Di jaman globalisasi
ini siapa saja yang memliki niatan
untuk menggali informasi apa saja
bukanlah merupakan kendala
yang mengganjal. Terbukti dengan
hadirnya beberapa koran lokal
di daerah yang menjadi fokus publikasinya. Namun tetap saja hadirnya koran lokal di beberapa
daerah belum mampu mengentaskan m,nat baca
publik. Tentu saja masalah
ekonomi dan kemauan untuk
menggali informasi itu
sendiri yang paling mendominasi.
Menanggapi permasalahan tersebut di atas, kita cenderung menilai bahwa sebenarnya harga
koran secara umum bersifat relatif, karena tergantung kita menempatkannya. Bila kita
berdiri pada sisi media masa sebagai suatu
kebutuhan primer , yang memberi pencerahan dan sumber gagasan
yang dibutuhkan suatu masyarakat. Maka
tentunya harga koran akan jauh lebih murah dibanding dengan
peranannya. Apalagi bila kita menapaki
koran sebagai kebutuhan sekunder, yang
berfungsi menanamkan nilai-nilai mendasar, maka kitapun
wajib hukumnya untuk membaca koran. Apalagi dengan terjadinya badai degradasi
moral masyarakat Indonesia., maka tentu saja
harga koran tidak pernah kita
permasalahkan lagi.
Untuk membantu memberi solusi ini semua, kita
cenderung menggaris bawahi hubungan
antara eksistensi suatu media
massa dengan minat baca masyarakat
yang berbanding lurus, bahkan terjadi interaksi yang signifikan antara
kedua unsur tersebut. Semakin tingginya
minat baca suatu masyarakat akan
semakin kokoh pula eksistensi suatu
media massa. Sehingga point utama yang harus kita kaji disini adalah minat baca
masyarakat Indonesia yang memprihatinkan., meskipun sebenarnya biaya
untuk mendapatkan informasi tidak menjadi faktor kendala, hal ini karena dilatar belakangi dengan bergulirnya era internetisasi, era dimana mekanisme
pelayanan informatika publik
sudah tidak masalah lagi. Betapa tidak dengan dana hanya sebesar Rp.
5.000, kita bisa mengarungi dunia yang
serba informatif sekaligus inovatif, melalui warnet yang telah tersebar hingga
perkampungan. Apalagi dewasa ini telah
marak ratusan koran ”on line” di dunia maya tersebut.
Tinggalah kita mencermati urgensi minat baca yang sedemikian vitalnya, karena membaca
menurut Gleen Doman (1991 : 19) dalam bukunya How to Teach
Your Baby to Read menyatakan bahwa membaca merupakan salah satu
fungsi yang paling penting dalam hidup. Semua proses belajar didasarkan pada
kemampuan membaca. Selanjutnya melalui budaya masyarakat membaca kita akan
melangkah menuju masyarakat belajar atau learning
society ( Sumber : H.
Athaillah Baderi, 2005. Wacana Ke
Arah PembentukanSebuah Lembaga Nasional Pembudayaan
Masyarakat Membaca. Pengukuhan Pustakawan
Utama ),
Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Suayatno (praktisi pendidikan YLPI Duri), menurut laporan Bank Dunia No.
16369-IND, dan Studi IEA (International Association for the Evalution of
Education Achievement ) di Asia Timur, tingkat terendah membaca anak-anak di
pegang oleh negara Indonesia dengan skor 51.7, di bawah Filipina (skor 52.6);
Thailand (skor 65.1); Singapura (74.0); dan Hongkong (75.5). Bukan itu saja,
kemampuan anak-anak Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanAya
30 persen. Data lain juga menyebutkan, seperti yang ditulis oleh Ki Supriyoko
(Kompas, 2/7/2003), disebutkan dalam dokumen UNDP dalam Human Development
Report 2000, bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5
persen. Sedangkan Malaysia sudah mencapai 86,4 persen, dan negara-negara maju
seperti Australia, Jepang, Inggris, Jerman, dan AS umumnya sudah mencapai 99,0
persen. ( Sumber : Pendidikan. Com , tidak disebutkan tahunnya ).
Dengan kondisi demikian
bagaimana kita mampu menciptakan learning
society seperti yang dinyatakan
oleh Gleen Doman di atas. Hanya
sebuah perjuangan yang keras dan terintegral
antara semua unsur yang bertanggung jawab terhadap penyiapan generasi
minat baca harus terus dikukuhkan . Hal ini karena untuk mengentaskan minat baca
masyarakat kita sama saja dengan
mengubah sebuah budaya masyarakat ( social changes ). Konsekuensi logis dari ini semua adalah
dilakukannya penanaman sikap sedini
mungkin untuk mencintai dan membaca buku
pendukung pembelajaran sekolah, hasil tayang media massa, laporan ilmiah, buku fiksi dan non fiksi dan lain sebagainya.
Sudah saatnya kita
mengejar ketertinggalan dengan
negara-negara Asia dalam hal minat
baca, Tentunya dengan instrumen-instrumen pendukung seperti
revolusi pendidikan, internetisasi
desa, subsidi negara terhadap biaya
kertas sehingga mengakibatkan menurunya harga koran dan sejenisnya, pemberian bahan ajar ke peserta didik cuma-cuma
di setiap jenjang satuan pendidikan, penerapan Jambemas ( Jam Belajar
Masyarakat ) dan lain sebagainya. Kita
tidak usah malu – malu dalam meniru
langkah Malaysia dalam mengentaskan minat baca,
dengan cara pemberian buku ajar
kepada peserta didik secara gratis, dengan mutu bahan ajar yang representatif.
Dan sebagai bukti keseriusan dalam hal minat baca ini, mereka
mencetak buku ajar tersebut dengan kualitas yang bagus dan banyak mengadopsi bahan ajar dari
negara-negara maju.
Tentunya kita tidak mau dipredikatkan sebagai bangsa yang
kerdil dan selalu bergantung dengan luar negeri untuk semua hal. Lantaran
keawaman kita di berbagai bidang. Yang pada gilirannya nanti mengakibatkan pewarisan nilai sosial yang dangkal, rendahnya
daya saing, ketidakmampuan dalam
menerima inovatif kepada anak cucu
kita. Dan yang lebih menakutkan lagi
adalah ketidak mampuan kita dalam mengentaskan keterpurukan di berbagai
bidang, Sehingga bisa saja kita akan
menjadi bangsa yang termiskin di dunia
lantaran minimnya minat baca
masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar