Senin, 14 Mei 2012

Jamsostek untuk Guru


Mengusung sebuah sistim pendidikan nasional yang handal, yang mampu mengantarkan peserta didik menjadi generasi yang kompeten dan mampu memilari Indonesia menyongsong hari esok yang cerah,  memang memerlukan sebuah perjalanan panjang. Namun di lain pihak, capain Indonesia menjadi “The Tiger Nation” yang mampu berbicara di tata pergaulan internasional, adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan. Sebagai konsekuensi realisasi cita cita demi “peningkatan taraf hidup” melaui pencapaian “the young smart generation” tersebut, tentu kita bakal dihadang kendala sebuah benang kusut dengan kompleksitas yang tinggi, yang harus segera diurai dalam wujud realisasi skala prioritas yang valid, khususnya terhadap faktor strategis peningkatan mutu pendidikan.

Langkah Kementrian Disdikpora dalam meng-up grade pendidikan nasionalpun telah dimulai dengan mengintegralkan dan mengoptimalkan triangulasi faktor pendukung sistim pendidikan, yang berstrategis dalam pengentasan mutu pendidikan. Triangulasi tersebut adalah unsur pendidik, instrument kurikulum dan siswa itu sendiri. Diharapkan dengan penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP 2006) sebagai  kurikulum up to date , yang lebih memiliki spesifikasi pada aksen keleluasaan bagi  peserta didik untuk mencapai kompetensi minimal, telah menjadi tumpuan utama  .Sehingga peluang peserta didik untuk memiki kopetensi yang handal semakin signifikan. Dengan bekal kompetensi inilah  peserta didik dicetak mampu menyelesaikan sistim evaluasi nasional di akhir tahun jenjang.

Aplikasi terhadap cakupan seperti yang diharapkan oleh Disdikpora tentu saja bukan masalah yang gampang. Terutama aspek kinerja pendidik yang penjadi faktor penentu vital, baik dari segi penguasaan bahan ajar,metoda serta karakter sebagai fasilitator bahan ajar. Menyikapi problematika seperti itu, gaungpun bersambut dengan diundangkanya Undang Undang No 19 Tahun 2005 tentang  Standar Nasional  Pendidikan. Undang undang tersebut mengukuhkan bahwa  guru sebagai agen  pembelajaran  adalah guru profesional dan harus memiliki standar  akademik minimal S1 atau D IV.   Guna  merealisasikan  pembenahan Sistim Pendidikan Nasional tersebut,  Kementrian Disdikpora telah  membekali pendidik baik sekolah umum maupun madrasah untuk setiap jenjang, dengan bekal Pendidkan dan Latihan  Profesi Guru (PPLG),

Tentu saja sebuah predikat pendidik profesional  tidak serta merta dapat diraih oleh sang pendidik dengan hanya bekal lulus PLPG, meski bagi mereka telah disubsidi dengan tunjangan profesis sebesar Rp 1,5 juta rupiah/bulan oleh negara.Namun  dengan subsidi sebesar itu harapan untuk menapaki hidupyang sejahtera bagi semua ”pendidik swasta” masih jauh panggang dari api. Tentu saja dengan pola hidup yang paling sederhanapun, sang pendidik yang hidup di tengah masyarakat belum mampu membeli/kredit perumahan, menyediakan biaya kesehatan dan lain sebagainya. Apalagi untuk mempersiapkan hari tua. Dengan demikian profesional guru bakal mendapat sandungan justru dari masalah non pedagogis khususnya bagi pendidik swasta.

Sebuah kontroversipun akhirnya tidak mampu dielakan, bila sang pendidik mencari penghasilan lain di luar jam mengajar guna menghidupi keluarganya. Namun di lain pihak  figur pendidik profesional hanya bisa diraih oleh pendidik yang hanya menekuni  tugas pedagogi saja. Sebab tugas seorang pendidik yang baik akan banyak menyita waktu dalam mempersiapkan instrumen pembelajaran. Inilah yang diharapkan oleh Kementri Disdikpora. Ironisnya tututan loyalitas semacam ini  hanya bisa dilaksanakan oleh pedidik yang berstatus PNS, namun lain halnya dengan pendidik swasta yang hanya mendapat peghasilan dari yang minim.

Profesional sang pendidik tak ubahnya dengan profesional buruh pabrik,  hanya masalah obyek yang di-handling yang berbeda. Namun essensi ”positive altitude” antara keduanya tetap  sama, yang berperan sebagai pendorong utama menumbuhkembangkan  kerja dengan penuh antusias, tanggung jawab dan berdisiplin tinggi. Bahkan untuk pendidik  lebih memerankan fungsi moralitas yang timbul sebagai konsekuensi logis peran keteladanan terhadap peserta didik. Namun nasib buruh lebih di negara kita relatif lebih baik, lantaran mereka di lengkapi dengan regulasi UMR, jaksa produksi, uang lembur, gaji ke-13 dan lain sebagainya.

Bahkan untuk mendukung kesejahteraan buruh, mereka telah disertakan oleh sistim dengan Jaminan Hari Tua berdasarkan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun" 1992 tentang Jamsostek. Kita ketahui bersama bahwa jaminan hari tua merupakan hak pekerja yang ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), yang memberikan peluang bagi para buruh untuk mampu membiayai perumahan, kesehatan dan lain sebagainya. . Sehingga jamsostek yang diharapkan mampu menjadi rekan pendidik, khususnya pendidik swasta mampu menstimulir etos kerja mereka, selaras dengan peranan jamsostek  yang merupakan program publik dan memberikan perlindungan bagi tenaga kerja untuk mengatasi risiko sosial ekonomi tertentu dan penyelenggaraannya menggunakan mekanisme asuransi sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar