Hingga sampai kapankah anak
bangsa yang bersemayam di Kepulauan Nusantara ini akan kembali mendinginkan sikap,
agar tidak lagi mudah melampiaskan ketidakpuasan yang direfleksikan dengan demo
anarkis, kericuhan masa karena
ketidakpuasan hasil pilkada, mencoba bunuh diri untuk menarik perhatian publik
karena keterpurukan ekonomi, pemalsuan seputar peralatan tabung gas 3 kg hingga
telah banyak memakan korban jiwa, penggemukan rekening pribadi demi kepentingan
oknum itu sendiri dan perseteruan antara petinggi serta tindakan amoralitas
lainnya yang terus saja membahana di wajah Indonesia.
Untuk mengurai benang kusut
tersebut tidak serta merta dapat dilakukan dengan penyempurnaan regulasi
seberapa canggihnya untuk menyisipkan aspek jera pada oknum pelanggaran
amoralitas tersebut di atas. Tetapi lebih berdaya guna untuk melengkapi
aspek “budaya malu” pada masing-masing
sanubari anak bangsa.
Sebegitu urgennya budaya malu
sehingga Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, menyatakan bahwa
perasaan malu selayaknya disemai sejak awal, agar kita bisa maju dan terus
memperbaiki kualitas hasil kerja. "Contohlah orang Jepang," ujarnya
saat memberi orasi ilmiah kepada wisudawan Universitas Pancasila di Jakarta
Sabtu 10 Mei 2008 silam. Rasa malu
hanyalah satu contoh nilai hidup yang dapat memajukan suatu bangsa.
Menindaklanjuti pernyataan mantan
Perdana Mentri Malaysia tersebut terutama dalam aspek “character building”
sejak dini, kitapun menjadi bertambah terimajinasi bahwa sudah selayaknya kita
tidak hanya mengedepankan hanya aspek kognitif saja dalam mengantarkan peserta
didik menjadi generasi insani seutuhnya. Meski di dalam laporan hasil evaluasi prestasi
peserta didik yang disodorkan kepada orang tua murid terdapat sertaan aspek
psikomotor dan afektif, namun sebagian besar pendidik cenderung menyematkan
siswa berhasil dan tidak sebuah pembelajaran hanya dari aspek kognitif, tanpa
mengindahkan aspek bentukan karakter peserta didiknya.
Sebuah karakter yang dicetak dari
pendidikan karakter adalah sesuatu yang biasa dilakukan guna mencapai budi
pekerti yang baik, yang didukung oleh nilai sosial yang melingkunginya.
Sehingga mampu mengantarkan setiap peserta didik dalam bentukan individu yang
berperan baik di tengah masyarakatnya kelak di kemudian hari. Hal inilah yang
menjadi tujuan utama pendidikan karakter.
Hal ini
disebabkan karena perkembangan karakter seorang individu tidak bisa lepas dari
culture sosial yang melingkunginya, yang kemudian mmenjadi nilai hidup yang jauh
terpatri dalam lubuk hatinya. Oleh karena fenomena perkembangan karakter suatu
individu yag bersosialisasi di peradaban timur akan berbeda dengan peradaban
barat. Sebagai contoh ciri dasar karakter individu yang bersosialisasi di
peradaban timur adalah karakter tenang dan pendiam (quiet
and calm). Namun
karakter dasar ini akan bergeser menjadi bentuk lain apabila terinfiltrasi
nilai sosial dari peradaban barat atau peradaban lainnya. Namun karakter
individupun mampu bergeser ke bentuk lain lantaran terjadi pergeseran nilai
yang terjadi di tengah masyarakat sosialnya sendiri.
Karena futur Masyarakat Modern
Indonesia dengan cirri khas tiada
diskriminasi antara pria dan wanita. Maka pandangan tentang perkembangan
karakter menurut Aristoteles yang mensentralkan pada nilai dasar, kini telah
berkembang pesat kea rah multifilosofi, seperti politik . pendidikan , gender
dan lain sebagainya.
Padahal dalam merekonstruksikan
sematan “Bangsa yang Bebudi luhur “, sebuah pembelajaran karakter peserta didik
perlu ditanamkan bersamaan dengan dinamisasi perkembangan kepribadian peserta
didik.
Oleh karena itu sebuah pendidikan
karakter dalam arti luas perlu dikurikulumkan guna revitalisasi pembelajaran
yang diberikan kepada peserta didik tentang kesiapan pola sikap laku untuk mengembangkan berbagai
aspek moralitas, kemasyarakatan, sikap
yang baik, kejujuran, kesehatan, sikap kritis dan keterbukaan. Bahkan menurut
konsep pendidikan karakter yang mutakhir, pembelajaran tentang sosial dan emosional,
perkembangan kognitif, ketrampilan, pendidikan kesehatan, sikap anti kekerasan, etika dan mencegah serta mampu bertindak sebagai
mediator setiap bentuk konflik.
Sekedar hanya untuk studi banding,
dewasa ini terdapat sejumlah program pendidikan karakter yang bervariasi
bergantung dengan tujuan dunia pendidikan atau dunia usaha yang diselenggaran
di Amerika Serikat. Tetapi pendekatan yang umum sering diterapkan untuk dua
tujuan tersebut di atas, adalah principles
( pokok utama tentang karakter), pillars (factor pendukung) dan values atau virtues ( nilai dasar). Tetapi dari tiga aspek pendukung pemberlangsungan
pendidikan karakter, aspek nilai dasar yang paling mendominasinya.
Sebagai
langkah awal pemberdayaan pendidikan karakter adalah diterapkan semua satuan
pendidikan meneriwa calon peserta didik di tahun ajaran baru ini dengan
memfokuskan system penerimaan “the best process”, yaitu sistim yang
menerapkan penyaringan bukan hanya dari aspek kognitif, yang biasa diterapkan
pada masa ebelumnya dengan sistim ”the best input”. Dengan the best
process inilah suatu sekolah yang baik bisa saja menerima calon peserta didik
yang harus dibenahi karakternya. Sehingga fungsi satuan pendidikan lebih kea
rah bengkel mesin, dan pada akhirnya mampu berhasil guna sebagai “show room mobil” yang
memajangkan mobil yang mengkilap dan siap pakai setelah dipermak.
Permakan
tersebut diperoleh karena telah tuntasnya Multiple Intelligences Reseach (MIR)
secara tuntas dan akurat kepada semua peserta didik. Sehingga bahan ajar yang
disodorkanpun mampu dikompetensi oleh siswa setara dengan perkembangan
karakternya yang ditampilkan.
Demi
eksisnya bangsa yang santun, ramah, terbuka, mendahulukan rembug ketimbang
beranarkis demo maka tidak ada salahnya kita meroknstruksi sesuatu yang hilang,
yaitu revitalisasi “budaya malu” yang pernah tersemat di bangsa yang
sedang meradang ini dan mampu menjadi identitas dunia internasional(Dari
berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar