Tidak ada jalan lain bagai
kita dalam menempatkan bangsa yang sedang dalam buaian “social and political
conflict”, untuk bersanding dengan bangsa lain kecuali dengan langkah sepenuh
hati merehab sistim pendidikan yang terpuruk. Barangkali saja kita pernah
menanyakan pada sanubari kita sendiri tentang keberlangsungan bangsa dan negara
ini dalam koridor kompetisi aspek apapun
dengan negara-negara lainnya, saat kita tahu bahwa kita telah terjerambab dalam
keterpurukan berbagai aspek, Apalagi dari as[ek moralitas kita bertambah tahu
kegamblangan ini,setelah mencuatnya “Gayus dengan pusaran anginya”,
Setiap
bangsa di muka bumi ini selalu mampu meraih kemakmuran (wallfare) dan
ketangguhan dalam aspek ekonomi dan aspek lainnya di abad ke-21 ini, adalah berkat keseriusannya membangun daya
dukungnya selama bertahun-tahun. Daya dukung yang paling dominan sebagai modal
dasar adalah “ Pendidikan” bagi rakyatnya (Public Education), yang mampu
menjadi asset berharga kelak dikemudian hari. Secara gamblang asset yang
berharga tersebut adalah sebuah generasi yang kompeten di bidangnya
masing-masing.
Sejarah telah mencatat bahwa pada
pertengahan abad ke -20. Beberapa negara telah mengalami porak poranda akibat
ambisi politik mereka melibatkan diri pada PD ke-II. Negara-negara
tersebut adalah Jerman, Jepang, Italia AS dan masih banyak
lainnya. Namun kenyataan apakah mereka
kini terbelit dengan konflik multidimensional di ambang abad ke 21 ini?. Justru mereka sekarang
telah menjadi negara yang terdepan dalam
segala hal. Mengapa kita sebagai negara yang berlimpah sumber daya alam, posisi
strategis yang vital dan budaya “humaniora” yang lebih lengkap, tidak mampu seperti mereka. Bukankah kita
sama dengan mereka, sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa, memiliki anatomi, fisiologi dan fenomena biologis
lainnya yang sama, Tetapi mengapa dalam berbagai bidang kita menjadi
terbelakang.
Apalagi
dengan munculnya indikasi hilangnya generasi yang berkompeten di masa mendatang
dapat kita cermati dengan adanya
refleksi prestasi yang memprihatinkan. Sering kita saksikan tindakan
amoral yang banyak dilakukan oleh remaja, sebagai generasi penerus, contohnya
demo anarkis, amuk bonek simpatisan klub
bola, tawuran antar pelajar, timbulnya geng motor dan lain sebagainya. Bahkan
tindakan kecurangan pada UN 2010 ini, yang justru diintriki oleh oknum
pendidilkpun di berbagai tempat dan satuan pendidikanpun tambah membuat kita
prihatin
Setelah kalah pada
Perang Dunia ke II, tepatnya mulai Tahun
1952 Jepang mulai memodifikasii sistim pendidikan nasionalnya ke arah sistim
yang dikonsep matang dan ideal. Modifikasi tersebut direalisasi secara bertahap
dimulai dengan menggodog perundang-undangan guna keperluan kontrol terhadap
perguruan tinggi, yang berperan sebagai puslitbang modernisasii masyarakatnya,
Upaya tersebut ternyata membuahkan hasil hingga pada wal tahun 1970 mulailah
terjadi reformasi pendidikan yang signifikan. Terbukti dengan peran lembaga
pendidikan swasta yang menerima sistim pendidikan publik yang dicanangkan
autoritas. Lebih jauh lagi ternyata langkah ini menghasilkan sistim
standardisasi yang luwes, yang
diterapkan pada sistim evaluasi tiap perguruan tinggi. Sistim yang kondusif tersebut mampu tercipta, lantaran telah terjadi
jalinan mesra antara autoritas dengan organisasi guru yang eksis di Negara
Sakura tersebut.
Garis
besar perubahan sisdiknas di Jepang
tersebut, terletak pada perubahan sistim
edukasi yang dibungkus dengan pendekatan kultur
dan nilai filosofi yang telah diubah
haluannnya menjadi sistim yang dicanangkan dengan sistim pedagogis yang menyeluruh. Atau sistim meritokratic yang
diciptakan pada perioda Meiji telah diubah menjadi pendekatan sistim moral dan
pengembangan sikap mental menyeluruh secara pedagogis. Sehingga Jepang hingga
kini telah dipoles oleh anak bangsanya sebagai generasi yang serba berkompeten.
Telah terjadi kondisi
menyeluruh yang kontradiktif dengan ukiran prestasi kita dibanding dengan
Jepang. Bukan hanya dalam penguasaan iptek saja kita kalah dengan mereka, namun
dari aspek moralitas saja kita jauh di bawah mereka. Temuan ini berdasarkan
pada survey beberapa LSM asing yang memposisikan kita sebagai bangsa yang
terkorup di Asia. Kadang kita menjadi tidak percaya kepada kita sendiri,
mengapa sebuah bangsa yang memiliki corak sosial agamis, santun, terbuka dan
kondusif mampu terjerambab dala posisi seperti ini.
Jelaslah
fakta yang menghadang kita adalah benang kusut dan rapuh yang membelit sikap
mental yang jauh terinternal dalam benak setiap anak bangsa, untuk menggapai
realitas suatu kemajuan kita bersama. Benang kusut tersebut mampu kita urai
secara sistimatik dan terintegrasi bila kita menancapkan sistim pendidikan yang
tepat, Namun lagi-lagi kita sendiri yang tidak terapresiasikan dengan upaya
peluncuran roket penorehkan sistim pendidikan yaqng representatif.
Sehingga
dengan demikian harapan kita untuk membentuk generasi yang siap menantang jaman
telah sirna, atau kita akan kehilangan sebuah generasi pada dekade Tahun
2020-an [prediksi generasi sekarang yang
masih dibangku SLTA / perguruan tinggi
telah mulai terlibat dalam interasksi sosial setelah lulus). Pada tahun 2020 Indonesia sudah merdeka 75
tahun. Dalam usia itu bangsa Indonesia sudah kukuh kuat ketahanan nasionalnya. Penghayatan
ideologi Pancasila sudah meresap, membudaya dan tidak tergoyahkan. Kehidupan
nasional telah berjalan di atas landasan konstitusi dengan mantap. Persatuan
dan kesatuan bangsa telah terjalin dengan kukuh sehingga kemajemukan telah sungguh-sungguh
menjadi modal dan kekuatan bangsa, dan bukan menjadi penyebab perpecahan.
Dengan demikian nilai-nilai yang dikandung dalam Wawasan Nusantara telah
mewujud dalam budaya bangsa (Ginandjar
Kartasasmita Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas
Disampaikan pada Peluncuran Buku “Peran Pemuda Menuju Indonesia Sesuai
Cita-cita Proklamasi 1945” Jakarta, 3 Maret 1997).
Jelas sudah generasi yang
memanisi gerbong Masyarakat Indonesia yang madani adalah generasi yang
kompeten, yang akan membawa negara kita menjadi The New Young Tiger akibat kesalahan kita sendiri. Akibat kita
tidak membekali dalam penanaman sikap anak didik kita untuk mandiri. Harsyah
Bachtiar (2003) dalam Zaenal Aqib ( 2009) menyatakann bahwa sebuah generasi
mampu mengadaptasi jaman ultramodern, bila telah memiliki 13 karakter, salah
satu diantara karakter tersebut adalah kemandirian. Dengan kemandirian dan
moralitas inilah kita menaruh sebuah harapan besar, agar generasi
”Bergayus-gayus Ria” tidak lagi terulang.
Namun
kita masih memiliki beribu alternatif guna penorehan generasi yang kita idamkan
tersebut. Asalkan kita mampu mempondasiakan sebuah motivasi yang terefleksikan
dari ketertinggalan tersebut sebagai garis start. Oleh karena itu kita hendaknya mampu terbuka
untuk mengadopsi sistim yang diterapkan beberapa negara maju, meski konsep ini belum menjamin sebuah
keberhasilan. Sebab faktor pendukung utama pencapaian sistim ini adalah
motivasi yang menggelora pada tiap anak bangsa yang berkompeten terhadap
pendidikan nasional.
Apalagi bila aspek moralitas
mendapatkan imbangan yang proposional,maka pembentukan The Smart Generation
bakal tidak lagi kedodoran, terutama dalam koridor pedagogis. Kita tahu bahwa
pada prinsipnya muatan pedagogis adalah peletakan nilai moral yang mendasar
pada peserta didik dan akan tertanam kuat dalam memori peserta didik. Sehingga
apabila kita berlaku sembrono dalam hal ini, maka akan lenyaplah The Future Smart Generation
Tidak ada komentar:
Posting Komentar