Rabu, 16 Mei 2012

Rumah Bambu Berhalaman Taman Bunga


Tengah hari Kota Semarang dibanjiri semburat sinar mentari yang panas membakar. Debu debu berceria dan berkejaran di hempas roda roda kendaraan besar, layaknya monster yang haus akan mangsanya. Jalan jalan aspal berkilauan memantulkan sinar matahari yang tegak lurus menikamnya.  Peluh dan sorot mata berang memenuhi semua insan yang mengais selembar demi selembar harapan untuk melonggarkan nafas. Guna menggenggam hidup.

Pertengahan Bulan Oktober ini, alam lebih senang mengerlingkan matanya pada bumi dengan kerling mata yang kering tiada dibasahi hujan setetespun. Sementara bumi sudah mulai melekangkan tubuhnya, mengeliat dengan panas yang mengungkunginya. Meski baru dua minggu hujan besar telah menyelinap di wajahnya. Namun kini bumipun sudah mulai menunjukan kegerahanya.

Apalagi bagi  Herlambang yang tiada selembarpun kesejukan  bersemayam di hatinya. Di tengah deru dan debu hidupnya, wajah Raras yang kini merantau ke negeri jiran selalu berada di benaknya. Setelah kerja setengah hari pada hari sabtu siang, sambil menunggu kedatangan anak anaknya pulang sekolah, selembar lamunan terus memagut anganya. Mengapa dia membiarkan istrinya menjadi TKI di negeri sebrang, yang hanya meninggalkan kepedihan itu. Apalagi bila malam tiba, saat Ririn putri bungsunya, memeluk tubuhnya kencang-kencang, lantaran dia tidak mau  kehilangan lagi tempat berlindung. Setelah mamanya meninggalkan mereka demi selembar kehidupan .

Masih membekas dalam relung ingatanya, kala dia selalu menyodorkan egonya, menghempaskan harapan Raras untuk membina maghligai rumah tangganya dengan lengan lengan mereka yang tiada seberapa kokohnya. Kala dia pernah memberi janji manis pada gadis pedagang jamu gendong di Kota Semarang, untuk memberikan segala kehidupanya demi membangun gubug mungil berhalaman taman bunga, meski hanya kembang sepatu, bakung dan nusa indah. Betapa indahnya hidup yang berisi penuh dengan gambaran fantasi itu dan Ririnpun menjadi hanyut terkulai di pelukan Herlambang.

Maghligai penuh kasih mereka tambatkan dalam rumah mungil meski berdidnding bambu. Dalam gubug bambu itu, selalu terdengar canda anak anak mereka yang mungil, imut, cerdas dan manja. Tangis sang anak adalah ibarat penyejuk saat hati merasakan getirnya kehidupan. Itulah yang diberikan Herlambang kepada Raras, meski hanya sebuah janji.

Masih membekas pula kala dia hanya mampu menghabiskan gaji bulananya di meja judi berteman botol botol miras yang hanya dingin membujur, saat dia kalah dan kalah terus hingga mengikiskan akal sehatnya. Membenamkan seribu janji yang pernah dia sodorkan kepada Raras tentang hidup di tengah gubug bambu namun berornamen kesahajaan dan kasih saying yang tulus.

“Bapak Ririn pulang “ sebuah suara lembut dan manja mengagetkan selembar lamunanya di siang hari. “Ririn sudah di kasih rapot  sama bu guru dan surat  untuk Bapak. Baca ya Pak. Dan Bapak di tunggu bu guru di sekolah ?’
“Ya Sayang, Bapak besok ke sekolah, mana rapotmu, sayang !. Biar Bapak lihat ?”
“Tapi Bapak masih marah ?”
“Oh Ririn sayangku, Bapak sudah nggak marah lagi, ya sayang !. Bapak tadi malam marah sama kakak kakakmu yang bandel”
“Baguskan rapotnya Ririn, Pak ?”
“Iya dong, anak siapa dulu “
“Nanti rapotnya di kirim ke mama ya Pak. Biar mama tahu rapot Ririn. Kapan mama pulang, Pak , Ririn kangen sama mama ?”. Air mata bening kini berada di kedua mata bocah yang hanya mengerti ketulusan hati. Air mata yang hanya datang dari hati yang paling dalam.

Herlambang kinipun tersudut di ketidaktahuan. Bagaikan bocah kecil yang tersesat di padang luas tak tahu arah. Kala menerima permintaan dari Ririn samudra hidupnya.
“Pak, janji sama Ririn ya, cepat cepat menyusul mama “ Suatu pertanyaan yang paling mengiris hatinya kini datang lagi,dari bocah yang lugu dan tidak sepantasnya jauh dari sisi mamanya.

“Iya sayang, besok Bapak ke sekolah kamu dan habis itu Bapak menyususl mama. Nanti Bapak belikan baju baru, ya ?”
“Nggak mau, Pak. Ririn hanya mau mama pulang !”.

Anak kesayanganya itu masih dalam gendonganya, namun hatinya kini memenuhi isi langit, mengembara jauh tiada tepi untuk menemukan seribu cara meminta kepulangan Raras yang entah di mana. Tiada selembar suratpun dia terima setelah perpisahan mereka.Ririnpun terkulai tidur di bahunya yang legam da kokoh. Sementara itu Iwan putra ke duanya dengan langkah terburu menghampirinya, sambil terengah berusaha mengatur nafas.

Ada apa, Wan ?”
“Pak, aku tadi di sekolah dikasih uang ?”
“Siapa yang ngasih uang kamu ?”
“Nggak tahu, Pak. Dia mengaku teman mama di Malaysia. Dan kini dia pulang ke Indonesia dan nggak tahu dia ngasih aku uang untuk Ririn, aku dan Mbak Winda ?”
“Namanya siapa ?”
“Namanya Tante Lilis dan dia memberi alamat aku, katanya rumahnya di Kalisari, ini pak alamatnya. Untung Iwan tulis di buku alamatnya Tante Lilis. Janji ya Pak !, nanti jemput mama ?”
“Bapak nanti akan jemput mama, tapi Bapak nyari alamat Tante Lilis dulu. Eh..jangan ngomong sama Ririn dulu, ya..janji !”
“Iwan janji, Pak asal Bapak mau jemput mama secepatnya”
“Jangan kuatir, anaku !, demi kalian bertiga Bapak akan jemput mamamu”

******

Semula Lilis ragu dalam hatinya setelah bertemu dengan Herlambang, di rumahnya. Apakah pria yang ada didepanya kini adalah suami teman akrabnya di Malaysia. Namun perasaan ragu kini telah hilang setelah mereka berdua larut dengan perbincangan mengenai Raras.

“Dia memang kecewa dengan dirimu,Mas “
“Akupun mengerti perasaan Raras, namun demi anak anak aku harap dia mau kembali ke Indonesia. Dan akupun sudah tidak seperti dulu lagi, aku adalah manusia yang punya hati. Sepeninggal Raras,  kesedihan dan rasa rindu mereka bertiga sungguh mengiris hati ini. Maka aku akan kirim surat padanya agar mau berkumpul dengan mereka yang masih kecil”
“Bukan hanya anakmu saja yang menangis. Sering pula aku menjumpai Raras menangis, merindukan mereka bertiga”
“Tetapi mengapa dia tidak segera kembali “
“Raras segera mengurungkan niat kembali ke Indonesia bila ingat perlakuanmu padanya, Mas !”.
“Apakah tidak ada kesempatan bagi saya untuk membuktikan janji aku sama Raras?. Maka tolong Jeng Lilis, beri aku alamat Raras. Walau bagaimana dia adalah istriku “
“Tapi, Raras melarangku untuk memberimu alamat “
“Kalau memang tidak ada kesempatan untuku, suruhlah dia kembali, Jeng demi anak anak. Terutama untuk Ririn”

Saat Herlambang menyebut nama Ririn,  seketika itu pula terlibat butiran air mata Lilis memenui seluruh rongga matanya. Lilis mampu membayangkan betapa tersiksanya Raras di hampir setiap malam tiba,  kala teman karibnya menahan rindu yang mendalam.

“Bila Jeng Lilis tidak mau memberiku alamat, tolonglah kirimi dia surat, sampaikan padanya bahwa betapa menderitanya Ririn kehilangan dia. Bila dia tidak mau bertemu aku lagi. Bawalah Ririn dan kakak-kakaknya sesuka dia, meski hatiku berat ”. Herlambang adalah pria yang kokoh hatinya, namun menghadapi kenyataan ini semua Herlambang tak lebih seperti  bocah cilik yang kehilangan mainan.

“Baiklah Mas, aku beri nomor Hpnya, pakailah hpku saja supaya dia mau membuka,  biar Mas bisa menyampaikan sendiri ?”

Dengan tangan gemetar Herlambang memegang Hp Lilis, kini hatinya merasa tak percaya ketika sebuah suara yang paling dia kenal memenuhi semua pendengaranya.

“Ras, tolong jangan di tutup Hp ini. Aku Herlambang, tolong Ras aku ditunggu anak anak untuk mendapat jawaban darimu. Terutama Ririn yang tiap malam mencarimu”
“Untuk apa lagi, Mas.  Bukankah Mas dulu mengusirku pergi, Bukankah keberangkatanku telah minta ijin Mas, lagi pula Mas dengan dingin memintaku pergi sejauh yang aku suka”
“Raras, itu dulu. Aku tidak akan seperti itu lagi”
“Aku sudah tidak percaya kamu lagi, Mas !. Sejak kapan manusia sepertimu bisa memegang janji. Aku rela berpisah dengan anak anak karena janji yang kau lupakan. Bahkan dirimu memperlakukan aku…….”

“Ras, aku menyesali itu semua, setelah tiap malam Ririn dalam pelukanku dan selalu menyebut namamu di tengah tidurnya. Kau kan istriku, kaulah yang paling berhak memeluk Ririn kala malam tiba “

“Setelah aku kembali dan Ririn bersamaku lagi, kau bebas memperlakukanku lagi ?”
“Aku harus berkata apa lagi, bila kau terus seperti itu, Oh ya tadi Ririn menyuruhku mengirim rapotnya, dia naik kelas dua. Ririn tadi mengambil  rapot bersama dengan kakeknya. Dan besok aku harus ke sekolah memenuhi panggilan gurunya”

“Ririn naik kelas, Mas. Lantas mengapa gurunya memanggilmu ?”
“Dia bisa naik kelas dengan catatan harus banyak mendapatkan perhatian khusus dari ortunya. Aku laki laki Ras, tidak mampu memberi perhatian selembut dirimu. Maka kembalilah demi Ririn “

“Jangan kau harap aku akan kembali. Tapi tolong, Mas kirimkan copi rapotnya Ririn”
“Mengapa sama sekali kamu tidak mau kembali di tengah anak anak. Aku yang salah bukan mereka Ras. Demi kebagiaan kamu dan mereka,meski berat hati aku rela mereka semua kau ajak pergi. Ini memang sudah sepantasnya buat aku, Ras !”

“Tapi aku sudah tidak bisa menerimamu lagi, Mas !”
“Itu hakmu!, yang penting anak anak bisa berkumpul denganmu lagi. Aku rela kehilangan semuanya”

Herlambang tidak berani meneruskan lisanya lagi, kala sebuah isak tangis membahana di Hp Lilis. Herlambang menjadi tak mengrti mengapa hari ini kehidupanya penuh diwarnai isak tangis. Sebuah renungan mendalam menghiasi kalbunya, hingga menghasilkan niatan yang kuat untuk membenahi kehidupanya, bersama istri dan anak anaknya. Sebuah niatan untuk memyodorkan sebuah realita tentang rumah mungil berhalaman taman bunga, seperti yang dulu pernah dia janjikan.

“Ras, beri aku janji kapan kau akan kembali. Sebelum aku ke rumah Jeng Lilis, aku telah berjanji kepada anak anak tentang kedatanganmu”

“Mas, kamu pulang dulu. Catatlah nomor Hpku biar aku di rumah bicara sama anak anak”
“Ya, itu lebih baik, Ras. Aku sudahi saja, Selamat berbahagia dan jumpa lagi”

***

“Bapak, kapan mama pulang ?’ pekik Ririn dengan lucunya dan langsung menubruk tubuh Bapaknya yang tinggi besar.
“Duduk dulu di kursi ya. Nanti dengarkan sendiri janji mama”
Sebuah dering panjang dari Hp Herlambang memenuhi tiap sudut ruang tamunya dan kini Hp itu sudah berada di telinga Ririn. Ketiga anaknya kini bisa sepuas hati melepas kerinduan mereka terhadap mamanya. Mereka menjadi puas hatinya kala mendengar janji mamanya aka kembali ke tengah mereka minggu depan.

Waktu merambat bagai anak panah melesat dari busurnya, dengan penantian yang dirasa panjang ketiga anak Herlambang kini merasakan kehadiran mama mereka, terutama Ririn yang tidak mau lepas bergayut di lengan wanita setengah baya yang cantik itu.

“Mas aku akan bawa mereka ke Malaysia, karena disanalah kehidupanku”. Suatu senja di beranda rumah. Raras mengajukan sebuah permintaan

“Meski dengan berat hati, silakan Ras, demi kebahagiaan mereka. Mereka sudah cukup menderita, sekarang giliran mereka untuk menggapai bahagia bersamamu”
“Apa kamu tidak kehilangan, Mas ?”
“Siapa orang tua yang mau kehilangan anak , Ras !. Tapi andaikan kau melihat betapa menderitanya mereka selama kau tinggalkan.Kamupun akan rela berkorban apa saja demi kebahagiaan mereka. Apalagi semua ini karena salahku”.
“Apa karena kau sudah jera direpoti mereka ?”
“Sesaat kamu pergi, memang aku merasa mereka merepotkanku. Tapi itulah duniaku, itulah masa depanku, kalau toh aku inginkan semua kembali bersatu. Sudah tidak ada gunanya lagi, karena kamu sudah tidak percaya aku lagi”

Raras diam seribu bahasa, kentara dia masih menyimpan ganjalan di hati yang sangat berat untuk disampaikan kepada Herlambang. Herlambangpun mengerti perasaan istrinya itu, yang melebih es dinginya selama mereka berjumpa lagi.

“Aku tahu semuanya, Ras.Tidak usah kamu tutupi perasaanmu. Tidak usah kamu takut, Herlambang dahulu dengan sekarang berbeda. Meski Jeng Lilis tidak crita tentang ini, tapi aku bisa membaca isi hatimu. Tapi perlu kamu ketahui,merekapun tidak mau lagi menerima arti sebuah kehilangan, apalagi selama ini akulah yang paling dekat dengan mereka. Aku berkata seperti ini bukan untuk mengemis kehadiranmu, tapi demi anak-anak.Karena mereka semua, adalah masa depan kita”

“Tapi kehidupanku disana akan lebih menjanjikan, Mas !. Mereka tentunya akan bahagia bersama kehidupan mereka yang baru”
“Sebaiknya kamu jangan terburu buru menyimpulkan. Pintalah pada mereka satu per satu. Kalau memang mereka mau,apa salahnya ? ”
“Betul, Mas ?. Kamu tidak akan merasa kehilangan ?”
“Arti sebuah kehilangan telah akrab dengan diriku sejak kecil, Ras. Sejak ditinggalkan ortuku,kehilangan jati diriku dan kehilangan kamu “
“Kamu telah berubah sekali,Mas “

“Ya, karena berada di tengah mereka selama dua tahun. Penderitaan mereka telah menyadarkanku dan mendewasanku. Justru perasaan itulah yang membuat aku siap segalanya menerima semua kehilangan seperti yang kau pinta”.

“Tapi aku sudah terlanjur melangkah, Mas ?”
“Itu,masalahmu, Ras, yang penting kamu bahagia. Tinggal kini anak anak bisa menerima tidak. Terutama Ririn, dia sekarang sedang mengalami penyembuhan psychology. Sebaiknya kamu jangan melangkah terburu-buru”
“Ah…aku tidak tahu, Mas !. Aku harus berbuat apa ? ”
“Bahagiankan dahulu hati kamu di tengah mereka. Niatan menggapai hidup di Malaysia kamu tunda dahulu. Meski sekarang kamu sudah di tengah mereka. Anak anak masih tidak percaya realita ini. Ririnpun masih menyimpan rasa takut kehilangan dirimu lagi “
“Akupun kini mulai ingat akan janji-janjimu dulu Mas. Tentang rumah kecil namun bahagia di tengah tawa canda mereka. Seperti yang pernah kamu janjikan “
“Kamu tidak sadar, Ras !. Bahwa janji janji itu mulai aku tepati. Setidak tidaknya kita sering berkumpul bersama dengan mereka, tanpa ada yang merasa kehilangan.Hanya kamu saja yang masih berniat menggapai kehidupan di Malaysia. Namun aku tak berani menghalangimu, karena itu hakmu. Yang penting mereka bertiga berbahagia”.
“Akupun tau, Mas. Namun kadang kadang aku masih tidak percaya ?”
“Maka waktulah yang akan memberimu kepercayaan kembali”

Malampun mulai menyisihkan senja, rumah mungil itu kini tidak perduli lagi terhadap datangnya malam. Karena kehangatan kini mereka dapatkan kembali, setelah beberapa lama tercabik oleh derunya nafsu manusia. Rumah mungil itu kini kembali diwarnai dengan halaman tempat taman bunga bersemi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar