Cerpen Remaja Effi Nurtanti
Layaknya Batara Guru yang sedang “Nglanglang Jagad”,
yang pada pertengahan perjalananya terjebak dengan liuk dan liku Dewi Anjani yang sedang “topo bugil”, tak
sebuah benangpun menempel pada tubuhnya dan
mampu menghisap sorot mata Batara Guru.
Hingga terbakarlah sekujur tuguh Batara Guru yang telah rapat terbungkus
kain putih dengan gelombang birahi yang
tadinya lembut bergetar dan tak berapa lama
telah menguat dan mengguncangkan hati tetua dewa itu dan mampu menghisap
air air suci yang tersimpat dalam setiap sendi beluang Sang Batara Guru. Sang
Batara Guru hanya mampu menelan ludahnya, sambil sesekali terguncang dadanya
oleh nafas nafas yang liar, yang hanya dimiliki oleh “Titah Sawantah”.
Namun karena sorot sinar mentari
yang dipantulkan daun daun yang menari tertiup angin, hingga sorot sinat
tersebut terus saja menerangi dan berjalan mengikuti liuk tubuh yang tak
seberkas cacatpun, perlahan lahan bergulir dari aurat bagian atas hingga ke
bawah, maka nafsu “syahwat” sang batara itu, telah memuncak hingga mampu
meneteskan air suci dari persendian sang batara yang kini telah berada di
pangkuan Sang Dewi Anjani, yang sedang menutup matanya melakukan hening pada
pengembaraannya ke langit, tempat kembang warna warni tumbuh di taman
swargaloka. Lantas meloncatlah air suci sang batara, yang tidak sabar ingin
bersanding dengan buah delima milik
sang ewi sang semerbak harum
mewangi, hingga lahirlah sang insan, yang
diberi nama Hanoman.
Air suci dan buah delima itupun
berterik nyaring hingga mampu mrobohkan tebing tebing panjatan “Mount Everst”,
sebuah jalan menuju kahyangan. Suatu pertanda bahwa pertautan itu tela
meresultankan seorang resi yang sakti, bijak, selalu disisi “Kautaman”, yang
mampu memberangus Negeri Alengka yang dikawal ketat oleh oknum oknum raksaksa
yang sakti sakti.Namun itulah hidup yang ideal yang dikarang oleh resi yang
hidup di jaman manusia berkemas dalam filosofi hidup.
Namun apalah aku, yang lahir
begitu saja sama dengan Hanoman,
mana Dewi Anjani untuk aku. Mana batara guru yang sanggup menyelipkan rasa
bijak pada benaku,mana air suci itu atau buah delima sang dewi yang mampu
kureguk untuk menumbuhkan cinta pada diri ini, agar mampu kutautkan dengan
Rosella dan aku ajak untuk mendirikan rumah bambu sederhana di tengah “Padang
Ilalang Kendalisodo”, bukanya rumah bara yang kini terpagut sepi karena
kepergian Rosella, untuk mendapatkan berkas cinta entah dimana dan kemana.
Sang Mahameru masih tegak
sanggup untuk memberi kata bijak pada aku yang mengering di tengan padang
kering, sesekali wajah Hanoman muncul di belakang puncak Mahameru, yang membuat
aku tersipu malu. Mengapa hidup yang yang masih dipusing bumi tidak berhasil
aku rajut dengan kain sutra keindahan, hingga mampu menghiasi kelambu malam
pertama yang aku gunakan bersama dengan Rosella. Dewi Suprabaku yang melebihi
Dewi Supraba yang dimiliki Sang Arjuna dari “Kahyangan Awang Awang Kumitir”.
Seberkas sinar mentarai, yang
menerobos sela rumah bambuku menegurku keras keras, agar bayang Rosella enyah
pada lamunan pagi itu, yang kadang kadang membenamkan aku dalam dalam ke dasar
bumi.
“He..kau manusia tak berdaya,
pagi telah tiba..ucapkan salam pada segenap daun yang ada di sekitar rumahmu.
Bergegslah kamu menapaki titian hidup ini. Rosella telah menyingkir darimu.
Sedangkan kau masih memiliki hari hari terang di depan kelopak matamu. Mengapa
engkau diam saja...sedangkan burung saja pandai mensykuri nikmat hidup yang
telah diberikan kepada Sang Penguasa Jagad ini, mengapa engkau tidak ?”. Sorot
sang sinar mentari itu masih membantingkan keberingasanya padaku.
Akupun beranjak untuk segera
bangkit dari ranjang lusuhku, :”Ah..untuk apa aku terus menyatukan angan dengan
Rosella, bukankah hidup ini adalah telah digelontorkan Hyang Widi padaku.
Pertandan aku harus membenahi amanat besar itu”, bisikan hati itu makinm
menguatkan aku untuk kembali memerankan sang Arjuna dalam memadu cinta dengan
Srikandi dan Sembodro. Atau aku harus naik turun gunung dan jurang, menebas
hutan hutan liar untuk mendapatkan kembang hati, seperti kala Sang Dalang
melagukan kidung “Laras Moyo”.
Namun di mana lagi, gunung tegar
akan aku daki, bila tak sekelopak bungaku menawarkan harus wanginya, bila Sang
Laut Selatanpun belum memberikan aku kaki langit untuk kupetik
pelangi.Sementara sang waktu terus menikam dengan sisinya yang tajam,terus saja
merobek jantungku.namun akupun tak mau lagi terpojok pada ujung pedangnya.
Hingga aku lebarkan sayap agar
mampu menjadi kumbang yang mampu hinggap ke
kelopak bunga harum. Dan satu saat menyeringailah senyum dari Beatrik, gadis
kuning langsat dengan rambut pendek mirip mendiang Lady Dy, sang ratu milik
rakyat dunia.
“Kau laksana Arjuna yang pandai
merayu..he kumbang jalang !! ” nampaknya Beatrik dengan tatapan halusnya
berupaya agar aku tidak lagi menjadi Arjuna yang selalu memasang jerat benang
sutra halus untuk mencampakan.
“Aku bukan pemeran novel picisan
seperti dalam sastra teenagers, aku hanya menawarkan keranjang sutera, untuk
menampun sinar sang rembulan. Agar benar benar mampu menyebrangi tiap malam
kelam”. Dalam hatiku sebersit harap mulai tumbuh agar Beatrik mempercayaiku.
Apalagi kala kedua mata bola wanita yang Mirip Lady Dy itu meredup, sesekali
dilemparkanya kerling mata liar ke semua sendi tubuhku, pertanda Beatrik masih
belum seluruhnya percaya dengaku. “Ah mengapa dia masih menganggapku seperti
kumbang jalang, dunia yang aku usung bakal berada dihadaanku untuk kulewati
bersama dengan ratu yang disampingku, berjalan melewati taman bunga dengan
menaiki kereta kerajaan. Akupun tersenyum puas dengan melambaikan tangan,
dihadapan seluruh rakyat yang berjejal sepanjang jalan berdesak desakan, menuju
istanaku yang terbuat dari dinding bata separo susunan papan kayu yang mulai
melapuk” sesekali hati yang membara ini terbang ke langit biru.
“Beatrik, kau terlalu memandang
rendah, mungkin dari banyak cewek yang pernah terjwrat benang sutraku, kau
menganggapku kumbang jalang. Tapi itu dulu, seandainya aku berperahu ditengah
lautan lepas,kaulah pelabuhan tempat aku berlabuh. Sesekali percayalah, padaku !!”
“Sejak kapan kau menjadi cowok yang cengeng,
seperti anak ABG kolokan anak mami. Aku bukan yang kau duga. Jadi pergilah jauh
jauh dan buanglah tatapan matamu itu”
“Kok jadi begini, Beatrik !, aku
sudah lulus sarjana, aku sudah bekerja, tinggal membangun maghliga yang belum
pernah aku miliki “
“Bangunlah Istana Cintamu dengan
Winda, Lely, Ranti atau segudang bunga kampus yang sekarang masih mendambakan
arjunanya. Bukan tempatnya aku menghuni istanamu, aku bukan peserta Big
Brothersmu. Hari sudah larut, pulanglah kau Arjuna, malam minggu ini banyak
Supraba, Srikandi, Sembodro atau bahkan Banowati yang rela meninggalkan suami
yang kaya raya kayak Duryudono demi sepenggal cinta darimu, pulanglah kau
Arjuna !!!”
Tepidana mati sepertiku begitu
tersentak dengan suara palu hakim yang menyayat hati. Lantas bagaimana dengan
wajahku yang ganteng, kulitku yang kuning bersih, hidungku yang mancung serta
bibirku yang seksi ini tak mampu mengajak Beatrik menaiki kereta kencana.
Mengapa pula tak mampu aku dapatkan cewek yang konsisten dengan prinsipnya itu.
Aku tahu Beatrik cewek yang teguh pendirianya, dia adalah cewek yang ideal
untuk dijadikan teman hidup.
Aku tidak mau lagi menjadi
Arjuna, aku tidak mau lagi menjadi ksatria yang biaa mendapatkan persembahan
bidadari para dewa karena kesaktianku. Aku adalah aku, insan yang perlu
berbenah dunia nyataku, aku tidak akan lagi berkelana dalam dunia maya. Entahlah,hanya
waktu yang akan menautkan aku dengan Beatrik. Aku akan selalu menunggu setia
terselip di kaki langit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar