedua anaknya pergi entah ke mana. Hari hari sepi di tengah masa pensiunan dia isi dengan lamunan masa lalunya, yang sangat berbeda dengan kehidupanya kini. Lamunan Sucipto mendadak lenyap, setelah dia mendengar pintu depanya diketok oleh entah siapa.
            “Maaf, apa betul ini rumah Bapak Sucipto ?”
            “Betul, betul, nak, Anda siapa”
            “Boleh saya duduk Pak, sebab kalau bapak Tanya siapa aku !, aku perlu menjelaskan panjang lebar.” Jawab tamu Sucipto, yang ternyata seorang cewek yang cantik dan kelihatan gaul. Dari dandanan yang dipakai tamunya itu, Sucipto dapat menilai bahwa tamunya adalah seorang cewek yang kaya.
            “Oh silakan, mba ?”
            “Terimakasih, Pak ?” dengan  pd cewek itupun duduk di depan Sucipto tanpa ragu ragu.
            “Baiklah Pak Cipto, aku dating dari Magelang, tujuan aku bertemu adalah untuk meminta tolong bapak ?”
            “Minta tolong ?, apa yang bias aku lakukan, mba. Aku hanya seorang pensiuanan yang miskin dan sakit sakitan dan lagi aku belum kenal situ mba !”

3
“Memang sengaja aku belum memperkenalkan diri, sebab apa Pak Cipto mau menerima kenyataan ini apa tidak? Dan pertolongan bapak bagi kami sangatlah berarti sekali”
            “Tapi sebaiknya mba memperkenalkan dulu. Apapun yang dapat saya bantu, dengan tangan terbuka pasti akan bapak berikan”
            “Baiklah, pak!, nama panggilanku Leila, sedangkan nama lengkapku Lilo Tyas Ningsih. Kedanganku kemari adalah…”
            “Mengapa mba menangis” Tanya Sucipto yang terpana menghadapi isteri ini
            “Sebab yang harus aku sampaikan pada bapak adalah sebuah kepedihan, yang telah bertahun tahun aku alami” cewek itu terus saja beguncang dadanya.
            “Mba, bapaj jadi tidak mengerti, apa maksud semua ini, apa aku menyakiti hati, mba ?. Kan baru kali ini aku bertemu mba”
            “Baik pak, memang semua ini harus aku sampaikan> Bapak masih ingat wanita dalam foto ini?”
“Else..Else !!!…mengapa mba kenal dia ?” Sucipto jadi tambah penasaran, hatinya kini tercabik menjadi butiran debu. Selintas dalam hatinya timbul beribu penyesalan.
            “Bukankah waktu bapak usir wanita ini dalam keadaan hamil?’
            “Iya mba, jadi mba  anak Else ?”
            “Betul, pak “ jawab Leyla dengan dada berguncang dan tangisan yang bertambah melolong.
            Sucipto bersandar pada kursi sudut dengan tubuh lemas, bayangan perlakuan keji pada Else kembali muncul. Namun pertemuan seperti inilah yang dia tunggu, sekedar meminta maaf pada Else sebelum dia kembali menghadap Illahi.
            “Lantas, mengapa ibumu tidak ikut, anaku ?”
            “Dia meninggalkan dunia ini setahun yang lalu dan meninggalkan surat untuk diberikan pada bapak, silakan bapak terima!”. Sucipto bertambah yakin bahwa cewek yang di depanya adalah benar benar anaknya setelah membaca surat Else.
            “Lantas apa yang bias bapak berikan kepada kamu, sebagai penebus rasa bersalah bapak pada kamu dan ibumu?”
            “Ibu telah memaafkan kesalahan bapak dan perlu bapak ketahui bahwa minggu depan aku akan menikah, dan kami mohon bapak berkenan menjadi wali nikah saya”
            “Oh dengan senang hati, anaku. Bawalah aku sekarang juga ke rumahmu agar bapak bias berziarah ke makam ibumu dan berkenalan dengan calon suamimu”
***
Sucipto menjadi kaget bukan kepalang, setelah mobil sedan yang membawa dia dan putranya parker di sebuah rumah makan besar di pinggir jalan besar kota Magelang, yang ternyata adalah milik Leyla dan mendiang ibunya. “Ah, ternyata nasib seseorang memang
betul seperti roda pedati, yang terkadang di atas ataupun di bawah, demikian juga nasibku dan Else” demikian bisik hatinya.
Leyla mengajak bapaknya, yang berpuluh tahun berpisah denganya, untuk berkeliling ke rumah makan besarnya. Seluruh apa yang ada di rumah makan besar itu menjadi saksi
4
pertemuan yang membahagiakan kedua manusia itu, demikian juga dengan semua pelayan rumah makan itu yang turut berbahagia.
Mata Sucipto tebelalak lantaran kaget bukan kepalang menyaksikan ketiga pelayan rumah makan yang tidak lain adalah istri dan kedua anaknya. Sucipto dengan peasaan yang tidak percaya, memekik memanggil istri dan kedua putranya.
“Nandia !, mengapa engkau ada di sini ?”
“Mas Cipto, mengapa ada di sini >”
Aetelah sebuah  pelukan mesra dari Nandia dan kedua putranya itu, Suciptopun memperkenalkan pada Leila bahwa Nandia adalah istri dia yang lama meninggalkan dirinya. Ketiga insane itupun seharian hanya menuangkan semua isi hatinya pada pertemuan itu. Suciptopun meminta agar Leyla mengganggap Nandia sebagai ibunya sendiri, sebagai ganti kepergian Else. Keluarga itupunh kini mulai berlayar dengan perahu yang tenang dan damai setelah lama berpisah, dengan sebuah pertemua yang dihiasi rasa penyesalan masing masing.

Rumah Berhalaman Taman Bunga


Barangkali saja manusia memang harus mengenal dirinya sendiri, semata untuk menghilangkan sifat ego yang biasa didera oleh insan di dunia ini. Lantaran ini pula Pak Guru Sofyan harus mengerti akan kesendiriannya, tanpa ada lagi Sugiarti yang dia tambatkan pada tepi hatinya, ketika mereka berdua menjadi guru SD Warga Baru di Bumi Transmigrasi Kalsel. Setelah lima tahun mereka menjadi anak bangsa yang merelakan hidupnya, demi untuk mencerdaskan anak anak petani sawit yang datang dari Jawa. Sesuai tekad mereka berdua ketika berniat mengukir makna pada sebuah kehidupan.

Sementara Sugiarti kini lebih memilih untuk menambatkan hatinya pada Dimas Hardiman yang sukses di areal transmigrasi, sebagai petani sawit. Keteguhan hatinya sebagai guru pejuang mampu Sugiarti hadapi, meski beribu duka lara telah mengakrabi hingga hampir separo hidupnya. Namun menambatkan cinta Sofyan yang senasib sebagai guru dari Jawa begitu rapuhnya. Mereka berduapun telah cukup sudah menyematkan sebuah pengabdian yang besar kepada petani sawit dengan rela menjadi pendidik, tanpa memperdulikan makna hidup mereka sendiri. Namun apalah artinya mengukur kedalaman sebuah hati, ketika Sugiarti begitu saja memalingi Sofyan dan membuka kedua tanganya pada Dimas yang piawai menebar pesona.
***
Suatu senja di tengah lahan sawit, sebuah perpisahanpun tak mampu mereka tepis.
“Itulah kenyataannya, Mas. Memang aku harus memikirkan biaya adiku yang masih ada di Jawa” tutur Sugiarti di awal senja ketika mereka berdua berada di ruang tamu rumah kos Sugiarti.
“Yah!, kalau memang itu maumu, kita berdua memang telah menjadi figur yang sarat dengan perjuangan, semata-mata untuk lebih memaknai hidup ini, dan nyatanya kita berduapun berhasil. Meski harus hidup pas-pasan. Tapi ya itu memang hak kamu”.
“Aku harap engkau mengerti, Mas “
“Nggak jadi masalah!, Toh aku sudah pernah katakan ketika kita berdua berangkat dari Jawa, dengan selembar SK penempatan dari pemerintah untuk mengabdi di bumi transmigrasi ini. Bahwa kita harus siap menerima tantangan apa saja”
“Tapi bagi kamu, Mas. Masalah ini kan lain. Aku merasa bersalah harus mengambil langkah ini. Namun aku juga kasihan dengan ortuku yang hanya semata menghidupi adik-adiku dari hasil panenan. Aku tak berdaya, Mas !”
“Akupun mengerti, Giarti. Hanya aku berharap kamu harus berbahagia dengan Hardiman. Kamu jangan menyia-nyiakan separo umurmu hanya untuk masa depan anak anak didik kita. Kamu juga manusia yang berhak mendapatkan bahagia”
“Betul, Mas !, apa hanya di bibir saja ?”
“Pernahkah aku bohong padamu ?”
“Nggak, pernah Mas !”
Giarti tidak mampu lagi menjawab ucapan Sofyan yang tiga tahun lebih tua darinya. Dari sisi hatinya, diapun masih mengagumi kebesaran hati Sofyan yang entah hanya pandai menyimpan perasaan ataukah memang datang dari lubuk hatinya saat menerima kenyataan ini.
Sugiartipun telah tahu bahwa tindakannya itu jelas melukai hati kekasihnya itu, yang sejak lima tahun yang lalu saling menambatkan janji untuk berbahagia di tengah kehidupan petani sawit.Bumi transmigrasi yang berhias temaram senja menjadi saksi perpisahan dua hati yang sama sama menyadari kata hati mereka masing-masing. Sebuah perpisahanpun nampak indah bila insan yang saling melepas ikatan dan janji saling mengerti.
Memang merekapun masih berharap bahwa senja itu adalah bukan senja terakhir, namun pada kenyataannya senja itu memang banyak digayuti awan hitam, yang menyimpan badai dan mungkin petir yang ganas menerjang siapa saja yang berhadapan. Dari jauh kelihatan pada kaki langit ufuk barat semburat warna merahpun sudah mulai kelihatan, layaknya sebuah kanvas raksasa yang digunakan untuk mengukir keindahan alam.
Bagi Sofyan liku-liku hidup adalah ibarat bayangan tubuhnya yang selalu saja melekati erat tubuhnya yang terbawa hasrat hati, maka senja itupun ia biarkan berlalu begitu saja, meski dia juga manusia biasa yang terlanjur menorehkan harapan untuk menyandarkan sebelah hatinya pada Sugiarti. Betapa sesak dadanya bila mengingat senja itu. Namun diapun merasa bahwa dunia yang selebar genggamanya itupun harus dia tapaki dengan realita.
***
Sang waktu pula yang membawanya menukilkan hidup yang lebih realitas. Apalagi bagi dia yang sudah terlanjur hidup di pedalaman Kalimantan. Diapun dengan sigap membunuh bayangan Sugiarti yang terlanjur berkarat di hatinya. Yang jelas tantangna hidup ke depan jauh lebih menyita kehidupannya ketimbang memburu bayangan Sugiarti. Meski setiap datang senja diapun selalu teringat senja terakhir di tengah lahan sawit. Hingga pada suatu senja dia pun kembali teringat Sugiarti, meski saat itu usianya hampir mencapai 50 tahun, saat itu pula dia mendambakan untuk pulang ke Jawa bersama Herningsih, pendamping hidupnya yang menggantikan kehadiran Sugiarti untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama tiga putranya di Kec. Prembun Kab. Kebumen.
Herningsihpun dengan senyum tulus dan ceria menerima rencana suami tercintanya, lagian diapun mengharap anak-anaknya kuliah di Jawa yang lebih baik mutunya. Akhirnya pada senja kali ini, kebahagiaan mereka berdua dan putra-putranya itu telah semakin merebak menyingkirkan kenangan bersama Sugiarti. Namun sejenak canda riang mereka terhenti, ketika mereka melihat kedatangan Hardiman, yang dari arah kejauhan berjalan menghampiri mereka.
“Silakan masuk Bang Hardiman, mari ! “. Hati Sofyan menjadi penasaran dan mencob menerka, pasti sesuatu terjadi antara Hardiman dan Sugiarti.
“Trimakasih, Bang Sofyan. Maaf manganggu acara kalian semua”
“Oh sama sekali tidak, kami hanya sedang ngobrol nggak karuan. Tumben Bang Hardiman datang kesini, sepertinya ada perlu penting, ya Bang ?”
“Betul Bang, ini semua tentang adikmu Sugiarti”. Mendengar nama itu disebut berdesir hati Sofyan. Herningsihpun menjadi tambah penasaran tentang apa yang terjadi dengan Sugiarti.
“Kenapa dengan Kak Sugiarti, Bang” Tanya Herningsih, lantaran dia sudah tidak sabar ingin mengetahui kabar sebenarnya tentang mantan kekasih suaminya itu.
“Ah aku sudah tidak mampu berbuat apa Bang. Semua harta miliku telah aku jual, demi kesembuhan Sugiarti”
“Sugiarti, sakit apa, Bang ?”
“Dokter menemukan adanya kanker pada kedua ginjalnya, Bang “
“Lantas, menurut dokter bagaimana cara penyembuahanya ?”
“Itulah, Bang yang membuat saya menjadi setengah gila. Hidup Sugiarti tidak mungkin mampu ditolong lagi, kecuali ada ada donator ginjal yang bersedia diambil sebelah. Hingga saat ini aku dan dokternya Sugiarti belum mampu menemukan, kalau toh aku berhasil menemukan belum tentu organ ginjalnya mampu diterima tubuhnya Giarti”
Terlihat menegang wajah Sofyan mendengar berita tentang Sugiarti, meski Sugiarti pernah menyayat hatinya, namun bagaimanapun juga dia adalah teman lama seperjuangan kala mereka berdua mulai meninggalkan Jawa. Sementara Herningsih tidak henti-hentinya mengamati ulah suaminya, lantaran dalam hatinya telah bersemayam perasaan cemburu.
“Mam, gimana bila Bapak mencoba untuk menjadi donator organ untuk adikmu ?”
“Silakan saja Papi, tapi apa kesehatan papi mendukung ?. Ingat papi, akhir akhir ini sering masuk angin”
“Gimana Bang, aku sebenarnya pengin menyumbang ginjalku sebelah, tapi umur dan kesehatanku kayanya sudah tidak memungkinkan”
“Ah saya sendiri tidak tahu, Bang Sofyan ?. Tapi sebaiknya Abang ikut aku ke rumah sakit, siapa tahu dokter mengijinkan”
Herningsih tertunduk lesu, dalam hatinya berkecamuk berbagai perasaan tak menentu. Di salah satu sisi hatinya dia menahan rasa cemburu, sisi lainnya dia juga mengkhatirkan kesehatan suaminya yang sudah mulai sakit=sakitan. Namun di belahan hati lainyapun dia merasakan iba terhadap nasib Sugiarti, yang berprofesi guru SD seperti suaminya itu.
Namun apapun alasanya , Herningsih hanya menilai dari sorot mata suaminya yang terus memandanginya dan menyiratkan kemauan yang hanya semata-mata menolong nasib temanya dan juga menyisakan sorot mata yang meminta ijin darinya. Maka Herningsihpun hanya bisa menganggukan kepala pertanda dia menyutujui niatan mulia dari suaminya.
Di kamar ICU itu Sugiarti masih terbujur kaku dan seluruh tubuhnya mulai mendingin, akibat racun racun dari seluruh tubuhnya mencemari darahnya. Tanpa seberkas senyumpun Sofyan dan Herningsih berdiri di sisi pembaringan Sugiarti, yang sudah seperti mayat. Dokter Burhan yang mengawasi intensif kesehatan Sugiarti kini menggelengkan kepalanya dan menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada Dimas Hardiman lantaran tidak mampu berbuat banyak.
Hardiman kini hanya mampu meneteskan airmata kesedihan, sedangkan bagi Sofyan kali ini dia merasakan hadirnya senja yang kedua di Bumi Transmigrasi lahan sawit. Dia segera merapatkan badanya kea rah Herningsih, sembari memegang kuat tangan istrinya, pertanda dia tidak mau ada perpisahan diantara mereka, kecuali bila Tuhan Yang Kuasa menghendaki. ***

Guruku Selalu

Barangkali saja manusia memang harus mengenal dirinya sendiri, semata untuk menghilangkan sifat ego yang biasa didera oleh insan di dunia ini. Lantaran ini pula Pak Guru Sofyan harus mengerti akan kesendiriannya, tanpa ada lagi Sugiarti yang dia tambatkan pada tepi hatinya, ketika mereka berdua menjadi guru SD Warga Baru di Bumi Transmigrasi Kalsel. Setelah lima tahun mereka menjadi anak bangsa yang merelakan hidupnya, demi untuk mencerdaskan anak anak petani sawit yang datang dari Jawa. Sesuai tekad mereka berdua ketika berniat mengukir makna pada sebuah kehidupan.

Sementara Sugiarti kini lebih memilih untuk menambatkan hatinya pada Dimas Hardiman yang sukses di areal transmigrasi, sebagai petani sawit. Keteguhan hatinya sebagai guru pejuang mampu Sugiarti hadapi, meski beribu duka lara telah mengakrabi hingga hampir separo hidupnya. Namun menambatkan cinta Sofyan yang senasib sebagai guru dari Jawa begitu rapuhnya. Mereka berduapun telah cukup sudah menyematkan sebuah pengabdian yang besar kepada petani sawit dengan rela menjadi pendidik, tanpa memperdulikan makna hidup mereka sendiri. Namun apalah artinya mengukur kedalaman sebuah hati, ketika Sugiarti begitu saja memalingi Sofyan dan membuka kedua tanganya pada Dimas yang piawai menebar pesona.
***
Suatu senja di tengah lahan sawit, sebuah perpisahanpun tak mampu mereka tepis.
“Itulah kenyataannya, Mas. Memang aku harus memikirkan biaya adiku yang masih ada di Jawa” tutur Sugiarti di awal senja ketika mereka berdua berada di ruang tamu rumah kos Sugiarti.
“Yah!, kalau memang itu maumu, kita berdua memang telah menjadi figur yang sarat dengan perjuangan, semata-mata untuk lebih memaknai hidup ini, dan nyatanya kita berduapun berhasil. Meski harus hidup pas-pasan. Tapi ya itu memang hak kamu”.
“Aku harap engkau mengerti, Mas “
“Nggak jadi masalah!, Toh aku sudah pernah katakan ketika kita berdua berangkat dari Jawa, dengan selembar SK penempatan dari pemerintah untuk mengabdi di bumi transmigrasi ini. Bahwa kita harus siap menerima tantangan apa saja”
“Tapi bagi kamu, Mas. Masalah ini kan lain. Aku merasa bersalah harus mengambil langkah ini. Namun aku juga kasihan dengan ortuku yang hanya semata menghidupi adik-adiku dari hasil panenan. Aku tak berdaya, Mas !”
“Akupun mengerti, Giarti. Hanya aku berharap kamu harus berbahagia dengan Hardiman. Kamu jangan menyia-nyiakan separo umurmu hanya untuk masa depan anak anak didik kita. Kamu juga manusia yang berhak mendapatkan bahagia”
“Betul, Mas !, apa hanya di bibir saja ?”
“Pernahkah aku bohong padamu ?”
“Nggak, pernah Mas !”
Giarti tidak mampu lagi menjawab ucapan Sofyan yang tiga tahun lebih tua darinya. Dari sisi hatinya, diapun masih mengagumi kebesaran hati Sofyan yang entah hanya pandai menyimpan perasaan ataukah memang datang dari lubuk hatinya saat menerima kenyataan ini.
Sugiartipun telah tahu bahwa tindakannya itu jelas melukai hati kekasihnya itu, yang sejak lima tahun yang lalu saling menambatkan janji untuk berbahagia di tengah kehidupan petani sawit.Bumi transmigrasi yang berhias temaram senja menjadi saksi perpisahan dua hati yang sama sama menyadari kata hati mereka masing-masing. Sebuah perpisahanpun nampak indah bila insan yang saling melepas ikatan dan janji saling mengerti.
Memang merekapun masih berharap bahwa senja itu adalah bukan senja terakhir, namun pada kenyataannya senja itu memang banyak digayuti awan hitam, yang menyimpan badai dan mungkin petir yang ganas menerjang siapa saja yang berhadapan. Dari jauh kelihatan pada kaki langit ufuk barat semburat warna merahpun sudah mulai kelihatan, layaknya sebuah kanvas raksasa yang digunakan untuk mengukir keindahan alam.
Bagi Sofyan liku-liku hidup adalah ibarat bayangan tubuhnya yang selalu saja melekati erat tubuhnya yang terbawa hasrat hati, maka senja itupun ia biarkan berlalu begitu saja, meski dia juga manusia biasa yang terlanjur menorehkan harapan untuk menyandarkan sebelah hatinya pada Sugiarti. Betapa sesak dadanya bila mengingat senja itu. Namun diapun merasa bahwa dunia yang selebar genggamanya itupun harus dia tapaki dengan realita.
***
Sang waktu pula yang membawanya menukilkan hidup yang lebih realitas. Apalagi bagi dia yang sudah terlanjur hidup di pedalaman Kalimantan. Diapun dengan sigap membunuh bayangan Sugiarti yang terlanjur berkarat di hatinya. Yang jelas tantangna hidup ke depan jauh lebih menyita kehidupannya ketimbang memburu bayangan Sugiarti. Meski setiap datang senja diapun selalu teringat senja terakhir di tengah lahan sawit. Hingga pada suatu senja dia pun kembali teringat Sugiarti, meski saat itu usianya hampir mencapai 50 tahun, saat itu pula dia mendambakan untuk pulang ke Jawa bersama Herningsih, pendamping hidupnya yang menggantikan kehadiran Sugiarti untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama tiga putranya di Kec. Prembun Kab. Kebumen.
Herningsihpun dengan senyum tulus dan ceria menerima rencana suami tercintanya, lagian diapun mengharap anak-anaknya kuliah di Jawa yang lebih baik mutunya. Akhirnya pada senja kali ini, kebahagiaan mereka berdua dan putra-putranya itu telah semakin merebak menyingkirkan kenangan bersama Sugiarti. Namun sejenak canda riang mereka terhenti, ketika mereka melihat kedatangan Hardiman, yang dari arah kejauhan berjalan menghampiri mereka.
“Silakan masuk Bang Hardiman, mari ! “. Hati Sofyan menjadi penasaran dan mencob menerka, pasti sesuatu terjadi antara Hardiman dan Sugiarti.
“Trimakasih, Bang Sofyan. Maaf manganggu acara kalian semua”
“Oh sama sekali tidak, kami hanya sedang ngobrol nggak karuan. Tumben Bang Hardiman datang kesini, sepertinya ada perlu penting, ya Bang ?”
“Betul Bang, ini semua tentang adikmu Sugiarti”. Mendengar nama itu disebut berdesir hati Sofyan. Herningsihpun menjadi tambah penasaran tentang apa yang terjadi dengan Sugiarti.
“Kenapa dengan Kak Sugiarti, Bang” Tanya Herningsih, lantaran dia sudah tidak sabar ingin mengetahui kabar sebenarnya tentang mantan kekasih suaminya itu.
“Ah aku sudah tidak mampu berbuat apa Bang. Semua harta miliku telah aku jual, demi kesembuhan Sugiarti”
“Sugiarti, sakit apa, Bang ?”
“Dokter menemukan adanya kanker pada kedua ginjalnya, Bang “
“Lantas, menurut dokter bagaimana cara penyembuahanya ?”
“Itulah, Bang yang membuat saya menjadi setengah gila. Hidup Sugiarti tidak mungkin mampu ditolong lagi, kecuali ada ada donator ginjal yang bersedia diambil sebelah. Hingga saat ini aku dan dokternya Sugiarti belum mampu menemukan, kalau toh aku berhasil menemukan belum tentu organ ginjalnya mampu diterima tubuhnya Giarti”
Terlihat menegang wajah Sofyan mendengar berita tentang Sugiarti, meski Sugiarti pernah menyayat hatinya, namun bagaimanapun juga dia adalah teman lama seperjuangan kala mereka berdua mulai meninggalkan Jawa. Sementara Herningsih tidak henti-hentinya mengamati ulah suaminya, lantaran dalam hatinya telah bersemayam perasaan cemburu.
“Mam, gimana bila Bapak mencoba untuk menjadi donator organ untuk adikmu ?”
“Silakan saja Papi, tapi apa kesehatan papi mendukung ?. Ingat papi, akhir akhir ini sering masuk angin”
“Gimana Bang, aku sebenarnya pengin menyumbang ginjalku sebelah, tapi umur dan kesehatanku kayanya sudah tidak memungkinkan”
“Ah saya sendiri tidak tahu, Bang Sofyan ?. Tapi sebaiknya Abang ikut aku ke rumah sakit, siapa tahu dokter mengijinkan”
Herningsih tertunduk lesu, dalam hatinya berkecamuk berbagai perasaan tak menentu. Di salah satu sisi hatinya dia menahan rasa cemburu, sisi lainnya dia juga mengkhatirkan kesehatan suaminya yang sudah mulai sakit=sakitan. Namun di belahan hati lainyapun dia merasakan iba terhadap nasib Sugiarti, yang berprofesi guru SD seperti suaminya itu.
Namun apapun alasanya , Herningsih hanya menilai dari sorot mata suaminya yang terus memandanginya dan menyiratkan kemauan yang hanya semata-mata menolong nasib temanya dan juga menyisakan sorot mata yang meminta ijin darinya. Maka Herningsihpun hanya bisa menganggukan kepala pertanda dia menyutujui niatan mulia dari suaminya.
Di kamar ICU itu Sugiarti masih terbujur kaku dan seluruh tubuhnya mulai mendingin, akibat racun racun dari seluruh tubuhnya mencemari darahnya. Tanpa seberkas senyumpun Sofyan dan Herningsih berdiri di sisi pembaringan Sugiarti, yang sudah seperti mayat. Dokter Burhan yang mengawasi intensif kesehatan Sugiarti kini menggelengkan kepalanya dan menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada Dimas Hardiman lantaran tidak mampu berbuat banyak.
Hardiman kini hanya mampu meneteskan airmata kesedihan, sedangkan bagi Sofyan kali ini dia merasakan hadirnya senja yang kedua di Bumi Transmigrasi lahan sawit. Dia segera merapatkan badanya kea rah Herningsih, sembari memegang kuat tangan istrinya, pertanda dia tidak mau ada perpisahan diantara mereka, kecuali bila Tuhan Yang Kuasa menghendaki. ***

Lagu Merdu Pak Guru


Biarkan saja kokok ayam jantan tak henti menyambut pagi hari, mereka berkokok saling bersautan dari pojok desa satu dengan lainnya. Mereka begitu tak hirau dengan datangnya hari yang akan dijalani oleh kehidupan manusia babak demi babak, menurut kodrat yang telah digariskan oleh Sang Pencipta.
Pagi itu bumi Desa Kembang Arum seakan tiada menyisakan warganya yang kembali merapatkan selimutnya, meski di tengah musim kemarau udara begitu dinginnya. Kabut tebal masih enggan menatap sang mentari. Sementara itu semua celoteh burungpun tak mau peduli dengan malasnya embun yang menyelimuti mereka. Sementara semua penduduk desa, yang kebanyakan petani gurem mulai bersiap mencari secercah penghidupan, dengan menyandarkan pada palawija, lantaran musim kemarau masih menerpa mereka. Di tengah penghidupan masyarakat yang separuh nafas itulah, Nur Hadi mengabdikan diri sebagai Pak Guru. Demikian predikat yang diberikan masyarakat desa kepadanya.
Nur Hadi bukan hanya guru di SD N III Kembang Arum, namun dia juga sebagai guru bertani, bergaul, pengentasan terhadap ketertinggalan, keserasian rumah tangga dan seabreg nilai lainnya yang dibutuhkan masyarakatnya. Jubah Hitam kala dia kenakan diwisuda menjadi S.Pd. ternyata menyimpan seribu beban. Namun bagi Nur Hadi beban itu, hanyalah sebuah nyanyian merdu seorang pendidik yang ditekuni lahir batin.
Matahari sudah tidak malas lagi dan kini mulai bangkit dari cakrawala timur, jalan desa sudah dipenuhi sibuknya petani guna mencari nafkah. Debu jalan desapun tak mau kalah dalam bersuka ria, beterbangan bersama angin kemarau yang dingin dan kering.
Dengan sepeda motor bututnya Nur Hadi mulai bersiap menuju sekolahnya guna menyongsong anak-anak kesayangannya untuk mendapatkan setetes demi setetes ilmu. Namun terkadang pula dia sering menjumpai penduduk desa yang sengaja bertandang di sekolahnya sekedar minta setetes masukan guna menyelesaikan semua permasalahan yang membelitnya. Dalam hal ini jadilah Nur Hadi sebagai konsultan rumah tangga, kesehatan, bisnis yang tanpa menarik jasa serupiahpun.
Angin kemarau melambaikan semua rerimbunan daun di lingkungan sekolah, menimbulkan hawa sejuk sekaligus keteduhan hati. Nur Hadi masih membimbing anak kelas VI untuk menata kelas,  karena senin lusa akan dilangsungkan ujian sekolah. Pandangan matanya kini terpusat pada halaman sekolah, kala seorang wanita tua berjalan mendekatinya dengan tergopoh-gopoh. Rupanya pagi ini giliran seorang penduduk desa yang berniat minta tolong kepada Pak Guru Nur Hadi.
“Oh rupanya engkau Bi, silakan duduk”
“Aku  harus bagaimana?, aku harus berkata apa?”
“Sabarlah Bi, duduklah dengan tenang, katakana apa masalahnya, Jangan emosi dulu”
“Itu si Amran, yang sekarang tak mau sekolah lagi, sudah tiga malam ini dia baru pulang. Lagian pulang dalam keadaan mabuk. Bagaimana ini Pak Guru ?”.
“Ah anak muda sekarang memang  seperti itu, Bi. Jangan Bibi banyak marah dengan anak sekeras itu. Turuti saja kemauannya dulu. Setelah dia agak lapang hatinya barulah Bibi nasehati dia”
“Tolonglah Pak Guru, sudah tidak kurang lagi aku ngomong sama dia. Rasanya sampai kaku lidahku”
“Ah Bibi ini ada ada saja. Kalau Bibi tidak mau kasih nasehat. Lantas siapa lagi?”
“Iulah masalahnya, Pak Guru !. Amran kan dulu sekolah sini. Dulu kan Pak Hadi yang paling dekat denganya. Maka tolonglah Bibi ini. Nasehati si Amran itu !”
“Baiklah kalau begitu, Bi !. Tunggulah beberapa hari. Nantikan dia ketemu aku di kegiatan karang taruna. Aku akan nasehati dia”
“Ah trimakasih sebelumya, siapa lagi kalau tidak sama kau Pag Guru, untung desa ini punya guru seperti kamu. Maka carilah gadis desa sini supaya kau betah tinggal di sini. Jadilah penduduk sini, kau akan merasa damai, Jangan cari gadis kota !. Mereka pintar dan cantik tapi suka berani sama suami”
“Ah Bibi ada ada saja. Trimakasih nasehatnya ya Bi”
“Aku pamit dulu, gampang lain waktu kita sambung lagi”
Nur Hadipun menjadi geli hatinya, tentang peran dia di tengah masyarakat desa ini yang masih lugu dan pasrah. Jauh berbeda dengan Jogja tempat kelahirnya, yang jauh di sebrang lauan dari  tempat dia mengajar kini. Beruntung pula bagi Nur Hadi yang memiliki tabiat ramah, suka menolong dan supel bergaul. Maka meski kehadiran dia di  Jambi belum beberapa lama, namun hamper semua warga di Kecamatan Hidup Baru Kota Jambi telah mengenalnya.
Matahari telah melewati sepenggalah langit, teriknya sudah mulai memenuhi semua halaman  sekolah yang sederhana itu. Semua siswa  kini berteriak kegirangan lantaran mereka hanya setengah hari bersekolah. Nur Hadipun segera menuju perjalan pulang melewati jalan yang terik dan berdebu. Gemerisik daun jagung di tiup angin padang terdengar sepanjang kanan kiri jalan desa. Senyum wanita desapun tak ketinggalan ikut mengantar sepanjang perjalanan guru muda terebut, Termasuk Restu Priastuti, putra Pak Priadi yang telah lama tinggal di pinggiran Kota Jambi. Pak Priadi sendiri befrasal dari Kab. Purbalingga Banyumas.
Untuk gadis Jambi yang satu ini memang Nur Hadi merasakan sesuatu yang lain. Selama dia menggapai masa depanya dengan menjelajah banyak tempat,  belum pernah kata hatinya bergejolak seperti ini,  dari mulai pandangan pertama saat mereka bertemu di pertandingan voley antar desa, mereka berdua sudah saling tertarik.
Nur Hadi segera menepikan motornya kala melihat Restu gadis pujaanya, sedang membantu ayahnya membersihkan lahan tanaman jagungnya dari rumput dan gulma lainnya. Mereka akhirnya sudah terlibat dalam canda ria saling melepas tawa, sambil sebentar sebentar berpadu pandang. Kala ini terjadi, merahlah pipi Restu namun tidak mengurangi keanggunan gadis desa ini. Nur Hadi segera saja melepas sepatunya dan ikut membantu tambatan hatinya dalam mengolah lahan jagung itu, meski seragam batik PGRI menjadi berlepotan tanah.
“Kok nggak sekalian pulang dulu Kak?”
“Di rumah juga mau ngapain cuma bengong. Mendingan melihat di sini,  bisa melihat Nawang Wulan di sawah”
“Siapa itu Nawang Wulan, pacarmu dari Jawa ya Kak ?” . Nur Hadi tersenyum gelid an membuat Restu tambah penasaran
“Ayo dong Kak. Siapa Nawang Wulan. Kayaknya di desa ini nggak ada yang bernama Nawang Wualan”. Karena desakan yang terus menerus Nur Hadipun akhirnya bercerita tentang legenda Jawa tentang Joko Tarub dan Nawang Wulan. Restupun menjadi berbingar wajahnya dan memerah pipinya dan kini hanya tertunduk lesu setelah tahu maksud hati sang guru yang masih perjaka itu/
“Tapi aku bukan bidadari lho kak”
“Ah bagiku kamu adalah bidadariku” jawab Nur Hadi kala mereka telah berdua duduk di bawah rerimbunana tanaman jagung yang sudah agak tua.
Kan masih banyak bidadari di Jawa kak?”
“Aku sudah jadi PNS dan berniat tinggal di sini. Lagian di Jawa aku tidak punya siapa siapa hanya bapak dan ibu serta adiku. Untuk apa aku ke Jawa lagi”
“Tapi banyak guru negeri yang balik lagi ke Jawa, kamu apa nggak seperti mereka?”
“ Nggak Res, aku dah betah disini, kelak kalau kita bersama membentuk maghligai, akan aku pindahkan saja bapak ibuku ke sini. Orang sini baik baik semua sama aku Res ?”
“Gimana ya kaka, kebanyakan pria memang suka menebar janji, aku nggak tahu kak?”
“Aku seorang pendidik Res !. aku punya moral. Dan bagi seorang pendidik, yang telah bertekad menjadi pegawai negeri tentunya akan memiliki moralitas untuk membangun lingkunganya. Barangkali kita bsa pulang ke Jawa setelah aku pensiun. Dan untuk itu telah berulang aku sampaikan padamu untuk bersama menggapai kehidupan kita bersama”. Restu hanya menundukan wajahnya,  sama sekali dia tidak mampu menjawab setuju. Maka kini Nur Hadi menjadi berbunga hatinya. Tembang merdu dalam hatinya terus saja ia dendangkan sepanjang perjalanan pulang mengantar Restu ke rumahnya.
Sepanjang perjalanan semua warga desapun melempar senyum dan lambaian tangan. Seakan mereka telah menobatkan mereka berdua sebagai Abang dan Nona Desa Kembang Arum. Nur Hadi kinipun larut dalam belaian cinta bersama Restu pujaan hatinya***