Amin Rais pada Seminar
Nasional “Mempererat Potensi Lokal dalam Menghadapi Tantangan Global”, Senin
(17/10/2011) di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Jateng, pada grand
launching Jurusan Hubungan Internasional FISIP UNSOED, menyatakan bahwa
kita sekarang sedang menderita “Sindrom Inferior Kompleks”, yang menggejala dengan
timbulnya sikap mendewakan bangsa lain di atas bangsa kita sendiri. Sehingga diantara
kita sering kali bersikap bahwa produk
luar negeri apa saja, selalu lebih unggul mutunya dibanding pruduk dalam
negeri. Apakah kita pernah berpikir, bahwa bola untuk sepakbola yang bermerek
“beken”, sebenarnya adalah bola buatan dari Jawa Barat atau sepatu buatan
Cibaduy, mejadi sepatu keren, karena diberi lebel merek Eropa ?.
Padahal tercatat dalam
sejarah bahwa terdapat banyak kerajaan kerajaan besar yang wilayahnya hampir
seluruhnya mencapai Asia Tenggara.Ditambah lagi bahwa pada decade 1945, kita
dikenal sebagai macan oleh bangsa bangsa lain. Kita unggul dengan bangsa lain
di Asia Tenggara, dalam hal pendidikan, militerm nasionalisme dan lain
sebagainya.
Tentunya revitalisasi
prestasi gemilang tersebut perlu diupayakan dengan serius, bukan hanya dengan
kemampuan “segala hal” yang merambat maju, tetapi pencapaian dengan “loncatan
prestasi” perlu kita torehkan. Untuk itu
kita perlu mencari “solusi yang paling mendasar”, yang dapat kita jadikan acuan
dasar dalam pencapaian prestasi tersebut.
·
Keprihatinan
Tentang Minat Baca
Minimal kita bisa
mengamati, karakter karakter dasar bangsa lain yang kini telah berada di atas
kita. Disamping terkenal sebagai pekerja keras, masyarakat negara negara tetangga (Singapira, Malaysia, Thailand, Korea dan lain sebagainya) adalah
masyarakat yang berkarakter kuat minat bacanya, mereka kuat membaca apa saja
dan di mana saja. Khusus untuk minat baca, sebuah kiat yang serius harus kita kukuhkan untuk pengentasan
rendahnya minat baga peserta didik kita. Betapa tidak menurut laporan
Bank Dunia No. 16369-IND dan Studi IEA (International Association for the
Evalution of Education Achievement ) di Asia Timur, tingkat terendah minat
baca anak-anak didera anak anak Indonesia dengan skor 51.7, di bawah Filipina
(skor 52.6); Thailand (skor 65.1); Singapura (74.0); dan Hongkong (75.5). Bukan
itu saja, kemampuan anak-anak Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga
rendah, hanya 30 persen. Data lain juga mengungkapkan, seperti yang ditulis
oleh Ki Supriyoko, bahwa dalam dokumen UNDP dalam Human Development Report
2000, bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen.
Sedangkan Malaysia sudah mencapai 86,4 persen, dan negara-negara maju seperti
Australia, Jepang, Inggris, Jerman, dan AS umumnya sudah mencapai 99,0 persen.
Sebenarnya minat baca tidak menjadi ancaman yang
serius, apabila sekolah sekolah masih konsisten dalam melanggengkan minat baca
peserta didik kita yang belajar pada era sebelum tahun 1980-an , yang memiliki
minat baca tidak kalah dengan bangsa lain.
Oleh
karena itu pada dekade tersebut, banyak buku buku karya sastra yang menjadi ”best seller”, antara lain
adalah Buku ”Salah Asuhan” karya Abdul Muis, ”Di Bawah Lindungan Kabah, karya
HAMKA, ”Cintaku di Kampus Biru” karya Ashadi Siregar dan masih banyak buku buku
sastra lainnya yang banyak peminat bacanya.
Mengulang
kegemilangan minat baca yang diterapkan pada peserta didik di era sekarang,
adalah awal dari ”merekonstruksikan percaya diri bangsa sedini mungkin”, dengan
sistim tagihan yang efektif dan berkelanjutan, dari jenjang pendidikan dasar,
menengah hingga perguruan tinggi, dengan membawa konsekuensi logis pada fungsi
perpustakaan yang memadai. Hingga terbentuklah satu generasi yang bisa kita
harapkan mampu menyamai prestasi bangsa lain.
·
Optimalisasi Pendidikan Berbasis Masyarakat
2
Menurut Sihombing U (2001) Pendidikan Berbasis Masyarakat (PBM), adalah
pendidikan dari masyarakat, oleh
masyarakat, dan untuk masyarakat. Berawal dari pernyataan Sihombing tersebut. maka PBM adalah salah
satu bentuk pendidikan yang memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat dan
menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar serta
bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan
praktek PBM tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil,
mandiri dan memiliki daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai
kebutuhan masyarakat.
Pendidikan tanpa melibatkan peran aktif
masyarakat dalam mensukseskannya akan menyebabkan “salah cetak” atau
pembentukan pribadi peserta didik yang terhambat, sebab fungsi lain dari
sekolah adalah sebagai “Agent of Changing” anak anak kita. Selain itu sekolah hanya
mengusung aspek ”cerdas” saja, tanpa
memperdulikan ”pembelajaran sosial ”
yang seharusnya digali dari masyarakat sosial dilingkunganya. Ada
peran-peran yang dapat diambil oleh masyarakat dalam menuangkan ide atau
keinginannya dan bagaimana sebenarnya pendidikan berbasis masyarakat dapat
diimpelementasikan .
Maka apabila kita
tepiskan interaksi masyarakat dalam sistim pendidikan kita, maka akan timbulah
dampak pendidikan yang serius, seperti yang dinyatakan oleh DR. Arief sebagai berikut : a) pembiasaaan
atau penyimpangan arah pendidikan dari tujuan pokoknya , b) malproses dan
penyempitan simplikatif lingkup proses pendidikan menjadi sebatas pengajaran, c) pergeseran fokus pengukuran hasil
pembelajaran yang lebih diarahkan pada aspek-aspek intelektual atau derajat
kecerdasan nalar.
Dengan pendekatan terpadu dari berbagai aspek tersebuy di atas, maka
cukuplah kiranya sekolah mampu menepis ”Sindrom Inferior Komplek”, sehingga
jadilah generasi kita sebagai generasi yang bermartabat,”smart”, inovatif
sekaligus santun.Oleh karena itu marilah kita tidak setengah setengah dalam
membentuk peserta didik kita untuk menggapai masa depanya dengan penuh pecaya
diri (dari berbagai sumber).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar