Minggu, 10 Juni 2012

Lagu Merdu Pak Guru


Biarkan saja kokok ayam jantan tak henti menyambut pagi hari, mereka berkokok saling bersautan dari pojok desa satu dengan lainnya. Mereka begitu tak hirau dengan datangnya hari yang akan dijalani oleh kehidupan manusia babak demi babak, menurut kodrat yang telah digariskan oleh Sang Pencipta.
Pagi itu bumi Desa Kembang Arum seakan tiada menyisakan warganya yang kembali merapatkan selimutnya, meski di tengah musim kemarau udara begitu dinginnya. Kabut tebal masih enggan menatap sang mentari. Sementara itu semua celoteh burungpun tak mau peduli dengan malasnya embun yang menyelimuti mereka. Sementara semua penduduk desa, yang kebanyakan petani gurem mulai bersiap mencari secercah penghidupan, dengan menyandarkan pada palawija, lantaran musim kemarau masih menerpa mereka. Di tengah penghidupan masyarakat yang separuh nafas itulah, Nur Hadi mengabdikan diri sebagai Pak Guru. Demikian predikat yang diberikan masyarakat desa kepadanya.
Nur Hadi bukan hanya guru di SD N III Kembang Arum, namun dia juga sebagai guru bertani, bergaul, pengentasan terhadap ketertinggalan, keserasian rumah tangga dan seabreg nilai lainnya yang dibutuhkan masyarakatnya. Jubah Hitam kala dia kenakan diwisuda menjadi S.Pd. ternyata menyimpan seribu beban. Namun bagi Nur Hadi beban itu, hanyalah sebuah nyanyian merdu seorang pendidik yang ditekuni lahir batin.
Matahari sudah tidak malas lagi dan kini mulai bangkit dari cakrawala timur, jalan desa sudah dipenuhi sibuknya petani guna mencari nafkah. Debu jalan desapun tak mau kalah dalam bersuka ria, beterbangan bersama angin kemarau yang dingin dan kering.
Dengan sepeda motor bututnya Nur Hadi mulai bersiap menuju sekolahnya guna menyongsong anak-anak kesayangannya untuk mendapatkan setetes demi setetes ilmu. Namun terkadang pula dia sering menjumpai penduduk desa yang sengaja bertandang di sekolahnya sekedar minta setetes masukan guna menyelesaikan semua permasalahan yang membelitnya. Dalam hal ini jadilah Nur Hadi sebagai konsultan rumah tangga, kesehatan, bisnis yang tanpa menarik jasa serupiahpun.
Angin kemarau melambaikan semua rerimbunan daun di lingkungan sekolah, menimbulkan hawa sejuk sekaligus keteduhan hati. Nur Hadi masih membimbing anak kelas VI untuk menata kelas,  karena senin lusa akan dilangsungkan ujian sekolah. Pandangan matanya kini terpusat pada halaman sekolah, kala seorang wanita tua berjalan mendekatinya dengan tergopoh-gopoh. Rupanya pagi ini giliran seorang penduduk desa yang berniat minta tolong kepada Pak Guru Nur Hadi.
“Oh rupanya engkau Bi, silakan duduk”
“Aku  harus bagaimana?, aku harus berkata apa?”
“Sabarlah Bi, duduklah dengan tenang, katakana apa masalahnya, Jangan emosi dulu”
“Itu si Amran, yang sekarang tak mau sekolah lagi, sudah tiga malam ini dia baru pulang. Lagian pulang dalam keadaan mabuk. Bagaimana ini Pak Guru ?”.
“Ah anak muda sekarang memang  seperti itu, Bi. Jangan Bibi banyak marah dengan anak sekeras itu. Turuti saja kemauannya dulu. Setelah dia agak lapang hatinya barulah Bibi nasehati dia”
“Tolonglah Pak Guru, sudah tidak kurang lagi aku ngomong sama dia. Rasanya sampai kaku lidahku”
“Ah Bibi ini ada ada saja. Kalau Bibi tidak mau kasih nasehat. Lantas siapa lagi?”
“Iulah masalahnya, Pak Guru !. Amran kan dulu sekolah sini. Dulu kan Pak Hadi yang paling dekat denganya. Maka tolonglah Bibi ini. Nasehati si Amran itu !”
“Baiklah kalau begitu, Bi !. Tunggulah beberapa hari. Nantikan dia ketemu aku di kegiatan karang taruna. Aku akan nasehati dia”
“Ah trimakasih sebelumya, siapa lagi kalau tidak sama kau Pag Guru, untung desa ini punya guru seperti kamu. Maka carilah gadis desa sini supaya kau betah tinggal di sini. Jadilah penduduk sini, kau akan merasa damai, Jangan cari gadis kota !. Mereka pintar dan cantik tapi suka berani sama suami”
“Ah Bibi ada ada saja. Trimakasih nasehatnya ya Bi”
“Aku pamit dulu, gampang lain waktu kita sambung lagi”
Nur Hadipun menjadi geli hatinya, tentang peran dia di tengah masyarakat desa ini yang masih lugu dan pasrah. Jauh berbeda dengan Jogja tempat kelahirnya, yang jauh di sebrang lauan dari  tempat dia mengajar kini. Beruntung pula bagi Nur Hadi yang memiliki tabiat ramah, suka menolong dan supel bergaul. Maka meski kehadiran dia di  Jambi belum beberapa lama, namun hamper semua warga di Kecamatan Hidup Baru Kota Jambi telah mengenalnya.
Matahari telah melewati sepenggalah langit, teriknya sudah mulai memenuhi semua halaman  sekolah yang sederhana itu. Semua siswa  kini berteriak kegirangan lantaran mereka hanya setengah hari bersekolah. Nur Hadipun segera menuju perjalan pulang melewati jalan yang terik dan berdebu. Gemerisik daun jagung di tiup angin padang terdengar sepanjang kanan kiri jalan desa. Senyum wanita desapun tak ketinggalan ikut mengantar sepanjang perjalanan guru muda terebut, Termasuk Restu Priastuti, putra Pak Priadi yang telah lama tinggal di pinggiran Kota Jambi. Pak Priadi sendiri befrasal dari Kab. Purbalingga Banyumas.
Untuk gadis Jambi yang satu ini memang Nur Hadi merasakan sesuatu yang lain. Selama dia menggapai masa depanya dengan menjelajah banyak tempat,  belum pernah kata hatinya bergejolak seperti ini,  dari mulai pandangan pertama saat mereka bertemu di pertandingan voley antar desa, mereka berdua sudah saling tertarik.
Nur Hadi segera menepikan motornya kala melihat Restu gadis pujaanya, sedang membantu ayahnya membersihkan lahan tanaman jagungnya dari rumput dan gulma lainnya. Mereka akhirnya sudah terlibat dalam canda ria saling melepas tawa, sambil sebentar sebentar berpadu pandang. Kala ini terjadi, merahlah pipi Restu namun tidak mengurangi keanggunan gadis desa ini. Nur Hadi segera saja melepas sepatunya dan ikut membantu tambatan hatinya dalam mengolah lahan jagung itu, meski seragam batik PGRI menjadi berlepotan tanah.
“Kok nggak sekalian pulang dulu Kak?”
“Di rumah juga mau ngapain cuma bengong. Mendingan melihat di sini,  bisa melihat Nawang Wulan di sawah”
“Siapa itu Nawang Wulan, pacarmu dari Jawa ya Kak ?” . Nur Hadi tersenyum gelid an membuat Restu tambah penasaran
“Ayo dong Kak. Siapa Nawang Wulan. Kayaknya di desa ini nggak ada yang bernama Nawang Wualan”. Karena desakan yang terus menerus Nur Hadipun akhirnya bercerita tentang legenda Jawa tentang Joko Tarub dan Nawang Wulan. Restupun menjadi berbingar wajahnya dan memerah pipinya dan kini hanya tertunduk lesu setelah tahu maksud hati sang guru yang masih perjaka itu/
“Tapi aku bukan bidadari lho kak”
“Ah bagiku kamu adalah bidadariku” jawab Nur Hadi kala mereka telah berdua duduk di bawah rerimbunana tanaman jagung yang sudah agak tua.
Kan masih banyak bidadari di Jawa kak?”
“Aku sudah jadi PNS dan berniat tinggal di sini. Lagian di Jawa aku tidak punya siapa siapa hanya bapak dan ibu serta adiku. Untuk apa aku ke Jawa lagi”
“Tapi banyak guru negeri yang balik lagi ke Jawa, kamu apa nggak seperti mereka?”
“ Nggak Res, aku dah betah disini, kelak kalau kita bersama membentuk maghligai, akan aku pindahkan saja bapak ibuku ke sini. Orang sini baik baik semua sama aku Res ?”
“Gimana ya kaka, kebanyakan pria memang suka menebar janji, aku nggak tahu kak?”
“Aku seorang pendidik Res !. aku punya moral. Dan bagi seorang pendidik, yang telah bertekad menjadi pegawai negeri tentunya akan memiliki moralitas untuk membangun lingkunganya. Barangkali kita bsa pulang ke Jawa setelah aku pensiun. Dan untuk itu telah berulang aku sampaikan padamu untuk bersama menggapai kehidupan kita bersama”. Restu hanya menundukan wajahnya,  sama sekali dia tidak mampu menjawab setuju. Maka kini Nur Hadi menjadi berbunga hatinya. Tembang merdu dalam hatinya terus saja ia dendangkan sepanjang perjalanan pulang mengantar Restu ke rumahnya.
Sepanjang perjalanan semua warga desapun melempar senyum dan lambaian tangan. Seakan mereka telah menobatkan mereka berdua sebagai Abang dan Nona Desa Kembang Arum. Nur Hadi kinipun larut dalam belaian cinta bersama Restu pujaan hatinya***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar