Minggu, 10 Juni 2012

Guruku Selalu

Barangkali saja manusia memang harus mengenal dirinya sendiri, semata untuk menghilangkan sifat ego yang biasa didera oleh insan di dunia ini. Lantaran ini pula Pak Guru Sofyan harus mengerti akan kesendiriannya, tanpa ada lagi Sugiarti yang dia tambatkan pada tepi hatinya, ketika mereka berdua menjadi guru SD Warga Baru di Bumi Transmigrasi Kalsel. Setelah lima tahun mereka menjadi anak bangsa yang merelakan hidupnya, demi untuk mencerdaskan anak anak petani sawit yang datang dari Jawa. Sesuai tekad mereka berdua ketika berniat mengukir makna pada sebuah kehidupan.

Sementara Sugiarti kini lebih memilih untuk menambatkan hatinya pada Dimas Hardiman yang sukses di areal transmigrasi, sebagai petani sawit. Keteguhan hatinya sebagai guru pejuang mampu Sugiarti hadapi, meski beribu duka lara telah mengakrabi hingga hampir separo hidupnya. Namun menambatkan cinta Sofyan yang senasib sebagai guru dari Jawa begitu rapuhnya. Mereka berduapun telah cukup sudah menyematkan sebuah pengabdian yang besar kepada petani sawit dengan rela menjadi pendidik, tanpa memperdulikan makna hidup mereka sendiri. Namun apalah artinya mengukur kedalaman sebuah hati, ketika Sugiarti begitu saja memalingi Sofyan dan membuka kedua tanganya pada Dimas yang piawai menebar pesona.
***
Suatu senja di tengah lahan sawit, sebuah perpisahanpun tak mampu mereka tepis.
“Itulah kenyataannya, Mas. Memang aku harus memikirkan biaya adiku yang masih ada di Jawa” tutur Sugiarti di awal senja ketika mereka berdua berada di ruang tamu rumah kos Sugiarti.
“Yah!, kalau memang itu maumu, kita berdua memang telah menjadi figur yang sarat dengan perjuangan, semata-mata untuk lebih memaknai hidup ini, dan nyatanya kita berduapun berhasil. Meski harus hidup pas-pasan. Tapi ya itu memang hak kamu”.
“Aku harap engkau mengerti, Mas “
“Nggak jadi masalah!, Toh aku sudah pernah katakan ketika kita berdua berangkat dari Jawa, dengan selembar SK penempatan dari pemerintah untuk mengabdi di bumi transmigrasi ini. Bahwa kita harus siap menerima tantangan apa saja”
“Tapi bagi kamu, Mas. Masalah ini kan lain. Aku merasa bersalah harus mengambil langkah ini. Namun aku juga kasihan dengan ortuku yang hanya semata menghidupi adik-adiku dari hasil panenan. Aku tak berdaya, Mas !”
“Akupun mengerti, Giarti. Hanya aku berharap kamu harus berbahagia dengan Hardiman. Kamu jangan menyia-nyiakan separo umurmu hanya untuk masa depan anak anak didik kita. Kamu juga manusia yang berhak mendapatkan bahagia”
“Betul, Mas !, apa hanya di bibir saja ?”
“Pernahkah aku bohong padamu ?”
“Nggak, pernah Mas !”
Giarti tidak mampu lagi menjawab ucapan Sofyan yang tiga tahun lebih tua darinya. Dari sisi hatinya, diapun masih mengagumi kebesaran hati Sofyan yang entah hanya pandai menyimpan perasaan ataukah memang datang dari lubuk hatinya saat menerima kenyataan ini.
Sugiartipun telah tahu bahwa tindakannya itu jelas melukai hati kekasihnya itu, yang sejak lima tahun yang lalu saling menambatkan janji untuk berbahagia di tengah kehidupan petani sawit.Bumi transmigrasi yang berhias temaram senja menjadi saksi perpisahan dua hati yang sama sama menyadari kata hati mereka masing-masing. Sebuah perpisahanpun nampak indah bila insan yang saling melepas ikatan dan janji saling mengerti.
Memang merekapun masih berharap bahwa senja itu adalah bukan senja terakhir, namun pada kenyataannya senja itu memang banyak digayuti awan hitam, yang menyimpan badai dan mungkin petir yang ganas menerjang siapa saja yang berhadapan. Dari jauh kelihatan pada kaki langit ufuk barat semburat warna merahpun sudah mulai kelihatan, layaknya sebuah kanvas raksasa yang digunakan untuk mengukir keindahan alam.
Bagi Sofyan liku-liku hidup adalah ibarat bayangan tubuhnya yang selalu saja melekati erat tubuhnya yang terbawa hasrat hati, maka senja itupun ia biarkan berlalu begitu saja, meski dia juga manusia biasa yang terlanjur menorehkan harapan untuk menyandarkan sebelah hatinya pada Sugiarti. Betapa sesak dadanya bila mengingat senja itu. Namun diapun merasa bahwa dunia yang selebar genggamanya itupun harus dia tapaki dengan realita.
***
Sang waktu pula yang membawanya menukilkan hidup yang lebih realitas. Apalagi bagi dia yang sudah terlanjur hidup di pedalaman Kalimantan. Diapun dengan sigap membunuh bayangan Sugiarti yang terlanjur berkarat di hatinya. Yang jelas tantangna hidup ke depan jauh lebih menyita kehidupannya ketimbang memburu bayangan Sugiarti. Meski setiap datang senja diapun selalu teringat senja terakhir di tengah lahan sawit. Hingga pada suatu senja dia pun kembali teringat Sugiarti, meski saat itu usianya hampir mencapai 50 tahun, saat itu pula dia mendambakan untuk pulang ke Jawa bersama Herningsih, pendamping hidupnya yang menggantikan kehadiran Sugiarti untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama tiga putranya di Kec. Prembun Kab. Kebumen.
Herningsihpun dengan senyum tulus dan ceria menerima rencana suami tercintanya, lagian diapun mengharap anak-anaknya kuliah di Jawa yang lebih baik mutunya. Akhirnya pada senja kali ini, kebahagiaan mereka berdua dan putra-putranya itu telah semakin merebak menyingkirkan kenangan bersama Sugiarti. Namun sejenak canda riang mereka terhenti, ketika mereka melihat kedatangan Hardiman, yang dari arah kejauhan berjalan menghampiri mereka.
“Silakan masuk Bang Hardiman, mari ! “. Hati Sofyan menjadi penasaran dan mencob menerka, pasti sesuatu terjadi antara Hardiman dan Sugiarti.
“Trimakasih, Bang Sofyan. Maaf manganggu acara kalian semua”
“Oh sama sekali tidak, kami hanya sedang ngobrol nggak karuan. Tumben Bang Hardiman datang kesini, sepertinya ada perlu penting, ya Bang ?”
“Betul Bang, ini semua tentang adikmu Sugiarti”. Mendengar nama itu disebut berdesir hati Sofyan. Herningsihpun menjadi tambah penasaran tentang apa yang terjadi dengan Sugiarti.
“Kenapa dengan Kak Sugiarti, Bang” Tanya Herningsih, lantaran dia sudah tidak sabar ingin mengetahui kabar sebenarnya tentang mantan kekasih suaminya itu.
“Ah aku sudah tidak mampu berbuat apa Bang. Semua harta miliku telah aku jual, demi kesembuhan Sugiarti”
“Sugiarti, sakit apa, Bang ?”
“Dokter menemukan adanya kanker pada kedua ginjalnya, Bang “
“Lantas, menurut dokter bagaimana cara penyembuahanya ?”
“Itulah, Bang yang membuat saya menjadi setengah gila. Hidup Sugiarti tidak mungkin mampu ditolong lagi, kecuali ada ada donator ginjal yang bersedia diambil sebelah. Hingga saat ini aku dan dokternya Sugiarti belum mampu menemukan, kalau toh aku berhasil menemukan belum tentu organ ginjalnya mampu diterima tubuhnya Giarti”
Terlihat menegang wajah Sofyan mendengar berita tentang Sugiarti, meski Sugiarti pernah menyayat hatinya, namun bagaimanapun juga dia adalah teman lama seperjuangan kala mereka berdua mulai meninggalkan Jawa. Sementara Herningsih tidak henti-hentinya mengamati ulah suaminya, lantaran dalam hatinya telah bersemayam perasaan cemburu.
“Mam, gimana bila Bapak mencoba untuk menjadi donator organ untuk adikmu ?”
“Silakan saja Papi, tapi apa kesehatan papi mendukung ?. Ingat papi, akhir akhir ini sering masuk angin”
“Gimana Bang, aku sebenarnya pengin menyumbang ginjalku sebelah, tapi umur dan kesehatanku kayanya sudah tidak memungkinkan”
“Ah saya sendiri tidak tahu, Bang Sofyan ?. Tapi sebaiknya Abang ikut aku ke rumah sakit, siapa tahu dokter mengijinkan”
Herningsih tertunduk lesu, dalam hatinya berkecamuk berbagai perasaan tak menentu. Di salah satu sisi hatinya dia menahan rasa cemburu, sisi lainnya dia juga mengkhatirkan kesehatan suaminya yang sudah mulai sakit=sakitan. Namun di belahan hati lainyapun dia merasakan iba terhadap nasib Sugiarti, yang berprofesi guru SD seperti suaminya itu.
Namun apapun alasanya , Herningsih hanya menilai dari sorot mata suaminya yang terus memandanginya dan menyiratkan kemauan yang hanya semata-mata menolong nasib temanya dan juga menyisakan sorot mata yang meminta ijin darinya. Maka Herningsihpun hanya bisa menganggukan kepala pertanda dia menyutujui niatan mulia dari suaminya.
Di kamar ICU itu Sugiarti masih terbujur kaku dan seluruh tubuhnya mulai mendingin, akibat racun racun dari seluruh tubuhnya mencemari darahnya. Tanpa seberkas senyumpun Sofyan dan Herningsih berdiri di sisi pembaringan Sugiarti, yang sudah seperti mayat. Dokter Burhan yang mengawasi intensif kesehatan Sugiarti kini menggelengkan kepalanya dan menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada Dimas Hardiman lantaran tidak mampu berbuat banyak.
Hardiman kini hanya mampu meneteskan airmata kesedihan, sedangkan bagi Sofyan kali ini dia merasakan hadirnya senja yang kedua di Bumi Transmigrasi lahan sawit. Dia segera merapatkan badanya kea rah Herningsih, sembari memegang kuat tangan istrinya, pertanda dia tidak mau ada perpisahan diantara mereka, kecuali bila Tuhan Yang Kuasa menghendaki. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar