Cerpen Effi Nurtanti
Bila
manusia memang harus meniti takdir dari Yang Kuasa, itu memang kekuatan manusia
itu sendiri. Memang kadang begitu pahit yang kita rasakan, untuk sekedar
mereguk curahan kodrat. Namun memang harus bagaimana lagi, karena kita hanya
manusia biasa. Mampukan kita memberontak melawan rengkuhan langit biru,
disanalah mahkota untuk kita akan dikenakan bila kita mau bersabar meniti
kemauan Yang Kuasa.
Beberapa
kali sudah Winda menjerit menghempaskan apa yang direngkuhnya dalam hidup,
karena apa yang didapatkan selalu kegetiran yang mengganjal tenggorokan dan
dada Winda yang tidak sebera kokohnya.
Pria pujaan hatinya yang selalu member janji janji emas tiada pernah mengemas
janji dan menyodorkan padanya dengan sebilah cinta suci. Hanya sebilah sembilu
yang menusuk tiap sudut hatinya.
Winda
kini hanya winda yang telah mati hati dan jiwanya, tiada lagi asa untuk
mendapatkan lagi kehangatan dari pria manapun, mesti silih berganti pria
mencoba untuk merobohkan kedinginan yang selalu saja terbujur.
Aku
mengenalnya dengan raut mukanya yang
pucat pasi dan dada penuh rasa benci, layaknya harimau lapar yang hendak
menerjang mangsanya. Sementara matanya tajam menikam meneliti setiap pori-pori
kulitku. Hanya kadang senyum tipis dan sinis yang diharapkan mampu menerbangkan
tubuhku entah kemana. Tetapi terus saja anganku bergelut dengan
diriku sendiri untuk memberi kehangatan padanya. Meski akupun tahu sebuah
karang yang kokoh akan kuhadapi. Namun akupun memang harus terus mencobanya,
dengan segenggam harap mampu memberikan kembang warna warni pada Winda teman
sekantorku.
Rumah
mungil Winda peninggalan orang tuanya kini sunyi senyap, sementara semua anak
anaknya tertidur, karena siang ini angin kemarau begitu sejuknya. Sesejuk
hatiku yang berhasil menemui rumah Winda. Ada
segumpal ganjalan dalam dada ini bila aku menemui dia. Perempuan dengan sejuta
pesona, rambut yang terurai hingga bahu,
wajah manis dengan hidung mancung menghiasinya. Tetapi lebih menarik lagi
bagiku adalah ketegaran jiwanya yang berhasil memingit hatiku, mengosongkan
batas ruang hatiku untuk melupakan semua kenangan dulu.
“Win,
aku Prasetyo” Di tengah kesunyian rumah mungil dan sederhana itu aku coba
membangunkan Winda yang sedang terlelap di tengah dua anaknya yang masih kecil.
“Oh
kamu Mas Pras “ Suara yang bening dan datar terasa meghentikan jantungku.
Bertapa tidak suara itulah yang sanggup menghantarkan aku untuk menengok kebun
bunga warna warni di langit biru.
“Maafin
aku mengganggu tidurmu”
“Oh
enggak Mas, aku tidur sudah dari tadi kok. Ngapain Mas datang kemari, ngapain datang ke rumah hina ini, apa nggak ada acara
lain?”. Bagaikan sebilah pedang yang berkelebat menebas jantung hati ini.
Jawaban Winda dengan senyuman getirnya membuat aku harus meneduhkan hatiku
sendiri. Terasa kebencian Winda kepada semua pria yang mencoba menggapai
hatinya begitu besarnya, termasuk kepada diriku.
“Win,
kamu
marah karena aku mengganggu tidurmu. Oh ya kamu boleh tidur lagi Win
biar aku duduk di depan saja, nggak apa apa kok Win”
“Kok
kamu menyuruhku sih Mas, silakan duduk Mas. Biar aku buatin kopi”
“Kok
kamu baikan sama aku sih Win?”
“Kamu
kan teman
sekantorku, dan sudah banyak kebaikan yang kau berikan
padaku. Hanya segelas kopi saja Mas Pras, maaf aku nggak punya apa-apa”
“Emangnya
aku minta apa ?. Win rumahmu terasa sejuk, beda dengan rumah di tengah kota , gerah dan kumuh.
Apalagi masih banyak tanah kosong di kanan kiri rumahmu” Winda hanya diam
seribu bahasa, sempat aku tertegun memandang wajah yang tak pernah bosan aku
pandangi. Wajah itulah yang selalu menyertai aku dan hatiku di setiap saat.
“Ya
beginilah rumahku Mas, beda jauh dengan rumahmu. Maka aku heran mengapa repot
tepot Mas Pras datang ke sini. Kalau perlu aku, besok kan kita bisa ketemu di kantor”
“Winda
!, apa aku nggak boleh mampir ke rumahmu ?. Kamu seharusnya bahagia lho Win.
Engkau masih memiliki Reki dan Bella, itulah kebahagianmu. Sedangkan aku, meski
rumahku bagus, tetapi berisi kehampaan semenjak Santi meminta perpisahan, dan
semua anaku ikut dia. Entah sampai kini akupun tidak tahu kemana anaku tinggal”
“Ah
itulah kehidupan Mas, kehidupan yang akan aku jalani bersama kedua anaku. Aku
sangat mengharapkan mereka berdua bahagia kelak” Winda hanya mencibirkan
bibirnya dan sedikit berhias senyuman sinisnya. Meski tanpa lipstick dan make
up layaknya wanita modern. Winda masih menyisaka keayuan yang alami.
“Tapi
engkau akan tetap tersiksa Win, tanpa ayah mereka disisimu”
“Tolong
Mas Pras, jangan ungkit ungkit itu lagi”
“Aku
akan tetap memintamu untuk itu Win !. Meski sampai kapanpun. Kamu manusia yang
juga berhak bahagia di dunia ini”
“Masalah
itu urusanku to Mas !” Winda mula memerah pipinya. Pertanda sama sekali dia
tidak mau mengingat masa lalunya.
“Winda,
akupun merasakan sama seperti kamu. Bahkan kamu lebih berbahagia. Tapi cobalah
kita hadapi bersama hidup ini. Tentunya kamu sudah kenal lama aku”
“Aku
harap Mas Pras jangan melangkah seperti itu lagi, percuma Mas!. Sikap saya sama seperti yang dulu duu, tetap
tidak berubah” Suara Winda mulai terdengar
ketus hingga membangunkan kedua anaknya. Windapun segera menghampiri mereka
berdua, untuk membelai si kecil Bella, agar tidak menangis. Ternyata di balik
kehidupan Winda yang dingin, masih terselip kebahagiaan degan memberikan kasih
sayang pada anak anaknya. Beginilah harkat dari kehidupan ini, akupun rindu
dengan keteduhan jiwa seperti ini.
“Mas
Pras, tunggulah dulu, aku tak menidurkan Bella dan Reki”
“Aku
tunggu di luar saja Win. Di luar angin
kemarau mulai kencang“
Suara
dari dalam rumah kembali hening, mereka berdua di buai angin kemarau yang mulai
kencang dan sejuk. Sementara aku masih berdiri di depan rumah yang berdiri di
tengah padang di tepi kota. Tak lama Windapun menyusulku dan duduk di kursi tua
dari bambu.
“Mereka
sudah tidur, ? “
“Sudah
Mas, mereka berdua memang saya didik mandiri, sehingga tidak manja” Kini
terlihat rambut Winda yang panjang terberai di terpa angin kemarau, akupun
segera duduk di sebelahnya.
“Win
apa salahnya sih, setiap mereka bermanja kita berdua selalu disisi mereka”
“Aku
nggak bisa, maaf Mas ?”
“Mereka
butuh itu Win “
“Tapi
mereka kan tahu kalau Mas bukan bapaknya”
“Lama
lama mereka juga akan percaya”
“Mas
masih banyak wanita yang cocok mendampingimu. Apalagi Mas Pras keren dan kaya
serta punya jabatan”
“Apa
arti semua itu sih Win?”
“Tapi
bagi wanita kota kan berarti sekali Mas’
“Tapi
bukan itu yang jadi ukuran hidupku Win?”
“Maksud
Mas ?”
“Buat
apa aku kaya, kalau nggak punya siapa siapa. Apalagi tanpa kamu disisiku”
“Ah
Mas Pras berlebihan. Tolonglah Mas, aku nggak bisa Mas”
“Tapi
demi Reki dan Bella kamu perlu mencobanya Win “
“Mas
Pras kok terus merayuku, maaf Mas. Jawabanku sama seperti saat kita di kantin,
saat kita piknik ke Bali sam temen-temen kantor. Mas pun memintaku dan
jawabanku tetap sama”.
Barangkali
saja aku laki laki yang paling menderita di muka bumi, akupun tak tahu lagi.
Kalau toh Winda memang tidak bisa aku miliki, biarlah angin kemarau di tengah
padang ini yang akan menjadi saksi ,
bahwa cinta kasih antara sesama manusia memang harus berasal dari lubuk
hati yang paling dalam. Meski aku sudah lama kenal Winda sebagai teman kerjaku,
tapi toh Winda adalah tetap Winda yang hanya bayangnya saja hadir di hidupku.
Lamunanku menjadi pudar, setelah mendengar kedua Bella dan Reki yang terbangun
dari tidurnya dan kini menark tanganku mengajak bermain di tengah padang.
Hari
sudah hampir petang, mereka berduapun telah puas dan lelah main di tengah
padang. Winda segera menyuruh mereka berdua masuk rumah untuk mand.
“Win
!, aku bisa kan menjadi ayah mereka, mengapa kamu tidak bisa ?” Winda hanya
menunduka wajahnya, dan sorot matanya kini berisi suatu kesejukan di balik
bening air matanya. Akupun memberanilan diri untuk mengusap rambut Winda dan
diapun hanya memberikan senyum penuh arti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar