Berapa banyak sudah pembinaan yang
disodorkankepada pendidik di negara kita, baik pembinaan kompetensi bahan ajar, profesionalisasi, pedagogis dan konstituen lain
yang dianggap berperan vital terhadap capaian pendidikan nasional kita. Semua
upaya tersebut difokuskan untuk
pemberdayaan pendidik dalam ruang lingkup menyongsong label sistim pendidikan
modern, guna pencetakan generasi Indonesia yang mampu menyongsong jaman.
Namun kita tidak bisa memungkiri bahwa karakter
figur pendidikan sebenarnya banyak dicetak oleh unsur budaya, stimulan dan
dorongan dari sistim yang melingkungi, termasuk sistim nilai dan norma sosial
yang melekat kuat pada figur pendidik tersebut. Untuk memperoleh perangkat
seperti tersebut, tidak cukup apabila pendidik di beri pembelajaran melalui
forum ilmiah, pendidikan dan latihan formal atau sistim evaluasi melekat
berkelanjutan dari institusi yang mengotorisasikan.
Hal ini memang menjadi hal yang menarik untuk
dikaji, karena menyangkut pembentukan karakter pendidik oleh budaya sosial. Namun sejarah telah mencatat keberhasilan Bangsa
Jepang dalam menggapai pencerdasan rakyatnya, justru sebelum dicanangkan sistim pendidikan modern, pada masyarakat abad ke-20.telah dilangsungan sistim pendidikan dasar yang
masih tradisional. Pendidikan tersebut dilangsukan di tiap kuil tempat ibadah
masyaraka Shinto. Secara mencengangkan jumlah sekolah rakyat (TERAKOYA) kala itu mencapai jumlah 10.000
terakoya tersebar di seluruh daratan Jepang.
Terakoya diasuh oleh pendidik yang berstatus
sosial cukup bervariasi, yaitu dari para Biksu, Shogun, Daimyo dan lain
sebagainya, yang hanya bersemangat moralitas dan totalitas yang tinggi.
Sehingga lahirlah Bangsa Jepang dan generasinya yang maju, pandai dan
berdedikasi tinggi terhadap iptek, budaya, nasionalisme dan lain sebaginya.
Lantas bagaimana nilai sosial yang melekat pada
pendidik kita. Dalam Kamus Sosiologi yang disusun oleh
Soerjono Soekanto disebutkan bahwa nilai (value) adalah konsepsi-konsepsi abstrak
di dalam diri manusia, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap
buruk. Selanjutnya Horton dan Hunt (1987) menyatakan bahwa nilai adalah gagasan
mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti apa tidak berarti. Dalam rumusan
lain, nilai merupakan anggapan terhadap sesuatu hal, apakah sesuatu itu pantas
atau tidak pantas, penting atau tidak penting, mulia ataukah hina. Prof. Notonegoro mengemukakan bahwa Nilai
vital, adalahnilai yang meliputi
berbagai konsepsi yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berguna bagi
manusia dalam melaksanakan berbagai aktivitas,
Inilah urgensitas sebuah nilai sosial, yang patut melekat kuat di tengah sanubari
pendidik di seantero Indonesia, yang sudah barang tentu adalah “sebuah dosa
besar” bila pendidik tidak menyematkan kuat-kuat dalam membimbing peserta
didik. Karena menurut Drs, Suprapto nilai sosial juga
berfungsi sebagai alat pengawas (kontrol) perilaku manusia dengan daya tekan
dan daya mengikat tertentu agar orang berprilaku sesuai dengan nilai yang dianutnya.
Seringkali seorang pendidik akan merasaan bersalah bila salah satu
pokok bahasan dalam bahan ajarnya belum dibelajarkan kepada peserta didik,
apalagi hanya memberikan catatan dari buku ajar, atau merasa sedih bila
menjumpai beberapa peserta didik belum tuntas berkompetensi terhadap bahan
ajar, inilah nilai sosial yang telah melekat kuat di moralitas pendidik.
Maka apabila komunitas pendidik di seantero Indonesia telah
menggenapi dengan kekuatan moralitas seperti di atas, maka pencapaian standard pendidikan
nasional sesuai yang diharapkan tinggal menunggu waktu saja, guna menggapai
Indonesia milik generasi yang cerdas, kompetensi, taqwa dan siap menyongsong
jaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar