Sebuah
slogan yang melegendaris pernah
dikumandangkan oleh presiden kita yang pertama, Ir. Soekarno bahwa “bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu
menghargai jasa para pahlawannya”. Meski slogan ini sangat populer di masa
revolusi, namun essensi dari slogan tersebut tidak serta merta bisa ditepis
begitu saja, bila bentuk perjuangan kita di awal millennium ini justru lebih
kompleks dan berat, ketimbang perjuangan di kancah mengusir penjajah.
Adalah
bentuk perjuangan yang lebih menuntut optimalisasi semua potensi yang dimiliki
bangsa ini, bila perjuangan tersebut dihadapkan pada penyiapan generasi
mendatang yang handal. Tentu saja penyiapan ini mencakup “character building,
knowledge dan skill” semua anak cucu kita,
yang kita harapkan mampu minimal menyamai potensi bangsa lain. Dalam
ruang lingkup ini tentu saja pahlawan yang ditunggu kiprah profesionalnya,
adalah guru, yang dewasa ini lebih memikul predikat moral dengan sebutan
pendidik.
Tentu
saja bila sejumlah 2.691.057 pendidik (Disdikpora dan Kemenag), memeliki
pencerahan yang seragam dalam memasinisi pembelajaran dengan profesionlisasi
yang reperentataif, maka bangsa ini akan memiliki loncatan prestasi yang bisa
kita harapkan di masa mendatang. Namun wacana tersebut, ternyata tidak sesuai
dengan yang kita harapkan lantaran telah terjadi diskriminasi pemberian
Tunjangan Profesi Guru (TPG) antara guru PNS dan Non PNS, yang memiliki
komposisi jumlah sebanyak 66,33
% guru PNS dan 36,67 % guru Non PNS .
Semua
pemerhati dan praktisan pendidikan di tanah air kita telah mengetahui diskriminasi
ini, melalui banyak media yang dewasa
ini sedang ramai memperbincangkan. Namun demikian khusus bagi guru swasta,
tentunya lebih memiliki spirit dalam “learning actifity” serta beban moral
memikul “sandangan” guru, yang menurut Bahasa India bermakna “berat”. Sehingga guru
swasta diharapkan memiliki konsekuensi moral dan tanggung jawab moral terhadap “ketuntasan
kognitif dan pembentukan karakter “
peserta didiknya yang tidak terimbaskan dengan diskrimanasi (keterlambatan
pencairan) penerimaan TPG dengan guru PNS serta potongan penerimaan sebanyak 1
– 2 bulan (terjadi di beberapa daerah di Jawa Tengah).
Mengacu
pada pernyataan Dr.Troboni M.Si Ka Prodi Magister Imu Agama Islam Univ.
Muhammadiyah Malang, bahwa. fenomena
terorisme dan separatisme misalnya, bukan semata dikarenakan persoalan
ideologis, melainkan lebih karena ketertinggalan dalam berbagai aspek dan
merasa terlupakan/terpinggirkan. Dengan demikan “label” guru swasta sebagai
“guru terpinggirkan” karena minimalnya kesejahteraan, tidak
menjadikan ancaman potensial terbentuknya generasi yang “beringas”, yang
potensil melakukan tindak tak terpuji di atas.
Aspek
keteladanan, sikap berdisiplin tinggi, penguasaan sains serta jeli dalam memberi
pembelajaran yang menarik. sama sekali
tidak bijaksana bila ditinggalkan. lantaran pendidik ini memainkan peran
sebagai ortu di sekolah, yang segala sikapnya sangat potensil ditiru oleh peserta
didik. Bila norma norma tersebut kemudian bergeser, maka pendidikan di
Indonesiapun akan menuai hasil yang tidak bisa kita harapkan bersama. Wacana
tersebut cukup masuk akal bila kita kaitkan dengan kinerja sekitar 1 juta guru swasta se
Indonesia. Tentunya hal ini tidak bisa kita abaikan terjadi secara berlarut
larut.
Memang
lebih baik bagi para pendidik swasta untuk mengusung kebesaran jiwa yang berada di kondisi yang kontroversial
ini, di satu sisi dengan diubahnya pasal
55, ayat 4 Sistim Pendidikan Nasional diharapkan mampu menopang kesejahteraan mereka serta tuntutan profesionalisasi di jaman
sekarang ini. Namun dilain pihak mereka menjumpai realita yang ironis dengan
fenomena tersebut. Padahal upaya menjadi pendidik professional tidak semudah
membalikan tangan meski mereka telah bertahun tahun mengajar.
Justru
sikap meningkatkan kinerja dalam menstimulir “learning by doing” pada peserta
didik, secara berkelanjutan akan meningkatkan mutu peserta didik kita. Sehingga
lebih jauh lagi, perhatian semua pihak terhadap kesejahteraan guru swasta dapat
lebih nyata. Sebagai guru swasta sebaiknya tidak perlu mengkhawatirkan perihal
ini semua, lantaran pemerintah telah mengalokasikan 20 % dari APBN atau sebesar
200 T Rupiah demi kemajuan pendidikan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar