Selalu
saja semua pihak yang menseriusi, mencermati atau mengembangkan- gunakan
pendidikan di Indonesia, hanya menyodorkan aspek kapasitas, kepiawaian dalam
menerapkan model pembelajaran, profesionalisasi
dalam menyoroti figur guru untuk menyambut bola kemajuan pendidikan di
negara kita. Padahal aspek Humanis yang melekat pada figur guru harus
merupakan aspek yang tidak boleh ditepiskan. Peran Humanis guru selanjutnya akan lebih disambut peserta didik apabila
guru menyodorkan juga aspek Humoris
yang proporsional.
Sikap humanis adalah sikap yang dikedepankan oleh sesuatu
pihak di lingkungan masyarakat yang di aplikasikan dengan sikap peduli kepada
sesama anggota masyarakat. Sikap inilah yang menjadi dasar dalam proses
interaksi sosial. Karena sekolah adalah suatu wahana yang efektif bagi kita
untuk menginterprestakikan kepedulian tersebut,maka sudah sewajarnya aspek ini
perlu diemban oleh pendidik,
Aspek
humanis yang diusung oleh pendidik adalah sebuah “peraga hidup” yang dapat dengan handal membimbing peserta
didik dalam ranah penanaman nilai dan norma dasar sosial pada peserta didik.
Tanpa ini semua maka peserta didik yang nota bone adalah individu individu teenage yang masih belum kenal persisi
tentang arti dan makna nilai sosial. Tanpa peranan humanis pendidik, maka
pesera didikpun akan menempatkan kita sebatas hanya sebagai guru seperti pada
sistim pendidikan feodal. Sistim ini bercirikan pada komunkasi pembelajaran
yang searah, sehingga hanya gurulah yang dianggap sebagai sumber ilmu, yang
tidak selayaknya disanggah, didebat, dikoreksi ataupun sikap tirani lainnya.
Padahal kita harus ingat betul pada pepatah
lama “tak kenal maka tak sayang”.
Figur
yang humanis pendidik lebih dibutuhkan pada bahan ajar yang memiliki tingkat
kompleksitas relatif tinggi, yaitu pada
bahan ajar matematika, bahasa inggris, fisika, kimia dan ekonomi akuntansi. Apabila aspek ini telah konsisten
diberikan pendidik kepada peserta didik, pendidikpun tidak akan serta merta
memvonis dalam aspek “kognitif” pada peserta yang memiliki prestasi minim.
Pendidikpun akan mampu lebih cermat dalam mengeksplorasi faktor kendala sosial
yang hinggap di peserta didik tersebut. Karena walaupun bagaimana peserta didik
adalah bagian dari masyarakat yang ada di sekolah, keluarga ataupun lingkungan
sosial yang melingkunginya.
Pengalaman empiris telah banyak dijumpai penulis tentang
figur guru yang ditakuti peserta didik yang kemudian bersikap mengambil jarak kepada pendidik tersebut. Kasus ini banyak
ditemui pada pendidik yang mengampu matematika,kimia dan fisika, meski pendidik
tersebut berwajah cantik/ganteng, rapi, cerdas. Bila telah terjadi deviasi
model pembelajaran seperti tersebut di atas, maka peserta didik selalu
menjumpai pembelajaran yang tidak fleksibel, menakutkan/menegangkan. Selain itu
peserta didikpun tidak mampu mengoptimalkan semua indera mereka dalam menyerap
bahan ajar.
Humoris tidak selalu bisa kita hubungkan dengan
wibawa/pamor seorang pendidik, bila dia melakukan secara proposional. Pendidik
yang humoris berlainan jauh dengan pelawak, yang miskin dengan gagasan dan moralitas.
Pada profil pelawak hanya lawakan lawakan segar yang mengocok perut yang perlu dikedepankan. Sehingga pada lawakan
lawakan tersebut tidak jarang kita dengar kata kata konyol yang tidak perlu
diucapkan.
Namun bagi pendidik aspek humoris yang dia sodorkan,
bukan semata mata lawakan segar seperti di atas. Humoris yang dilakukan
pendidik adalah semata mata untuk
“mengendorkan semua indera
peserta didik yang telah menegang” dan
yang paling penting adalah membuang jauh- jauh kesan menakutkan/seram /garang yang dimiliki
pendidik.
Humoris tentunya
tidak bisa dimiliki semua pendidik, karena sikap ini adalah sikap bawaan yang
sudah barang tentu bagi yang tidak memiliki sifat ini akan sulit melakukanya.
Namun humoris bisa juga dilakukan dengan menyodorkan pembelajaran vokalistik, yaitu suatu pembelajaran yang
dilakukan dengan model bernyanyi yang aktif dilakukan peserta didik tanpa
mengganggu kelas lainnya.
Humanis dan Humoris sebenarnya adlah dua hal yang melekat
bersama sama dalam instrumen kejiwaan setiap orang sebagai suatu yang kodrati .
Namun pada kenyataan humanis sering ditanggalkan pendidik karena egonya.
Misalnya sering kita jumpai seorang pendidik yang membiarkan siswanya merokok
di luar jam sekolah atau di luar lingkungan sekolah. Bahkan terkadang pendidik
hanya berpangku tangan apabila melihat perserta didik yang tawuran di wilayah
sekolahnya. Apabila humonis tetap
dikedepankan di bawah sekolah yang berbasis masyarakat, tentunya sedikit
banyaknya tawuran antara pelajar bisa kita cegah.
Penulis
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar