September hari ke 18
tahun 1948, sebuah pengumuman dari Gubernur Militer Republik Sovyet Madiun
tentang pembentukan Front Nasioanal Daerah menyelinap ke angkasa Kota
Surabaya yang terpagut sepi, lantaran disekap hujan semalam.
Namun pengumuman Gubernur
Militer Republik Sovyet Madiun tersebut, seketika menghangatkan udara kota
Surabaya. Embun yang turun di pagi hari sontak menepi, ditepis gelora juang
hati para pemuda, termasuk Letnan Sudjiwo, anggota TKR Batalyon Mayangkara 503,
di Perning Sidoarjo tepi batas kota. Surabaya yang merah membara akibat ulah
anjing NICA pada November 1945, kini kembali bangkit lagi untuk menghempaskan
“merah darah” yang hendak merenggut Bumi Madiun menjadi negara Beruang Merah.
Demikian juga Lt. Sudjiwo,
hati letnan lajang itu meradang merah membara mendengar “kaum merah” yang
menggagahi Madiun dengan sekehendak hati. Ibu pertiwi yang lagi bersolek penuh
gairah bersyahwat dengan nasionalis setiap anak bangsa, guna mempertahankan sang
kekasih dari sergapan dan tikaman bregundal dari daratan Eropa, yang telah
berabad lamanya memasung hasrat Ibu Pertiwi “pemilik archipelago yang berpantai
nyiur hijau”, telah terluka hatinya. Luka hatinyapun tersayat bertambah dalam, lantaran bercampur
dengan sebuah kerinduan semua anak bangsa akan makna sebuah kebebasan, yang
telah menjadi fitroh , harkat dan martabat setiap nafas, yang telah banyak
ditebus dengan apa saja yang mereka mampu kerjakan dan akan terus menjadi “penyulut”
pergulatan panjang di pentas prosa sebuah bangsa.
Sang letnanpun telah
tahu persis tabiat “kaum merah” yang liar tanpa nyanyian jiwa, maka Rakyat
Madiunpun bakal menjadi korban
radikalisme tanpa mengenal “kehalusan akal perasaan” demi sebuah revolusi
setan. Maka Perningpun menjadi saksi bisu akan semangat anak bangsa “asuhan
negeri ratna mutumanikam Nusantara” untuk menerjang setiap hasrat yang menodai
revolusi kemerdekaan ini. Mereka telah berkumpul di markas batalion itu untuk
menunggu perintah Panglima Divisi I Jawa Timur Kolonel Sungkono.
Belum jelas betul
jalan-jalan di Kota Surabaya akibat embun pagi yang menghalangi sang mentari. Sepanjang
perjalanan hanya terlihat rumah rumah penduduk yang masih terbujur kaku dengan
pintu yang masih tertutup rapat. Mereka betul-betul melupakan “ucapan selamat
pagi” pada wajah pagi. Namun letnan lajang itu telah melaju dengan sepeda Bathavus
menuju Ngagel guna menautkan hati dengan gadis yang selalu hadir di
hatinya.
Irma gadis Ngagel
yang dirindunya kini menghias bibirnya dengan senyum ceria, bak bunga mawar
merah bermandikan embun pagi. Irma tiada mengira “Shodancho Sudjiwo”, yang dia
kenal betul sejak jaman PETA, kini berada tepat di depannya meski hari masih
tertutup embun.
“Ada perlu penting
apa Mas !, pagi pagi sudah ke Surabaya. Ada sesuatu yang gawat rupanya ?”
“Betul, Ir !. Madiun
diterjang orang merah. Musso dn pengikutnya bikin ulah. Nasibku tinggal
menunggu telegram dari Pak Dirman. Untuk maju menyabung nyawa, sesuatu yang
sangat aku benci dalam hidupku”
“Kenapa baru sekarang,
Mas bicara masalah menyabung nyawa, Mas kan bukan anak kecil lagi. Sudah
kenyang dengan pertempuran meregang nyawa sejak jaman Heiho,
PETA dan pembentukan Djawa
Hookoo Kai. Semua anggota laskarpun menyabung nyawa dengan gagah berani“
“Aku sendiri heran, Irma .!, Mengapa begitu panjangnya
tugas-tugas negara yang selalu saja menelibatkan aku. Padahal aku berharap
semua akan berakhir . Sehingga aku bisa meniti kehidupan bersama kamu dalam satu
rumah mungil.Tapi ya suadahlah…Ir, aku hanya akan pamit saja sama kamu, untuk
menerjang Musso di Madiun”.
Irma hanya tersenyum
manis mendengar keletihan jiwa pada letnan muda itu. Namun diapun memaklumi.
Lantaran dia dan jutaan Rakyat Indonesia sudah letih pula dalam menggapai
kehidupan adil makmur sentosa di masa mendatang. Keduanya kini hanya saling
pandang, ketia roda-roda sepeda Bathavus sudah berada di depan rumah
Irma Susanti, pejuang wanita yang dijumpai pertama kali oleh letnan lajang itu
pada sebuah dapur umum.
Kolonel Sungkono tahu
persis bahwa tidak setiap Rakyat Madiun adalah pengikut Musso, maka kekuatan
pengikut Musso dan tentaranya tentunya hanya terkonsentris hanya di daerah
tertentu saja. Sejak Kolonel Sungkono diangkat
menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, 19 September 1948, dia tidak menyisakan
waktu barang satu menitpun bagi pasukannya untuk membiarkan pengikut Musso melarikan
diri. Tangan tangan mereka yang berlumuran darah harus berhadapan dengan Divisi
I TKR, yang terus menerjang maju dari arah timur Kota Madiun. Sementara dari
atah barat mereka harus berhadapan dengan TKR Divisi II pimpinan Kolonel Gatot
Soebroto. Mereka tak kenal lelah maju melumat beruang merah yang kini tinggal
terkonsentris di kota Madiun.
Bau mesiu dan asap
meriam membahana di semua tempat di Kota Madiun yang meradang pilu. Setiap langkah
maju dari pasukan TKR selalu dihadang dengan pekikan semangat menggelora dari
pengikut Musso yang tiada kenal takut, mereka bagaikan mayat yang memanggul
senjata. Namun bagi anggota TKR, sikap berani mati mereka tidak sempat menggoyahkan
anggota TKR, barang sehelai ambutpun yang terus merangsek maju, menerjang
peghalang apapun. Sehingga pertempuran frontal terakhir di tengah Kota Madiun
tak terhindarkan.
Hari hari terakhir
pertempuran hebat dirasakan oleh Letnan Sudjiwo sebagai hari yang panjang. Lantaran
sudah 2 minggu dia bersama anggota TKR lainya menyabung nyawa melawn pengikuit
Musso yang sudah tercuci otaknya. Mereka bertempur bagaikan melawan barisan
“benteng ketaton”. Namun satu demi satu banteng-banteng merah tersebut berhasil
digulung. Hingga hari ini, Hari yang ke – 30 Bulan September mereka telah
berada di depan Hotel Merdeka tepat di tengah kota Madiun tempat markas para
petinggi pemberontak , meski berjarak beberapa ratus meter.
“Letnan…Letnan
Sujiwo”
“Ada apa kopral”
“Aku kurir dan
diperintah Kapten menghadapmu”
“Jelaskan apa
perintah Kapten Djarot”
“Peleton anda
ditugasi membungkam beberapa water canon yang ada di mulut gerbang Hotel
Merdeka”
“Tapi itu tak mungkin
?”
“Saya hanya
menyampaikan pesan, Letnan !”
“Baik akan aku
jalankan, sampaikan pada Kapten aku akan bertempur semampuku “
Letnan Sujiwo mantan Sodancho
gemblengan serdadu Dai Nippon tidak merasakan gentar barang sedikitpun
menghadapi water cannon PKI yang terus menyalak. Rasa marah membara kini
menghinggapi bilik jantungnya, ketika melihat beberapa anak buahnya lunglai
ditebas peluru senapan mesin tersebut.
“Sersan Santo!, kumpulkan granat yang masih kita miliki ?”
“Siap letnan. Tapi
untuk apa ?”
“Aku akan bungkam
meriam itu sendirian”
“Lebih
baik anak-anak saja, Letnan !”
“Tentu saja mereka
aku libatkan, tapi mereka harus dibelangku, akan aku hujani dengan granat.
Setelah aku beri aba-aba majulah serentak semua anggota peleton “
“Baik, Let, laksanakan
!”
Sudjiwo kini
merangkak harimau di atas padang alang-alang menuju water canon di depan
gerbang hotel itu. Kini resiko apapun tidak berhasil mengusik hatinya untuk
melangkah surut. Hanya Irma saja yang sempat melintas di atinya, maka diapun mengacungkan tanganya untuk meminta Sersan
Susanto maju mengambil posisi di sampingnya.
“Sersan, maukah kamu
menolongku !”
“Tentu saja, Letnan
!”
“Kamu kenal Irma kan
?”
Sersan Susanto hanya
diam seribu bahasa setelah mendengar pertanyaan aneh dari komandan peletonnya
itu.
“He.. Sersan, kamu
kenal Irma kan ?. Gadis Ngagel ?”
“Kan aku pernah
diajak letnan ke rumahnya. Ada apa dengan Irma, letnan ?”
Di tengah desingan
peluru berbagai ukuran Letnan Sudjiwo menarik nafas panjang, tak lama kemudian
dia mengeluarkan kalung emas dengan bandul berlian yang disodorkan pada sersan
di sampingnya.
“Berikan ini pada
Irma, tolong Sersan”
“Sebentar lagi kita
pulang ke Surabaya, kan letnan bisa berikan sendiri pada Irma”
‘Kali
ini aku benar-benar minta tolong, kembalilah ke posisi semula.Bersiaplah
menunggu aba-abaku. Aku yakin kita akan menang, selamat bertugas Sersan.Merdeka
!”
“Merdeka,
jaga dirimu baik baik Letnan, aku harap kita akan bertemu lagi di kesatuan”
Letnan Sudjiwo hanya
tersenyum tipis, kemudian mempercepat gerakmerayapnya hingga semakin dekat
jarak dia dengan water cannon. Setelah
tinggal beberapa puluh meter
jarak dia dengan water cannon, dia lantas melengking memberi aba-aba
gerakan maju sambil melempar beberapa granat aktif di tangan kanan dan kirinya.
Berkali kali
terdengar ledakan dasyat di
sekitar senapan mesin itu. Sehingga hacur kini senapan mesin itu bersama dengan
penembaknya.
Tubuh letnan itu kini
terpelanting membasahi bumi dengan darah pahlawannya,lantaran beberapa peluru
12, 7 telah menyobek dadanya. Seluruh anggota peletonya kini merangsek maju
merebut gerbang itu, sementara anggota lainnya berhasil maju hingga ruang lobi.
Tak beberapa lama Hotel Merdeka berada sepenuhnya dikuasai Batalyon Mayangkara
503. Kini tubuh Shodancho Sudjiwo yang terbujur kaku berada di pelukan
peleton C bersama linangan air mata anak buahnya. Irmapun melepas kepergian
letnan pujaanya itu dengan hati tabah,
pada upacara pemakaman pahlawan kusuma bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar