Cerpen Remaja Effi Nurtanti
Melati menjadi
enggan berbuat sesuatu, jiwa dan kalbunya dikungkung kenyataan yang ada. Dia
kini hanya berpegang pada rasa pasrah yang tinggal di sudut hatinya. Tubuhnya
yang tadinya simpal kini hanya tinggal tulang yang dibungkus kulit, Pandangan
matanya padam mendingin, tidak sebinar beberapa lama silam. Kadang diapun hanya
berteman dengan ketidaktahuan, sementara kekelautan jiwa yang mendera tiada
pernah ditambatkan pada siapapun.
Bunga yang
tadinya mekar bersama dengan keceriaan hatinya, kini tiada pernah menyambut
pagi lagi. Padahal dia adalah kembang
ranum yang menyerbak harum wangi dan tiada satupun pria yang enggan dekat
dengannya. Sesekali dia mencoba untuk membangun hatinya agar seperti dahulu
menghadapi dunia yang kini asing baginya. Namun itu hanya sesaat, karena
sesuatu yang ingin digapainya kini entah terselip di belahan bumi mana.
Akhirnya kini dia terkungkung dalam ketidaktahuan lagi.
Masa-masa bahagia
mungkinkah bisa erat dengan aku lagi, demikian bisik hatinya yang beribu kali
datang dan pergi. Kala dia termenung di tengah malam menunggu pengharapan esok
hari. Dia ingat betul betapa dulu papinya menjadi direktur perusahaan miliknya
sendiri. Begitu bergelimpangan dunia mewarnai keluarganya kala itu. Namun
semuanya hilang bagai ditelan bumi, semenjak papinya memiliki sekretaris yang
cantik, Tante Else namanya. Hingga membuat papinya lupa segala-galanya, Setelah
puas menghamburkan uang papinya, Tante Elsepun pergi entah kemana. Tinggalah
penyesalan yang menghinggapi perasaan Harsoyo, hingga dia sakit.
Ironisnya lagi,
Harsoyo meregang nyawa dengan sakit komplikasi yang parah disaat semua harta
kekayaannya disita bank. Kini dia terbujur di kamar tidur rumah kontrakan di
sudut kota
Pintu bambu
kamarnya berderit, tak lama terlihatlah
wajah seorang wanita separuh baya dengan wajah lusuh namun masih menyisakan
senyum yang tipis duduk di samping Melati, yang masih terpaku diam. Wanita itu
tak lain adalah Haryati, ibunya Melati. Lama dia memandangi wajah anak
sulungnya, sambil sebentar sebentar melepaskan nafas panjang, pertanda kekalutan
hatinya telah melekat di hatinya.
“Sudahlah Melati, kamu tak usah
memikirkan orang tuamu, cukup mami saja. Kau kan masih sekolah? ”.
“Aku tidak bisa seperti itu Mam, aku
ingin keluar sekolah, aku ingin bekerja sebisaku untuk biaya adik adiku dan
juga mama”
“Kamu mau kerja apa ?, Yang
berijazah sarjana saja tak laku kerja”
“Entahlah, Mam !. Sudah beberapa hari
ini kita makan seadanya, lagi pula aku masih punya tiga adik yang butuh uang sekolah, sedangkan papa sudah tidak kontrol ke dokter
lagi”
“Melati, itu semua tanggung jawab
Mama, apapun yang terjadi di keluarga ini, mamalah yang harus tanggung jawab.
Kamu jangan berpikir terlalu keras, anaku !”
“Aku kasihan mama, biar Melati
keluar sekolah saja mam !. Melati bisa kok mam cari biaya untuk membantu
keluarga kita”
“Aku tidak ingin anaku putus
sekolah, demi masa depanmu, jangan kau lakukan itu Melati?. Biar mama saja yang
cari biaya. Aku Cuma titip papamu, rawat dia bailk baik Melati ?”
“Mama mau ke mana ?”
“Mama mau ke Jakarta , semoga bisa menemui pamanmu. Mama
mau nyari pinjaman ! “
“Kalau nggak dapat pinjaman, Mam ?”
“Itu masalah nanti, yang penting
rawatlah papamu dan adik adikmu, untuk beberapa hari “
Melati hanya
mampu menganggukan kepalanya, dia kini hanya mampu menahan napas. Rasa khawatir
masih terselip di hatinya, jangan
–jangan itu hanya alasan mamanya saja. Melatipun tahu bahwa mamanya adalah
wanita yang meski telah berumur hampir separo baya, namun masih kelihatan cantik. Kulitnya kuning,
tubuhnya masih kelihatan seksi.
Melati ingat
betul, kala papinya jatuh dipelukan Tante Else, maminyapun melampiaskan nafsu
durjananya dengan sejumlah om kolega papinya. Maminya hanya seperti pilala
bergilir yang tiap malam jatuh dipelukan teman teman papinya, namun papinyapun
sama sekali tidak bereaksi, bahkan semakin hangat membelai Tante Eise.
Semua memang
telah berlalu, baik mama dan papinya telah menyadari akan nafsu gilanya yang
selama ini mereka lampiaskan, Mereka tidak sadar bahwa anak anak mereka telah beranjak dewasa, apalagi Melati
putra sulung mereka telah menginjak usia
dewasa, Melati kini bagaikan artis sinetron atau foto model yang gaul, modis
dan memiliki paras yang selangit. Langit cerah mulai tampak di atap rumah
keluarga Harsoyo, namun hanya sesaat karena angin kembara telah membawa mendung
hitam menyelimuti hati mereka semua. Apalagi kini kehadiran mama mereka telah sekian lama hanya meninggalkan
bayang-bayang semu.
Melati tiada
bergeming barang sedikitpun dari buruk sangka terhadap mamanya, diapun kini
hanya meronta dengan hatinya yang paling dalam, untuk menyelamatkan papanya
yang berjuang melawan maut. Pendirianya tetap kukuh agar dia da papanya serta
adik adiknya dilingkungi kebahagian
seperti dulu lagi. Bukankah Om Aleksander mampu membantu mengurai benang kusut
ini semua, hanya dengan menyodorkan sebilah cinta kepadanya, meski separo
hatinya yang bening tetap milik Indra. Namun Indra tetap Indra baginya, meski
saat ini sama sekali tidak mampu memberi secercah harapan untuk mengatasi
kekalutan hatinya.
Malam bertambah
dingin, semakin panjang rasanya penantian Melati untuk kedatangan Om
Aleksander, papanya masih meregang menahan sakit, semua adik-adiknya kinipun
terlelap. Kepergian mamanyapun sudah dua
minggu berlalu, Kini Melati hanya bertumpu pada ketidak tahuan, semoga saja Om
Aleksander mau datang malam ini, meskipun entah apa yang akan terjadi.
Deru mobil sayup
terdengar dari arah yang cukup jauh, kini jelaslah bahwa mobil itu adalah milik
Om Aleksander setelah nyampe di pekarangan rumahnya. Melati tertatih keluar
agar tidak membangunkan adik adiknya yang tertidur menahan lapar. Malam kini
menjadi milik mereka, hanya dengus nafas berat dan panjang serta keringat
mereka berdua menjadi saksi terpagutnya hasrat mereka di kedinginan malam
Kaliurang.
Pagi itu Melati
terlambat bangun, rasa kantuk dan pegal seluruh tubuhnya masih saja belum mau
pergi, sayup dia terdengar mamanya menggerutu dengan suara yang hampir memenuhi
isi rumah yang tidak lagi mengguratkan kedamaian hati masing-masing. Kini sorot
mata tajam mamanya diarahkan padanya, dan terdengarlah lengkingan ucapanya yang
memecahkan keheningan pagi itu,
“Dari mana saja kau !, wanita jalang
!”
“Mama dari mana ?, mama juga wanita
jalang”
“Anak tidak tahu diri !. Mama pergi
ke Jakarta ,
cari pinjaman untuk biaya papamu dan sekolah kamu !”
“Tidak mungkin, mama jangan bohong !.
Paman malah nyari mama, kemarin dia sms. Mama bohong kan ?”.
“Untuk apa mama bohong, mama mampir
dulu ke teman mama juga untuk nyari pinjaman”
“Mampir ke Om Yayan kan !, pacar mama dulu ?.
Sudahlah mama jangan bohong. Aku jadi wanita jalang juga karena mama seperti
itu, yang tidak tahu malu. Kasihan papa mam!” teriakan Melati membumbung tinggi
dan membangunkan semua adik-adiknya yang kini hanya bisa saling melempar
pandang.
Melati kini bertambah meradang, dari
benak hatinya timbul keinginan untuk menerkam wanita yang berdiri di depanya,
setelah kedua pipinya terasa panas. Beberapa kali tangan mamanya mendarat di
kedua pipinya. Diapun menjerit mengungkapkan kata hatinya yang dipenuhi bara
api.
“Ayo bunuh aku mam, bunuh aku, agar
mama puas. Aku memang wanita jalang, karena mamaku juga jalang! “
“Sudah, diam kau anak durhaka !”
“Meeelatiii. . .
Maaamaaa…kemarilaaaah”. Suara kedua perempuan itu menjadi terbungkam, setelah
terdengar rintihan dan tangisan Harsoyo yang sudah tak berdaya lagi, tergolek
lemah di pembaringan. Sontak keduanya berlarian menuju kamar sebelah dalam. Mereka
segera menubruk laki laki setengah baya yang
terlihat pucat pasi.
“Peluklah aku, anaku dan mama. . .
jangan kau lakukan lagi…sudah yaa, papa ngggak kuat lagi…selamat tinggal”.
Suara Harsoyo melemah kemudian hilang terselp entah di mana, diikuti dengus
nafas yang terhenti. Tubuh Harsoyopun menjadi terbujur kaku dan mendingin******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar