Cerpen Remaja Effi Nurtanti
Selalu
aku sambut mesra bila Camelia berhasrat merengkuh apa yang menurutnya indah,
yang selalu tersimpan di sudut hatinya. Apalagi bila hasratnya itu berhias
dengan senyuman mesra yang mengawali setiap perjumpaan kita. Saat itu sang bidadaripun berhenti mengepakan
sayapnya, kupu kupu di dahan bunga yang mekar pun ikut mengerlingkan mata, bila
hati ini sedang bertaut dengan telaga warna yang selalu di beranda hati. Tetapi
gambaran dalam kanvas hatiku tentang Camelia kini hanya gambaran suram, seiring
dengan tangan Camelia yang meluruh dari genggamanku.
Pagi
tiada bosannya menampakan wajahnya dengan semburat kuning sinar mentari, seakan
tahu persis hatiku yang sedang galau lantaran kenangan itu selalu saja hadir,
Camelia adalah diriku yang ada di hati diriku sendiri., layaknya fatamorgana
yang selalu membungkus bilah hati ini.
California
di bilangan negeri Paman Sam, adalah tanah terkutuk yang mampu menyeret Camelia
yang tiada berdaya, yang harus tinggal di tanah ini, lantaran harus mengikuti
papinya bertugas di bilangan itu. Hanya tatap mata sendu Camelia yang
mengucapkan selamat jalan, ataukah tangis dia yang mengucapkan selamat
berpisah, nampaknya sesuatu yang sudah melekang kuat telah mengaburkan realitas
ini semua. Camelia tak satupun mengucapkan selamat berpisah, namun akupun tiada
mungkin memburu bayangnya hingga California yang aku sendiri tak tahu kemana
arahnya.
“Apakah
ini suatu perpisahan ?” masih terngiang di sendu hatiku ketika pertemuan
terakhir di beranda rumahnya.
“Aku
tak tahu, Bra !”
“Lantas
apa aku harus menunggu ?”
“Aku
tak tahu”
“Aku
harus bagaimana ?”
“Aku
juga belum tahu !”
“Menurutmu
aku harus bagamana, Mel ?”
“Jadilah
Bharata yang selalu kuagungkan, yang selalu mampu menjadi laki-laki jantan yang
memegang teguh janjinya. Bila kau sanggup menungguku, akupun akan berusaha
pulang ke Indonesia, meski tanpa papa. Tapi bila kau menginginkan perpisahan
ini, kau harus jadi laki-laki yang bahagia dan selalu ingat padaku. Bra !,.
Inilah yang mampu aku berikan padamu,
aku nggak punya cara lain”, tutur kata Camelia hingga kini masih aku ingat
betul, lantaran tutur katanya telah
berubah menjadi molekul-molekul darah yang selalu mengalir di nadiku.
“Mel
!,aku bukan Romeo dalam adegan drama Romie dan Juli, aku dan kau bukan pemeran
adegan picisan seperti itu, tapi kita benar benar dalam realita hidup”
“Jadi
kamu memilih untuk meninggalkanku, Bra ?” kedua tangan Camelia kini telah
berada di leherku, bibir yang penuh pesona kini benar-benar berada di depan
wajahku. Semilir angin kemarau terasa lebih riuh, di tengah udara dingin yang
mulai menyengat Kota Bandung.
“Aku
tak pernah sekalipun merengkuh sebuah perpisahan, sesuai janjiku, Mel ?”
“Lantas
kita harus bagaimana, Bra ?”. Sebuah kecupan mesra dari gadis pujaanku, serasa
meruntuhkan langit yang bertemaram sinar rembulan, dan bintang-bintangpun
memilih untuk berselimut dengan gulungan awan hitam. Tidak seperti biasanya
kecuman mesra dari Camelia diiringi denga matanya yang sembab lantaran dibasahi
air mata pilu.
Aku
tertegun dalam ketidaktahuan, apakah aku harus ikut ke California, sementara
baru dua tahun aku kuliah di ITB dan tak mungkin pula aku meninggalkan bapak
ibuku yang sudah uzur. Yang kini tinggal di Semarang.
“Mel,
kalau aku harus married denganmu akupun tak keberatan, walaupun aku harus
bekerja. Dari kecil aku terbiasa membantu bapak jualan di Semarang. Inilah
jalan satu satunya”
“Bila
papa mengijinkan akupun tak masalah. Hanya saja papa memintaku kuliah di
Universitas California. Papa benar benar menginginkan aku sukses Bra, karena
aku anak pertama. Sementara sama seperti bapakmu, papi juga sudah mulai uzur.
Hanya akulah anak pertama yang diminta menggantikan bisnis ekspor-import ini.
Lalu aku harus bagaimana, Bra ?”. tangan Camelia masih saja kuat bergayut di
pundaku.
Terasa
kebimbangan yang mencekam kini menggrogoti hatinya, demikian juga aku yang tak
mampu mengurai benang cinta yang mengusut. Namun sebagai anak laki-laki yang
sudah kenyang dengan cobaan hidup, akupun akan terus berusaha tegar. Demikian juga akupun harus benar benar mampu
menguatkan hati Camelia yang mulai limbung, meski hati ini juga tak kalah dalam
kebimbangan.
“Bra
aku ingin kau malam ini jangan pulang,, duduklah disampingku sampai larut malam
“Mel,
perpisahan ini memang berat bagiku, aku tak bisa berpikir harus bagaimana, tapi
hari sudah malam. Aku harap kau dewasa, memang ini kenyataan. Bila Tuhan
memepertemukan kita lagi, kenapa nggak…kita ketemu lagi !”
“Tapi
besok pagi, kita sudah nggak ketemu lagi, Bra !. Sebuah perpisahan?, yang aku
sendiri tak tahan menghadapinya “
“Lantas, aku harus bagaimana Mel ?. Aku yakin papamu
menaruh harapan besar untukmu, demi masa depanmu. Kuatkan hatimu, Mel !. Aku
harap kabar yang kuterima darimu nantinya, adalah kabar tentang kebahagianmu “
“Kok
kamu ngomong, kaya gitu, Bra !. Kamu sudah lega dengan perpisahan ini, bagi
seorang pria perpisahan seberat apapun akan mudah dilupakan, tapi bagi wanita
sepertiku…” Camelia tidak mampu meneruskan lagi, dadanya kini berguncang,
pipinya hanya dipenuhi oleh air mata.
Sementara
daun palma yang berjejer di halaman rumah Camelia kini terpagut dalam kebisuan.
Mereka seakan hendak menyimak episode tentang hidup yang diusung dua remaja
yang mencoba menggapai masa depan dengan benih-benih cinta yang tumbuh jauh di dalam
hatinya. Suara batuk batuk kecil Om Allan, papi Camelia sekali sekali terdengar
dari dalam rumah besar dan kokoh itu.
Camelia
merasakan tubuhnya bertambah dingin lantaran terbalut dengan angin malam Bulan
Agustus yang kering dan dingin. Namun disamping pria pujaan yang kini
disampingnya, pada malam terakhir mampu menepiskan kedinginan itu.
“Bra,
aku minta tolong untuk malam ini ?”
“Tentu,
Mel untuk siapa lagi diriku ini,kalau bukan untukmu?”
“Jadi
kau tidak menghendaki perpisahan ini?”
“Aku
tak pernah berpikir untuk meninggalkanmu, Mel”
“Kamu
tentunya mau kan menungguku kembali ke Bandung?”
“Tentu,
Mel. Tapi aku tidak suka sebuah luka hati”
“Maksud
kamu gimana ?”
“Bila
aku harus menunggumu, akupun minta tidak ada satu priapun pernah menyentuhmu.
Kecuali itu pilihanmu yang terakhir,
akupun nggak keberatan asalkan aku dikasih tahu. Aku akan menunggumu dengan
penuh kejujuranku dan kejujuran kamu “
“Kamu
kok punya pikiran, klo aku berkhianat “
Bhatara
hanya diam membisu, anganya kembali ke masa lima tahun lalu ketika dia harus
menerima kenyataan berpisah dengan Andry kala masih di SMA dulu, yang mencampakan dia begitu saja. Luka itu
hingga kini masih membekas lantaran dia masih belum menemukan pembalut luka
yang menyembuhkan luka dalamnya. Pertemuan dengan Camellia memang mampu sedikit
menyembuhkan luka hatinya. Namun baru saja dia menggapai kembang warna warni
pembalut luka, sebuah penantian harus dia hadapi.
“Kenapa,
Bra”
“Ah..nggak.
Aku cuma lagi membayangkan betapa kamu nanti di amrik jatuh ke pangkuan pria
bule!”
“Ah kamu kok gitu, Bra !, aku akan menghargai
sebuah penantianmu Bra” Kembali kedua tangan Camela menggapai leher Bharata,
kedua tubuh insan yang dipagut dewa Amour itu kian mendekat membangkitkan
kehangatan pada tubuh mereka dengan dada mereka yang saling berguncang.
“Bra,
aku akan tetap setia, aku tak akan membuat hatimu terluka” desah bisik bibir
Camelia kini persis di telinga Bharata.
Bhatarapun kini merenggangkan pelukanya.
“Kalau
kamu jujur sama aku, akupun akan menantimu di Bandung”
Kedua
insan itupun tak mampu lagi melawan datangnya sang fajar. Kini rumah mewah
mirip gedung kompeni menjadi sunyi.
Dan
kini Bhatara memenuhi hari hari penantianya dengan hati berhalaman sepi.
Metamorfosis detik, menit, jam hingga hampir lima tahun terasa memberati
perjalanannya. Kini lamunanya berangsur memudar lantaran ujian skripsi
menghadangnya. Namun tiba tiba saja, hari hari penantianya berubah wujud
menjadi raksasa yang menghimpit tubuhnya,hingga terasa semua tulangnya telah
berpisah dari dagingnya. Kala sebuah surat berada di kedua tanganya dengan nama
Rista Camellia Anderson, yang kini menjadi warga negara amrik lantaran bersanding
dengan Stewart Anderson. Seorag doctor ahli dirgantara.
Sang
pria yang terpagut sepi dalam penatian itupun menjadi bertambah sunyi hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar