Rabu, 16 Mei 2012

Diantara Peran Humanis dan Humoris Guru


Selalu saja semua pihak yang menseriusi, mencermati atau mengembangkan- gunakan pendidikan di Indonesia, hanya menyodorkan aspek kapasitas, kepiawaian dalam menerapkan model pembelajaran, profesionalisasi  dalam menyoroti figur guru untuk menyambut bola kemajuan pendidikan di negara kita. Padahal aspek Humanis yang melekat pada figur guru harus merupakan aspek yang tidak boleh ditepiskan. Peran Humanis guru selanjutnya akan lebih disambut peserta didik apabila guru menyodorkan juga aspek Humoris yang proporsional.
Sikap humanis adalah sikap yang dikedepankan oleh sesuatu pihak di lingkungan masyarakat yang di aplikasikan dengan sikap peduli kepada sesama anggota masyarakat. Sikap inilah yang menjadi dasar dalam proses interaksi sosial. Karena sekolah adalah suatu wahana yang efektif bagi kita untuk menginterprestakikan kepedulian tersebut,maka sudah sewajarnya aspek ini perlu diemban oleh pendidik,
Aspek humanis yang diusung oleh pendidik adalah sebuah  “peraga hidup”  yang dapat dengan handal membimbing peserta didik dalam ranah penanaman nilai dan norma dasar sosial pada peserta didik. Tanpa ini semua maka peserta didik yang nota bone adalah individu individu teenage yang masih belum kenal persisi tentang arti dan makna nilai sosial. Tanpa peranan humanis pendidik, maka pesera didikpun akan menempatkan kita sebatas hanya sebagai guru seperti pada sistim pendidikan feodal. Sistim ini bercirikan pada komunkasi pembelajaran yang searah, sehingga hanya gurulah yang dianggap sebagai sumber ilmu, yang tidak selayaknya disanggah, didebat, dikoreksi ataupun sikap tirani lainnya. Padahal kita harus ingat betul pada  pepatah lama “tak kenal maka tak sayang”.
Figur yang humanis pendidik lebih dibutuhkan pada bahan ajar yang memiliki tingkat kompleksitas relatif tinggi,  yaitu pada bahan ajar matematika, bahasa inggris, fisika, kimia dan ekonomi akuntansi. Apabila aspek ini telah konsisten diberikan pendidik kepada peserta didik, pendidikpun tidak akan serta merta memvonis dalam aspek “kognitif” pada peserta yang memiliki prestasi minim. Pendidikpun akan mampu lebih cermat dalam mengeksplorasi faktor kendala sosial yang hinggap di peserta didik tersebut. Karena walaupun bagaimana peserta didik adalah bagian dari masyarakat yang ada di sekolah, keluarga ataupun lingkungan sosial yang melingkunginya.
Pengalaman empiris telah banyak dijumpai penulis tentang figur guru yang ditakuti peserta didik yang kemudian bersikap mengambil jarak  kepada pendidik tersebut. Kasus ini banyak ditemui pada pendidik yang mengampu matematika,kimia dan fisika, meski pendidik tersebut berwajah cantik/ganteng, rapi, cerdas. Bila telah terjadi deviasi model pembelajaran seperti tersebut di atas, maka peserta didik selalu menjumpai pembelajaran yang tidak fleksibel, menakutkan/menegangkan. Selain itu peserta didikpun tidak mampu mengoptimalkan semua indera mereka dalam menyerap bahan ajar.
Humoris tidak selalu bisa kita hubungkan dengan wibawa/pamor seorang pendidik, bila dia melakukan secara proposional. Pendidik yang humoris berlainan jauh dengan pelawak, yang miskin dengan gagasan dan moralitas. Pada profil pelawak hanya lawakan lawakan segar yang mengocok perut yang  perlu dikedepankan. Sehingga pada lawakan lawakan tersebut tidak jarang kita dengar kata kata konyol yang tidak perlu diucapkan.
Namun bagi pendidik aspek humoris yang dia sodorkan, bukan semata mata lawakan segar seperti di atas. Humoris yang dilakukan pendidik adalah semata mata untuk  “mengendorkan  semua indera peserta didik  yang telah menegang” dan yang paling penting adalah membuang jauh- jauh  kesan menakutkan/seram /garang yang dimiliki pendidik.
Humoris  tentunya tidak bisa dimiliki semua pendidik, karena sikap ini adalah sikap bawaan yang sudah barang tentu bagi yang tidak memiliki sifat ini akan sulit melakukanya. Namun humoris bisa juga dilakukan dengan menyodorkan pembelajaran  vokalistik, yaitu suatu pembelajaran yang dilakukan dengan model bernyanyi yang aktif dilakukan peserta didik tanpa mengganggu kelas lainnya.
Humanis dan Humoris sebenarnya adlah dua hal yang melekat bersama sama dalam instrumen kejiwaan setiap orang sebagai suatu yang kodrati . Namun pada kenyataan humanis sering ditanggalkan pendidik karena egonya. Misalnya sering kita jumpai seorang pendidik yang membiarkan siswanya merokok di luar jam sekolah atau di luar lingkungan sekolah. Bahkan terkadang pendidik hanya berpangku tangan apabila melihat perserta didik yang tawuran di wilayah sekolahnya.  Apabila humonis tetap dikedepankan di bawah sekolah yang berbasis masyarakat, tentunya sedikit banyaknya tawuran antara pelajar bisa kita cegah.
Penulis :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar