Senin, 14 Mei 2012

Sisi Lain dari Guru Swasta


Sebuah slogan yang melegendaris  pernah dikumandangkan oleh presiden kita yang pertama, Ir. Soekarno bahwa  “bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai jasa para pahlawannya”. Meski slogan ini sangat populer di masa revolusi, namun essensi dari slogan tersebut tidak serta merta bisa ditepis begitu saja, bila bentuk perjuangan kita di awal millennium ini justru lebih kompleks dan berat, ketimbang perjuangan di kancah mengusir penjajah.
Adalah bentuk perjuangan yang lebih menuntut optimalisasi semua potensi yang dimiliki bangsa ini, bila perjuangan tersebut dihadapkan pada penyiapan generasi mendatang yang handal. Tentu saja penyiapan ini mencakup “character building, knowledge dan skill” semua anak cucu kita,  yang kita harapkan mampu minimal menyamai potensi bangsa lain. Dalam ruang lingkup ini tentu saja pahlawan yang ditunggu kiprah profesionalnya, adalah guru, yang dewasa ini lebih memikul predikat moral dengan sebutan pendidik.
Tentu saja bila sejumlah 2.691.057 pendidik (Disdikpora dan Kemenag), memeliki pencerahan yang seragam dalam memasinisi pembelajaran dengan profesionlisasi yang reperentataif, maka bangsa ini akan memiliki loncatan prestasi yang bisa kita harapkan di masa mendatang. Namun wacana tersebut, ternyata tidak sesuai dengan yang kita harapkan lantaran telah terjadi diskriminasi pemberian Tunjangan Profesi Guru (TPG) antara guru PNS dan Non PNS, yang memiliki komposisi jumlah sebanyak 66,33 % guru PNS dan 36,67 % guru Non PNS .
Semua pemerhati dan praktisan pendidikan di tanah air kita telah mengetahui diskriminasi ini,  melalui banyak media yang dewasa ini sedang ramai memperbincangkan. Namun demikian khusus bagi guru swasta, tentunya lebih memiliki spirit dalam “learning actifity” serta beban moral memikul “sandangan” guru, yang menurut Bahasa India bermakna “berat”. Sehingga guru swasta diharapkan memiliki konsekuensi moral dan tanggung jawab moral terhadap “ketuntasan kognitif dan pembentukan  karakter “ peserta didiknya  yang  tidak terimbaskan dengan diskrimanasi (keterlambatan pencairan) penerimaan TPG dengan guru PNS serta potongan penerimaan sebanyak 1 – 2 bulan (terjadi di beberapa daerah di Jawa Tengah).
Mengacu pada pernyataan Dr.Troboni M.Si Ka Prodi Magister Imu Agama Islam Univ. Muhammadiyah Malang,  bahwa. fenomena terorisme dan separatisme misalnya, bukan semata dikarenakan persoalan ideologis, melainkan lebih karena ketertinggalan dalam berbagai aspek dan merasa terlupakan/terpinggirkan. Dengan demikan “label” guru swasta sebagai “guru  terpinggirkan”  karena minimalnya kesejahteraan, tidak menjadikan ancaman potensial terbentuknya generasi yang “beringas”, yang potensil melakukan tindak tak terpuji di atas.
Aspek keteladanan, sikap berdisiplin tinggi, penguasaan sains serta jeli dalam memberi pembelajaran yang menarik.  sama sekali tidak bijaksana bila ditinggalkan. lantaran pendidik ini memainkan peran sebagai ortu di sekolah, yang segala sikapnya sangat potensil ditiru oleh peserta didik. Bila norma norma tersebut kemudian bergeser, maka pendidikan di Indonesiapun akan menuai hasil yang tidak bisa kita harapkan bersama. Wacana tersebut cukup masuk akal bila kita kaitkan dengan  kinerja sekitar 1 juta guru swasta se Indonesia. Tentunya hal ini tidak bisa kita abaikan terjadi secara berlarut larut.
Memang lebih baik bagi para pendidik swasta untuk mengusung kebesaran  jiwa yang berada di kondisi yang kontroversial ini, di satu sisi dengan  diubahnya pasal 55, ayat 4 Sistim Pendidikan Nasional diharapkan  mampu menopang kesejahteraan mereka  serta tuntutan profesionalisasi di jaman sekarang ini. Namun dilain pihak mereka menjumpai realita yang ironis dengan fenomena tersebut. Padahal upaya menjadi pendidik professional tidak semudah membalikan tangan meski mereka telah bertahun tahun mengajar.
Justru sikap meningkatkan kinerja dalam menstimulir “learning by doing” pada peserta didik, secara berkelanjutan akan meningkatkan mutu peserta didik kita. Sehingga lebih jauh lagi, perhatian semua pihak terhadap kesejahteraan guru swasta dapat lebih nyata. Sebagai guru swasta sebaiknya tidak perlu mengkhawatirkan perihal ini semua, lantaran pemerintah telah mengalokasikan 20 % dari APBN atau sebesar 200 T Rupiah demi kemajuan pendidikan di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar