Barangkali saja manusia memang
harus mengenal dirinya sendiri, semata untuk menghilangkan sifat ego yang biasa
didera oleh insan di dunia ini. Lantaran ini pula Pak Guru Sofyan harus
mengerti akan kesendiriannya, tanpa ada lagi Sugiarti yang dia tambatkan pada
tepi hatinya, ketika mereka berdua menjadi guru SD Warga Baru di Bumi
Transmigrasi Kalsel. Setelah lima
tahun mereka menjadi anak bangsa yang merelakan hidupnya, demi untuk
mencerdaskan anak anak petani sawit yang datang dari Jawa. Sesuai tekad mereka
berdua ketika berniat mengukir makna pada sebuah kehidupan.
Sementara Sugiarti kini lebih
memilih untuk menambatkan hatinya pada Dimas Hardiman yang sukses di areal
transmigrasi, sebagai petani sawit. Keteguhan hatinya sebagai guru pejuang
mampu Sugiarti hadapi, meski beribu duka lara telah mengakrabi hingga hampir
separo hidupnya. Namun menambatkan cinta Sofyan yang senasib sebagai guru dari
Jawa begitu rapuhnya. Mereka berduapun telah cukup sudah menyematkan sebuah
pengabdian yang besar kepada petani sawit dengan rela menjadi pendidik, tanpa
memperdulikan makna hidup mereka sendiri. Namun apalah artinya mengukur
kedalaman sebuah hati, ketika Sugiarti begitu saja memalingi Sofyan dan membuka
kedua tanganya pada Dimas yang piawai menebar pesona.
***
Suatu senja di tengah lahan
sawit, sebuah perpisahanpun tak mampu mereka tepis.
“Itulah kenyataannya, Mas.
Memang aku harus memikirkan biaya adiku yang masih ada di Jawa” tutur Sugiarti
di awal senja ketika mereka berdua berada di ruang tamu rumah kos Sugiarti.
“Yah!, kalau memang itu maumu,
kita berdua memang telah menjadi figur yang sarat dengan perjuangan,
semata-mata untuk lebih memaknai hidup ini, dan nyatanya kita berduapun
berhasil. Meski harus hidup pas-pasan. Tapi ya itu memang hak kamu”.
“Aku harap engkau mengerti, Mas
“
“Nggak jadi masalah!, Toh aku
sudah pernah katakan ketika kita berdua berangkat dari Jawa, dengan selembar SK
penempatan dari pemerintah untuk mengabdi di bumi transmigrasi ini. Bahwa kita
harus siap menerima tantangan apa saja”
“Tapi bagi kamu, Mas. Masalah
ini kan lain.
Aku merasa bersalah harus mengambil langkah ini. Namun aku juga kasihan dengan
ortuku yang hanya semata menghidupi adik-adiku dari hasil panenan. Aku tak
berdaya, Mas !”
“Akupun mengerti, Giarti. Hanya
aku berharap kamu harus berbahagia dengan Hardiman. Kamu jangan menyia-nyiakan
separo umurmu hanya untuk masa depan anak anak didik kita. Kamu juga manusia
yang berhak mendapatkan bahagia”
“Betul, Mas !, apa hanya di
bibir saja ?”
“Pernahkah aku bohong padamu ?”
“Nggak, pernah Mas !”
Giarti tidak mampu lagi menjawab
ucapan Sofyan yang tiga tahun lebih tua darinya. Dari sisi hatinya, diapun
masih mengagumi kebesaran hati Sofyan yang entah hanya pandai menyimpan
perasaan ataukah memang datang dari lubuk hatinya saat menerima kenyataan ini.
Sugiartipun telah tahu bahwa
tindakannya itu jelas melukai hati kekasihnya itu, yang sejak lima tahun yang
lalu saling menambatkan janji untuk berbahagia di tengah kehidupan petani
sawit.Bumi transmigrasi yang berhias temaram senja menjadi saksi perpisahan dua
hati yang sama sama menyadari kata hati mereka masing-masing. Sebuah
perpisahanpun nampak indah bila insan yang saling melepas ikatan dan janji
saling mengerti.
Memang merekapun masih berharap
bahwa senja itu adalah bukan senja terakhir, namun pada kenyataannya senja itu
memang banyak digayuti awan hitam, yang menyimpan badai dan mungkin petir yang
ganas menerjang siapa saja yang berhadapan. Dari jauh kelihatan pada kaki
langit ufuk barat semburat warna merahpun sudah mulai kelihatan, layaknya
sebuah kanvas raksasa yang digunakan untuk mengukir keindahan alam.
Bagi Sofyan liku-liku hidup
adalah ibarat bayangan tubuhnya yang selalu saja melekati erat tubuhnya yang
terbawa hasrat hati, maka senja itupun ia biarkan berlalu begitu saja, meski
dia juga manusia biasa yang terlanjur menorehkan harapan untuk menyandarkan
sebelah hatinya pada Sugiarti. Betapa sesak dadanya bila mengingat senja itu.
Namun diapun merasa bahwa dunia yang selebar genggamanya itupun harus dia tapaki
dengan realita.
***
Sang waktu pula yang membawanya
menukilkan hidup yang lebih realitas. Apalagi bagi dia yang sudah terlanjur
hidup di pedalaman Kalimantan . Diapun dengan
sigap membunuh bayangan Sugiarti yang terlanjur berkarat di hatinya. Yang jelas
tantangna hidup ke depan jauh lebih menyita kehidupannya ketimbang memburu
bayangan Sugiarti. Meski setiap datang senja diapun selalu teringat senja
terakhir di tengah lahan sawit. Hingga pada suatu senja dia pun kembali
teringat Sugiarti, meski saat itu usianya hampir mencapai 50 tahun, saat itu
pula dia mendambakan untuk pulang ke Jawa bersama Herningsih, pendamping
hidupnya yang menggantikan kehadiran Sugiarti untuk menghabiskan sisa hidupnya
bersama tiga putranya di Kec. Prembun Kab. Kebumen.
Herningsihpun dengan senyum
tulus dan ceria menerima rencana suami tercintanya, lagian diapun mengharap
anak-anaknya kuliah di Jawa yang lebih baik mutunya. Akhirnya pada senja kali
ini, kebahagiaan mereka berdua dan putra-putranya itu telah semakin merebak
menyingkirkan kenangan bersama Sugiarti. Namun sejenak canda riang mereka
terhenti, ketika mereka melihat kedatangan Hardiman, yang dari arah kejauhan
berjalan menghampiri mereka.
“Silakan masuk Bang Hardiman,
mari ! “. Hati Sofyan menjadi penasaran dan mencob menerka, pasti sesuatu
terjadi antara Hardiman dan Sugiarti.
“Trimakasih, Bang Sofyan. Maaf
manganggu acara kalian semua”
“Oh sama sekali tidak, kami
hanya sedang ngobrol nggak karuan. Tumben Bang Hardiman datang kesini,
sepertinya ada perlu penting, ya Bang ?”
“Betul Bang, ini semua tentang
adikmu Sugiarti”. Mendengar nama itu disebut berdesir hati Sofyan.
Herningsihpun menjadi tambah penasaran tentang apa yang terjadi dengan
Sugiarti.
“Kenapa dengan Kak Sugiarti,
Bang” Tanya Herningsih, lantaran dia sudah tidak sabar ingin mengetahui kabar
sebenarnya tentang mantan kekasih suaminya itu.
“Ah aku sudah tidak mampu
berbuat apa Bang. Semua harta miliku telah aku jual, demi kesembuhan Sugiarti”
“Sugiarti, sakit apa, Bang ?”
“Dokter menemukan adanya kanker
pada kedua ginjalnya, Bang “
“Lantas, menurut dokter
bagaimana cara penyembuahanya ?”
“Itulah, Bang yang membuat saya
menjadi setengah gila. Hidup Sugiarti tidak mungkin mampu ditolong lagi,
kecuali ada ada donator ginjal yang bersedia diambil sebelah. Hingga saat ini
aku dan dokternya Sugiarti belum mampu menemukan, kalau toh aku berhasil
menemukan belum tentu organ ginjalnya mampu diterima tubuhnya Giarti”
Terlihat menegang wajah Sofyan
mendengar berita tentang Sugiarti, meski Sugiarti pernah menyayat hatinya, namun
bagaimanapun juga dia adalah teman lama seperjuangan kala mereka berdua mulai
meninggalkan Jawa. Sementara Herningsih tidak henti-hentinya mengamati ulah
suaminya, lantaran dalam hatinya telah bersemayam perasaan cemburu.
“Mam, gimana bila Bapak mencoba
untuk menjadi donator organ untuk adikmu ?”
“Silakan saja Papi, tapi apa
kesehatan papi mendukung ?. Ingat papi, akhir akhir ini sering masuk angin”
“Gimana Bang, aku sebenarnya
pengin menyumbang ginjalku sebelah, tapi umur dan kesehatanku kayanya sudah tidak
memungkinkan”
“Ah saya sendiri tidak tahu,
Bang Sofyan ?. Tapi sebaiknya Abang ikut aku ke rumah sakit, siapa tahu dokter
mengijinkan”
Herningsih tertunduk lesu, dalam
hatinya berkecamuk berbagai perasaan tak menentu. Di salah satu sisi hatinya
dia menahan rasa cemburu, sisi lainnya dia juga mengkhatirkan kesehatan
suaminya yang sudah mulai sakit=sakitan. Namun di belahan hati lainyapun dia
merasakan iba terhadap nasib Sugiarti, yang berprofesi guru SD seperti suaminya
itu.
Namun apapun alasanya , Herningsih
hanya menilai dari sorot mata suaminya yang terus memandanginya dan menyiratkan
kemauan yang hanya semata-mata menolong nasib temanya dan juga menyisakan sorot
mata yang meminta ijin darinya. Maka Herningsihpun hanya bisa menganggukan
kepala pertanda dia menyutujui niatan mulia dari suaminya.
Di kamar ICU itu Sugiarti masih
terbujur kaku dan seluruh tubuhnya mulai mendingin, akibat racun racun dari
seluruh tubuhnya mencemari darahnya. Tanpa seberkas senyumpun Sofyan dan
Herningsih berdiri di sisi pembaringan Sugiarti, yang sudah seperti mayat.
Dokter Burhan yang mengawasi intensif kesehatan Sugiarti kini menggelengkan
kepalanya dan menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada Dimas
Hardiman lantaran tidak mampu berbuat banyak.
Hardiman kini hanya mampu
meneteskan airmata kesedihan, sedangkan bagi Sofyan kali ini dia merasakan
hadirnya senja yang kedua di Bumi Transmigrasi lahan sawit. Dia segera
merapatkan badanya kea rah Herningsih, sembari memegang kuat tangan istrinya,
pertanda dia tidak mau ada perpisahan diantara mereka, kecuali bila Tuhan Yang
Kuasa menghendaki. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar