Jumat, 04 Mei 2012

Nyanyi Sendu Sang Arjuna


 Cerpen Remaja Effi Nurtanti

Layaknya Batara Guru yang sedang “Nglanglang Jagad”, yang pada pertengahan perjalananya terjebak dengan liuk dan liku Dewi Anjani yang sedang “topo bugil”, tak sebuah benangpun menempel pada tubuhnya dan   mampu menghisap sorot mata Batara Guru.  Hingga terbakarlah sekujur tuguh Batara Guru yang telah rapat terbungkus kain putih dengan gelombang birahi  yang tadinya lembut bergetar dan tak berapa lama  telah menguat dan mengguncangkan hati tetua dewa itu dan mampu menghisap air air suci yang tersimpat dalam setiap sendi beluang Sang Batara Guru. Sang Batara Guru hanya mampu menelan ludahnya, sambil sesekali terguncang dadanya oleh nafas nafas yang liar, yang hanya dimiliki oleh “Titah Sawantah”.
Namun karena sorot sinar mentari yang dipantulkan daun daun yang menari tertiup angin, hingga sorot sinat tersebut terus saja menerangi dan berjalan mengikuti liuk tubuh yang tak seberkas cacatpun, perlahan lahan bergulir dari aurat bagian atas hingga ke bawah, maka nafsu “syahwat” sang batara itu, telah memuncak hingga mampu meneteskan air suci dari persendian sang batara yang kini telah berada di pangkuan Sang Dewi Anjani, yang sedang menutup matanya melakukan hening pada pengembaraannya ke langit, tempat kembang warna warni tumbuh di taman swargaloka. Lantas meloncatlah air suci sang batara, yang tidak sabar ingin bersanding dengan buah delima milik
sang ewi sang semerbak harum mewangi, hingga lahirlah sang insan,  yang diberi nama Hanoman.
Air suci dan buah delima itupun berterik nyaring hingga mampu mrobohkan tebing tebing panjatan “Mount Everst”, sebuah jalan menuju kahyangan. Suatu pertanda bahwa pertautan itu tela meresultankan seorang resi yang sakti, bijak, selalu disisi “Kautaman”, yang mampu memberangus Negeri Alengka yang dikawal ketat oleh oknum oknum raksaksa yang sakti sakti.Namun itulah hidup yang ideal yang dikarang oleh resi yang hidup di jaman manusia berkemas dalam filosofi hidup.
Namun apalah aku, yang lahir begitu saja sama dengan Hanoman, mana Dewi Anjani untuk aku. Mana batara guru yang sanggup menyelipkan rasa bijak pada benaku,mana air suci itu atau buah delima sang dewi yang mampu kureguk untuk menumbuhkan cinta pada diri ini, agar mampu kutautkan dengan Rosella dan aku ajak untuk mendirikan rumah bambu sederhana di tengah “Padang Ilalang Kendalisodo”, bukanya rumah bara yang kini terpagut sepi karena kepergian Rosella, untuk mendapatkan berkas cinta entah dimana dan kemana.
Sang Mahameru masih tegak sanggup untuk memberi kata bijak pada aku yang mengering di tengan padang kering, sesekali wajah Hanoman muncul di belakang puncak Mahameru, yang membuat aku tersipu malu. Mengapa hidup yang yang masih dipusing bumi tidak berhasil aku rajut dengan kain sutra keindahan, hingga mampu menghiasi kelambu malam pertama yang aku gunakan bersama dengan Rosella. Dewi Suprabaku yang melebihi Dewi Supraba yang dimiliki Sang Arjuna dari “Kahyangan Awang Awang Kumitir”.
Seberkas sinar mentarai, yang menerobos sela rumah bambuku menegurku keras keras, agar bayang Rosella enyah pada lamunan pagi itu, yang kadang kadang membenamkan aku dalam dalam ke dasar bumi.
“He..kau manusia tak berdaya, pagi telah tiba..ucapkan salam pada segenap daun yang ada di sekitar rumahmu. Bergegslah kamu menapaki titian hidup ini. Rosella telah menyingkir darimu. Sedangkan kau masih memiliki hari hari terang di depan kelopak matamu. Mengapa engkau diam saja...sedangkan burung saja pandai mensykuri nikmat hidup yang telah diberikan kepada Sang Penguasa Jagad ini, mengapa engkau tidak ?”. Sorot sang sinar mentari itu masih membantingkan keberingasanya padaku.
Akupun beranjak untuk segera bangkit dari ranjang lusuhku, :”Ah..untuk apa aku terus menyatukan angan dengan Rosella, bukankah hidup ini adalah telah digelontorkan Hyang Widi padaku. Pertandan aku harus membenahi amanat besar itu”, bisikan hati itu makinm menguatkan aku untuk kembali memerankan sang Arjuna dalam memadu cinta dengan Srikandi dan Sembodro. Atau aku harus naik turun gunung dan jurang, menebas hutan hutan liar untuk mendapatkan kembang hati, seperti kala Sang Dalang melagukan kidung “Laras Moyo”.
Namun di mana lagi, gunung tegar akan aku daki, bila tak sekelopak bungaku menawarkan harus wanginya, bila Sang Laut Selatanpun belum memberikan aku kaki langit untuk kupetik pelangi.Sementara sang waktu terus menikam dengan sisinya yang tajam,terus saja merobek jantungku.namun akupun tak mau lagi terpojok pada ujung pedangnya. Hingga aku lebarkan sayap agar
 mampu menjadi kumbang yang mampu hinggap ke kelopak bunga harum. Dan satu saat menyeringailah senyum dari Beatrik, gadis kuning langsat dengan rambut pendek mirip mendiang Lady Dy, sang ratu milik rakyat dunia.
“Kau laksana Arjuna yang pandai merayu..he kumbang jalang !! ” nampaknya Beatrik dengan tatapan halusnya berupaya agar aku tidak lagi menjadi Arjuna yang selalu memasang jerat benang sutra halus untuk mencampakan.
“Aku bukan pemeran novel picisan seperti dalam sastra teenagers, aku hanya menawarkan keranjang sutera, untuk menampun sinar sang rembulan. Agar benar benar mampu menyebrangi tiap malam kelam”. Dalam hatiku sebersit harap mulai tumbuh agar Beatrik mempercayaiku. Apalagi kala kedua mata bola wanita yang Mirip Lady Dy itu meredup, sesekali dilemparkanya kerling mata liar ke semua sendi tubuhku, pertanda Beatrik masih belum seluruhnya percaya dengaku. “Ah mengapa dia masih menganggapku seperti kumbang jalang, dunia yang aku usung bakal berada dihadaanku untuk kulewati bersama dengan ratu yang disampingku, berjalan melewati taman bunga dengan menaiki kereta kerajaan. Akupun tersenyum puas dengan melambaikan tangan, dihadapan seluruh rakyat yang berjejal sepanjang jalan berdesak desakan, menuju istanaku yang terbuat dari dinding bata separo susunan papan kayu yang mulai melapuk” sesekali hati yang membara ini terbang ke langit biru.
“Beatrik, kau terlalu memandang rendah, mungkin dari banyak cewek yang pernah terjwrat benang sutraku, kau menganggapku kumbang jalang. Tapi itu dulu, seandainya aku berperahu ditengah lautan lepas,kaulah pelabuhan tempat aku berlabuh. Sesekali percayalah, padaku !!”
 “Sejak kapan kau menjadi cowok yang cengeng, seperti anak ABG kolokan anak mami. Aku bukan yang kau duga. Jadi pergilah jauh jauh dan buanglah tatapan matamu itu”
“Kok jadi begini, Beatrik !, aku sudah lulus sarjana, aku sudah bekerja, tinggal membangun maghliga yang belum pernah aku miliki “
“Bangunlah Istana Cintamu dengan Winda, Lely, Ranti atau segudang bunga kampus yang sekarang masih mendambakan arjunanya. Bukan tempatnya aku menghuni istanamu, aku bukan peserta Big Brothersmu. Hari sudah larut, pulanglah kau Arjuna, malam minggu ini banyak Supraba, Srikandi, Sembodro atau bahkan Banowati yang rela meninggalkan suami yang kaya raya kayak Duryudono demi sepenggal cinta darimu, pulanglah kau Arjuna !!!”
Tepidana mati sepertiku begitu tersentak dengan suara palu hakim yang menyayat hati. Lantas bagaimana dengan wajahku yang ganteng, kulitku yang kuning bersih, hidungku yang mancung serta bibirku yang seksi ini tak mampu mengajak Beatrik menaiki kereta kencana. Mengapa pula tak mampu aku dapatkan cewek yang konsisten dengan prinsipnya itu. Aku tahu Beatrik cewek yang teguh pendirianya, dia adalah cewek yang ideal untuk dijadikan teman hidup.
Aku tidak mau lagi menjadi Arjuna, aku tidak mau lagi menjadi ksatria yang biaa mendapatkan persembahan bidadari para dewa karena kesaktianku. Aku adalah aku, insan yang perlu berbenah dunia nyataku, aku tidak akan lagi berkelana dalam dunia maya. Entahlah,hanya waktu yang akan menautkan aku dengan Beatrik. Aku akan selalu menunggu setia terselip di kaki langit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar