Tengah hari Kota
Semarang dibanjiri semburat sinar mentari yang panas membakar. Debu debu
berceria dan berkejaran di hempas roda roda kendaraan besar, layaknya monster
yang haus akan mangsanya. Jalan jalan aspal berkilauan memantulkan sinar
matahari yang tegak lurus menikamnya. Peluh dan sorot mata berang memenuhi semua
insan yang mengais selembar demi selembar harapan untuk melonggarkan nafas.
Guna menggenggam hidup.
Pertengahan
Bulan Oktober ini, alam lebih senang mengerlingkan matanya pada bumi dengan
kerling mata yang kering tiada dibasahi hujan setetespun. Sementara bumi sudah
mulai melekangkan tubuhnya, mengeliat dengan panas yang mengungkunginya. Meski
baru dua minggu hujan besar telah menyelinap di wajahnya. Namun kini bumipun
sudah mulai menunjukan kegerahanya.
Apalagi bagi Herlambang yang tiada selembarpun kesejukan bersemayam di hatinya. Di tengah deru dan debu
hidupnya, wajah Raras yang kini merantau ke negeri jiran selalu berada di
benaknya. Setelah kerja setengah hari pada hari sabtu siang, sambil menunggu
kedatangan anak anaknya pulang sekolah, selembar lamunan terus memagut anganya.
Mengapa dia membiarkan istrinya menjadi TKI di negeri sebrang, yang hanya
meninggalkan kepedihan itu. Apalagi bila malam tiba, saat Ririn putri
bungsunya, memeluk tubuhnya kencang-kencang, lantaran dia tidak mau kehilangan lagi tempat berlindung. Setelah
mamanya meninggalkan mereka demi selembar kehidupan .
Masih membekas
dalam relung ingatanya, kala dia selalu menyodorkan egonya, menghempaskan
harapan Raras untuk membina maghligai rumah tangganya dengan lengan lengan
mereka yang tiada seberapa kokohnya. Kala dia pernah memberi janji manis pada
gadis pedagang jamu gendong di Kota Semarang , untuk memberikan
segala kehidupanya demi membangun gubug mungil berhalaman taman bunga, meski
hanya kembang sepatu, bakung dan nusa indah. Betapa indahnya hidup yang berisi
penuh dengan gambaran fantasi itu dan Ririnpun menjadi hanyut terkulai di
pelukan Herlambang.
Maghligai penuh
kasih mereka tambatkan dalam rumah mungil meski berdidnding bambu. Dalam gubug
bambu itu, selalu terdengar canda anak anak mereka yang mungil, imut, cerdas
dan manja. Tangis sang anak adalah ibarat penyejuk saat hati merasakan getirnya
kehidupan. Itulah yang diberikan Herlambang kepada Raras, meski hanya sebuah
janji.
Masih membekas
pula kala dia hanya mampu menghabiskan gaji bulananya di meja judi berteman
botol botol miras yang hanya dingin membujur, saat dia kalah dan kalah terus
hingga mengikiskan akal sehatnya. Membenamkan seribu janji yang pernah dia
sodorkan kepada Raras tentang hidup di tengah gubug bambu namun berornamen
kesahajaan dan kasih saying yang tulus.
“Bapak Ririn
pulang “ sebuah suara lembut dan manja mengagetkan selembar lamunanya di siang
hari. “Ririn sudah di kasih rapot sama
bu guru dan surat untuk Bapak. Baca ya Pak. Dan Bapak di tunggu
bu guru di sekolah ?’
“Ya Sayang,
Bapak besok ke sekolah, mana rapotmu, sayang !. Biar Bapak lihat ?”
“Tapi Bapak
masih marah ?”
“Oh Ririn
sayangku, Bapak sudah nggak marah lagi, ya sayang !. Bapak tadi malam marah
sama kakak kakakmu yang bandel”
“Baguskan
rapotnya Ririn, Pak ?”
“Iya dong, anak
siapa dulu “
“Nanti rapotnya
di kirim ke mama ya Pak. Biar mama tahu rapot Ririn. Kapan mama pulang, Pak ,
Ririn kangen sama mama ?”. Air mata bening kini berada di kedua mata bocah yang
hanya mengerti ketulusan hati. Air mata yang hanya datang dari hati yang paling
dalam.
Herlambang
kinipun tersudut di ketidaktahuan. Bagaikan bocah kecil yang tersesat di padang luas tak tahu arah.
Kala menerima permintaan dari Ririn samudra hidupnya.
“Pak, janji sama
Ririn ya, cepat cepat menyusul mama “ Suatu pertanyaan yang paling mengiris
hatinya kini datang lagi,dari bocah yang lugu dan tidak sepantasnya jauh dari sisi
mamanya.
“Iya sayang,
besok Bapak ke sekolah kamu dan habis itu Bapak menyususl mama. Nanti Bapak
belikan baju baru, ya ?”
“Nggak mau, Pak.
Ririn hanya mau mama pulang !”.
Anak
kesayanganya itu masih dalam gendonganya, namun hatinya kini memenuhi isi
langit, mengembara jauh tiada tepi untuk menemukan seribu cara meminta
kepulangan Raras yang entah di mana. Tiada selembar suratpun dia terima setelah
perpisahan mereka.Ririnpun terkulai tidur di bahunya yang legam da kokoh.
Sementara itu Iwan putra ke duanya dengan langkah terburu menghampirinya,
sambil terengah berusaha mengatur nafas.
“Ada apa, Wan ?”
“Pak, aku tadi
di sekolah dikasih uang ?”
“Siapa yang
ngasih uang kamu ?”
“Nggak tahu,
Pak. Dia mengaku teman mama di Malaysia .
Dan kini dia pulang ke Indonesia
dan nggak tahu dia ngasih aku uang untuk Ririn, aku dan Mbak Winda ?”
“Namanya siapa
?”
“Namanya Tante
Lilis dan dia memberi alamat aku, katanya rumahnya di Kalisari, ini pak
alamatnya. Untung Iwan tulis di buku alamatnya Tante Lilis. Janji ya Pak !,
nanti jemput mama ?”
“Bapak nanti
akan jemput mama, tapi Bapak nyari alamat Tante Lilis dulu. Eh..jangan ngomong
sama Ririn dulu, ya..janji !”
“Iwan janji, Pak
asal Bapak mau jemput mama secepatnya”
“Jangan kuatir,
anaku !, demi kalian bertiga Bapak akan jemput mamamu”
******
Semula Lilis
ragu dalam hatinya setelah bertemu dengan Herlambang, di rumahnya. Apakah pria
yang ada didepanya kini adalah suami teman akrabnya di Malaysia . Namun perasaan ragu kini
telah hilang setelah mereka berdua larut dengan perbincangan mengenai Raras.
“Dia memang
kecewa dengan dirimu,Mas “
“Akupun mengerti
perasaan Raras, namun demi anak anak aku harap dia mau kembali ke Indonesia .
Dan akupun sudah tidak seperti dulu lagi, aku adalah manusia yang punya hati.
Sepeninggal Raras, kesedihan dan rasa
rindu mereka bertiga sungguh mengiris hati ini. Maka aku akan kirim surat padanya agar mau
berkumpul dengan mereka yang masih kecil”
“Bukan hanya
anakmu saja yang menangis. Sering pula aku menjumpai Raras menangis, merindukan
mereka bertiga”
“Tetapi mengapa
dia tidak segera kembali “
“Raras segera
mengurungkan niat kembali ke Indonesia
bila ingat perlakuanmu padanya, Mas !”.
“Apakah tidak
ada kesempatan bagi saya untuk membuktikan janji aku sama Raras?. Maka tolong
Jeng Lilis, beri aku alamat Raras. Walau bagaimana dia adalah istriku “
“Tapi, Raras
melarangku untuk memberimu alamat “
“Kalau memang
tidak ada kesempatan untuku, suruhlah dia kembali, Jeng demi anak anak.
Terutama untuk Ririn”
Saat Herlambang
menyebut nama Ririn, seketika itu pula
terlibat butiran air mata Lilis memenui seluruh rongga matanya. Lilis mampu
membayangkan betapa tersiksanya Raras di hampir setiap malam tiba, kala teman karibnya menahan rindu yang
mendalam.
“Bila Jeng Lilis
tidak mau memberiku alamat, tolonglah kirimi dia surat , sampaikan padanya bahwa betapa
menderitanya Ririn kehilangan dia. Bila dia tidak mau bertemu aku lagi. Bawalah
Ririn dan kakak-kakaknya sesuka dia, meski hatiku berat ”. Herlambang adalah
pria yang kokoh hatinya, namun menghadapi kenyataan ini semua Herlambang tak
lebih seperti bocah cilik yang
kehilangan mainan.
“Baiklah Mas,
aku beri nomor Hpnya, pakailah hpku saja supaya dia mau membuka, biar Mas bisa menyampaikan sendiri ?”
Dengan tangan
gemetar Herlambang memegang Hp Lilis, kini hatinya merasa tak percaya ketika
sebuah suara yang paling dia kenal memenuhi semua pendengaranya.
“Ras, tolong
jangan di tutup Hp ini. Aku Herlambang, tolong Ras aku ditunggu anak anak untuk
mendapat jawaban darimu. Terutama Ririn yang tiap malam mencarimu”
“Untuk apa lagi,
Mas. Bukankah Mas dulu mengusirku pergi,
Bukankah keberangkatanku telah minta ijin Mas, lagi pula Mas dengan dingin
memintaku pergi sejauh yang aku suka”
“Raras, itu
dulu. Aku tidak akan seperti itu lagi”
“Aku sudah tidak
percaya kamu lagi, Mas !. Sejak kapan manusia sepertimu bisa memegang janji.
Aku rela berpisah dengan anak anak karena janji yang kau lupakan. Bahkan dirimu
memperlakukan aku…….”
“Ras, aku
menyesali itu semua, setelah tiap malam Ririn dalam pelukanku dan selalu
menyebut namamu di tengah tidurnya. Kau kan
istriku, kaulah yang paling berhak memeluk Ririn kala malam tiba “
“Setelah aku
kembali dan Ririn bersamaku lagi, kau bebas memperlakukanku lagi ?”
“Aku harus
berkata apa lagi, bila kau terus seperti itu, Oh ya tadi Ririn menyuruhku
mengirim rapotnya, dia naik kelas dua. Ririn tadi mengambil rapot bersama dengan kakeknya. Dan besok aku
harus ke sekolah memenuhi panggilan gurunya”
“Ririn naik
kelas, Mas. Lantas mengapa gurunya memanggilmu ?”
“Dia bisa naik
kelas dengan catatan harus banyak mendapatkan perhatian khusus dari ortunya.
Aku laki laki Ras, tidak mampu memberi perhatian selembut dirimu. Maka
kembalilah demi Ririn “
“Jangan kau
harap aku akan kembali. Tapi tolong, Mas kirimkan copi rapotnya Ririn”
“Mengapa sama
sekali kamu tidak mau kembali di tengah anak anak. Aku yang salah bukan mereka
Ras. Demi kebagiaan kamu dan mereka,meski berat hati aku rela mereka semua kau
ajak pergi. Ini memang sudah sepantasnya buat aku, Ras !”
“Tapi aku sudah
tidak bisa menerimamu lagi, Mas !”
“Itu hakmu!,
yang penting anak anak bisa berkumpul denganmu lagi. Aku rela kehilangan
semuanya”
Herlambang tidak
berani meneruskan lisanya lagi, kala sebuah isak tangis membahana di Hp Lilis.
Herlambang menjadi tak mengrti mengapa hari ini kehidupanya penuh diwarnai isak
tangis. Sebuah renungan mendalam menghiasi kalbunya, hingga menghasilkan niatan
yang kuat untuk membenahi kehidupanya, bersama istri dan anak anaknya. Sebuah
niatan untuk memyodorkan sebuah realita tentang rumah mungil berhalaman taman bunga,
seperti yang dulu pernah dia janjikan.
“Ras, beri aku
janji kapan kau akan kembali. Sebelum aku ke rumah Jeng Lilis, aku telah
berjanji kepada anak anak tentang kedatanganmu”
“Mas, kamu
pulang dulu. Catatlah nomor Hpku biar aku di rumah bicara sama anak anak”
“Ya, itu lebih
baik, Ras. Aku sudahi saja, Selamat berbahagia dan jumpa lagi”
***
“Bapak, kapan
mama pulang ?’ pekik Ririn dengan lucunya dan langsung menubruk tubuh Bapaknya
yang tinggi besar.
“Duduk dulu di
kursi ya. Nanti dengarkan sendiri janji mama”
Sebuah dering
panjang dari Hp Herlambang memenuhi tiap sudut ruang tamunya dan kini Hp itu
sudah berada di telinga Ririn. Ketiga anaknya kini bisa sepuas hati melepas
kerinduan mereka terhadap mamanya. Mereka menjadi puas hatinya kala mendengar
janji mamanya aka kembali ke tengah mereka minggu depan.
Waktu merambat
bagai anak panah melesat dari busurnya, dengan penantian yang dirasa panjang
ketiga anak Herlambang kini merasakan kehadiran mama mereka, terutama Ririn
yang tidak mau lepas bergayut di lengan wanita setengah baya yang cantik itu.
“Mas aku akan
bawa mereka ke Malaysia ,
karena disanalah kehidupanku”. Suatu senja di beranda rumah. Raras mengajukan
sebuah permintaan
“Meski dengan
berat hati, silakan Ras, demi kebahagiaan mereka. Mereka sudah cukup menderita,
sekarang giliran mereka untuk menggapai bahagia bersamamu”
“Apa kamu tidak
kehilangan, Mas ?”
“Siapa orang tua
yang mau kehilangan anak , Ras !. Tapi andaikan kau melihat betapa menderitanya
mereka selama kau tinggalkan.Kamupun akan rela berkorban apa saja demi
kebahagiaan mereka. Apalagi semua ini karena salahku”.
“Apa karena kau
sudah jera direpoti mereka ?”
“Sesaat kamu
pergi, memang aku merasa mereka merepotkanku. Tapi itulah duniaku, itulah masa
depanku, kalau toh aku inginkan semua kembali bersatu. Sudah tidak ada gunanya
lagi, karena kamu sudah tidak percaya aku lagi”
Raras diam
seribu bahasa, kentara dia masih menyimpan ganjalan di hati yang sangat berat
untuk disampaikan kepada Herlambang. Herlambangpun mengerti perasaan istrinya
itu, yang melebih es dinginya selama mereka berjumpa lagi.
“Aku tahu
semuanya, Ras.Tidak usah kamu tutupi perasaanmu. Tidak usah kamu takut,
Herlambang dahulu dengan sekarang berbeda. Meski Jeng Lilis tidak crita tentang
ini, tapi aku bisa membaca isi hatimu. Tapi perlu kamu ketahui,merekapun tidak
mau lagi menerima arti sebuah kehilangan, apalagi selama ini akulah yang paling
dekat dengan mereka. Aku berkata seperti ini bukan untuk mengemis kehadiranmu,
tapi demi anak-anak.Karena mereka semua, adalah masa depan kita”
“Tapi
kehidupanku disana akan lebih menjanjikan, Mas !. Mereka tentunya akan bahagia
bersama kehidupan mereka yang baru”
“Sebaiknya kamu
jangan terburu buru menyimpulkan. Pintalah pada mereka satu per satu. Kalau
memang mereka mau,apa salahnya ? ”
“Betul, Mas ?.
Kamu tidak akan merasa kehilangan ?”
“Arti sebuah
kehilangan telah akrab dengan diriku sejak kecil, Ras. Sejak ditinggalkan
ortuku,kehilangan jati diriku dan kehilangan kamu “
“Kamu telah
berubah sekali,Mas “
“Ya, karena
berada di tengah mereka selama dua tahun. Penderitaan mereka telah
menyadarkanku dan mendewasanku. Justru perasaan itulah yang membuat aku siap
segalanya menerima semua kehilangan seperti yang kau pinta”.
“Tapi aku sudah
terlanjur melangkah, Mas ?”
“Itu,masalahmu,
Ras, yang penting kamu bahagia. Tinggal kini anak anak bisa menerima tidak.
Terutama Ririn, dia sekarang sedang mengalami penyembuhan psychology. Sebaiknya
kamu jangan melangkah terburu-buru”
“Ah…aku tidak tahu,
Mas !. Aku harus berbuat apa ? ”
“Bahagiankan
dahulu hati kamu di tengah mereka. Niatan menggapai hidup di Malaysia kamu tunda dahulu. Meski
sekarang kamu sudah di tengah mereka. Anak anak masih tidak percaya realita
ini. Ririnpun masih menyimpan rasa takut kehilangan dirimu lagi “
“Akupun kini mulai
ingat akan janji-janjimu dulu Mas. Tentang rumah kecil namun bahagia di tengah
tawa canda mereka. Seperti yang pernah kamu janjikan “
“Kamu tidak
sadar, Ras !. Bahwa janji janji itu mulai aku tepati. Setidak tidaknya kita
sering berkumpul bersama dengan mereka, tanpa ada yang merasa kehilangan.Hanya
kamu saja yang masih berniat menggapai kehidupan di Malaysia . Namun aku tak berani
menghalangimu, karena itu hakmu. Yang penting mereka bertiga berbahagia”.
“Akupun tau,
Mas. Namun kadang kadang aku masih tidak percaya ?”
“Maka waktulah
yang akan memberimu kepercayaan kembali”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar