Rabu, 23 Mei 2012

Pedang Naga Perkasa


Suto meminta kembali pedang saktinya yang lama dipinjam olehPaman Haryo, pada pertemuan mereka yang bersitegang di bawah sinar bulan purnama di beranda rumah gedong juragan kaya itu. Nampak dariwajahnya, Suto tidak main – main lagi dengan permintaanya.Sementara terlihat sikap Paman Haryo yang mencoba berkelit dan selalu mencoba meluruhkan amarah yang ada di kalbu Suto.

Meskipun Paman Haryo dapat dengan mudah mengalahkan keponakanyai tu, lantaran tataran olah kanuragan Suto masih jauh di bawahnya. Namun menganiaya sudara ingusanya itu,tentunya bakal memperkeruh suasana di Bukit Kenanga Kadipaten Semarang.Karena Suto adalah putra kakaknya sendiri yang hingga kini masih menjabat Kanjeng Bupati Kadipaten Semarang. Padahal ambisi untuk menggantikan jabatan kakaknya telah lama dipersiapkan dengan matang. Salah satunya adalah meminjam Pedang Pusaka Naga Perkasa milik Kanjeng Sultan Hadiwijaya, yang langsung dipercayakan kepada Suto Pamungkas, seorang pemuda santun dan pemberani yang berhasil menghipnotis kanjeng sultan untuk memberikan perhatian khusus padanya.Sehingga memberikan hadiah            Pedang Pusaka Naga Perkasa kepada pemuda yang berhati baik itu adalah pilihan yang tepat untuk  Kanjeng Sultan Hadi Wijoyo dari Negara Pajang.

Malam  semakin larut, cahaya purnama makin mengelupas seiring dengan wajah sang bulan yang bertambah menjauh, lantaran rasa gerahnya pada manusia yang selalu meradangkan nafsu segalanya demi mendapatkan kenikmatan duniawi yang semu. Terbukti meski sudah hampir 3 tahun Paman Haryo Pamundi memegang pedang bertuah itu, namun pemberontakan Geger Lowo Ijo di wilayah Kademangan Kenanga belum sirna. Inilah yang menjadi alasan mengapa Paman Haryo belum juga dengan tangan terbuka melepas pedang bertuah itu.

Memang bagi manusia tamak dan licik seperti Paman Haryo, sama sekali tidak pernah mencoba untuk menelaah seberapa kuat kesaktian sebuah benda bertuah, yang seharusnya manunggal dengan yang memegangnyaterutama dari kebersihan hatinya. Maka wajar saja bila pamor sang benda bertuah itu tidak mampu meredam amuka marah LowoIjo yang sakti .Meskipun demikian Paman Haryo tak pernah surut untuk melepas Pedang Pusaka Naga Perkasa. Bukan hanya kekuatan magis pedang Naga Perkasa yang diharapkan olehnya, namun butir-butir mutiara yang bergelapan tertaburkan di “gagang” berkayu cendana telah juga menarik ambisi lebih dalam lagi untuk memilikinya.

Lampu—lampu minyak kelapa yang mengelilingi beranda joglo Paman Haryo, satu dua sudah mulai meredup. Remang malam kini lebih kentara lagi melingkungi pertemuan Denmas Suto dan Paman Haryo masing-masing dengan pengikut setia mereka.Malam kali ini benar-benar telah larut, satu dua hati mulai meradangkan bara amarah. Paman Haryo tetap bersitegang mempertahankan pedang itu,  demikian juga Suto, yang sudah mulai kehabisan akaluntuk memintapedang itu kembali.

“Paman, aku harus mengatakan apa lagi !, dengan penuh hormat kedatangan kami kesini semata-mata meminta kembali apa yang pernah paman pinjam”, getar suara Suto mulai keluar dari bibirnya. Kedua kepal tanganya mengencang, sorot matanya mulai tajam menusukan kebencian. Rasa hormat dan segan, yang sedari sore sudah memenuhi benaknya, kini meluruh bersama dengan larutnya malam. Tak ada lagi niatan Suto untuk meminta pedangnya kembali dengan hormat.


2
“Suto ! anaku !. Tak ada niatan dalam kalbu pamanmu ini untuk mengkhianati perjanjian denganmu beberapa waktu silam. Hanya saja Geger Lowo Ijo masih merajalela di kademangan ini. Apabila perkara pemberontakan itu tidak  segera di tepis, kewibawaan Kakanda Kanjeng Bupati Kadipaten Semarang atau ayahandamu sendiri akan terongrong. Mengertilah Suto anaku !

“Paman Haryo !, alasan pamanda bukankah telah disampaikan beberapa tahun silam ?. Tetapi mengapa tidak pernah paman mengerti, betapa beratnya hati ananda ini yang harus menerima amanah dari kanjeng sultan !”.

“Biarlah masalah kanjeng sultan menjadi urusan pamanda !. Beliau tentunya tidak akan keberatan meminjamkan pada pamanda !”

“Pedang Naga Perkasa bukanlah sembarangang pedang !. Pedang itu harus manunggal dengan sang empu yang memegangnya. Apabila kita tidak menggunakan tataran  batiniah yang dalam. Maka pedang itu tidak lebih dari logam biasa.Tidak ada gunanya bila pamanda harus menghadap kanjeng sultan ! “

“Suto, anaku !. Kamu anak kemarin sore, tahu apa kamu tentang tataran hidup ?”

“Bagi ananda gampang saja !”

“Hmm...engkau bertambah lancang !”

“Pamanda !, apabila hati pamanda telah bersih dan suci sesuci embun dini hari, tentunya Geger Lowo Ijo, akan gampang dimusnahkan. Pedang Naga Perkasa hanya sebuah lantaran untuk menggapai pertolongan dari Sang Hyang Murbeing Jagad. Bukan hanya disimpan untuk dijadikan kekuatan dan pengayoman Kademangan Kenanga !”

“Sekali lagi, Suto !. Kamu tahu apa !. Jangan sekali-kali lagi engkau mencoba memberi wejangan kepada aku !!!!” Kedua mata Haryo Pamundi mulai mengusung sebuah amarah yang membara, kedua tanganya sudah bergetar kuat. Dia segera mendekat ke arah meja bundar dari kayu jati bertaplak sutera tempat pedang sakti itu diletakan.Semua prajurit kademanga sudah bersiaga untuk merangsek menghempaskan Suto dan beberapa pengikutnya. Namun tiga tokoh dunia persilatan pengawal Suto hanya terdiam membisu, meski tidak mengurangi kewaspadaan mereka untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.

***
“Angger Haryo, ijinkah aku yang renta ini mengajukan beberapa saran demi menjaga hubungan persaudaraan angger dengan cucuku ini “ Sorot mata semua yang mendidih nada darahnya di tengah malam yang hampir usai itu mulai meluruh, setelah tersengar suara lembut dan santun dari Eyang Wiro Setyo dari Padepokan Bringin Bumi Kadipaten Semarang. Seorang resi yang amat disegani di seantero Tanah Jawa bagian Timur.

“Dengan senang hati Pamanda Wiro Setyo !, anakmu ini memang gampang menuai amarah. Mohon pamanda mema’afkan aku dan prajurit kademangan. Aku sangat mengharapkan sekali wejangan dan pitutur yang  arif dari  pamanda “

“Ki Demang terlalu berlebihan memuji aku yang pikun ini. Sebelumnya mohon maaf yang sebesarnya, bila aku yang tak tahu diri ini terlalu lancang bersuara di depan Ki Demang yang bijaksana. Sebenarnya aku tidak akan memihak kepada Ki Demang

3
ataupun cucuku Angger Nakmas Suto. Aku hanya sekedar hendak mengurai kewibawaan Pedang Naga Perkasa yang keramat itu, Ki Demang ?”

“Ah, jangan sungkan sungkan pamanda untuk memberikan pitutur kepada kami. Karena hanya pamanda yang mampu menyelami pedang ini. Pamanda ! aku sama sekali masih buta tentang pedang ini. Apa yang harus aku lakukan”

“Sebenarnya Pedang Naga Perkasa, hanyalah pengejawantahan keprihatinan para hamba Gusti Hyang Wisesaning Jagad, yang mengajukan doa demi ketentraman Tanah Jawa. Selebihnya pedang itu hanya sebuah logam saja. Kanjeng Sultan Hadi Wijoyo berhasil mukti wibowo di Tanah Jawa ini, bukan lantaran pedang itu”. Eyang Wiro Setyo sengaja menahan diri untuk tidak melanjutkan perkataanya, lantaran dia menyaksikan segala gejolak hati dari Ki Demang  Haryo Pamundi yang demikian menggelora. Terlihat dari matanya yang terbelalak dan berputar menyaksikan satu demi satu yang hadir di keremangan malam itu.

“Lantas, mengapa kanjeng sultan demikian mengagungkan pedang itu, Pamanda Wiro !”

“Ki Demang, jangan salah paham !, apalagi menuduhku untuk memutarbalikan fakta !”

“Maksud pamanda bagaimana ?”

“Bagi kanjeng sultan Pedang Naga Perkasa hanya dijadikan simbol belaka. Tapi yang paling mendasar adalah nggulawentah sanubari dan hidup beliau untuk tetap pasrah dan berserah diri kepada Sang Hyang Widi !”

Ki Demang Haryo Pamundi dan segelar prajurit kedemangan tidak percaya sama sekali dengan keterangan lelaki beruban itu.

“Maka, serahkan kembali pedang itu pada kami, pamanda !” . Melihat gelagat Ki Demang yang selalu mempertahankan pedang itu Suto kembali mengajukan ketidaksabaranya  pada pamanda yang selalu menampakan gurat wajah tidak senang.

“Sabarlah!, Ngger Suto cucuku!, engkaupun tidak sebaiknya berlaku seperti itu, apabila engkau tahu maksud Sinuwun Kanjeng Sultan Hadiwijoyo memberikan pedang itu padamu !”

Keremangan malam itu menjadi terbius dengan pemamaran wejangan dari resi yang arif itu. Setelah sekian lama mereka berseteru memperebutkan pedang itu. Baru kali ini  Eyang Wiro Setyo menyeruakan segala hal ikhwal pedang itu.

“Mohon maaf, pamanda !, setahu aku yang dungu ini. Pedang sakti itu mampu mengantarkan siapa saja yang mengagungkan mampu mukti wibowo menjadi penguasa di tanah jawa ini, betulkah demikian pamanda !!”

“Betul Ki Demang !”

“Ah, aku jadi bertambah tidak mengerti, pamanda !. Mengapa kanjeng sultan hanya menganggapnya sebagai simbol, padahal beliau telah menyimpanya selama bertahun-tahun ?, dan sekarang terbukti beliau telah muktiwibowo ?”

“Kalau memang pedang itu yang membawanya mukti wibowo, mengapa pula beliau menyerahkan pedang itu pada Angger Nakmas Suto ?”
4
“Karena Sutolah yang dipilih sinuwun  mewariskan tahta beliau, pamanda !”

“Ki Demang !, Nakmas Suto sama sekali tidak punya hak untuk menduduki tahta Pajang, karena Nakmas Suto tidak memiliki hubungan darah. Sehingga Pedang Naga Perkasa itu sama sekali tidak ada hubunganya dengan tahta, kehormatan dan derajat  pemiliknya “

“Mohon maaf  Pamanda Resi Wiro !, ananda sama sekali belum bisa menerima wejangan pamanda !. Mengapa pula ananda Suto berambisinya meminta kembali pedang itu ?”

“Nakmas Suto hanya sekedar ngugemi amanah kanjeng sultan ?”

“Itukan berarti kanjeng sultan memang menginginkan Suto untuk mukti wibowo di kadipaten ini !”

“Benar, Ki Demang. Asalkan Suto dan semua petinggi baik sekarang ataupun di masa depanyang   sanggup memenuhi pitutur para sesepuh Tanah Jawa yang tertulis di semua bagian pedang itu !”

Ki Demang Haryo Pamundi bertambah penasaran, maka diapun segera memungut Pedang Naga Perkasa  yang berlapis emas dan segera melepas warongkonya. Terlihatlah beberapa goresan huruf  jawa yang bertebaran di sepanjang bilah pedang itu.

“Perhatikan seksama Ki Demang, itulah pesan dari semua pepunden kita untuk para petinggi Tanah Jawa di tlatah manapun, yang harus mengedepankan adil, wicaksana, mengayomi, mendahulukan kepentingan kawula, jujur, tekun menyembah kepada Penguasa Alam Semesta. Inilah Pedang Naga Perkasa   yang sebenarnya hanya wejangan para alim, seperti Kanjeng Prabu Sultan Agung Hanyokrokusumo dan lain sebagainya”

“Apa arti tiga mutiara yang ada di pegangan pedang ini, pamanda ?”

“Itu tidak lebih, hanya symbol rasa asih, asah dan asuh para petinggi Tanah Jawa kepada kawulanya ?’

Ki Demang Haryo Pamundi meletakan kembali pedang itu yang sudah dimasukan ke dalam warongkonya. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa pedag sakti itu hanyalah sebuah pitutur belaka. Diapun kini menyurutkan langkah untuk kembali duduk di dipan panjang dengan seluruh sendinya terasa lepas dari tubuhnya.

“Mohon maaf Ki Demang, apabila keterangan aku yang pikun ini membuat Ki Demang bersedih. Selanjutnya aku dengan lancang mewakili Angger Nakmas Suto untuk memberimu waktu menyimpan pedang itu, Kid Demang!”

“Aku tidak membutuhkan  lagi, pamanda resi !, yang kubutuhkan hanyalah kesaktian sebuah benda pusaka untuk menghancurkan Lowo Ijo “

“Apabila Ki Demang, betul-betul mengamalkan pitutur yang ada di pedang itu. Maka Lowo Ijo pasti akan musnah dengan sendirinya, percayalah Ki Demang !”

Ki Demang Haryo Pamundi hanya menganggukan kepalanya, bibirnya terkunci rapat. Sorot matanya kosong, kedua tanganya hanya ber[egangan pada bibir tempat duduknya.
Kokok ayam jantan mulai terdengar, udara dingin mulai menjenguk sendi tulang semua yang hadir di beranda joglo kademanganya. Tanpa sepatah katapun Ki Demang
5
mengulurkan  kedua tanganya yang memegang pedang sakti itu kepada Suto sambil mencium kedua pipi putra keponakanya itu***

Penulis             :           Effi Nurtanti- Semarang








           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar