Layaknya seribu anak
panah Hrusangkali milik
Srikandi yang menebas leher Resi Bisma, telah menancapkan benang sutra asmara
di ulu hati Raden Abimanyu, kala bertemu Dewi Utari dalam pandangan mata yang
pertama di beranda “Stinggil Kraton Wirata”. Tautan panah asmara yang begitu kokohnya, sempat membuat Abimanyu
termangu, mengapa bola mata Dewi Utari yang “lentik, bersih sekaligus halus”
mampu membelah dadanya dan mencuatkan seribu prosa asmara dari dalam bilik jantungnya.
“Oh..Paman Prabu
Matswapati, sang raja negara Wirata. Mantra sakti apa yang paman usungkan untuk
para dewa, sehingga paman memiliki putei bungsu “Boneka India” yang berujud
Dimas Dewi Utari”. Bisik hati Raden Abimanyu yang “keyungyung”
terus saja mengalirkan Kidung
Asmarandhana dalam pembuluh nadinya.
Tatapan garang mata
Abimanyu, segarang King Kobra yang berhasrat melumpuhkan
mangsanya, kini menelisik ke tiap lekuk tubuh Dewi Utari, yang herada di
depanya. Dewi Utaripun membalas uluran tangan “sapa salam” Putra Arjuna. Dengan
rambut hitam pekat dan berombak yang
berderai ditikam angin kemarau Negeri Wirata, Dewi Utari mempersilakan pria
tampan itu menghadap Romo Prabu Matswati. Setelah Abimanyu berhasil mengalahkan
seribu raja Jawa yang dalam gelaran sayembara untuk “mencari pemenang” siapa
yang layak menjadi Kembang Setaman Negeri Wirata.
“Beruntunglah aku
hai, para dewa. Engkau telah mempertemukan aku dengan ksatria muda yang tampan.
Mengapa perasaanku terasa aneh siang hari ini, dadaku terasa sesak,
tenggorokanku kering dan dadaku menyimpan seribu nafas hingga teras tersumbat
nafasku”
Bisik hati Dewi Utari
kini memenuhi setiap sendi tulangnya. Bisikan wanita yang baik budi bahasanya,
lembut, penuh peduli pada sesama dan santun menjadikan dia adalah wanita
kekasih dewa. Maka bisikan itupun seketika didengar para dewa. Sehingga Bathara
Guru Penguasa Tunggal Tribuwana , mengutus Bathara Narada untuk mengkabarkan
segala sesuatu tentang perjodohan dia dan Raden Abimanyu.
“Hai Utari, cucuku”
Bathara Narada dengan penuh santun kini sudah dihadapan Utari yang sedang
bermandi seribu bunga. “ Ketahuilah ngger !, Perjodohanmu dengan Abimanyu telah
menjadi “garis hidupmu” milik para dewa. Dalam dirimu telah bersemayam Wahyu
Hidayat sebaliknya dalam diri Abimanyu juga telah tertanam kuat Wahyu
Cakraningrat. Kedua wahyu itulah yang membawa suratan takdir kalian
berdua untuk menurunkan raja raja Tanah Jawa. Hati hatilah Utari, jalani hidup
kamu disamping Abimanyu dengan penuh bijaksana, adil, jujur dan juga ketabahan”
Kata kata terakhir telah dilontarkan pada Dewi Utara bersamaan dengan
menghilangnya Raga Bathara Narada.
***
Langit
bumi Wirata benar benar cerah, tanpa setitikpun mega hitam. Semua hijauan palem,
perdu dan belukar saling bergesek, ditiup semilir angin kemarau. Udara
bertambah sejuk setelah angin gunung mulai gabung di atmosfer Kraton Wirata,
yang dipenuhi panji warna -warni serta prajurit kraton yang segelar sepapan di
sela sela rakyat yang tumpah ruah.
Seluruh
ruangan Pisowanan Agung
berornamen seribu warna, lengkingan gamelan kraton terus saja menggema
di tengah wahjah yang berseri. Prabu Matswati, yang paling terlihat menguntai senyuman, meski Utari hanya
menundukan wajahnya dengan rona merah di kedua pipinya, Pertanda dia masih
menyelipkan rasa malu.
Abimanyu
kini telah berhadapan langsung dengan Sang Prabu Matswati.
“Sungguh aku bahagia hari ini, bisa
melangsungkan daup Utari anak kesayanganku dengan dirimu, Putra Arjuna!!!”.
“Tidak
ada yang dapat hamba ucapkan, kecuali hanya dengan perasaan haru bisa menjadi
menantu Panjengan Ndalem Prabu Matswati”
“Akupun
tidak banyak mampu bicara, hanya dengan sebuah pesan saja, yaitu Amalkan Dharmaning Satria dalam
menitip hidup berumah tangga dengan Dewi Utari”
“Pesan
pamanda prabu, akan aku laksanakan. hamba nyuwun pangestu”
***
Senja
telah menghampar di bumi Wirata, semua penduduk telah bersiap untuk menuju ke
peraduan di bilik rumah mereka yang sederhana. Sementara Abimanyu kini hanya
berdua dengan Dewi Utari di Bungalow, di lereng bukit Langensari. Lekuk tubuh Dewi
Utari tidak mampu lagi menjaga jarak dengan tubuh Raden Abimanyu yang perkasa.
Semakin malam semakin redup nyala api yang menerangi bungalow itu. Hanya dengus
nafas mereka berdua yang mampu menyelinap hingga ke tengah malam. Peluh Raden
Arjuna dan rintihan kecil sang dewi menjadi saksi perpaduan asmara mereka.
Raden
Abimanyu menyeka peluh yang membasahi seluruh tubuhnya, secangkir teh hangat
manis disodorkan oleh sang dewi. Kembali sang dewi berada di pelukan Putra Sang
Raden Arjuna.
“Kangmas
Pangeran Abimanyu ?”
“Diajeng
Utari !, jangan malu –malu ada apa ?”
“Kangmas
Pangeran !, apakah Kangmas sudah
beristri ?” Sejak mereka bergelora di peraduan hanya dengan bahasa sorot mata, kini
sebuah sebuah pertanyaan pada Raden Abimanyu telah diucapkan Dewi Utari. Raden
Abimanyu hanya membalasnya dengan peluk cium yang lembut dan romantis.
“Aduh
Kakangmas Pangeran !, mengapa tidak kau jawab ?” Dewi Utari bertambah bergelora
untuk bertanya. Sebersit rasa penasaran kini tumbuh di hatinya, padahal dari
staf intelejen kerajaan Wirata, Pangeran Abimanyu baru saja melangsungkan
pernikahan dengan Siti Sundari. Tetapi mengapa suamnya kini berbohong padanya ?.
“Hanya
engkaulah sang dewiku “
“Mengapa
Kakangmas Pangeran Abimanyu seorang satria keturunan Pandawa berani berbohong
pada aku , pangeranku aku minta sebuah kejujuran?”
“Akulah
kejujuran dimas !, akulah seorang satria utama yang selalu membela kebenaran,
aku tidak mungkin berlaku curang dan nista, apalagi denga dirimu Utari !!! “
Ditengah kegusaran Raden Abimanyu, dia masih tetap menyodorkan harapan agar
Utari percaya dengan jawabanya dia. Namun kenyataanya, Utari terus saja
menyelipkan sikap ragu, yang dapat terbaca dari sorot matanya. Dan Putra
Arjunapun telah kehilangan kesabaran serta kehalusan budi pekertinya. Maka kini
segala yang terlontarkan dari mulutnya
tidak berdasarkan nalar dan pertimbangan yang bijaksana.
“Utari
!, demi Dewa yang Mbaurekso Jagad, aku bersumpah, aku rela mati
dengan luka arang kranjang di Bharatayuda bila aku berdusta. Aku belum pernah punya istri
sebelum bertemu dirimu !!!”
“Aduh
Kangmas Pangeran !!!”. Belum lama Utari
mengucapkan kegaluan hatinya. Dia segera memeluk Rasen Abimanyu, yang kini
hanya diam terbujur. Setelah terdengar suara petir memenuhi langit Wirata. Kembang
api alam yang menusuk mata menggemakan suara pekik yang memekakan telinga,
seakan berhasrat meruntuhkan langit. Penyesalan Utari kini menyesakan dadanya,
apalagi dia kini menyaksikan sendiri Abimanyu yang hanya terbujur diam. Pelukan
mesra masih saja dia berikan kepada suami tercintanya. “Aduh Kangmas, semoga Dewa
berkenan mengurungkan niatnya untuk menurehkan sumpahmu . Oh Dewa maafkan kelancangan
suami hamba!”
***
Gelaring
jagad mercapada tidak ada satupun yang mampu menghentikan, baik
dewa apalagi titah sawantah. Maka panah sang waktupun terus
bergulir tanpa menoleh kebelakang. Segala sesuatu yang telah digariskan oleh
Sang Kuasa tetap berjalan menurut apa yang sudah digariskan, termasuk gelaran Bharatayuda
Jaya Binanglung.
Setelah
banyak sudah para ksatria, raja dan rakyat jelata yang gugur, kini Bharatayuda
memasuki hari ke-18. Sebuah episode peperangan antara darah Kuru yang membawa pihak Pendawa pada perjuangan
hidup mati. Prajurit pihak Kurawa langsung di bawah kendali Senopati
Agung Resi Bisma dan Resi Dorna, yang berperan sebagai Senopati
Pengapit.
Sementara
Ksatria Betenge Pendowo, yaitu Raden
Werkudoro dan Raden Arjuna telah meninggalkan pos mereka. Hanya Raden Abimanyu
yang diunggulkan mampu mendobrak “induk
prajurit Kurawa” yang terkonsentris di
tengah dan dipimpin langsung oleh Resi Dorna, Pasukan Resi Dorna inilah yang
menjadi kekuatan utama Kurawa, yang bergerak bagaikan air bah siap menelan bala
tentara Pandawa.
“Abimanyu putraku. Jangan kau lawan mereka. Aku rela Hastina
dan Indraprasta menjadi milik Kakang Duryudono. Asal tidak ada
korban diantara kita “ Rintih Prabu
Puntadewa menggema ke seluruh markas komando. Namun rintihan pamanda Abimanyu,
sama sekali tak dihiraukan oleh Abimanyu.
“Pamanda
Prabu, Bharatayuda telah digariskan oleh para Dewa, telah digariskan pula bakal
membawa korban jiwa dan segala galanya. Adalah suatu kebanggan bagi seorang
ksatria yang gugur di Rananggono. Pamanda Prabu !, putrandan
mohon pamit !“
Terompet
pertanda maju dan siaga berperang telah menggetarkan gendang telinga semua
prajurit Randu Gumbolo, pertanda bahwa mereka telah siap untuk
menyabung nyawa membela kebenaran. Raden Abimanyu tanpa berpikir panjang lagi,
dia segera memerintahkan semua unit pasukan khususnya untuk bersama merangsek
menggempur Prajurit Resi Dorna yang tangguh, meski dia tahu bahwa tanpa dibantu
Ayahanda Raden Arjuna dan Pamanda Werkudoro peperangan ini sangat beresiko
sekali, terutama bagi keselamatan dirinya.
Namun
diapun lebih tahu lagi, bahwa tanpa pengorbanan dia dan pasukan elitnya, Kubu
Pamdawa bakal menemui kehancuran. Maka tanpa banyak pertimbangan dan rasa
gentar sedikitpun, dia mengerahkan seluruh kesaktianya untuk menggempur
musuhnya.
Kesaktian
dan keberanian Abimanyu yang masih muda tternyata idak cukup
untuk mengalahkan Resi Dorna. Dengan tipu muslihatnya Resi Dorna
berhasil memancing Abimanyu untuk terus merangsek maju menjemput musuh. Hingga
tak disadari oleh Abimanyu, dia kini
sebenarnya telah terkepung Prajurit Kurawa.
Satu
dua anak panah Prajurit Kurawa mulai menembus kulit Raden Abimanyu. Tapi luka
ditubuhnya sama sekali tidak dirasakan. Perasaan yang ada dihatinya hanyalah
berusaha menghacurkan prajurit lawan satu demi satu. Dan kini lunglailah tubuh
Abimanyu dan tak sadarkan diri, karena
telah tak terhitung anak panah yang menembus jantung, ulu hati dan kepalanya.
Prabu
Duryudono dan saudara saudara Kurawa lainya serta semua Prajurit Kurawa
melonjak kegirangan, suara riuh rendah
kegembiraan seluruh bala tentara Kurawa lebih dasyat dari suara seribu meriam.
Apalagi mereka baru saja kehilangan Raden Lesmono, Putra Prabu Duryudono,
yang baru saja gugur. Tanpa menunggu
perintah dari senopati perang , semua bala tentara Kurawa menghujani tubuh
Raden Abimanyu dengan senjata apa saja yang ada di tangan mereka. Gugurlah
Abimanyu, disertai dengan mendung hitam di atas Bumi Tegal Kuru***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar