Cerpen Remaja Effi Nurtanti
Aku sudah katakan semuanya pada Arini. Tentang semua kesulitanku, untuk menggapai masa depan bersama, namun sia-sia. Hingga akhirnya datanglah surat yang berwarna biru sendu, di akhir desember tahun ini. Aku baca berkali-kali hingga larut malam. Inikah semua yang dia pinta, akupun belum sepenuhnya menerimanya, bukankah hidup itu tidak semudah membalik tangan ?.
Aku sudah katakan semuanya pada Arini. Tentang semua kesulitanku, untuk menggapai masa depan bersama, namun sia-sia. Hingga akhirnya datanglah surat yang berwarna biru sendu, di akhir desember tahun ini. Aku baca berkali-kali hingga larut malam. Inikah semua yang dia pinta, akupun belum sepenuhnya menerimanya, bukankah hidup itu tidak semudah membalik tangan ?.
Barangkali mungkin ini belum terlambat, akupun
berusaha menemuinya lagi. Maka pada suatu senja, Arini telah berada di depanku.
”Aku belum tahu tentang arti suratmu itu,, Rin
? “.
Tanyaku, moga dia masih mau mendengarku..
“Udah, aku pikir – pikir matang-matang, Yan “
jawabnya dengan sorot mata ke arahku dan terlihat bintik air mata di matanya. Betapa aku tidak
mampu melupakan wajah yang manis, dengan wajah yang bulat, rambut yang panjang hingga terurai sebatas
pnggang. Namun dibalik keindahan
wajahnya, tersembunyi hati yang keras
sekeras batu karang di lautan.
“Mengapa,
apakah ini sebuah kesalahan. Aku sudah coba semampuku untuk lebih
mengertimu. Aku manusia biasa lho
Rin, apalah artinya Septian ? “ . Aku
mencoba lebih dalam lagi untuk menjelaskan maksud perpisahan ini. Namun Arini
hanya diam seribu bahasa, Tawa candanya tak lagi menerangi ruang hatiku., Namun sengaja dia kubur bersama dengan
ketidaktahuanku.
“Ayo dong Rin, beri aku penjelasan ! “. Sekali lagi aku coba, mungkin
ini kata-kataku yang terakhir kali.
”Apa kamu bener –bener mencintai aku, Yan ? ”.
”Mengapa
itu kamu tanyakan sekarang ?. Apa nggak cukup waktu 4 tahun aku
disampingmu ?”
”Aku minta tolong , Yan !. Bila ini sebuah cinta,
jauhi aku Yan, Pergilah kamu sejauh
mungkin dan jangan temui aku lagi. Ini permintaanku terakhir ” .
Tak terdengar lagi suara Arini bersamaan dengan dirinya yang meninggalkan aku begitu saja di
ruang tamu. Kini hanyalah tinggal aku
yang hanya bisa memandangi lantai ruang tamu yang berwarna hijau lumut.
Hanya sebuah kata pamit yang sempat aku lontarkan kepada Mama dan Papanya Arini, setelah itu
akupun melangkah pergi, sempat mungkin
yang terakhir kali aku pandangi rumah Arini.
Masih terlihat Mama dan Papa Arini di beranda rumah dengan pandangan
kosong, seakan ikut menyesal dengan sikap Arini. Saat itu juga degup jantung ini menjadi bertambah binal memburu hati yang kosong tak
berisi bunga-bunga warna warni yang biasa aku berikan kepada Arini.
Seperti juga manusia lainnya yang belum mampu
menundukan kehidupan ini, akupun
bergelut dengan peluh demi sebuah kehidupan.
Panas dan hujan tiada berbeda untuk kulit tubuh yang terlanjur legam.
Inikah kehidupan yang dapat membahagiakan Arini ? . Kadang dalam hatikupun lebih memilih perpisahan ini
demi kebahagiaan Arini.
Sebuah percobaan dari yang Maha Kuasa mungkin itulah yang harus aku
terima. Kadang kita merasa bahwa percobaan hidup adalah suatu kekejaman, namun
dibalik itu semua tersimpan hikmah yang
begitu agung, hanya kita saja yang belum mengetahui sesuatu yang serba misteri
ini.Sang waktulah yang setia mendampingiku dalam peluh dan kekerasan hidup ini,
hingga hari berganti bulan dan datanglah
waktu hampir satu tahun . Sudut hatku telah kosong .tiada lagi bunga yang aku tanam untuk Arini. Hingga datanglah surat dari Arini tentang
sebuah kata maaf yang dia tulis dari
rumah sakit.
Ini bukan
cinta lagi yang akan aku berikan kepada Arini, bila toh dia membutuhkan
aku lagi, karena hatiku telah mengeras. Yang ada dihatiku kini hanyalah Arini sahabat yang aku kenal dari pertama
kali masuk SMA. Kini dia terbaring
lunglai diranjang rumah sakit, dengan kerut wajah yang tidak seperti dulu lagi.
Sorot matanya yang dulu selalu menyodorkan taman bunga warna warni, kini
hanyalah tatapan kosong untuk menerima
kenyataan ini.
Sebuah kanker ganas telah menyerang lambungnya
dan menjalar hingga organ lainnya. Telah berkali-kali di operasi. Menurut
keterangan dokter dia bisa sembuh kalau menjalani operasi yang terakhir kali,
namun operasi ini sangatlah membutuhkan ketegaran lahir dan
batinnya. Oleh karena itu, opeasi kali ini menyangkut hidup dan matinya Arini.
” Yan, kau lihat sendiri inilah aku, Arini ” . Mata yang kosong itu kini hanya berisi air mata.
”Kamu tetap Arini, meskipun apapun yang terjadi ”. Hati yang tadinya
mengeras melebihi batu karang, kini luluh lantak tak berdaya menghadapi tragedi yang hinggap di hidup
Arini
”Maafin aku ya Yan, tentang perpisahan kemarin ”.
Tangis itu tambah berderai memenuhi seluruh ruang rawat inapnya Arini.
Seraya lebih mendekatkan lagi wajah ini, aku bisikan kata yang mungkin bisa
membesarkan hatinya.
”Aku tidak pernah merasakan perpisahan
denganmu, kau tetap Ariniku ”
” Benar, Yan ”
” Sungguh ”
” Sungguh, aku tetap dalam penantian selama ini ”
” Tapi keadaanku begini, Yan ”
”Tapi, kau tetap Arini ”
” Ah...Betapa kejamnya aku, telah meminta
perpisahan ini, Yan. Aku salah menilai Mas Daniel yang kala itu
menjanjikan kehidupan bahagia, namun disaat seperti ini dia telah meninggalkan
aku. Maafin aku , ya.... Yan ! ”
” Arini ! ,
selama kita masih disebut manusia,
kita tentunya masih bisa berbuat
salah ”
”Doain aku ya Yan, Nanti sore aku operasi. Yan !,
aku minta kau menungguiku ”
” Tentu Rin, sekarang beristirahatlah ”
Waktu menunjukan tepat jam 5 sore, tim dokter
sudah berada di ruangan operasi untuk menyiapkan operasi besar.
Sepanjang perjalanan menuju kamar operasi
tangan Arini tidak lepas dari genggamanku. Sebuah doa aku panjatjan
kepada Tuhan yang Kuasa , agar aku tidak lagi kehilangan sebilah cinta untuk yang kedua kali.
”Yan,
jangan tinggalkan aku ? ” Sebuah
pesan terahir dari Arni ketika menghadapi hidup dan mati.
” Tentu, Rin, aku akan tetap menunggumu. Percayalah, kita akan bersama lagi ”.
Aku hanya berjalan mondar-mandir untuk menutup
rasa gelisahku hingga dua jam sudah operasi berlangsung. Aku terperanjat kaget ketika tim dokter telah
meninggalkan ruangan pertanda bahwa
operasi berlangsung. Seketka itu juga
aku mengejar mereka untuk menanyakan Arini.
Dengan senyum
yang terurai lepas. Tim dokter mengabarkan Arini bisa diselamatkan hanya
menunggu pemulihan saja. Selama hampir satu tahun langit yang bergulung awan kelabu, kini berganti
warna dengan awan jingga. Arini engkau akan bersama ku lagi. Oh Tuhan
tewrimakasih Engkau telam mengembalikan cintaku lagi di saat jalan panjang
hidupku hampir tak berujung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar