Evi Hermin Sukmadji
Kata Untuk Berbagi
Senin, 01 April 2013
Jumat, 30 November 2012
Kucing Anggora
Heilda terlihat asik menghabisan hari harinya seminggu ini, tak seperti biasanya dia ngeloyor pergi menjaring angin dan debu kotanya yang panas tertikam kemarau panjang. Kucing angora jantan tambun, berbulu hitam pekat, dengan warna bola mata kecoklatan, kini melipatkan sayap Heilda, sehingga dia hanya menyudut di kamar flamboyan pribadinya atau di sofa warna hijau lembut, untuk membelai jari jarinya di bulu hitam kucing kesayanganya itu. Kucing angora itupun semakin manja, di tengah pelukan cewek feminis dan gaul itu. Kucing angora itupun seakan akan tahu, bahwa cewek yang menimangnya benar benar menyayanginya, sehingga enggan baginya untuk berpisah barang sedetikpun.
Setiap Heilda berniat untuk meninggalkanya, kucing itupun mengeong manja sembari berputar putar menciumi kaki Heilda sambil sekali sekali melempar sorot matanya ke arah Heilda. Heildapun semakin gemas dan menyurutkan niatnya untuk gabung dengan sokib gaulnya yang biasa nongkrong di Russ ‘n Friend Band ’s Basecamp untuk mengasah vokalnya.
Bagi Heilda pertemuan dengan kucing angora seminggu yang lalu, adalah ibarat mendapatkan durian runtuh dari pohonya, tak terduga baginya saat hujan badai menyergap rumahnya. Heilda menemukan kucing angora hitam tambun yang mengeong kelaparan dan kedinginan di garase mobilnya, sepulang dari sekolah. Seketika itu kucing angora bakal teman barunya berhasil menyita perhatian Heilda karena lucunya. Heildapun tidak mau tahu dari mana dan milik siapa kucing lucu itu, apalagi kucing angora tak berkalung nama pemiliknya, yang jelas sekerat daging rebus yang dihangatkan olehnya berhasil membungkam celoteh kucing itu.
Rasa geli bercampur ceria, malah kini tersimpan dalam sudut jantung Heilda, karena kemanapun dia mengayunkan langkahnya, angora teman barunya terus membuntutinya. Hari itu adalah hari pertama bagi Heilda berteman dengan kucing angora di tidur siangnya. Kucing angora ikut terlelap menemani Heilda yang merajut mimpi di tengah hujan gerimis siang hari. Tanpa dia harus menelpon sokib sokibnya untuk sekedar chatting penghantar tidur siangnya, maka saat itu dia lebih baik mematikan Hpnya.
***
Uring uringan memang semua sokib lengketnya, yang saban hari nempel Heilda hanya untuk sekedar happy saja, lantaran sudah hampir satu minggu ini Hp Heilda cuma molor saja. Tidak ada sms, apalagi calling. Russ si empunya band yang belum beken yang paling penasaran dengan Heilda yang hilang kaya ditelan bumi. Maka diapun langsung memberondongkan kata kata kesalnya, saat Heilda calling dia di suatu sore.
“Mak lampir !, ke mana saja kamu, lagi bulan madu sama pacar barumu ya ?. Aduh Heilda sia sia saja aku latihan, nggak ada kamu yang ngisi vokal ! “
“Eh, Russ, sorry so much aku nggak ngikut latihan, anu...”
“Ah ! , kamu pasti bingung nyari alasan, okelah kalau kamu nggak cocok dengan group ini, piss. Aku akan nyari vokalis lainnya.. !!!”
“Ntar dulu Russ, aku belum selesai ngomong! , aku lagi fall in love dengan kucing angoraku, dia cantik sekali dan manja Russ “ nada suara Heilda merengek minta agar Russ mengerti alasanya.
“Kucing ... !!!” seru Russ penasaran..
Heilda menjadi tak mengerti harus bagaimana dia menyakinkan dan membuat Russ, cowok ganteng pujaanya mengerti betapa dia ngebet sama kucing manja itu. Apalagi sudah lama memang adik adiknya menginginkan hadirnya kucing angora atau piaraan lainnya, yang dapat dijadikan teman mereka di rumah. Karuan saja minggu minggu ini rumah mereka menjadi hangat di tengah cuaca pancaroba.Tapi mengapa pula Heilda sampai melupakan group bandnya itu, hanya karena hadirnya kucing angora hitam mulus dan tambun, yang mengerti perasaan tuanya. Apakah ini masuk akal dan dapat di sadari Russ ?. Inilah yang membuat Heilda tersudut menanggapi sikap Russ, yang tidak mau mengerti dia.
Bahkan kini giliran Russ yang sama sekali tak mau merespon calling atau sms Heilda, setelah mengalirnya sebuah sms terakhir dari Russ di tengah malam, yang isinya “ Hanya karena kucing..kamu melupakan aku dan group kita..Good Bye Heilda “. Heilda terasa ada kekuatan yang mendorong tubuhnyanya kebelakang, hingga dia terhuyung. Beruntung dia berdiri di sisi springbednya, sehingga dia tidak terjerambab ke lantai marmer.
Heilda masih belum tahu bagaimana dia harus membalas smsnya Russ, meski Heilda tahu tanpa kehadiran Russ yang biasa lembut bersikap denganya, rasanya seperti kehilangan segalanya. Dalam kebimbangan itupun, Heilda teringat usul si bungsu Angie yang menyuruhnya mengup-load kucing angora itu ke facebook Angie dan diberi nama Black Diamond, pernah pula Angie menyuruhnya merekam dengan handcam saat mereka semua bercanda mesra denga Black Diamond dan meng up-load ke You Tube. Heildapun langsung berseri wajahnya, saat dia mulai merencanakan langkah itu dan di-share-kan ke twitter, FB Russ dan You Tube, lantas dia memberitahu via sms agar Russ lebih mengerti lagi. Terlebih lebih Russ bersedia lebih mengerti lagi bahwa Heilda hidup dengan dua adik kandungnya yang semuanya wanita. Apakah Russ masih menyimpan keras hatinya, menyaksikan tiga perempuan yang ceria bermain manja dengan Black Diamond, yang belum lama hadir di tengah mereka.
***
Berkali kali Heilda, Angie dan Magie nonton tayangan You Tube saban harinya sepulang mereka dari sekolah, mereka bertiga semakin heran dengan ulah Black Diamond yang tidak seperti kucing lainnya. Tentunya kucing ini milik seseorang, tapi siapa pemiliknya ? tentu pula Black Diamond berharga mahal. Berkali kali pertanyaan itu silih berganti dilontarkan kepada masing masing saudara sekandung. Apalagi dengan pemberian nama Black Diamond yang keren itu, tentu saja banyak pemirsa You Tube yang terbius dengan ulah kucing angora milik mereka bertiga, termasuk juga Russ yang asyik menyaksikan tayangan You Tube tersebut. Terbukti dalam waktu hanya 1 minggu publik yang menyukai Black Diamond sudah mencapai hampir seribu. Russpun yakin, bahwa kucing angora itu pasti berharga mahal dan bukan milik orang sembarangan.
“Heilda, ini aku Russ !”
“Oh, Russ, kamu ganti nomor, ya ! “
“Iya, Heilda. Aku takut klo kamu nggak mau mengangkatnya ! “
“Kamu sudah tahu Black Diamond ?, gimana komen kamu ?” tanya Heilda dengan harapan agar Russ lebih mengerti tentang sikap dirinya.
“Udah Heilda !, cuma apa belum ada orang yang menelponmu ?”
“Emangnya kenapa ?” Heilda menjadi penasaran.
“Ini bukan kucing angora sembarangan, ini pasti milik seorang yang melatih kucing kesayanganya itu. Cobalah kamu saksikan mana ada kucing yang bisa seperti itu. Tentunya pemilik kucing itu akan mencari sampai kapanpun “
“Lantas apa yang harus aku lakukan bila ketemu pemilik, diamondku sayang ?”
“Ya kamu berikan saja, apabila dia bisa menunjukan bukti otentik. Kucing itukan bukan milik kamu! . Klo nggak bisa nunjukan bukti jangan kamu berikan !“
“Russ, kamu lihat kan , betapa adik adiku dan aku sungguh bahagia dengan kehadiran kucing lucu ini “. Heilda tetap tak mau mengendorkan niatnya agar Russ mengerti tentang dirinya dan tak lagi menjauh.
“Aku mengerti Heilda, memang kamu sering bersikap seperti anak kecil dan kolokan, ya udahlah. Besok aku dengan gitar saja ke rumahmu, jadi band kita tidak terganggu lagi hanya karena kucing manismu “
“Trim ya Russ”
***
Apa yang dibayangkan mereka bertiga, hari ini telah menjadi suatu realita. Saat sepasang suami istri yang tidak mereka kenal, tapi bertempat tinggal di blok sebelah mengunungi mereka di suatu sore. Mereka berdua mengaku bahwa kucing itu adalah milik mereka. Hilangnya kucing angora yang mereka beri nama Geronemo, adalah karena ada ulah pencuri yang berniat membawanya, tapi di tengah jalan Geronemo berhasil lari dari gendongan pencuri itu, yang tidak lain adalah sopirnya sendiri.
“Maaf dari mana bapak tahu bahwa kucing ini milik bapak ?’ seru Heilda.
“Dari You Tube mba Heilda sendiri, setelah kami amati, kucing Mba Heilda ternyata Geronemo “
“Maaf, pak , kalau cuma alasan itu, semua orang bisa mengakunya “ lengking Heilda merebak ke semua ruangan tamunya, karena kekesalan hatinya.
“Mba Heilda , Geronemo aku beli saat masih kecil di Jakarta di agen pembiakan kucing angora unggul. Kami membawa sertifikat dari agenya, dengan tatto identitas bernomor 36 yang ditulis di telinga kiri sebelah dalam Geronemo. Cobalah Mba Heilda cek”
Saat itu semua pipi adik adik Heilda menadi basah, karena sedih dengan perpisahan yang tidak lama lagi. Ternyata benar bahwa Black Diamond adalah Geronemo. Apalagi Geronemo terlihat agak marah bila digendong pemilik seenarnya. Karena dia lebih suka menjadi Black Diamond milik tiga saudara perempuan. Tapi tak ada yang mampu menghalangi niat pemilik Geronemo untuk membawanya pergi. Heilda hanya mampu menenangkan perasaan kdeua adiknya, karena Heilda tahu sesuatu yang berharga, apabila bukan milik kita, semuanya pun akan hilang dengan mudah. Heildapun terus memberikan senyum cerianya kepada kedua adiknya, dan terlebih lebih kepada Russ***
Sabtu, 24 November 2012
Sorot Mata Liar
Semua sorot mata yang ada di halaman rumah tua itu melotot ke arah
Dasimin yang berada di tengah kerumunan. Berpuluh pasang mata itu seakan
berniat menguliti Dasimin, yang terlihat berwajah pucat pasi dengan tubuh
gemetar, bukan hanya menghadapi garangnya sorot mata yang tajam, tetapi lengkingan
teriakan ganas tetangga-tetangganya yang silih berganti menusuk hatinya, kadang
teriakan warga sekampungnya itu jelas jelas menghinanya, menyalahkan dan
menyuruhnya secara kasar kepada dirinya untuk merobohkan pagar halamanya yang
sudah terlanjur ditembok permanen. Dasimin merasakan tubuh dan hatinya yang gerah bukan kepalang, meski
tanah dan daun daun pepohonan di sekitar rumahnya telah basah diguyur gerimis
yang turun sejak siang tadi, disertai dengan angin penghujan yang merindingkan
kulit.
Sekali sekali sorot mata Dasimin
dilemparkan pada ketua RT, yang diharapkan mampu menjadi penengah antara dia
dan tetangganya yang telah kalap, meski tak satupun tetangganya yang menjinjing
senjata tajam. Namun apa yang diharapkan Dasimin sama sekali tidak ia dapatkan,
justru pak RT sama liarnya dengan
warganya. Maka Dasiminpun hanya mampu diam seribu bahasa di atas pecahan tembok
yang berceceran di halaman rumahnya. Dasimin hanya mengharapkan semua
tetangganya tenang untuk memberi kesempatan dia bicara, tentang alasan mengapa
dia tidak mau membangun pagar tembok halaman rumahnya beberapa meter kebelakang. Sehingga menutup
jalan kampung untuk lalu lalang tetangganya.
Teriakan para tetangganya hingga
saat ini belum reda juga, meski gerimis masih terus membasahai tubuh manusia
manusia yang bergetar membara. Entah sudah berapa lama Dasimin dan istrinya
yang berdampingan, menggigil ketakutan dilingkungi
warga yang meradang itu. Tangan kanan Dasimin masih erat membawa foto copian
sertifikat tanahnya yang sah dari notaris kenalanya. Untung saja beberapa
minggu sebelum dia menambah bangunan di bagian depan rumahnya dan bangunan
pagar dari tembok permanen yang menjadi biang permasalahanya, Dasimin sudah
melengkapi dengan IMB yang diurusnya dari kelurahan setempat.
***
Dengan langkah setengah berlari
menebas kerumunan warganya yang sedang kalap itu, Pak RW kini sudah berada di
tengah mereka dan berdiri disamping suami istri Dasimin, dengan kedua tangan
terangkat Pak RW mencoba untuk menyurutkan langkah warganya yang semakin rapat
mengurung Dasimin. Kini jarak antara
Dasimin dan warga semakin dekat, beberapa diantaranya mulai leluasa menudingkan
telunjuknya tepat ke wajah Dasimin, yang sudah mulai kalap juga dengan
perlakuan mereka yang semakin kurang ajar. Menyaksikan gelagat yang kurang baik
itu, kini Pak RW mulai bertindak tegas juga dengan mereka, apalagi kala terdengar
teriakan sebagian warga yang memanaskan atmosfer malam dingin itu.
“Bunuh, anak sombong itu “.
Sebagian lain berteriak “Habisi
anak ingusan ini”.
“Cobalah bapak bapak mundur dulu,
kita bicarakan masalah ini dengan baik “ teriak Pak RW yang suaranya tenggelam
dalam kegaduhan itu.
Dasimin menjadi heran mengapa
tetangganya yang dahulu kental bergaul dengan dia dan keluarganya kini menjadi
demikian liarnya, mereka sebagian besar adalah teman main Dasimin sejak masih
di SD dahulu, mereka semua biasa bermain denganya di sawah yang mengering
karena diterkam kemarau panjang, untuk bermain layang layang. Saat musim hujan,
sehabis bersekolah mereka bersamanya sepanjang sore mencari yuyu sepanjang pematang
sawah yang basah . Sebagian dari merekapun pernah bekerja bersama sebagai
tukang bangunan di Jakarta beberapa puluh silam. Bahkan saat Dasimin menjadi
pemborong kecil-kecilan merekapun
bekerja denganya sebagai buruh harian, Dasimin tidak pernah terlambat membayar
mereka, bahkan apabila mereka sakit, Dasiminpun tidak sayang meminjamkan
uangnya.
***
“Mengapa mereka seperti ini?, Pak
RW ?” seru lantang Dasimin pada Pak RW, di tengah keputusasaan Dasimin.
“Sabarlah Dasimin, sementara ini
kamu jangan mengambil sikap dulu, biarkan aku menenangkan mereka dahulu ”
Dasimin hanya menganggukan kepala.
“Saudara saudaku, sabarlah dan
mundurlah, permasalahan ini harus diselesaikan dengan tenang, Dasiminkan
saudara kita semua. Cobalah kita ke balai RW untuk membicarakan ini semua, aku
dan Pak RT akan berusaha menyelesaikan permasalahan ini” seru Pak RW.
“Ah, percuma Pak RW , kita sudah berkali kali
membicarakan masalah ini, tapi anak bengal ini masih sombong, tidak mau
mengerti keadaan kampung kita “ tukas Susanto.
“Tapi kaliankan terlanjur
merobohkan pagar tembok Dasimin, bagaimanapun itu tindakan yang salah “
“Pak RW, tembok pagar itu jelas
jelas menutup jalan kampung ini, mengapa kita disalahkan? “ protes Harlan yang
disambut dengan tepukan meriah semua warga, pertanda mereka semua telah
terhinoptis dengan kemauan egonya.
“Sekali lagi bapak – bapak,
tindakan kita semua salah, karena Dasimin membangun tembok itu di tanahnya
sendiri yang disahkan dengan sertifikat ini “ Pak RW mengacungkan foto copian
sertifikat tanah yang masih diatas namakan orang tuanya Dasimin.
“Apakah benar, kita bisa semaunya
merobohkan bangunan yang dibangun seseorang di atas tanahnya sendiri yang
secara sah dibuktikan dengan sertifikat. Cobalah saudara semua berpikiran
dewasa” Kembali Pak RW melantangkan suaranya hingga kini mulai dapat didengar
dari warga di sebrang jalan kampung yang sempit, yang tidak ikut berkerumun
mendzolimi Dasimin, lantaran teriakan teriakan emosi warga kini mulai meluruh.
***
Kerumunan itu kini mulai surut,
namun gerimis semakinderas. Satu dua warga mulai meninggalkan ceceran batu bata
yang memenuhi sebagian halaman rumah Dasimin. Sebagian yang pulang kerumah
masing masing, masih melantunkan lisan
menggerutu, sebagian lagi hanya diam membisu,
bahkan sebagian lainnya kini mulai was was jangan jangan masalah ini
akan berbuntut panjang, lantaran mereka tahu bahwa sebenarnya Dasimin tidak
bersalah. Namun mereka yang was was tidak tahu entah angin apa yang bertiup di
hati saudara mereka semua hingga kini
mejadi liar.
“Sudahlah, bapak bapak mari ikut
aku ke Balai RW, di sana kita duduk dengan tenang, berdiskusi untuk memecahkan
masalah yang sering menghalangi kita. Kalau dulu kita mampu rembug dengan
kepala dingin, mengapa sekarang tidak ?. Sebenarnya aku dan Dasiminpun heran,
mengapa masalah ini bisa bapak bapak lakukan dengan gegabah ?, mari bapak bapak
kita ke Balai RW” ajakan Pak RW semula tidak
ada yang merespon, hanya dia dan Dasimin yang kini mengayunkan langkah
menuju Balai RW.
***
Pak RW kini duduk bersila di salah
satu sisi ruang rapat Balai RW yang beralasan karpet kumal bersanding dengan
Dasimin dan istrinya. Sementara Pak RT dan beberapa warga duduk di sisi lainya.
Wajah mereka semua kini tidak segarang senja tadi. Sebaliknya Dasimin kini
mulai berani memandangi wajah mereka satu demi satu. Sejuta rasa penasaran kini
masih terselip di hati Dasimin.
“Pak RT, apabila Dasimin mengadukan
ini semua ke aparat yang berwajib, maka Pak RT dan warga akan berurusan dengan
aparat. Tapi tentunya Dasimin tidak akan melangkah sejauh itu, ya Pak Dasimin
?”.
“Betul, Pak RW , aku tidak akan
mengadukan hal ini. Tapi saya hanya ingin tahu mengapa tembok pagar saya
dirobohkan. Padahal tembok itu masih di atas tanah peninggalan bapak yang bersertifikat
sah, lihatlah setifikat ini” suara Dasimin terdengar datar dan berat, karena
hatinya masih dihinggapi perasaan yang tidak menentu.
Memang sudah beberapa kali Pak RT
memohon Dasimin tidak membangun pagar itu tepat di batas itu, Dasimin diminta
untuk mundur beberapa meter, namun Dasimin tidak menyetujui hal itu, lantaran
mendiang bapaknya beberapa tahun silam telah menyumbangkan tanah miliknya beberapa meter untuk jalan.Maka Dasiminpun
bersikokoh untuk tidak menyurutkan batasnya, malah dia menghendaki agar Karno,
Tedjo dan Sumantri , tetangga sebrang jalan
yang gantian mengundurkan batasnya,
sehingga jalan kampung itu menjadi cukup lebar.
“Jadi begini Pak RW, awalnya memang
ada isu jalan kampung itu, bakal digunakan truk material untuk proyek
pengembang perumahan, sehingga warga yang berniat bekerja di proyek menjadi
tidak sabar melebarkan jalan itu” ucapan
Pak RT kini mulai membuka tabir kemelut yang baru saja terjadi.
“Isu dari mana, Pak RT ?” tanya Pak
RW.
“Sudah seminggu yang lalu kami
kedatangan pengembang yang melakukan survey lokasi termasuk jalan di depan
Dasimin”
“Aduh, Pak RT, kalau memang
lingkungan kita akan dikembangkan proyek perumahan, tentunya Pak Lurah mesti
memberitahu aku, tapi nyatanya hingga kemarin Pak Lurah tidak membicarakan itu.
Ah...ini hanya isu saja,kenapa bapak bapak mudah terpancing dengan isu itu.
Maafkan warga kami ya Pak Dasimin”
Dasimin hanya menganggukan
kepalanya***
Selasa, 13 November 2012
D u s t a
Kembang
Setaman
jangan kau
ulang lagi....
menimang wajah terlipat...meregangkan semua perdu berduri
aku tetap berjaga...dari debu jalang merobek rumah papan kita
kau berselingkuh dengan nanar mata indahmu..
sedangkan daun pandan masih tumbuh di halaman..
menimang wajah terlipat...meregangkan semua perdu berduri
aku tetap berjaga...dari debu jalang merobek rumah papan kita
kau berselingkuh dengan nanar mata indahmu..
sedangkan daun pandan masih tumbuh di halaman..
ceria....
aku basahi sepercik demi sepercik embun pagi
hingga batang bambu tak berderit tajam..
antara kau dan aku, biar saja menembus kebun bunga
kau berserai rambut wangimu...
memetik buah, sayur dan selaksa asa...sepi
namun hanya pagi yang tak bersyahwat dengan hatiku
kau terpelanting di sisi cakrawala
tempat singgah para dewa..bertabur kain sutra
aku dalam sepi...
hening...
tersudut...biar kupinang rembulan
SEMARANG 13 nov 12
aku basahi sepercik demi sepercik embun pagi
hingga batang bambu tak berderit tajam..
antara kau dan aku, biar saja menembus kebun bunga
kau berserai rambut wangimu...
memetik buah, sayur dan selaksa asa...sepi
namun hanya pagi yang tak bersyahwat dengan hatiku
kau terpelanting di sisi cakrawala
tempat singgah para dewa..bertabur kain sutra
aku dalam sepi...
hening...
tersudut...biar kupinang rembulan
SEMARANG 13 nov 12
Malam
Dusta
tak mungkin malam berselimgkuh dusta
bila tidak kau sertakan berkeliling ujung langit...
tak mungkin bulan terdiam bisu
bila tak kau hardik...
dengan nyanyian sumbangmu...
bila tidak kau sertakan berkeliling ujung langit...
tak mungkin bulan terdiam bisu
bila tak kau hardik...
dengan nyanyian sumbangmu...
aku disini menjadi saksi..
tentang kau yang bergincu suram
dan serapah melengking
meruntuhkan tebing kokoh...
meluruhkan kelambu kamar pengantin kita
jangan kau lempar sutra halus
yang menghangati ikatan mawar bunga
di kebun bunga milik kita berdua...
selaksa dusta menusuk jantungku
tentang kau yang bergincu suram
dan serapah melengking
meruntuhkan tebing kokoh...
meluruhkan kelambu kamar pengantin kita
jangan kau lempar sutra halus
yang menghangati ikatan mawar bunga
di kebun bunga milik kita berdua...
selaksa dusta menusuk jantungku
Semarang, 12 NOV 12
Senin, 05 November 2012
Usai Sudah Kidung Cinta
Seperti meniti tali yang
terbentang dan dipenuhi duri tajam yang
tak berujung dan harus dilalui. Sedangkan tautan kedua ujung tali itu. tak begitu kokoh bertambat dengan puncak
tebing yang menghimpit tubuh Rakian dengan kokohnya. Namun Rakian harus terus
menitinya. Entah sudah berapa kali Rakian melewatinya, entah ujung yang mana
yang sudah dijamahnya. Sementara di sebelah kanan kiri tali itu, jurang menganga siap menyantap tubuhnya. Gentarpun
harus disimpanya kuat kuat dalam lubuk hatinya. Apalagi rasa pasrah dan
tertunduk lesu, dia buang jauh jauh hingga tak tampak lagi lakon hidup yang
menyesakan dada.
Sesekali lakon hidup yang dilalui
terasa sangat menusuk jantungnya, sesekali pula timbul dalam hatinya, perasaan
pantang surut ke belakang demi Ardian dan Elly dua bocah laki laki dan
perempuan, sebagai buah hati perkawinan
dengan Russ Kania selama beberapa tahun.
Perkawinan yang sangat menjadi dambaan Rakian, sejak dia dan Russ benar benar
bertaut dalam pelukan mesra. Hingga lahirlah Ardian 4 tahun sesudah dia mulai
mengarungi bahtera sebagai suami dan
Elly 8 tahun kemudian. Tak ada sisi
gelap satupun dalam hidup yang berkelambu kemesraan dan kesetiaan yang pernah menusuk dalam dalam jantungnya di masa
lalu.
Masa masa indah mengawali kehidupan
mereka, meski dia hanya tenaga cleaning servis di perusahaan konsultan
konstruksi dan interior design yang cukup beken di kotanya. Saat itu bagi
Rakian, adalah yang hanya mampu diperbuat olehnya, yang hanya berijazah SMA. Peluh
dan sesekali kesah menjadi bagian
kesehariannya dalam hidup yang dimiliki, sedangkan bergulirnya jarum detik
terus memburunya, semakin lama detik itu menggigitnya dan semakin pula dia merasa
tersudut. Meskipun dengan jerih payahnya dia mampu membelikan Russ rumah mungil
di sudut kota, yang masih sepi dari taburan eksotis kota yang begitu liarnya.
Russ istrinya yang bergaya
selebritis muda, hanya menampakan wajah wajah gelapnya selama menempati rumah
mungil, berdinding batako dan beratap asbes. Bergaul dengan tetangga tetangga
yang dipandang Russ hanya sebagai masyarakat kelas bawahan, yang norak dan tak
berkelas. Sedangkan Russ selalu bergincu bibir mirip artis sinetron muda yang
kontraknya mencapai milyaran rupiah. Di bawah asbes yang sudah mulai rapuh dan berdebu
inilah Russ selalu menuntut Rakian demi sebuah hidup bergaya selebritis.
Rakian hanya tertunduk lesu bila
seharian Russ memberondongkan umpatan, tentang ketidakmampuan Rakian dalam
menuruti kemauan sang selebritis tinggi hati itu. Kedua anaknyapun seharian itu
pula menempel dan menggayutkan pada tubuhnya. Sama sekali rasa kasih sayang
pada kedua putranya tidak luntur sedikitpun, meski dia sering tersudut oleh impian
dan khayalan istrinya. Dengan raut muka polos dan bening mata yang indah kedua
anak anaknya tidak menghiraukan apa yang keluar dari mulut Russ ibunya,
Rakianpun sama seperti kedua anaknya yang sama sekali tidak menghiraukan
serentetan tuntutan selebritis yang bagaikan sedang tidak punya order kontrakan
lagi. Meski sorot mata pria ganteng itu tidak mampu menyembunyikan perasaan
yang bercampur, pilu, marah, sedih dan bingung.
Apalagi bila Russ melihat tetangga
yang memusari dia terus saja merehab rumah mereka, dengan gaya rumah mpdern
bergaya romawi, berdinding batu alam dan berlantai keramik. Diapun bagaikan
macan lapar yang siap melahap tubuh Rakian yang tinggi. Entah iblis mana yang
merasuk dalam aliran darah Russ Kania, sehingga dia menjadi nanar matanya, tak
sehalus dan selembut saat awal awal pernikahan mereka. Russ saat itu tidak
memperdulikan dia tinggal di rumah apapun, derita yang paling menunjamkan
hatinya, diapun lega menerimanya. Tetapi kini jauh berbeda. Kelambu pengantinya
yang dulu dia sulam dari benang sutra, yang lembut dan halus, kini telah
meluruh menjadi kelambu penuh kepengapan.
_______________
“Hanya
kita saja, yang belum merehab rumah ini, Mas. Sedangkan tetangga kita sudah
berganti tembok , berdinding genteng, pakai keramik lagi lantainya. Sedangkan
kita membeli tv plat saja model sekarang tidak mampu” pagi-pagi sekali di Hari
Minggu Russ sudah memprovokasi suaminya, yang dulu dianggapnya Sang Arjuna,
yang mampu merobohkan jantung hatinya. Sementara Rakian seperti biasanya tidak
memperdulikan ocehan wanita yang sangat dicintainya, yang memberinya dia putra
dan putri, yang ganteng dan ayu mirip ibunya.
Rakian
hanya sibuk memandikan kedua putranya dengan seloroh yang lembut, penuh belaian
kasih sayang, berlainan dengan ibunya yang melipat wajahnya bagaikan nenek
lampir dari Gunung Merapi, meski sama sekali tidak terdapat guratan ketuaan di
kulit wajahnya yang putih mulus.
Namun
betapa penasaran hati Rakian pagi itu, karena tidak seperti biasanya Russ
berdandan sangat modis, dengan make up yang belum pernah dia belikan. Memakai
stelan underok yang minim dengan kaos yang ketat. Sementara rambutnya dibiarkan
terurai hingga pundaknya. Entah dari mana Russ mendapatkan sepatu yang berhak
agak tinggi, dengan warna kulit kemerahan. Kedua anaknyapun menyampaikan protes kepada Rakian bahkan
sempat memberontak menuntut untuk ikut ibunya, yang tak tahu entah kemana tujuan perginya. Namun protes
itupun menjadi surut kebelakang, setelah kedua mata ibunya yang bundar
memberikan sorot mata garang dan menghardiknya, supaya tidak usah ikut
denganya.
“Mereka
berdua kecewa tidak kamu ajak pergi, Russ ? ”. Rakian mencoba membujuk Russ
agar di Minggu pagi ini, Russ mengajak mereka untuk jalan jalan.
“Mengapa
kau memintaku seperti itu ?” jawab Russ.
“Kamu
kan ibunya, mereka butuh kamu, Russ ?”
“Mas
Rakian, aku ada janji dengan temanku “
“Kemana
? “ seribu rasa penasaran kini bersemayam di hati Rakian
“Apa
perlumu ?” Russ mejawab dengan sebuah bentakan yang melengking.
“Aku
kan suamimu, Russ ? “
Ruang
tamu yang sederhana beralas semen yang sudah banyak mengelupas kini lengang dan membisu. Rakian hanya tertunduk wajahnya
dengan kedua bahunya yang masih digayuti kedua putranya. Seakan akan Rakian
tidak mampu barang sedikitpun untuk menghalangi kemauan istrinya. Russpun
segera berlalu tanpa say goodbye, kedua sorot mata anaknya terus mengikuti
tubuh ibunya, yang tak lama menghilang di pertigaan ujung gang mereka yang
kumuh. Rakianpun tahu apa yang akan dilakukan istrinya itu, tapi tak pernah
mencoba untuk menahanya. Sebab bagaimanapun juga itu adalah hak istrinya untuk
menentukan sikap, sebagai rasa kecewa pada dirinya yang sudah bertahun tahun
menghinggapi kalbunya.
Rakian
kini dipersimpangan jalan, dilain sisi dia rela Russ menggapai kebahagiaan yang
dia butuhkan untuk lifestyle yang dikejarnya. Tetapi di lain pihak kedua
putranya membutuhkan belaian seorang ibu. Tapi bagaimanapun juga sebuah
langkahpun harus dia beranikan, justru demi kebahagian kedua sisi yang
melingkunginya. Russ sudah meluruhkan kasih sayangnya pada kedua belahan
jiwanya, demi hanya kehidupan glamour yang dibidiknya, tanpa memperdulikan
resiko apapun. Apabila Ardian dan Elly terus menemani kehidupan ibunya, maka
mereka berduapun terus menjadi sasaran kemarahan ibunya. Namun getaran hati
yang menggelora di beranda jantung Rakian, terus saja datang pergi silih
berganti, antara Russ dan kedua bocah mungilnya.
Sementara malam telah merambat
semakin larut, deru mesin kendaraan di gang depan rumahnya kini tidak terdengar
lagi. Sesekali terdengar suara dentingan pinggan si abang bakso yang memecahkan
kesunyian malam. Larutnya malam ini adalah saat yang paling memilukan, apalagi
sering terdengar rintihan Elly memanggil ibunya demi segelas air susu hangat.
Sementara Russ entah kemana menyelinap di tengah remang malam, atau mungkin
dipelukan laki laki jalang demi selembar uang. Tapi yang jelas Rakianpun harus
rebah keperaduan di samping kedua anaknya, yang telah merenda mimpi.
__________
“Sudah
kau pikir dalam dalam Russ, untuk meninggalkanku ?. Cobalah bersabar demi
Ardian dan Elly “ pinta Rakian, yang sudah mulai lapang hatinya menerima keputusan
yang diambil Russ, suatu keputusan yang diyakini sebelumnya bakal diminta Russ.
Kegetiran hatinya telah mulai tertepiskan lantaran sedikit demi sedikit hatinya
menjadi tabah saat menerima kenyataan ini. Rakian telah cukup lama merasakan
betapa beratnya menerima makian kasar, tuntutan dan seribu sikap Russ yang
menikam ulu hatinya.
“Aku
mengambil langkah ini justru demi mereka berdua yang masih butuh biaya.
Sudahlah Mas Rakian, suatu saat akupun akan di tengah mereka kembali “. Inikah
Russ Kania ?, wanita yang dulu justru mengejarnya untuk mendapatkan bilah
cintanya, yang berjanji bersama mengayuh biduk hidup di tengah keadaan apapun.
Tapi apakah ini sebuah lakon hidup yang harus dititi oleh manusia, yang bisa
saja berubah tak tentu arah.
Berkali
kali Rakian hanya mampu menelan ludahnya sendiri, dia masih terpaku berdiri di
serambi rumah mungil, menyakisikan Russ Kania pergi berlalu dengan sebuah mobil
mewah, meski terdengar dengkur kedua anaknya yang terlelap di tengah malam, setelah beberapa
saat sebelumnya Russ Kania menciumi pipi kedua anaknya. Bagi Rakian malam ini
memang malam tak berbintang gemintang, rembulan tertutup mega hitam. Tak lama
kemudian terdengarlah adzan subuh menggema di malam pilu itu. Sedikit kesegaran
dalam hatinya kini mulai ia dapatkan.
Langganan:
Postingan (Atom)