Rabu, 09 Mei 2012

Tegalkuru dan Hati yang Tersayat


Layaknya seribu anak panah Hrusangkali  milik Srikandi yang menebas leher Resi Bisma, telah menancapkan benang sutra asmara di ulu hati Raden Abimanyu, kala bertemu Dewi Utari dalam pandangan mata yang pertama di beranda “Stinggil Kraton Wirata”. Tautan panah asmara yang  begitu kokohnya, sempat membuat Abimanyu termangu, mengapa bola mata Dewi Utari yang “lentik, bersih sekaligus halus” mampu membelah dadanya dan mencuatkan seribu prosa asmara dari dalam bilik jantungnya.

“Oh..Paman Prabu Matswapati, sang raja negara Wirata. Mantra sakti apa yang paman usungkan untuk para dewa, sehingga paman memiliki putei bungsu “Boneka India” yang berujud Dimas Dewi Utari”. Bisik hati Raden Abimanyu yang “keyungyung” terus saja mengalirkan  Kidung Asmarandhana dalam pembuluh nadinya.

Tatapan garang mata Abimanyu, segarang King Kobra yang berhasrat melumpuhkan mangsanya, kini menelisik ke tiap lekuk tubuh Dewi Utari, yang herada di depanya. Dewi Utaripun membalas uluran tangan “sapa salam” Putra Arjuna. Dengan rambut hitam pekat dan berombak  yang berderai ditikam angin kemarau Negeri Wirata, Dewi Utari mempersilakan pria tampan itu menghadap Romo Prabu Matswati. Setelah Abimanyu berhasil mengalahkan seribu raja Jawa yang dalam gelaran sayembara untuk “mencari pemenang” siapa yang layak menjadi Kembang Setaman Negeri Wirata.

Beruntunglah aku hai, para dewa. Engkau telah mempertemukan aku dengan ksatria muda yang tampan. Mengapa perasaanku terasa aneh siang hari ini, dadaku terasa sesak, tenggorokanku kering dan dadaku menyimpan seribu nafas hingga teras tersumbat nafasku

Bisik hati Dewi Utari kini memenuhi setiap sendi tulangnya. Bisikan wanita yang baik budi bahasanya, lembut, penuh peduli pada sesama dan santun menjadikan dia adalah wanita kekasih dewa. Maka bisikan itupun seketika didengar para dewa. Sehingga Bathara Guru Penguasa Tunggal Tribuwana , mengutus Bathara Narada untuk mengkabarkan segala sesuatu tentang perjodohan dia dan Raden Abimanyu.

“Hai Utari, cucuku” Bathara Narada dengan penuh santun kini sudah dihadapan Utari yang sedang bermandi seribu bunga. “ Ketahuilah ngger !, Perjodohanmu dengan Abimanyu telah menjadi “garis hidupmu” milik para dewa. Dalam dirimu telah bersemayam Wahyu Hidayat sebaliknya dalam diri Abimanyu juga telah tertanam kuat Wahyu Cakraningrat. Kedua wahyu itulah yang membawa suratan takdir kalian berdua untuk menurunkan raja raja Tanah Jawa. Hati hatilah Utari, jalani hidup kamu disamping Abimanyu dengan penuh bijaksana, adil, jujur dan juga ketabahan” Kata kata terakhir telah dilontarkan pada Dewi Utara bersamaan dengan menghilangnya Raga Bathara Narada.
***           
Langit bumi Wirata benar benar cerah, tanpa setitikpun mega hitam. Semua hijauan palem, perdu dan belukar saling bergesek, ditiup semilir angin kemarau. Udara bertambah sejuk setelah angin gunung mulai gabung di atmosfer Kraton Wirata, yang dipenuhi panji warna -warni serta prajurit kraton yang segelar sepapan di sela sela rakyat yang tumpah ruah.

Seluruh ruangan Pisowanan Agung  berornamen seribu warna, lengkingan gamelan kraton terus saja menggema di tengah wahjah yang berseri. Prabu Matswati, yang paling terlihat  menguntai senyuman, meski Utari hanya menundukan wajahnya dengan rona merah di kedua pipinya, Pertanda dia masih menyelipkan rasa malu.

Abimanyu kini telah berhadapan langsung dengan Sang Prabu Matswati.

 “Sungguh aku bahagia hari ini, bisa melangsungkan daup Utari anak kesayanganku dengan dirimu, Putra  Arjuna!!!”.

“Tidak ada yang dapat hamba ucapkan, kecuali hanya dengan perasaan haru bisa menjadi menantu Panjengan Ndalem Prabu Matswati”

“Akupun tidak banyak mampu bicara, hanya dengan sebuah pesan saja, yaitu  Amalkan Dharmaning Satria dalam menitip hidup berumah tangga dengan Dewi Utari”

“Pesan pamanda prabu, akan aku laksanakan. hamba nyuwun pangestu

***
Senja telah menghampar di bumi Wirata, semua penduduk telah bersiap untuk menuju ke peraduan di bilik rumah mereka yang sederhana. Sementara Abimanyu kini hanya berdua dengan Dewi Utari di Bungalow, di lereng bukit Langensari. Lekuk tubuh Dewi Utari tidak mampu lagi menjaga jarak dengan tubuh Raden Abimanyu yang perkasa. Semakin malam semakin redup nyala api yang menerangi bungalow itu. Hanya dengus nafas mereka berdua yang mampu menyelinap hingga ke tengah malam. Peluh Raden Arjuna dan rintihan kecil sang dewi menjadi saksi perpaduan asmara mereka.

Raden Abimanyu menyeka peluh yang membasahi seluruh tubuhnya, secangkir teh hangat manis disodorkan oleh sang dewi. Kembali sang dewi berada di pelukan Putra Sang Raden Arjuna.

“Kangmas Pangeran Abimanyu ?”

“Diajeng Utari !, jangan malu –malu ada apa ?”

“Kangmas Pangeran !,  apakah Kangmas sudah beristri ?” Sejak mereka bergelora di peraduan hanya dengan bahasa sorot mata, kini sebuah sebuah pertanyaan pada Raden Abimanyu telah diucapkan Dewi Utari. Raden Abimanyu hanya membalasnya dengan peluk cium yang lembut dan romantis.

“Aduh Kakangmas Pangeran !, mengapa tidak kau jawab ?” Dewi Utari bertambah bergelora untuk bertanya. Sebersit rasa penasaran kini tumbuh di hatinya, padahal dari staf intelejen kerajaan Wirata, Pangeran Abimanyu baru saja melangsungkan pernikahan dengan Siti Sundari. Tetapi mengapa suamnya kini berbohong padanya ?.

“Hanya engkaulah sang dewiku “

“Mengapa Kakangmas Pangeran Abimanyu seorang satria keturunan Pandawa berani berbohong pada aku , pangeranku aku minta sebuah kejujuran?”

“Akulah kejujuran dimas !, akulah seorang satria utama yang selalu membela kebenaran, aku tidak mungkin berlaku curang dan nista, apalagi denga dirimu Utari !!! “ Ditengah kegusaran Raden Abimanyu, dia masih tetap menyodorkan harapan agar Utari percaya dengan jawabanya dia. Namun kenyataanya, Utari terus saja menyelipkan sikap ragu, yang dapat terbaca dari sorot matanya. Dan Putra Arjunapun telah kehilangan kesabaran serta kehalusan budi pekertinya. Maka kini segala yang terlontarkan dari mulutnya  tidak berdasarkan nalar dan pertimbangan yang bijaksana.

“Utari !, demi Dewa yang Mbaurekso Jagad, aku bersumpah, aku rela mati dengan luka arang kranjang di Bharatayuda bila  aku berdusta. Aku belum pernah punya istri sebelum bertemu dirimu !!!”

“Aduh  Kangmas Pangeran !!!”. Belum lama Utari mengucapkan kegaluan hatinya. Dia segera memeluk Rasen Abimanyu, yang kini hanya diam terbujur. Setelah terdengar suara petir memenuhi langit Wirata. Kembang api alam yang menusuk mata menggemakan suara pekik yang memekakan telinga, seakan berhasrat meruntuhkan langit. Penyesalan Utari kini menyesakan dadanya, apalagi dia kini menyaksikan sendiri Abimanyu yang hanya terbujur diam. Pelukan mesra masih saja dia berikan kepada suami tercintanya. “Aduh Kangmas, semoga Dewa berkenan mengurungkan niatnya untuk menurehkan sumpahmu . Oh Dewa maafkan kelancangan suami hamba!”

***
Gelaring jagad mercapada tidak ada satupun yang mampu menghentikan, baik dewa apalagi titah sawantah. Maka panah sang waktupun terus bergulir tanpa menoleh kebelakang. Segala sesuatu yang telah digariskan oleh Sang Kuasa tetap berjalan menurut apa yang sudah digariskan, termasuk gelaran Bharatayuda  Jaya Binanglung.

Setelah banyak sudah para ksatria, raja dan rakyat jelata yang gugur, kini Bharatayuda memasuki hari ke-18. Sebuah episode peperangan antara darah Kuru    yang membawa pihak Pendawa pada perjuangan hidup mati. Prajurit pihak Kurawa langsung di bawah kendali Senopati Agung Resi Bisma dan Resi Dorna, yang berperan sebagai Senopati Pengapit.

Sementara Ksatria Betenge Pendowo, yaitu Raden Werkudoro dan Raden Arjuna telah meninggalkan pos mereka. Hanya Raden Abimanyu yang diunggulkan mampu mendobrak  “induk prajurit Kurawa”  yang terkonsentris di tengah dan dipimpin langsung oleh Resi Dorna, Pasukan Resi Dorna inilah yang menjadi kekuatan utama Kurawa, yang bergerak bagaikan air bah siap menelan bala tentara Pandawa.

“Abimanyu  putraku. Jangan kau lawan mereka. Aku rela Hastina dan Indraprasta menjadi milik Kakang Duryudono. Asal tidak ada korban  diantara kita “ Rintih Prabu Puntadewa menggema ke seluruh markas komando. Namun rintihan pamanda Abimanyu, sama sekali tak dihiraukan oleh Abimanyu.

“Pamanda Prabu, Bharatayuda telah digariskan oleh para Dewa, telah digariskan pula bakal membawa korban jiwa dan segala galanya. Adalah suatu kebanggan bagi seorang ksatria yang gugur di Rananggono. Pamanda Prabu !, putrandan mohon pamit  !“

Terompet pertanda maju dan siaga berperang telah menggetarkan gendang telinga semua prajurit Randu Gumbolo, pertanda bahwa mereka telah siap untuk menyabung nyawa membela kebenaran. Raden Abimanyu tanpa berpikir panjang lagi, dia segera memerintahkan semua unit pasukan khususnya untuk bersama merangsek menggempur Prajurit Resi Dorna yang tangguh, meski dia tahu bahwa tanpa dibantu Ayahanda Raden Arjuna dan Pamanda Werkudoro peperangan ini sangat beresiko sekali, terutama bagi keselamatan dirinya.

Namun diapun lebih tahu lagi, bahwa tanpa pengorbanan dia dan pasukan elitnya, Kubu Pamdawa bakal menemui kehancuran. Maka tanpa banyak pertimbangan dan rasa gentar sedikitpun, dia mengerahkan seluruh kesaktianya untuk menggempur musuhnya.
Kesaktian dan keberanian Abimanyu yang masih muda tternyata idak  cukup  untuk mengalahkan Resi Dorna. Dengan tipu muslihatnya Resi Dorna berhasil memancing Abimanyu untuk terus merangsek maju menjemput musuh. Hingga tak disadari oleh Abimanyu,  dia kini sebenarnya telah terkepung Prajurit Kurawa.

Satu dua anak panah Prajurit Kurawa mulai menembus kulit Raden Abimanyu. Tapi luka ditubuhnya sama sekali tidak dirasakan. Perasaan yang ada dihatinya hanyalah berusaha menghacurkan prajurit lawan satu demi satu. Dan kini lunglailah tubuh Abimanyu  dan tak sadarkan diri, karena telah tak terhitung anak panah yang menembus jantung, ulu hati dan kepalanya.

Prabu Duryudono dan saudara saudara Kurawa lainya serta semua Prajurit Kurawa melonjak  kegirangan, suara riuh rendah kegembiraan seluruh bala tentara Kurawa lebih dasyat dari suara seribu meriam. Apalagi mereka baru saja kehilangan Raden Lesmono, Putra Prabu Duryudono, yang  baru saja gugur. Tanpa menunggu perintah dari senopati perang , semua bala tentara Kurawa menghujani tubuh Raden Abimanyu dengan senjata apa saja yang ada di tangan mereka. Gugurlah Abimanyu, disertai dengan mendung hitam di atas Bumi Tegal Kuru***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar