mengapa kita tak sederas air kali
yang sigap mengucuri sawah ladang
dengan air
obat dahaga nafas yang hanya sampai
leher
pada mentimun dan dan lobak yang
kembali
menggapai angin, dari lekukan
bukit-bukit
sepanjang cakrawala.
mengapa kita tak segesit pipit di
dahan cemara
kala pagi, siang dan sore selalu
saja menggambar prosa
tentang ketidakraguan, mengepakan
sayap mencuri ceria
dari padang luas tempat “sang
dajjal” mengumbar kesumat
di seputar atmosfer berdebu nanar
dan buruk sangka
mengapa kita tak bertanam semerbak
wewangi
aroma kemanusiaan,
padahal putting beliung telah
merapatkan kaki
berbaris sepanjang “Negeri
Archipelago”, berpagar
ratna mutumanikam, kita hanya mampu
menguntai
nada parau, ditikam burung hantu
yang mengepalkan tangan
“sang dajjal” telah menderapkan
langkah , menebarkan
debu musim kemarau yang pengap dan
anyir.
mengapa kita tak setegap petani
desa
yang sahaja dari pacuan kuda binal
menerjang sisi hati setiap yang
berbaju petinggi
bergigi pongah dan bibirnya yang
sumbing
terus melengkingkan atmosfer hitam
dan kotor
di istana berajut lengan lengan
lemah sepanjang dindingnya
mengapa kita tak pandai
berbasuh air sejuk dari Puncak
Semeru atau
menghangatkan badan ari bara api
sepanjang
bumi Papua, yang tak mampu
membendung
air matanya.
selalu mestinya kita bertanga
pada langit dan bumi
(Semarang, 17 Maret 2012)
rahwana dan ketua partai
rahwana menyisir lereng Himalaya
bara api di lidahnya
melekangkan ilalang
belukar tersenyum hambar
mahkota di istana Himalaya
bersigap
rahwana tajam mengerling
di hunian katulistiwa
riuh perhelatan ketua partai
menyambut dengan
dentuman seribu meriam
rahwana menajamkan taring
agar ketua partai tetap dalam
seloroh
belukarpun terhempas
hingga kaki cakrawala
(Semarang, 17 Maret 2012)
pawai artis
mereka di etalase, berbatas kaca
negeri kahyangan
kita hanya setelan baju singkong.
mereka berbaju daun pandan pengap
menjerat leher tempat merapatkan
cangkul
etalase semakin glamour dengan
ornament duka pilu
kita masih membasuh air negeri
untuk
kebon bunga di halaman
untuk menjemput pagi penuh ceria
(Effi Nurtanti Semarang, 17 Maret 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar