Sebuah fenomena terwujudnya kasih sayang
antara peserta didik dan pendidik yang membimbingnya yang berlangsung searah
atau timbal balik, adalah salah satu fenomena contoh dampak positip dari pembelajaran
yang melabelkan konstruksi pendidikan berbasis karakter, yang lebih menjamin
keberhasilan pembentukan sikap mental Manusia Indonesia seutuhnya di masa
mendatang.
Fenomena ini perlu sekali di wujudkan,
sehingga dalam skala yang sempit situasi kelas dapat dikondisikan dengan
kondusif. Sedangkan dalam skala luas, para siswa yang notabone masih dalam
dinamika perkembangan dari mulai anak anak hingga remaja, mampu mengembangkan
aspek kognitif, afektif, imajinasi mereka secara leluasa. Sebaliknya bagi
seorang pendidik mampu lebih dekat lagi dengan bimbinganya guna mengamati
perkembangan karakternya. Mengapa hal ini perlu dikedepankan, sebab Menurut
Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah “masa transisi perkembangan” antara
masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13
tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.
Menurut
Adams & Gullota (dalam Aaro, 1997), masa remaja meliputi usia antara 11
hingga 20 tahun. Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa
remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17
tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock
karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai “transisi perkembangan”
yang lebih mendekati masa dewasa’
Dari
banyak pendapat para ahli tersebut di atas, semuanya telah sepakat bahwa anak
anak kita yang masih duduk di sekolah menengah sedang mengalami masa transisi
perkembangan. Selain itu pada fase tersebut mutlak setiap peserta didik direkomendasikan
untuk mendapat bimbingan dari beberapa pihak, termasuk sekolah dengan sistim
pembelajaran yang kurikuler. Inilah yang selama ini kita tinggalkan dengan
hanya mengedepankan aspek kognitif saja. Padahal kognitif menjadi sama sekali
tak berguna apabila aspek karakter tidak mendukung raihan itu.
Dengankentalnya
transisi perkembangan yang ada pada remaja tersebut, maka wajar saja bila
sebagian dari siswa bersifat jalang/nakal/bandel, suatu sikap
yang sering kita lihat di skolah di manapun berada. Namun dengan bekal
sistim pendidikan yang berbasis karakter justru siswa seperti inilah yang perlu
mendapatkan pengawalan psikologis yang lebih ketat dibanding lainnya. Dan
jangan ditepiskan pula pengamatan terhadap perilaku belajar siswa dengan tehnik
Multiple Intelligences Research (MIR). MIR ini berfungsi untuk mengetahui gaya belajar siswa,
sebuah data yang sangat penting yang harus diketahui oleh para guru yang akan
mengajar mereka.
Dengan
sistim pendidikan seperti ini, maka diharapkan dapat berhasil guna dalam
pembentukan generasi yang selain cerdas, juga memiliki kepribadian yang baik.
Sehingga diharapkan nantinya generasi tersebut bukan melanggengkan sikap mental
anarkis, hedonisme, mati kepedulian
sosialnya, tanpa nasionalisme, curang dan lain sebagainya, seperti yang terjadi
dengan perliaku generasi sekarang yang memprihatinan. Sekaligus dalam hal ini
kita mampu membuktikan peran strategis dan signifikan dari sebuah sistim
pendidiklan nasional. Sehingga tidak sia sia anggaran pendidikan merupakan
anggaran terbesar yang dialokasikan pemerintah dalam Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2010. Anggaran pendidikan memperoleh
jatah sebesar Rp 200 triliun.