Baju Keramat kini
duduk di singasana emas, dikelilingi dayang-dayang ayu yang hilir mudik membawa
berbagai macam hidangan para raja dari berbagai penjuru dunia, sebagian lagi
melambaikan “bulu sayap sang jatayu” yang kini rela menanggalkan sayapnya dan
gugur ke bumi demi sang raja diraja penguasa tunggal. Sementara dayang lainnya
sibuk berhamburan membawa nampan-nampan berisi aneka “buah surga dan anggur
warna-warni” demi memuaskan para tamu, yang tiada sedikitpun dari mereka boleh
berperasaan kecewa. Selama tujuh hari tujuh malam gamelan kraton telah
berdengung membahana hingga tiap penjuru negeri awan. Para
menteri, gubernur, bupati,lurah hingga senopati agung duduk bersimpuh tiada
dari mereka sedikitpun berani menengadahkan wajahnya.
Setiap sosok
yang mengenakan baju keramat itu, anginpun akan takut menerpanya. Apalagi sosok
sosok yang nasibnya bagai batang padi,
yang hanya bergoyang menurut arah angin. Sama sekali tiada pernah ada dalam
sejarah bisa mendekaitnya. Setiap langkah kaki bagi siapa saja yang menggunakan baju keramat itu, jadilah dia sosok yang tampil seperti raksasa yang bermata
satu, dengan tangan kanan memegang bilah pedang yang tajam, sedangkan tangan
kirinya memegang catatan sejarah lengkap dengan tintanya, untuk ditorehkan
siapa siapa bakal menjadi “anak jaman”,
di negara seribu dongeng.
Dengan tawa yang
berderai memecut udara siang hari bolong, menggetarkan alam dan
menggugurkan bunga nusa indah yang banyak tumbuh di pekarangan gembel dan
jelata “Si Baju keramat” tidak segan segan menggagahi dan melipat semua hasrat
yang tumbuh di beranda hati tiap ilalang di seantero atas angin ini, yang
hendak mengusung protes.. Namun derai
tawanya makin lama mampu berubah menjadi kilatan api, hingga terbakarlah hutan
hutan di pelosok negeri itu. Hingga
mengeringlah beberapa batang pohon melati sampai akarnya. Namun aroma
bau kembangnya tiada pernah hangus, meski sebuah mata yang tajam dari baju
keramat ingin menebasnya.
Baju keramat
bersulam benang warna warni, namun lantaran kencangnya angin “pengukir awan di
langit lepas”, baju keramat itu berajut benang “nafas anak jaman” yang meregang
dan mengencangkan roda revolusi di
negeri “antara ada dan tiada”. Di tengah haru birunya sebuah tatanan itu selalu
saja si baju keramat memasang wajah garang, sehingga ombak laut selatanpun
tidak mampu lagi menandinginya, karena lidah ombak yang terjulur keluar di
tebas dengan pedang yang telah merah membara. Sekali hardikan saja semua mejadi
terkulai, dengan sorot mata yang masih menyimpan dendam pada si baju keramat
yang kini bertolak pinggang.
Kehidupan “titah
sawantah” laksana debu yang melekat di pinggir roda sang pedati, pasti akan
terbawa pada perguliran atas dan bawah. Demikian juga sang baju keramat yang
sudah mendekati lembar akhir catatan langit. Ketika sebuah bayang “Brutus “
hitam, bertampang murah senyum tapi bertaring tajam, telah menodai sejarahnya,
dengan melentingkan “daging dan tulang” di balik baju keramat ke dinding waktu.
“Enyahlah kau
hai tulang dan daging, cukup lama engkau bersemayam di dalamnya, tahukah kau,
insan yang tak bertelinga dan tak berhati nutani. Baju ini telah cukup pengap
untukmu. Maka tinggalkan, atau gelora laut selatan akan menghempasmu. Tahukah
kau, bahwa buihnya telah sampai pada
beranda rumahmu!” tukas bayangan hitam Brutus yang menjadi nakal.
“Akulah penguasa
negeri ini,awanpun duduk bersimpuh di bawah kakiku. Tidak ada yang bakal mampu
menandingi ketajaman pedangku. Jangankan kamu, hai jubah hitam. Puncak mount
everst-pun bertekuk lutut padaku”
“Mengapa tidak
kau libatkan puncak mount everest dan ketajaman pedangmu, untuk mengeringkan
padang ilalang yang telah hangus, pada senopati-senopatimu yang gendut perutnya
atau pada serdadumu yang bertampang garang”
Sang baju
keramat tidak lagi mampu bersua, ketika pangkat-pangkat yang ada di pundaknya
tiba-tiba saja jatuh dengan sendirinya, bintang gemerlap yang ada di dadanya menjadi
meredup, lengan dan tangan yang mengepal menjadi bergetaran. Lantas dari
bilikjantungnya timbul kenangan pula, tentang baju keramat sebelum dia lahir,
yang menjadi riuh rendah dipagut jalanya revolusi yang diusung sendiri. Buka
revolusi yang berada di buritan perahu perjalanan negara antah berantah. Sang
baju keramatpun lunglai, sepi dan tiada warna di bawa angina kelana.
Hanya sebuah
baju yang turun dari langit yang disodorkan pada cakrawala yang memancarkan
sinar perubahan, sebuah baju yang berukuran mungkin cocok dengan “tulang dan
daging” yang berparas perlente, yang sempat didengar oleh ilalang yang mulai
semi. Namun datanglah kawanan belalang yang rakus lantaran kosong perutnya,
sehingga semi ilalangpun diam tak berdaya menunggu cakeawala yang dipeluk batas
senja.
“Aku adalah
ilalang yang melekang, meski kemarin sore semi telah memenuhi sekujur tubuhku”
“Akulah burung
kenari, yang siap berdandan dan berlagu untuk sebuah pagi yang cerah, namun
mengapa tiba-tiba awan menghadangku. Bukankah baju keramat telah menepi dari
putaran sang waktu”
Terdengar tawa
sang melengking memenuhi setiap kaki langit “Baju yang terpakai di negara
dongeng ini, kira hanya menjadi catatan sejarah. Biarlah baju ini aku pakekan
pada “tulang dan daging” yang tiada mampu memandangmu. Meskidia mampu
memperhatikanmu dari mata batin. Dan baju yang cocok untuk dirinya adalah baju
jubah putih”
Kembali riuh
rendah memenuhi hampir setiap jalan di negri dongeng, yang mengundang datangnya
angin pasat lebih kencang lagi, yang mampu membuat baju jubah putih itu
berkibar dan melambai ke tiap belahan bumi.Namun baju itupun tiada daya,
lantaran tikus tikus ego telah mengoyaknya, macan-macan lapar yang hilang
nuraninya telah menerkamnya. Baju itupun kini hanya tersimpan di lemari sejarah
dan dibawah rengkuhan bayangan yang tak bisa dipisahkan lagi.
Lantas kemana
lagi baju yang akan mewarnai singasana emas, bersulam benang garuda dan
berkerangka tulang anak jaman yang pernah hanyut di sungai pergiliran yang tak
kenal muara. Atau mungkin baju lain, yang burung, ilalang, belalang, kupu-kupu
atapun kura-kura yang serba tertinggal langkah, tak mau lagi memandangnya. Sang jelatapun
bersambung tangan hingga menyentuh bibir cakrawala untuk memunguti baju yang
kokoh untuk mendudukan anak jaman di singasana emas yang lama hanya berisi
angin. Baju itupun bersulam asa setiap ilalang dan daun perdu yang hamper saja
menghijau subur. Sang negara dongengpun kinitiada berkesulitan mendapatkan
“baju ksatria” sakti mandraguna dengan
kedua tangannya memenuhi ujung singasana. Pelaminan negri dongeng inipun kini
tertutup kelambu suka cita, dengan hadirnya baju ksatria yang tegap memberi
hormat kepada isi alam.
Sang baju
ksatriapun kini tiada lagi meragukan “tegap dan kokoh” bersanding dengan singasana
emas di sitihinggil yang sempat meluruh sinarnya. Angin kembarapun segera
mengheningkan langkah dengan melipat sayapnya. Tiada lagi deru debu yang
mendera setiap ujung jalan yang dilangkahi dengan langkah tertatih dari si
kecil yang dililit keterpurukan. Tapi tiada lama hempasan kemarahan alam segera
memutar balikan perjalanan “perahu layar” yang mengusung asa mencapai seja di
ufuk kaki langit.
“Jangan kau
lambaikan lengan bajumu, karena gunung-gunungpun akan berdentum sekeras sejuta
meriam, jangan kau kibarkan bajumu karena akan disusul dengan tsunami, gempa
bumi, longsor,gelombang panas dan ledakan dari dapur semak belukar”. Demikian
pekik suara dari balik awan hitam di ujung pengharapan. Karena dewasa ini bumi
telah berbalik arah dalam mengedari obor raksasa.
Si baju ksatriapun
kini berjalan dengan hati-hati, bahkan pedang di tangan kananya tidak setajam
dulu lagi. Pandangannya kini terarah pada sebelah kaki langit yang mengganggap
lebih hijau rumputnya. Rumput rumpun di balik kaki langit itu lebih congkak dan
merasa kuat di banding rumput di archipelago. Bahkan langkah kakinya
kini mulai menjamah kaki langit “negara ilalang”.
Maka segenap daun
nyiurpun segera menghadapkan wajah sambil bersuara, “Tajamkan pisau di sebelah
kananmu, kuatkan langkah sepatu larasmu, tegaplah barisan di belakangmu, jangan
kau tengok lagi serumpun ilalang yang hanya mengucurkan racun. Jadikanlah
“negara santun” ini sebagai negara yang mencuatkan cahaya hingga puncak
himalaya”
Sang baju
ksatria tiada kata lain hanya memberi hormat dan siap menjalankan darma
baktinya.
Penulis: Effi
Nurtanti, Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar