Memasuki masa
akhir bulan April tahun ini, angin malam yang turun dari Gunung Ungaran mulai menggigit
tulang semua penghuni lereng gunung itu. Mendung hitam yang biasa menyelimuti
langit Kabupaten Semarang kini hilang, berganti dengan kerlipan bintang yang
menghiasi langit hitam. Sang rembulan yang lama jarang menampakan diri, kini menampakan
wajahnya yang bundar dan kuning menerangi malam malam sepanjang akhir Bulan
April ini.
Penghuni lereng
Gunung Ungaran kini tak lagi terkungkung hujan seharian disertai petir dan
guruh yang bersautan menakutkan. Sehingga mereka semua memilih untuk berlindung
di balik selimut tidur. Apalagi bagi sebagian besar anak anak, malam malam yang
mulai diterangi sinar bulan membuat mereka berceria bersama di pekarangan rumah
yang mulai mengering. Kawanan Tomcat
dan ulat bulu yang bulan kemarin banyak memenuhi pekarangan mereka kini
telah lenyap. Mereka kini, setelah belajar saling berteriak memanggil dan mengajak lainnya untuk berlarian, berkejaran, saling bernyanyi lagu-lagu ceria.
Di bawah sinar
bulan yang bulat penuh, mereka duduk bergerombol berkelakar tentang apa saja.
Terkadang mereka menceritakan kejadian kejadian lucu yang mereka jumpai tadi
pagi di sekolah, yang segera disambut derai tawa mereka semua. Apalagi hari
besok mereka libur, karena mulai esok pagi kakak kelas mereka harus menempuh
ujian nasional.
Entah karena
kagum dengan wajah bulan yang bulat menguning, mereka kini mengarahkan wajahnya
ke atas, menyaksikan bulan yang tepat lurus di atas kepala mereka. Tak hentinya
mata mereka melototi bulan itu, bulanpun hanya diam membisu tak sepatah katapun
dia sapa pada anak anak di bawahnya yang penuh telisik memperhatikanya.
“Siapa
sebenarnya bulan itu ?, teman teman !” teriak Savitri kepada teman temannya.
Semuanya diam karena tidak tahu jawaban apa yang harus mereka berikan kepada
Savitri.
“Aku sering
bertanya pada bapak dan ibu, mereka selalu memberiku jawaban hanya dengan
senyuman. Apa mereka juga tidak tahu ?” kembali Savitri bertanya kepada teman
temanya yang duduk bersebelahan denganya.
“Kata
neneku, bulan adalah rumah nenek sihir
yang terbakar “ jawab Sebastian.
2
“Lantas mengapa
rumah nenek sihir itu terbakar Iyan ?”
Savitri malah menjadi penasaran dengan jawaban Sebastian .
“Entahlah Fitri
!, neneku pernah cerita. Nenek sihir itu sangat jahat. Tetapi pada suatu hari
dia tidak sengaja menjatuhkan lampu minyak yang ada di kamar tidurnya dalam
rumah besarnya. Api segera berkobar karena minak tanah pada lampu itu membasahi
lantai kayu rumah nenek sihir itu. Dan karena rumahnya sangat besar, hingga
kini nyali api itu belum padam”
“Aku tidak
percaya, Yan !” sahut Galang lantang.
“Eh,
lihatlah bulan itu ! sepertinya
bergambar seorang nenek yang menangis !” terang Sebastian.
“Oh ya aku juga
lihat, sepertinya Iyan benar “ tutur Savitri.
“Ah mana ada
rumah nenek sihir di atas sana ?” kembali Galang menyanggah mereka.
“Tapi menurutku
bulan itu adalah mata raksasa bermata satu yang hidup di luar bumi “ pendapat
Handoko tadi malah semakin membuat mereka bimbang. Sehingga kini mereka hanya
diam membisu untuk beberapa lama. Namun wajah mereka semau tidak henti hentinya
memandang sang bulan. Seandainya bulan itu mampu berbicara seperti kita,
tentunya anak anak desa yang penasaran itu mampu mendapatkan jawaban yang
jelas.
“Teman teman !, pamanku
pernah bercerita tentang bulan. Bulan itu berasal dari seekor naga raksasa yang
mulutnya mampu menyemburkan api. Bulanlah yang menjadi api naga itu ! ”. Di
tengah ketidaktahuan mereka tentang bulan, Prakoso mencoba untuk menjelaskan
tentang bulan kepada teman temanya.
“Mengapa api itu
tidak pernah padam ? “ tanya Sebastian.
“Sang naga itu
sengaja terus menyemburkan api itu agar kita tidak dalam kegelapan bila malam
hari “ jawab Prakoso.
“Benar juga
jawaban Prakoso, tapi besok besok coba aku tanyakan pada Bu Guru Kadarwasih,
siapakah sebenarnya bulan itu”
“Aku setuju, nanti kita coba tanyakan bersama
sama agar kita puas
3
***
Pagi pagi benar
mereka sudah berada di depan ruang guru, sambil berbisik bisik mereka semua
langsung berjalan menuju meja Bu Kadarwasih guru kelas mereka. Bu Kadarwasih
menjadi kaget bukan kepalang menyaksikan mereka yang bersama sama sudah ada di
depan mejanya.
“Apa yang
terjadi anak anaku sayang ?” Senyum Bu Kadarwasih masih menghiasi bibirnya
meski dalam hatinya merasa penasaran dengan kedatangan mereka semua.
“Bu Guru ! aku,
Galang, Iyan. Praseto dan handoko kemarin kemarin berbincang masalah siapa sebenarnya bulan !” sahut
Savitri.
“Berbincang masalah
bulan ?. Oh bagus !, kalian memang anak ibu yang pandai. Bagaimana hasilnya ?”
tukas Bu Savitri.
“Kami belum
tahu, bu !. Kata nenek Sebastian, bulan itu rumah nenek sihir yang terbakar.
Kata Handoko bulan sebenarnya adalah mata raksasa, tapi menurut Prakoso bulan
itu bola api yang disemburkan dari mulut naga, yang benar yang mana ya bu ?”
tanya Savitri dengan polos.
“Anak anaku !,
sekarang juga kamu masuk kelas, nanti ibu jelaskan di depan kelas kamu.
Kebetulan hari pertama ini ibu akan meneruskan pelajaran IPA. Nanti ibu akan
jelaskan apa sebenarnya bulan itu ?”
“Nggak mau, bu
!, Savitri dan teman teman minta sekarang juga ibu menjelaskan tentang bulan.
Semua teman teman sekarang masih penasaran “ desak Savitri yang disambut dengan
anggukan kepala teman temanya.
“Baiklah anaku
sayang !, memang kalian anak ibu yang kritis. Bulan itu bukan siapa siapa.
Bulan itu ya sepeti bumi kita ini. Hanya ukuranya lebih kecil. Bulan kelihatan
bercahaya karena pantulan sinar matahari, jadi bukan rumah nenek sihir yang
terbakar atau semburan naga raksasa, apalagi mata raksasa. Karena bulan
mengelilingi bumi maka bulan disebut satelit bumi. Nah itu jawaban sementara
dari ibu, nanti kita lanjutkan di kelas, yo anak anaku kita masuk kelas !!!!”.
Kedua tangan Bu Kadarwasih merangkul mereka semua dan menariknya dengan penuh
sayang menuju kelas mereka ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar