Mengusung sebuah sistim
pendidikan nasional yang handal, yang mampu mengantarkan peserta didik menjadi
generasi yang kompeten dan mampu memilari Indonesia menyongsong hari esok
yang cerah, memang memerlukan sebuah perjalanan
panjang. Namun di lain pihak, capain Indonesia menjadi “The Tiger
Nation” yang mampu berbicara di tata pergaulan internasional, adalah hal yang
tidak boleh ditinggalkan. Sebagai konsekuensi realisasi cita cita demi
“peningkatan taraf hidup” melaui pencapaian “the young smart generation”
tersebut, tentu kita bakal dihadang kendala sebuah benang kusut dengan
kompleksitas yang tinggi, yang harus segera diurai dalam wujud realisasi skala
prioritas yang valid, khususnya terhadap faktor strategis peningkatan mutu
pendidikan.
Langkah Kementrian Disdikpora
dalam meng-up grade pendidikan nasionalpun telah dimulai dengan
mengintegralkan dan mengoptimalkan triangulasi faktor pendukung sistim
pendidikan, yang berstrategis dalam pengentasan mutu pendidikan. Triangulasi
tersebut adalah unsur pendidik, instrument kurikulum dan siswa itu sendiri. Diharapkan
dengan penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP 2006) sebagai kurikulum up to date , yang lebih
memiliki spesifikasi pada aksen keleluasaan bagi peserta didik untuk mencapai kompetensi
minimal, telah menjadi tumpuan utama .Sehingga
peluang peserta didik untuk memiki kopetensi yang handal semakin signifikan. Dengan
bekal kompetensi inilah peserta didik dicetak
mampu menyelesaikan sistim evaluasi nasional di akhir tahun jenjang.
Aplikasi terhadap cakupan
seperti yang diharapkan oleh Disdikpora tentu saja bukan masalah yang gampang.
Terutama aspek kinerja pendidik yang penjadi faktor penentu vital, baik dari
segi penguasaan bahan ajar,metoda serta karakter sebagai fasilitator bahan
ajar. Menyikapi problematika seperti itu, gaungpun bersambut dengan
diundangkanya Undang Undang No 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan.
Undang undang tersebut mengukuhkan bahwa
guru sebagai agen
pembelajaran adalah guru
profesional dan harus memiliki standar
akademik minimal S1 atau D IV.
Guna merealisasikan pembenahan Sistim Pendidikan Nasional
tersebut, Kementrian Disdikpora
telah membekali pendidik baik sekolah
umum maupun madrasah untuk setiap jenjang, dengan bekal Pendidkan dan
Latihan Profesi Guru (PPLG),
Tentu saja sebuah predikat pendidik profesional tidak serta merta dapat diraih oleh sang
pendidik dengan hanya bekal lulus PLPG, meski bagi mereka telah disubsidi
dengan tunjangan profesis sebesar Rp 1,5 juta rupiah/bulan oleh negara.Namun dengan subsidi sebesar itu harapan untuk
menapaki hidupyang sejahtera bagi semua ”pendidik swasta” masih jauh panggang
dari api. Tentu saja dengan pola hidup yang paling sederhanapun, sang pendidik
yang hidup di tengah masyarakat belum mampu membeli/kredit perumahan, menyediakan
biaya kesehatan dan lain sebagainya. Apalagi untuk mempersiapkan hari tua.
Dengan demikian profesional guru bakal mendapat sandungan justru dari masalah
non pedagogis khususnya bagi pendidik swasta.
Sebuah kontroversipun akhirnya tidak mampu
dielakan, bila sang pendidik mencari penghasilan lain di luar jam mengajar guna
menghidupi keluarganya. Namun di lain pihak
figur pendidik profesional hanya bisa diraih oleh pendidik yang hanya
menekuni tugas pedagogi saja. Sebab
tugas seorang pendidik yang baik akan banyak menyita waktu dalam mempersiapkan
instrumen pembelajaran. Inilah yang diharapkan oleh Kementri Disdikpora. Ironisnya
tututan loyalitas semacam ini hanya bisa
dilaksanakan oleh pedidik yang berstatus PNS, namun lain halnya dengan pendidik
swasta yang hanya mendapat peghasilan dari yang minim.
Profesional sang pendidik tak ubahnya dengan
profesional buruh pabrik, hanya masalah
obyek yang di-handling yang berbeda. Namun essensi ”positive altitude”
antara keduanya tetap sama, yang
berperan sebagai pendorong utama menumbuhkembangkan kerja dengan penuh antusias, tanggung jawab
dan berdisiplin tinggi. Bahkan untuk pendidik
lebih memerankan fungsi moralitas yang timbul sebagai konsekuensi logis peran
keteladanan terhadap peserta didik. Namun nasib buruh lebih di negara kita
relatif lebih baik, lantaran mereka di lengkapi dengan regulasi UMR, jaksa
produksi, uang lembur, gaji ke-13 dan lain sebagainya.
Bahkan untuk mendukung kesejahteraan buruh,
mereka telah disertakan oleh sistim dengan Jaminan Hari Tua berdasarkan dengan Undang-Undang
(UU) Nomor 3 Tahun" 1992 tentang Jamsostek. Kita ketahui bersama bahwa jaminan
hari tua merupakan hak pekerja yang ikut serta dalam program jaminan sosial
tenaga kerja (Jamsostek), yang memberikan peluang bagi para buruh untuk mampu
membiayai perumahan, kesehatan dan lain sebagainya. . Sehingga jamsostek yang
diharapkan mampu menjadi rekan pendidik, khususnya pendidik swasta mampu menstimulir
etos kerja mereka, selaras dengan peranan jamsostek yang merupakan program publik dan memberikan
perlindungan bagi tenaga kerja untuk mengatasi risiko sosial ekonomi tertentu
dan penyelenggaraannya menggunakan mekanisme asuransi sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar