Cerpen Remaja Effi Nurtanti
Lampu hias di jalan sepanjang Kota Semarang telah mengguratkan
wajah kota ini menjadi tambah moncer, bagaikan gadis gadis penari di latar Prambanan
kala bulan purnama tiba, meski kerlip sinarnya tidak mampu meyaingi sang
rembulan yang berdandan lebih menantang, dengan kuning sinarnya menambah
terangnya lorong lorong Kota Semarang di malam itu. Eksotis malam itu telah sanggup memagutkan
remaja remaja yang sedang merajut hati, untuk sekedar menuangkan komposisi warna
amour dalam kanvas hidup.
Namun malam ini bagi Rinjani tak
lebih hanya malam yang bertabur bayang bayang hitam dari hantu hantu entah
datang dari penjuru mana. Sehingga warna malamnya hanya hitam kelam, tak
satupun berkas sinar rembulan yang menggapai beranda rumahnya, sejak perpisahan
dia dengan Albert. Hati rinjani kini tak ubahnya media untuk merekam saat saat
mereka berdua dipeluk dewi asmara. Meski mereka kala itu saling menyayangi,
menghormati serta saling mengerti pribadi masing masing. Namun Albert juga
tetap manusia biasa.
Malam bertambah menampakan sifatnya
yang egois, tetap saja patuh dengan kendaraan waktu yang merambat dari sisi ke
sisi, sementara beranda rumahnya kini masih tetap membujur dingin. Hanya sebentar sebentar Rinjani hinggap
terkulai dengan suara sauara hatinya sendiri, yang kadang lebih tajam dai
belati yang menusuk dalam dalam jantungnya. Segera Rinjani kumpulkan kekuatan
untuk menikam suara hatinya dan menelikungnya. Namun lama kelamaan dia sendiri
tidak mampu melawanya. Barngkali saja karena malam minggu ini dia hanya sendiri
di beranda rumahnya, sementara rembulan kini telah mengerutkan wajahnya, dan
awan hitam terus saja melingkungi. Maka suara cegkerik dari kebun sebelah rumah
setengah tembok yang mau menerima kegetiran hati putri lajang yang anggun itu.
Ditambah dengan desah suara daun pisang yang terirama angin malam. Rinjani kini
terperosok jauh dengn suara nhatinya
“Lantas
untuk apa kamu menyendiri di sini. Sementara Albert kini bercumbu dengan Netty
di pavilyun cintanya”. Gemetar seluruh tubuh Rinjani mendengar suara hatinya
yang tak mampu ditepisnya.
“Dunia
yang aku rengkuh, tidak sebatas Kota Semarang saja, tapi dunia terhampar dari
mulai Artic hingga Antartika, dari mulai Mount Everest hingga Mahameru.
Kenapa mesti Abert yang harus disisiku
?”
“Tapi
mengapa engkau malam ini terkulai lesu, kenapa pula kau bohongi malam jalang
ini ?, kamu merindukan Albert kan ?”
Rinjani tersentak kaget,
mendengar halilintar yang memecut hati yang sedang meradang pilu itu. Nama yang
disebut hatinya sendiri, kini bagaikan bara api yang menguliti seluruh hatinya
dan menyalakan bara amarah. Nama itu beberapa hari lalu, ia rasakan bagaikan
seribu keindahan yang mewarnai prosa hidupnya. Namun kini nama itu bagaikan
bara dari gunung Merapi yang hendak menelan hidup hidup seluruh tubuhnya yang
tidak seberapa kuatnya.
“Hai
!, hati yang sedalam laut Atlantik, jangan kau sebut lagi nama Albert. Enyahlah
kau sejauh jauhnya. Biarkan malam jalang ini menemaniku. Lebih baik aku
terpagut dengan kelamnya malam ini, ketimbang aku harus dekat dengan durjana
itu”
Baik Rinjani dan malam jalang itu
kini sendiri sendiri saling memagut sepi di sisi yang brsebrangan. Namun masih
sekali sekali suara angin malam yang jalang itu menyebut nama Raymond. Cowok
ganteng, berkulit sawo matang agak gelap dan bertubuh atletis. cowok ini memang
piawai untuk mejeng, saat Albert masih di sisinya, diapun sering terkesima
melihat sang actor yang senang berkaca mata hitam mirip Tom Cruise. Tapi bagi
Rinjani kala itu tidak pernah berniat untuk membuat sayatan luka di hati Albert,
yang kadang bersikap seperti gunung es namun kadamg pula dia melebihi adegan
sinetron picisan kalau sedang mabok kasmaran.
Desir angin malam bertambah kuat,
dentang jam dinding di ruang tamu memecut udara malam hingga sebelas kali. Angin
malam kini lebih lantang lagi menyebut nama Raymond.
“Rinjani
!, Raymond malam ini merindukanmu, berdandanlah seperti bulu burung merak yang
meregangkan seribu warna. Hiasi senyumanmu dengan hiasan penuh rasa simpatik
pada pria ganteng itu. Desiran hati kamu sering mengakui kalau dia lebih pinter
mejeng ketimbang Albert?”
“Tapi
aku bukan cewek murahan yang gampang jatuh kepelukan pria, aku memang kesepian.
Betapa kejamnya kau hai malam, kejalanganmu semakin dalam menghimpitku”
Sementara jalangnya malam diam
membisu, bahkan sekarang menebar kembang setaman warna warni yang semerbak
harum memenuhi beranda hati Rinjani sang bidadari malam yang kehilangan sayap
sayap. Maka malampun lantas meminjami sayap yang berwarna merah jambum, hingga
membuat Rinjani mampu terbang menuju pintu langit menjumpai Sang Dewi Asmara,
yang telah siap membukakan buku harian sang bidadari malam kala masih
bersanding dengan Albert.
Lembar demi lembar buku harian
terbaca Rinjani, hingga akhirnya pada bagian akhir buku harian, kala dia
berjumpa dengan Albert yang terakhir kali, malam minggu yang lalu di Great Zone
Coffe di tengah Kota Semarang. Rinjani kala itu sempat kagum dengan dirinya
sendiri yang tegar berhadapan dengan durjana cintanya, yang telah menjual cinta
gombalnya pada Netty.
Perpisahan memang harus terjadi
antara mereka bedua, disaksikan ornament Great Zone Coffe yang flamboyant yang
masih menyisakan aura De’Amour. Namun Rinjani telah kukuh hatinya, sekuat
tenaga dia harus mampu menepiskan jerat jerat sutera yang terus ditebarkan
Albert, namun bagi Rinjani jerat itu hanya belati tajam yang akan mengoyak
beranda hatinya.
Kala harmoni malam jalang telah
menyuguhkan kidung tengah malam, sayap
sayap Rinjani kembali melipat dan luruh di beranda rumahnya, diapun segera
dengan perlahan mencabut belati belati yang mengkoyak hatinya. Buku harian yang
bersampul pelangi jingga segera ditutupnya, senyum manis Albert masih tertera
dengan samara di sampul belakangnya itu. Rinjani kembali duduk terkulai di
korsi rotan beranda rumahnya, angina malam jalang yang dingin mulai merambah ke
sumsum tulangnya. Namun kejalangan malam itu, kembali mendekati dan mulai
menjamah hati Rinjani dengan bahasa malam.
“Bukankah
Raymaond yang ganteng itu bukan type cowok penjaja cinta. Rinjani. Raymond yang
dulu menjadi sasaran mata kamu yang nakal, seakan akan kau berniat menelan dia
hidup hidup. Bukankah kau hanya tergoda dengan mobil mewah Albert, gaya hidup
gokil Albert “
Rinjani
menjerit dan sekuat hati berniat menepis godaan malam jalang, namun semakin
keras Rinjani memekik semakin lantang malam jalang menelikung hatinya.
“Bukankah
kau duku menolak Raymond karena tidak mampu memenuhi seleramu, dia hanya pakai
sepeda motor untuk kuliah. Sementara sang bunga kampus dan bidadari malam harus
duduk di kursi empuk yang mewah ? Apa beda Raymond dan Albert, Rinjani !!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar