Cerpen Remaja Effi Nurtanti
Kenanga
terus menguntai senyumnya di bibir bertanam bunga mawar merah jambu. Seakan sedari pagi hingga tingginya sang mentari hari
ini, adalah miliknya. Lantaran Kenanga hari ini betul betul menuai keindahan, dengan
menyelipkan warna warni bunga di beranda hatinya. Sementara itu langit bagaikan
kelambu biru ranjang pengantinya, yang tergelar di empat kaki langit. Bunga
mawar berkelopak merah jambu, mulai Kenanga semaikan setelah sepotong kalimat
Indra betul betul bersemayam dengan kokohnya di keranjang hatinya. “Kenanga ,
aku suka kamu “. Sepotong kalimat inilah, yang menjadi rajutan kain sutra, yang
melilit di lubuk hatinya.
Kenanga
hanya mampu membalasnya dengan senyum berkemas lebay, mirip kala Kenanga di
depan mamanya, untuk merayu minta dibelikan mobil baru atau acessori terbaru
yang keren. “Ah, tapi Indra gimana ya, apa dia serius atau cuma making a
joke. Aku benar benar bingung. Cowok
jenius ini, tidak seperti biasanya, dia suka acuh tapi akhir akhir ini, dia seperti serius dan minta ampun romantisnya.
Memang dia penuh pesona, dengan rambut ikal, hidung mancung dan berkumis tipis
mirip penyanyi country Frankie, yang sanggup menerbangkan hatiku. Tapi rasa
salut juga aku berikan sama cowok ini, yang tergolong mahasiswa tidak mampu
tapi dengan penuh PD yang kuat dia berani pdkt aku, yang tak mampu menepisnya”.
Entah sayap malaikat mana yang mengipasi kalbu Kenanga hingga terus melamun.
“Kenapa
aku harus seperti cewek nggak gaul?, seribu cowok kaya Indra bisa aku dapatkan
dalam satu hari. Mengapa aku harus dibuat penasaran dengan rayuanya yang
nylonong begitu saja?”. Tak hentinya hati Kenanga dipenuhi rasa penasaran. Di salah
satu beranda hatinya, dia tidak mau seperti cewek yang tidak punya gengsi, tapi di beranda hati lainnya
diapun takut kehilangan cowok jenius yang misterius, meski kadang terkesan
cowok yang jadul. Tapi “duilah”, kalau cowok yang satu ini mulai bertutur kata,
dia mirip Morgan Smesh, bahkan lebih santun lagi.
***
Kenanga
menginjak pedal gas mobil sedan trendy merah metalik dengan pelan, melintasi
jalan aspal berdebu di depan kampusnya, meski beberapa cewek temen gaulnya
sudah melaju kencang mendahuluinya. Tatapanya kini dia lemparkan pada kaca
jendela sebelah kiri dan kanan secara bergantian. Siapa lagi kalau bukan Indra
yang dia telisik. Barangkali saja Indra di siang terik seperti ini masih
nongkrong sehabis kuliah.
Sedan
merah metalik yang flamboyant masih melaju pelan, meski beribu peluru senapan
mesin telah diberondongkan sokib sokibnya pada dia pagi hari tadi, yang sama
sekali tidak merestui Indra menjadi tambatan hati Kenanga,
“Eh
Inga!, gila kamu !, cowok dekil kaya Indra nggak usah diberi kesempatan dekat
dengan kamu!” sahut Ririn dengan mata tajam seakan berhasrat menelanjangi
seluruh tubuh Kenanga,
“Kamu
nggak kasihan sama papi dan mama kamu ?. Aku pernah dengar langsung dari mama kamu!.
Kamu tidak bakalan sengsara di masa depan, bila Aldo yang menjadi pendamping
hidupmu. Kurang apa lagi dengan Aldo, cowok gaul dan juga smart, tidak kalah
sama Indra, cowok jadul yang hidup di bawah kolong”. Ucapan Beti yang meluncur
begitu saja dan masih kuat melekat di sanubari Kenanga.
“Anga
!, aku sudah lama kenal kamu mulai dari SMA dulu, cewek seusia kamu bukan lagi
ABG, yang cuma kenal cinta buta dan ingusan. Apa yang diharapkan dari Indra.
Piss Anga !, ini kan demi kamu, kita ini
bener bener sokib yang sayang sama kamu ”. Pinta Resti sambil
melilitkan tanganya di leher Kenanga dan tak lama kemudian Restipun mencium
kedua pipi Kenanga, yang mulai dibasahi air mata bening cewek kolokan ini.
Kini
Kenanga benar benar tersudut, himpitan dari sokib sokibnya menuai kabut hitam
dan tebal di langit hatinya. Silih berganti bayangan Indra dengan senyum yang
tulus, yang mengisyaratkan apapun nantinya mereka berdua mengalami goncangan hidup,
Indra akan tetap disampingnya. Namun lecutan suara sokib sokibnyapun tak lama
kemudian menghilang terbawa kerontangnya angin kemarau dan bayangan Indra kini mulai menepis butir butir awan
gelap.
“Mengapa ini terjadi kala
Indra mulai ada di hatiku ?” Kenanga dengan wajah yang lugu dan lebai, mulai
berani menatap sorot mata sokib sokibnya.
“Ya,
udahlah Anga !, semua adalah semata saran untukmu. Apapun pilihanmu kami tetap
menjadi sokibmu. Karena pertemuan dan perpisahan semata milik Yang Kuasa, hanya
saja kamu harus merelakan cinta kamu di atas semua yang akan kamu hadapi, kalau
memang kamu memilih Indra”.
***
Setiap
sudut Kota Semarang kini terlihat kumal diterkam kemarau panjang., sementara
Kenanga masih terus menyelesuri jalan aspal yang melentingkan sinar mentari
yang menerpanya. Satu dua buah berkas angin kemarau di tengah hari yang ingin
berselingkuh denganya mulai menerobos kaca jendela mobilnya. Berkas angin
itupun mulai mampu mendinginkan hatinya, yang mulai menggulirkan bayangan
Indra, yang kini seperti biasanya sehabis kuliah, cowok “The Ice Cool” itu nongkrong di “Buffalo Café “ di salah
satu sudut bundaran Simpang Lima Semarang.
“Tidak
langsung pulang, Anga ?” sapa manis Indra, yang kini telah ibarat terhisap
dalam kontes “Miss Universe 2011” di Brasilia beberapa bulan yang lalu, yang
kini mereka semua telah menjelma menjadi Kenanga yang kini duduk disampingnya.
“May
I joint ?“ Pinta Kenanga dengan tetap menghiaskan senyum di bibir. Tapi
apakah Kenanga biasa bersikap kaya gini dengan cowok lainnya, atau memang sikap
manis ini hanya untuk aku, ataukah karena aku yang GR, ataukah memang aku nggak
bisa bersikap dewasa atau memang aku yang nggak mampu menilai hati wanita.
Tetapi bagi Indra. langit biru yang
mengungkungi mereka berdua seakan mampu menelikung dirinya, agar tidak mampu
lagi bergerak menjauh dari tempat duduk Kenanga.
“Tentu,
tapi seperti inilah tempatnya. Namanya aja Buffalo Café , sudah pasti
kan Anga?, tempat ini cocok untuk nongkrong mahasiswa dekil dan norak”
“No
problem, Dra!. Biarkan saja dulu!, aku kongkow di sini karena aku butuh “enjoy n refresh”
“Please
Anga !, kamu mau pesan menu apa?, biar
aku yang tlaktir, tapi menunya hanya bakso dan nasi pecel. Paling kamu nggak suka
menu kaya gitu. Menu seperti ini hanya cocok untuk mahasiswa yang udik, dekil
dan nggak gaul”
“Ah,
canda kamu tendensius!, emangnya aku ini
putri kahyangan atau sengaja kamu ingin menjaga jarak denganku, Indra?’
“Kamu
kok jadi aneh!, Anga!, aku Cuma bercanda. Ada apa kamu jadi sensitif seperti
itu?”
“Biarin
!!!, apa salahnya kalau aku marah. Kamu mau ngomomg aku cewek kolokan kan ?,
Aku cewek yang hanya bisa gaul dengan sokib dari kalangan the have saja
kan ?, aku cewek putra kesayangan mama papa, kan ?. Indra!. Model gaul kaya
gitu sudah bukan jamanya lagi. Aku nggak suka kalau kamu norak kaya gitu!. Oke !!!,
Dra kalau kamu terganggu dengan kedatanganku, lebih baik aku pulang saja”
“Eh,
nanti dulu, Anga !. Sure dech, aku sama sekali nggak bermaksud norak
sama kamu. Malah aku enjoy kamu mau gabung ?. Please staying
for a while Anga !”
“Ok
!!! Dra, tapi aku minta kamu jujur, mengapa sikap kamu norak kali ini?,
ucapanmu tajam menyakiti aku”. Sepasang mata Kenanga yang bulat dan tajam kini
menusuk Indra dan siap untuk membelah isi jantung Indra.
“Nggak
apa apa, Anga !, tadi cuma nylonong begitu saja”
“Aku
kenal kamu sudah lama sejak dari semester tiga, aku selalu enjoy dekat
kamu, tapi belum pernah aku lihat sikap kamu yang nggak familiar seperti ini.
Dra!, jujur saja sama aku ?, Aku ingat
kamu sering ngajarin aku tentang pentingnya nilai kejujuran”
“Kamu
tadi ngumpul bareng Resti, Beti dan Ririn di kantin kampuskan ?”
“Tahu
dari mana ?, dan apa hubungan dengan kamu?”
“Aku
lihat sendiri, tapi aku milih nggak gabung sama mereka. Sekarang gantian kamu
yang jujur sama aku, mereka nggak mau dan takut kan kalau kamu dekat aku?”
Kenanga
mulai menghisap es jeruk dalam gelas piala perlahan, dia baru sadar kalau tenggorokanya mulai kering, debu dan
deru dari asap knalpot kendaraan yang merebak di bundaran Simpang Lima mulai
sedikit menyesakan dadanya, lantaran hari sudah lewat tengah hari. Hanya
suasana diam seribu bahasa menyelimuti hati mereka berdua meski hanya sesaat.
“Kamu
tersinggung, Anga ?”
“Tidak,
Dra!!!. Hanya saja aku harus bilang apa. Mereka bertiga tidak tahu bahwa hati
manusia sudah semestinya dihiasi dengan kelembutan dan kepedulian antar sesama,
ibaratnya taman bunga warna warni, tempat burung burung berceria di pagi hari,
termasuk hati aku ini, yang bebas disemai bunga yang aku sukai”. Setetas air
mata Kenanga mulai membasahi pipinya.
“Itulah
yang aku takuti. Anga ?”
“Apa
yang kamu takuti?, aku melihat dalam diri kamu bukan anak manja, tak mudah
menyerah dan tegar. Berbeda dengan aku, Dra !”
“Tetapi dalam hal ini, aku seperti anak
kecil yang diliputi ketakutan dan kebimbangan”
“Sekali lagi aku jadi nggak ngerti, apa sih
yang yang kamu takuti ?”
“Aku takut kamu terpengaruh sokib sokibmu, dan
aku harus kehilangan kamu, karena perbedaan antara kita. Itulah yang aku akui
dengan jujur, aku seperti anak kecil”.
Indra
tidak henti hentinya melempar sorot mata ke arah Kenanga, lantaran Indra
menginginkan kejujuran Kenanga, tentang tempat yang dia harapkan di bilik
jantung Kenanga, Sehingga tiap pagi hari dia bisa bermandikan cahaya pelangi
hanya milik Kenanga.
“Indra
!, aku bukan anak kecil lagi, dan mama papaku tak pernah bersifat otoriter
terhadapku. Sudah bukan jamanya lagi kita dikungkung dengan aturan kolot. Aku nggak suka kalau kamu bersikap seperti
itu”
“Tapi realita berkata lain, papa kamu
menginginkan Aldo menjadi pendampingmu”
“Jangan
kecewakan aku Dra !, seakan kita baru kenal kemarin sore. Mana sikap dewasa , yang
selalu kau tunjukan padaku
“Tapi
masalahnya bukan seperti itu ?”
“Jadi
seperti apa ?”
“Ah,
aku sendiri nggak tahu “
“Jadi
harus aku yang menebak isi hatimu?. Jujur saja aku menilaimu, kamu sekarang
kehilangan percaya diri berada di sampingku kan?, Kamu membandingkan dirimu
sendiri dengan Aldo yang kamu anggap segalanya lebih baik darimu, iya kan ?.
Terus dimana Indra yang kata temen temen sekampus, termasuk mahasiswa yang
gigih, hingga hampir menyelesaikan studinya dengan perjuangan yang tegar. Apa
sih perbedaan antara kita ?”
Indra
melemparkan semua kekesalanya kepada rumput di bundaran Simpang Lima dan
mengajak mereka agar mampu menepiskan sisi hatinya yang mulai robek diterkam
rasa bimbang dan ketidakpercayaanya.
“Ternyata kamu Kenanga yang aku harapkan bisa
memberi spirit bagi aku, yang sering merasa terpingit karena keadaan, sukurlah
kalau kamu bisa dewasa”
“Aku
memang harus bisa tegar dan tanpa mengenal surut untuk tiap yang aku pilih,
itulah yang mama papa harapkan. Aku
harus bergelut dengan apa yang harus aku raih. Dan ini semua aku dapatkan dari kamu”
Angin
musim kemarau mulai meniupkan daun daun palma di seputar Simpang Lima, kedua
insan itu kini mulai dipinang oleh rasa percaya diri yang hinggap pada diri
mereka masing masing, dengan tetap mengusung sebuah kejujuran dari Kenanga dan
Indra serta garis takdir yang bakal mereka lalui di masa depan. Entahlah mereka
sendiri tidak tahu apa yang mesti terjadi pada diri mereka kelak, hanya saja
kini lampu lampu jalan di bundaran Simpang Lima sudah mulai mengeksotiskan
wajah Kota Semarang. Kini merekapun
tenggelam dalam lautan asmara, yang hanya mereka sendiri yang merasakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar