Entah sudah berapa kali Santiago
Prayogo mendenguskan bilah nafas gelisah di kursi pesawat, yang menghantarkan
dia dari Banjarmasin untuk pulang ke Semarang kampung halamannya. Perasaanya
begitu getir, meski dari balik jendela pesawat terlihat gugusan awan
berkejaran, mencoba mendinginkan hati Prayogo yang sedang diterjang bara api.
Sesekali dia menengok kursi disampingnya,yang kini tidak lagi diduduki Leila
dan anak mungil mereka Rakian, yang meluruhkan seluruh kekuatan sendi tulang
Prayogo.
Mata Rakian bocah mungil itu,
tawa candanya dan celoteh celotehnya yang memberikan kedamamian hatinya, kini
hanya ada di langit menggelantung bersama awan hitam, yang dihembuskan oleh
prahara di tengah bahtera rumah tangga Prayogo. Dia merasakan seluruh hidupnya
terhempas prahara. yang ditiupkan oleh kedua orang tua Leila sendiri, hingga
tibalah kursi pesawat yang diduduki, langit biru di balik jendela pesawat dan
barangkali desah nafas yang masuk tenggorokannya ikut pula menyalahkan dan menyudutkan,
mengapa dia harus kalah begitu saja. Padahal Leila masih membuka kedua
tanganya, meski berada di tengah himpitan yang kuat dari sorot mata kebencian
ortunya dan semua saudara saudara Leila yang cantik itu.
Kini dari kaca jendela, Prayogo
hanya melihat permadani biru bertabur buih putih. Jelas sudah dia tahu kini,
kalau Banjarmasin telah jauh dia tinggalkan. Berkali kali dia mengeluarkan HP
dari kantong bajunya, karena berharap HP itu akan memekakan telinganya,
lantaran panggilan dari Leila yang menyuruhnya dia kembali ke Banjarmasin demi
Leila dan anak tunggal satu satunya. Meski Pengadilan Agama telah mensahkan
perceaian antara mereka, namun Prayogo masih saja menyimpan nomor panggilan
Leila. Wanita berkulit kuning langsat, anak Juragan Romli pedagang besar kayu,
bersama dengan putri tunggalnya itulah Prayogo
telah 12 tahun mengarungi hidup di
Banjarmasin, sebagai guru swasta.
Masih kuat dalam ingatan
Prayogo, beberapa tahun yang lalu, Si
Kuning Langsat jelita hatinya, terus saja melipat wajahnya tiap dia pulang dari
mengajar. Namun unjuk easa Leila, yang tambah kelihatan cantik itu, tak begitu
digubrisnya, apalagi bila putra tuggalnya berada dalam pangkuanya. Prayogo tahu
betul, bila bahtera rumah tangganya telah menemui lautan dangkal berpasir, yang
dikelilingi karang terjal, Siap menghancurkan bahteranya yang tidak seberapa
kokohnya.
“Bapak
terus saja mengejar uang yang abang pinjam, mengapa hingga kini abang belum
mulai membayarnya, abang kan bisa saja mengangsur hutang modal itu Bang ?”
bibir merah yang berhasil merontokan hati Prayogo, seperti biasanya terus saja
menghakimi Prayogo yang sering tersudut dalam kekalutan hidupnya.
“Kalau
saja aku tahu bakal seperti ini. Tentu saja aku tidak mau berdagang kayu
seperti Bapak, Leila !!!! “ entah perasaan apa yang mengganjal sanubari Prayogo
kala itu, tidak pernah selama jarum waktu bergerak menghantarkan sang waktu,
Prayogo menepis permintaan Leila sekasar
itu. Bilah hati yang sedang disudutkan kekalutan itu, tidak mampu lagi menerima
permintaan Leila. Seribu kunang kini bertebaran di sekitar kepalanya, tubuh
Rakian didekapnya kuat kuat dan kini dia duduk di sofa penganti baru pemberian
mertuanya yang bergelimang harta.
Prayogo mengusap punggung Rakian
berkali kali, yang melengkingkan tangis manjanya, seakan akan tahu keadaan orang tuanya yang sedang didera kekalutan
hidup.
“Bang
Yoga !, bapak juga mengerti keadaan kita. Tapi seharusnya abang juga tahu kalau
bapak minta abang lebih serius lagi dalam mengembangkan usaha kayu”
“Leila
!, kamu kan tahu, aku sering rugi berdagang kayu. Aku jadi bertambah pusing ! ”
*Percuma
saja aku bicara dengan abang, modal yang bapak pinjamkan kan tidak sedikit.
Wajar saja bila bapak menanyakan usaha kayu kita, bang ? ” .
“Kamu
kan bisa menjadi wakil aku di depan bapak tentang bisnis kayu kita. Katakan
saja !, kalau aku bangkrut, modalnya
akan aku kembalikan secepatnya, Leila ?”
“Bukan
begitu bang !, jangan abang menempatkan masalah ini hanya dari aspek bisnis
saja. Bang !, aku anak tunggal, jadi wajar bila bapak ingin aku bahagia,
termasuk diri abang. Bapak hanya ingin tahu tentang usaha kita. Usaha yang
diharapkan bisa berkembang demi masa depak kita bersama’
“Tidak
usah kamu ajari, aku tahu masalah itu. Aku hanya minta waktu ?”
“Bang
!, aku anak seorang pedagang. Dari kecil aku menyaksikan betapa sengsaranya
bapak yang jatuh bangun mengembangkan usaha ini. Hingga kinipun bapak masih
hati hati mengembangkan usaha ini.
Inilah yang akan bapak ajarkan pada abang dan aku “
“
Leila !, aku bosan dengan ini semua, cobalah bicara yang lain saja. “
“Lantas,
apa lagi yang akan aku bicarakan, Bang Yoga !!!! “
“Maksud
kamu ? “
“Ya
!, karena kita sudah tidak punya apa apa lagi, rumah yang kita tempati, sepda
motor dan lainya adalah milik bapak. Masa depanpun kita sudah tidak punya lagi,
jadi apa yang dapat kita bicarakan lagi “
Pandangan mata Prayoga seluruhnya
dilemparkan kea rah tembok tembok rumah yang kini mulai kusam. Tembok tembok
itu dulu berwarna putih bersih, kala mereka menempati sejak malam pertama. Prayoga masih terdiam, hanya anganya yang
mengembara bberapa tahun silam, kala mereka bersua masih menjadi mahasiswa IKIP
di Semarang. Leila kala itu, dikenal kembang kampus dari sebrang, dengan penampilan
sederhana meski putra tunggal seorang pedagang kayu yang sukses.
Prayoga menautkan cintanya kepada
si kuning langsat, lantaran awalnya Prayoga tidak menduga bahwa Leila anak
tunggal seorang pedagang besar yang kaya raya, namun memiliki cita cita
sederhana ingin menjadi seorang pendidik. Sungguh bersahaja cewek gedongan ini,
tak melekat sedikitpun di tubuhnya yang atletis segala macam perhiasan yang
gemelap, meski bagi Leila yang berkelas milyarder, masalah itu gampang saja.
“Bang
Yoga !, aku serius !, abang sebaiknya bertemu bapak untuk mempertanggung
jawabkan modal itu “
“Dengan
apa aku bisa membayar, Leila ?”
“Bertemu
dengan bapak dulu, bang !. Meski rugi dan habis modal abang, bapak kan
memaklumi bila abang bersedia menelaskan alasan yang tepat. Siapa tahu bapak akan
memberi solusi yang tepat?”
“Aku
belum siap, Leila ?”. Santiago Prayogo tanpa berkata lagi sepatah katapun,
membawa tubuhnya dengan bergegas ke luar rumah dengan membanting pintu dan
pergi tak tentu arah entah kemana, kini tinggal
“Abang,
abang…!!!!”
***
Suara batuk batuk dari Juragan
Romli memenuhi seluruh ruang tamu rumah besar itu, sementara Leila sedang asyik
menidurkan Rakian di Sofa tamu berwarna hijau lembut. Cuaca siang itu memang
sangat panas, namun tidak sepanas perasaan Leila yang membarakan amarah dan kekecewaan
kepada Santiago Prayoga, yang selalu menghindar dari pembicaraan serius tentang
nasib meeka. Leilapun mengerti bahwa mereka berdua adalah sama sama berprofesi
sebagai pendidik, sesuai yag dicita citakan meeka berdua. Meski untuk beberapa
tahun ini Leila memilih untuk berhenti sementara, karena kesibukan membantu
usaha mereka dan mengasuh Rakian.
“Leila
! Itulah kehidupan. Dahulu tentu saat kamu masih kecil, kamu sering menyaksikan
bapak dan mamak bertengkar. Namun saat terjadi pertengkaran, salah satu harus
bersikap dingin, yang dapat menyiram bara api yang hinggap di hati yang membara.
Bila kedua belah pihak saling membara hatinya, maka darimana mereka akan mendapat
kedamaian ?“
“Aku
sangat prihatin dengan sikap Bang Yoga, aku harapkan Bang Yoga mau
mempertanggung jawabkan modal yang diberikn bapak, mengapa rugi dan berapa sisa
modal yang ada ?” Suara Leila terdengar terbata, di kedua pipinya kini mengalir
titik titik air mata.
“Leila
!, bagi bapak tidak menjadi masalah serius tentang kerugian Prayoga, karena modal
itu memang milik kamu, dan bapak masih punya banyak harta milik kamu. Semua
itu tidak dibawa mati bapak dan emakmu.
Sudahlah jangan terlalu dipikirkan !”
“Betul
Pak, tapi aku tidak enak sama bapak dan emak, bagi Leila abang Yoga mau ketemu
dan mempertanggungkawabkan sama bapak itu saja sudah senang, Pak ?”
“Memang
bagi Prayoga yang dilahirkan bukan dari keluarga pedagang, susah untuk
berhasil. Maka dulu bapak kan pernah memberi saran, untuk menjadi pedagang kayu
yang sukses, Prayoga harus mulai dari bawah.Tetapi kau memaksakan diri “
“Aku
memang tidak mengerti, Pak. Sejak dari kami berpacaran dahulu, kami berjanji
bersama untuk belajar bersama menjadi saudagar sukses seperti bapak. Makanua
dengan modal 250 juta, kami berdua ingin belajar pada bapak hingga sukses. Tapi
kini Bang Yoga sepertinya tidak serius lagi”
“Memang
kalau bapak perhatikan, Prayoga bukan tipe
pedagang tangguh, sama sekali tidak berani mengambil resiko dan takut
tantangan. Mungkin saja dia lebih suka menjadi pendidik, disitulah kepuasan
moral Prayoga “.
“Lantas
aku harus bagaimana, Pak ! “
“Cobalah
dinginkan perasaan kalian berdua dulu, nanti kalau sudah tenang mintalah
pertanggungan jawab dari Praypga, meski modal itu dari bapak, tapi modal itu adalah uang, yang harus jelas
pengeluarannya. Aku menginginkan kalian berdua belajar professional, aku
percaya semua pengeluaran Prayoga tidak untuk
hal yang tak berguna. Dari kehati hatian bapak terhadap pengeluaran
itulah, bapak bisa sukses seperti ini “
Leila tidak menjawab kata kata
bapaknua, Leila hanya mampu menyimpanya dalam hati. Ayahnya yang bijak itupun
kini pamit, hingga tinggalah penantian Leila di dawai sang waktu hingga
kepulangan Prayoga, yang akhir akhir ini sering beberapa hari tidak pulang, entah
kemana perginya sang suami yang tercinta. Namun tidak ada satupun makhluk di
dunai ini yang mampu menghentikan sang waktu. Santiago Prayoga yang
mengalami kerugian besar, tidak segera
untuk minta advis istri apalagi bapak dan emaknya Leila, tapi malah semakin
nekat perilakunya.
Leilapun merasakan kini hidup
bagai di atas panggangan api, demikian juga Rakian yang merasa asing dengan
kedatangan Prayogo bapaknya,yang sering pulang malam tanpa memberi sentuhan
kasih sayang. Tiap malam tiba, tembok kokoh rumah dengan arsitek Eropa itu
telah bergetar, genting beton yang kokoh kinipun seakan beterbangan tiap kedua
insan itu saling bertengkar hingga larut malam. Demikian juga kala di sebuah
malam yang tidak pernah Prayoga lupakan. Pertengkaran natara mereka berbuah
pada perpisahan yang diminta Leila sendiri.
“
Sebaiknya kita tidak usah bertengkar setiap saat di rumah ini, bang ?”
“Mengapa
kamu bersikap seperti ini sekarang ?”
“Barangkali
saja abang, lebih memilih tidak bertemu aku lagi yang selalu mengganggu
kehidupan abang ?”
“Maksudmu
?”
“Abang
tidak usah setiap hari pulang malam, hanya untuk menghilangkan beban yang ada
di pundak abang “
“Leila
!,. aku tiap hari mengejar teman teman yang meminjam uangku, banyak mandor
hutan yang pinjam uang sama aku, teman guru dan juragan lainnya. Aku ingin
uangku kembali dan mempertanggungkan pada bapakmu “
“Abang
!, mereka semua saling kenal baik dengan bapak. Mestinya bapak cerita semua
tentang itu. Jelas abang tidak jujur dengan aku ?”
“Leila
!, jangan sembarangan kamu bicara ?.Apa karena kamu dan bapakmu orang kaya
terus bisa bicara senaknya denganku ?”
“Tolong
bang jangan sebut nama bapak dalam hal ini. Dia sudah berlaku baik dengan kita
semua “
“Lantas
maumu apa, Leila ?”
“Sederhana
saja bang. Abang silakan bebes kemana
saja tanpa diganggu aku”
Prayoga ingat betul, mengapa di
malam berbintang terdengar suara petir yang mampu menghanguskan hatinya. Leila
menginginkan perpisahan denganua bukan karena salahnya atau dia, tetapi memang
suratan takdir berkata demikian. Lamunan itu kemudian terpagut, kala announcer
dalam pesawat itu memberitahu kepada semua passenger, bahwa mereka kini telah
tiba di Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar