Sering kita berpikir, betapa tersiksanya peserta didik yang belajar di
sekolah Indonesia dari dulu hingga
sekarang. Betapa tidak, kita sering terjebak dengan penerapan metoda klasikal yang pasif untuk memberlangsungkan sebuah pembelajaran. Sehingga
peserta didikpun seperti individu yang terpidana dan disekap mulai jam
7 pagi hingga jam 1 siang. Mereka setiap hari harus menerima informasi searah
dari pendidik untuk 4 – 5 bahan ajar.
Sementara dengan alasan penanaman sikap mental , merekapun akan segera mendapat teguran keras
bila mereka sedikit berulah. Peserta didik secara sepihak hanya
mengandalkan indera pendengaran, penglihatan serta sering kali tidak menulis
visualisasi informasi pada papan tulis atau dari lisan guru.
Mereka sama sekali tidak memiliki dinamikan berpikir, seperti mencermati,
menganalisis serta menarik kesimpulan atas semua yang disodorkan searah dari sang pendidik. Inilah gambaran sekolah dengan metode yang nonkontemporer.
Metoda kuno ini pernah diterapkan
pada “Terakoya” , nama sebuah sekolah setingkat sekolah dasar di Jaman Kaisar
Edo di Jepang, yang dilaksanakan di kuil-kuil, dengan pengajar para biksu dan
Shogun. Kala itu tercatat lebih dari 10.000 terakoya yang tersebar di
seluruh daratan Jepang. Bahan ajar yang diberikan hanya baca tulis Huruf Kanji,
aritmatik, geografi, kaligrafi dan pengetahuan agama Shinto.
Meskipun bernaung di bawah metode yang klasik dan sederhana namun, karena
dominasi dari kultur yang tajam dengan diinteraksikan dengan pendidikan religi.
Ditambah lagi niatan semua komponen pendukung pendidikan yang “intent”. Fitur
sekolah demikian berhasil membawa Rakyat Jepang menjadi masyarakat terpelajar,
terbukti pada abad ke XVIII 70 % Rakyat Jepang sudah melek huruf dan
pengetahuan. Dengan potensi seperti inilah mereka mampu mengabsorbsi teknologi
dari negara barat hingga kini.
Fenomena pedagogis seperti di atas pernah juga di terapkan di Indonesia,
tepatnya saat berdirinya Taman Siswa yang dibidani Ki Hajar Dewantara.
Disamping mengutamakan pembelajaran publik yang sedang meradang terinjak
kolonialisasi, Ki Hajar Dewantara
berusaha semaksimal mungkin membangkitkan persepsi sosial masyarakat
pribumi, tentang klas sosial. Merka yang
disebut dengan ‘Inlander” pada struktur sosial koloni berada di lapisan
terbawah. Oleh karena itu melalui pembelajaran di sekolah, Ki Hajar Dewantara mencoba untuk menanamkan
pemikiran publik agar para Inlander ini bukanlah klas sosial yang hina, atau di
bawah klas sosial penjajah.
Hal inilah yang menjadi dasar visi perjuangan Taman Siswa yang ikut berkonstribusi terhadap martabat
bangsa, yang telah terkoyak oleh nafsu tamak bangsa penjajah. Dengan konsep
pendidikan demikianlah meski setahap demi setahap Taman Siswa berhasil berhasil
menciptakan generasi yang cerdas, trampil
dan taqwa.
Setelah kemerdekaan dicapai Bangsa Indinesia, hinggi kini kita telah mengalami beberapa kali pergantian kurikulum, dari Kurikulum
1968 diganti Kurikulum 1975, Kurikulum CBSA kemudian dilanjutkan lagi dengan
Kurikulum 1994. Kurikulum 1994 masih disempurnakan lagi menjadi Suplemen
Kurikulum 1994. Pembenahan dan penyempurnaan kurikulum sistim pendidikan kita
terus saja melaju tiada henti, hingga kita terperangah setelah melihat realitas
bahwa kompetensi out-come kita sangat tertinggal dari Negara lain. Sehingga
kita menjadi bosan mendengar laporan penelitian LSM dalam/luar negeri tentang
keterpurukan ini.
Mulailah kita
merangkak menuju pengentasa keterpurukan dengan memberlakukan KBK, yang
mendasarkan sistim pendidikan pada kompetensi peserta didik. Kompetensi yang diharapkan diabsorbsi setiap
peserta didik adalah pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir
dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan
bertindak secara konsisten dan terus-menerus akan memungkinkan seseorang
menjadi kompeten dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai
dasar untuk melakukan sesuatu. KBK merupakan pergeseran paradigma dari
pendekatan pendidikan yang berorientasi masukan (input-oriented education)
ke pendekatan berorientasi hasil atau standar (out come-based education).
Dengan
pendekatan standard kompetensi inilah seorang peserta didik mampu mewadahi
semua bahan ajar secara tuntas hingga terefleksi pada triangulasi komponen
pendidikan, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik dengan cara
mengoptimalkan daya dukung yang dimilikinya. Hal ini karena peran sang pendidik
bukan lagi sebagai sumber bahan ajar, tetapi lebih berhasil guna hanya sebagai
fasilitator.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar