Sucipto
menjalani kehidupan sehari hari sebagai pejabat pemerintah di Kota Semarang
dengan sejuta keangkuhan. Begitu
kokohnya jabatan yang diemban bertahuin- tahun di instansinya serasa tidak akan
pernah berakhir. Karuan saja semua hasrat hati yang terpendah dalam meretas
keindahan hidup yang semu, dia lampiaskan tiada batasnya. Meski dia memiliki
keluarga yang harmonis, bersanding dengan istrinya Nandia yang tergolong muda
dan cantik serta anak anak yang berkehidupan mewah.Namun anugerah Yang Kuasa
tersebut tidak pernah ia sukuri.
Nandiapun
merasakan kebahagian duniawi yang serba cukup, maka wajar saja dia bertingkah
ibarat noni belanda dengan dandanan yang mewah di balik kosmetik yang melekat di tubuhnya, yang tentu saja berharga
puluhan juta. Setiap penampilan dia di
depan pesta kalangan instansi suaminya,
dia terlebih dahulu bersolek di bawah tangan juru rias yang berkelas di
Semarang.Lantaran menghamburkan uang berjuta-juta bagi Nandia sama sekali tidak
berarti.
Hingga
akhirnya Nandia tidak mau repot bolak bolak ke salon langgananya, dia lebih
memilih pembantu yang juga pintar dalam mendandani si noni ini. Tidak sayang
Nandia menggaji Else dengan bayaran yang tinggi, asalkan Else mau menjadi juru
rias pribadinya, yang ibaratnya setiap saat mau mendandani Nandia dengan
asesori yang serba mahal dan serasi. Maka jadilah Nandia yang mirip dengan Rati
Inggris “Kate Middlelton”.
Hasrat
Nandia yang sudah kelewat mewah ini, sama sekali tidak pernah dihalangi oleh
suaminya. Bahkan kehadiran Else di rumah Sucipto, menjadikan laki laki setengah
baya yang seperti “kucing garong” di sambut tangan terbuka. Namun rupanya hanya
isi hati Sucipto saja yang tahu sebuah hasratyang terpendam.
Hari
berganti minggu, bulan demikian seterusnya, kemewahan hidup Sucipto masih saja
belum sirna. Saat itu di suatu hari yang kelam bernoda, Sucipto merayu Else
dengan segudang janji kemewahan hidup, seperti yang dia berikan pada Nandia,
asalkan Else mau melayani nafsu membara Sucipto. Di rumah yang sepi itu
terjadilah perbuatan durjana yang dilakukan dua insan yang sama sama melepas
nafsu birahi.
Rupanya
perbuatan itu membawa dua insan yang terus menerus dibuai kenikmatan sesaat,
Else berhasil mendapatkan kemewahan hidup apapun yang diminta Else dari Sucipto,
tanpa sepengetahuan Nandia. Hingga perbuatan laki laki durjana itu membuah
hasil sebuah janin di rahim Else. Elsepun menangis dan memohon di pangkuan
Sucipto untuk menikahi dirinya.
Namun
bagi Sucipto, menikahi Else adalah hal yang tidak mungkin dia lakukan demi
jabatan yang dia dapatkan dengan susah payah. Meski tangis itu setiap waktu
berada di pangkuan Sucipto, namun tetap saja Sucipto tidak mau bertanggung
jawab terhadap perbuatan biadab itu.
“Else, aku bertanggung jawab terhadap
semua perbuatanku, asal jangan sebuah pernikahan. Bukankah semua kemauanmu sudah aku berikan, rumah, pakaian dan mobil
yang harganya di atas apa yang dimiliki Nandia. Jadi perlu kamu tahu saja,
perbuatan kita berdua, adalah perbuatan yang tidak pernah aku janjikan dengan sebuah
pernikahan”
“Tapi, ini darah dagingmu sendiri.
Mas Cipro !!. kelak anak kita akan mencari bapaknya, aku tidak mau merobek
kebahagian anak kita.
“Sudahlah Else, antara kita tidak
pernah ada ikatan apapun, jadi pulang
saja kamu ke Magelang, akan aku berikan deposito untukmu dan anakmu hingga
dewasa. Akutidak segan segan membuat kamu menderita bia kamu menuntutku untuk
menikahi kamu, iniah jalan yang terbaik untuk kita”
2
Tidak ada satu patah katapun yang
mampu Else lontarkan dari bibir yang sudah memucat. Laksana beribu batu
memberati kalbunya yang teriris pedih menghadapi hinaan dari Sucipto yang
mencapakan dia begitu saja. Langkah kaki terakhir dari lantai marmer rumah
gedongan Sucipto sangat menyisakan kenangan pahit, yang tidak pernah dapat Else
lupakan. Namu bagi Sucipto,
kepergian Else dari hadapan tiaa menyisakan kenangan barang sedikitpun,
meskipun uang ratusan juta rupiah telah lenyap begitu saja, yang bagi
Sucipto tidak berarti apa apa.
***
Roda
waktu yang menggulirkan siang dan malam tidak
mampu dihentikan Sucipto, karena dia
tetap manusia biasa, yang tidak punya daya upaya, termasuk juga umur dia yang
terus merambat. Sucipto kini harus
bertekuk lutut pada keputusan instansinya yang mempesiunkan dirinya.
Jelas
setelah pensiun, Sucipto tidak lagi mampu memberikan kebahagian duniawi bagi istrinya,
yang jauh lebih muda. Karena Nandia belum menginjak usia setengah baya, maka wajar
saja kalau Nandia terus menuntut untuk hidup bergelimang kemewahan, yang kini
tidak lagi mampu diberikan Sucipto. Hingga maghligai rumah tangga yang dahulu
seperti perjalanan perahu di laut lepas tak berombak, kini berganti dengan
perjalanan perahu di tengah ombak ganas yang dihempas badai, hingga pecahlah
perahu kayu yang tidak seberapa kuatnya itu.
Nandia
dan kedua anaknyapun meninggalkan Sucipto begitu saja, Nandia lebih memilih Hagi,
laki laki hidung belang yang jauh lebih muda dari Sucipto, namun sangat licik
bagaikan ular sanca, yang berniat menghisap harta yang dimiliki Nandia, yang
diperoleh kala Nandia menjadi istri bos besar “Sucipto”. Hingga tanpa terasa baik
Sucipto, maupun Nandia kini jatuh miskin.
Namun
bagi Sucipto, dia lebih memilih berpisah dengan Nandia dan hidup menyendiri di
rumah tuanya yang berada di atas bukit, di bilangan Semarang Selatan yang
sejuk. Sedangkan Nandia dan kedua anaknya pergi entah ke mana. Hari hari sepi
di tengah masa pensiunan dia isi dengan lamunan masa lalunya, yang sangat
berbeda dengan kehidupanya kini. Lamunan Sucipto mendadak lenyap, setelah dia
mendengar pintu depanya diketok oleh entah siapa.
“Maaf, apa betul ini rumah Bapak
Sucipto ?”
“Betul, betul, nak, Anda siapa”
“Boleh saya duduk Pak, sebab kalau
bapak Tanya siapa aku !, aku perlu menjelaskan panjang lebar.” Jawab tamu
Sucipto, yang ternyata seorang cewek yang cantik dan kelihatan gaul. Dari
dandanan yang dipakai tamunya itu, Sucipto dapat menilai bahwa tamunya adalah
seorang cewek yang kaya.
“Oh silakan, mba ?”
“Terimakasih, Pak ?” dengan pd cewek itupun duduk di depan Sucipto tanpa
ragu ragu.
“Baiklah Pak Cipto, aku dating dari
Magelang, tujuan aku bertemu adalah untuk meminta tolong bapak ?”
“Minta tolong ?, apa yang bias aku
lakukan, mba. Aku hanya seorang pensiuanan yang miskin dan sakit sakitan dan
lagi aku belum kenal situ mba !”
3
“Memang
sengaja aku belum memperkenalkan diri, sebab apa Pak Cipto mau menerima
kenyataan ini apa tidak? Dan pertolongan bapak bagi kami sangatlah berarti
sekali”
“Tapi sebaiknya mba memperkenalkan
dulu. Apapun yang dapat saya bantu, dengan tangan terbuka pasti akan bapak
berikan”
“Baiklah, pak!, nama panggilanku
Leila, sedangkan nama lengkapku Lilo Tyas Ningsih. Kedanganku kemari adalah…”
“Mengapa mba menangis” Tanya Sucipto
yang terpana menghadapi isteri ini
“Sebab yang harus aku sampaikan pada
bapak adalah sebuah kepedihan, yang telah bertahun tahun aku alami” cewek itu
terus saja beguncang dadanya.
“Mba, bapaj jadi tidak mengerti, apa
maksud semua ini, apa aku menyakiti hati, mba ?. Kan baru kali ini aku bertemu
mba”
“Baik pak, memang semua ini harus
aku sampaikan> Bapak masih ingat wanita dalam foto ini?”
“Else..Else
!!!…mengapa mba kenal dia ?” Sucipto jadi tambah penasaran, hatinya kini
tercabik menjadi butiran debu. Selintas dalam hatinya timbul beribu penyesalan.
“Bukankah waktu bapak usir wanita
ini dalam keadaan hamil?’
“Iya mba, jadi mba anak Else ?”
“Betul, pak “ jawab Leyla dengan
dada berguncang dan tangisan yang bertambah melolong.
Sucipto bersandar pada kursi sudut
dengan tubuh lemas, bayangan perlakuan keji pada Else kembali muncul. Namun
pertemuan seperti inilah yang dia tunggu, sekedar meminta maaf pada Else
sebelum dia kembali menghadap Illahi.
“Lantas, mengapa ibumu tidak ikut,
anaku ?”
“Dia meninggalkan dunia ini setahun
yang lalu dan meninggalkan surat untuk diberikan pada bapak, silakan bapak
terima!”. Sucipto bertambah yakin bahwa cewek yang di depanya adalah benar
benar anaknya setelah membaca surat Else.
“Lantas apa yang bias bapak berikan
kepada kamu, sebagai penebus rasa bersalah bapak pada kamu dan ibumu?”
“Ibu telah memaafkan kesalahan bapak
dan perlu bapak ketahui bahwa minggu depan aku akan menikah, dan kami mohon
bapak berkenan menjadi wali nikah saya”
“Oh dengan senang hati, anaku.
Bawalah aku sekarang juga ke rumahmu agar bapak bias berziarah ke makam ibumu
dan berkenalan dengan calon suamimu”
***
Sucipto
menjadi kaget bukan kepalang, setelah mobil sedan yang membawa dia dan putranya
parker di sebuah rumah makan besar di pinggir jalan besar kota Magelang, yang
ternyata adalah milik Leyla dan mendiang ibunya. “Ah, ternyata nasib seseorang
memang
betul
seperti roda pedati, yang terkadang di atas ataupun di bawah, demikian juga
nasibku dan Else” demikian bisik hatinya.
Leyla
mengajak bapaknya, yang berpuluh tahun berpisah denganya, untuk berkeliling ke
rumah makan besarnya. Seluruh apa yang ada di rumah makan besar itu menjadi
saksi
4
pertemuan
yang membahagiakan kedua manusia itu, demikian juga dengan semua pelayan rumah
makan itu yang turut berbahagia.
Mata
Sucipto tebelalak lantaran kaget bukan kepalang menyaksikan ketiga pelayan
rumah makan yang tidak lain adalah istri dan kedua anaknya. Sucipto dengan
peasaan yang tidak percaya, memekik memanggil istri dan kedua putranya.
“Nandia
!, mengapa engkau ada di sini ?”
“Mas
Cipto, mengapa ada di sini >”
Aetelah
sebuah pelukan mesra dari Nandia dan
kedua putranya itu, Suciptopun memperkenalkan pada Leila bahwa Nandia adalah
istri dia yang lama meninggalkan dirinya. Ketiga insane itupun seharian hanya
menuangkan semua isi hatinya pada pertemuan itu. Suciptopun meminta agar Leyla mengganggap
Nandia sebagai ibunya sendiri, sebagai ganti kepergian Else. Keluarga itupunh
kini mulai berlayar dengan perahu yang tenang dan damai setelah lama berpisah,
dengan sebuah pertemua yang dihiasi rasa penyesalan masing masing.