Sejak umat
manusia menghuni bumi ini, ada satu hal
yang tidak pernah tertinggalkan sejalan dengan dinamilka peradaban yang telah
eksis, yaitu pencerahan terhadap generasi penerusanya perihal nilai hidup, knowledge (pengetahuan),
religi-spiritual atau kepercayaan kepada sesuatu yang mereka sembah, sebagai
kekuatan di luar dimensi mereka. Pencerahan tersebut dilakukan oleh peradaban
yang kala itu sedang eksis dengan metoda informal pada peradaban prasejarah
hingga sistim pendidikan modern untuk peradaban manusia di abad millennium ini.
Hal ini
dikarenakan pendidikan adalah salah satu “social institution” (pranata
social) yang bersifat alamiah bersama
dengan nilai agama, hak milik dan lembaga perkawinan. Dengan berhasilnya
lembaga pendidikan yang dilangsungkan
oleh setiap komponen dalam suatu struktur social, maka akan majulah peradaban
masyarakat tertsebut, sehingga pada akhirnya mereka mampu menjadi “komunitas
social yang berjati diri” dengan seabreg prestasi dibidang ekonomi, teknologi dan nilai
lainnya.
Persepsi
generasi penerus masyarakat tersebut akan urgensitas untuk menggali nilai hidup
beserta komponen yang meng-suport-nya, seperti teknologi, nasionalisme,
tanggung jawab moral terhadap profesi yang diemban, disiplin dan menghargai
waktu, kejujuran, termasuk juga tanggung jawab mereka terhadap lingkungan hidup
dan kesehatan masyarakat sekitarnya, begitu kuatnya melelkat dalam tiap
sanubari mereka masing-masing. Secara sederhana
kita bisa mendeteksi mentalitas anak bangsa tersebut dengan mencermati minat
baca mereka terhadap “bahan ajar berbagai disiplin ilmu atau bacaan
lainnya”,
Tentang minat
baca kita patut berprihatin sebagaimana yang dikemukakan oleh Suayatno (praktisi pendidikan YLPI Duri),
menurut laporan Bank Dunia No. 16369-IND, dan Studi IEA (International
Association for the Evalution of Education Achievement ) di Asia Timur, tingkat
terendah membaca anak-anak di pegang oleh negara Indonesia dengan skor 51.7, di
bawah Filipina (skor 52.6); Thailand (skor 65.1); Singapura (74.0); dan
Hongkong (75.5). Bukan itu saja, kemampuan anak-anak Indonesia dalam menguasai
bahan bacaan juga rendah, hanAya 30 persen. Sikap mental lainnya yang biasa
kita lihat pada masyarakat sosial yang telah maju adalah serta ketertiban mereka saat bergiliran antri di
berbagai kegiatan social.
Sikap mental
yang demikian sangat jauh panggang dari api untuk masyarakat social di Negara
kita. Telah kita ketahui bersama bahwa penanaman sikap yang kita harapkan, membutuhkan proses yang lama di sekitar relung
estafet generasi satu dengan lainnya. Oleh karena itu penanaman mentalitas diataspun harus ditanamkan sedini mungkin.
Dengan demikian
adalah hal yang belum maksimal berhasil guna bila kita terlalu mengedepankan “aksi
bedil dan sepatu laras” ataupun “upaya mempersenjatai Satpol PP”
untuk menelikung tindak demo anarkis,
tawuran antar pelajar, budaya korupsi
oknum petinggi dan hilangnya etos kerja keras untuk menggapai hidup yang lebih
sejahtera. Oleh karena itu hamper tiap hari kita melihat tayangan bunuh diri diberbagai
media oleh beberapa warga yang frustasi.
Penanaman sikap
mentalitas yang kita harapkan tentulah melalui sarana pendidikan formal di tiap
satuan pendidikan yang lebih kondusif untuk tiap peserta yang dikondisikan siap
dihantarkan ke arah mentalitas tersebut,
dengan tidak menelantarkan peran orang tua dan lingkungan yang memusari peserta
didik tersebut.
Pendidikan
yang telah sarat dengan pola penanaman
kognitif yang mendominir pendidikan kita sudah saatnya kita sertakan dengan
triangulasi sistim pendidikan, yaitu kognitif, psikhomotorik dan affektif.
Dengan demikian tidak melulu kita mencetak siswa hanya untuk lulus UN dan bisa
mengenyam di bangku PTN /PTS bergengsi. Siswa pada sistim pendidikan modern tidak lebih adalah sebuah “input peruses”
untuk dipoles menjadi anak bangsa yang berdedikasi tinggi, santun, taqwa serta
trampil, sebagai suatu outcome di jaman modern. Tendensi kita hanya pada
aspek kognitif inilah yang membuat kita tertatih-tatih dalam pembentukan sikap
mental peserta didik yang meninggalkan budaya kehidupan harmonis.
Tendensi
pendidikan semacam itu jauh-jauh hari telah di diperingatkan oleh
Ki Hajar Dewantara (1977:374) yang mengemukakan bahwa
pendidikan sekolah hanya disandarkan pada aturan pengajaran dengan system
sekolah, dimana udara yang ada hanya udara intelektualisme, sekolah cenderung
memberikan keilmuan yang bersifat rasionalitas saja sehingga tidak dipungkiri
terabaikannya moralitas siswa;. Terlepas dari itu masih terdapat guru yang
mengutamakan terselesaikannya target kurikulum dalam satu tahun ajaran
ketimbang mengedepankan implementasinya dari sikap dan sifat siswa. Berdasarkan uraian tersebut
pendidikan budi pekerti di sekolah-sekolah saat ini bisadikatakan masih kurang.
Terbukti bahwa pada umumnya (93,8%) masyarakat menganggap bahwa pendidikan budipekerti
di sekolah-sekolah saat ini masih kurang dan belum menunjang terhadap sikap dan
perilaku siswa. Masyarakat pada umumnya (89%) menanggapi bahwa pendidikan budi
pekerti sebaiknya diberikan mulai dari tingkat taman kanakkanak.
Contoh ini bisa
kita dapati pada sistim penerimaan peserta didik baru di satuan pendidikan yang
berlabel prestos, yang hanya menerima calon siswa yang tinggi nilai kognitifnya.
Padahal satuan pendidikan tersebut telah sarat dengan kemampuan pedagogis yang
mumpuni, seeharusnya bertindak layaknya sebuah bengkel canggih untuk mengkiati
peserta didik didik yang memang perlu disemati karakter multidisliplin yang
mampu menyongsong jaman.
Lebih kurang sebanyak 4 juta peserta didik yang
lulus UASBN Th 2010 dan siap melanjutkan ke jenjang berikutnya. Sedangkan
sejumlah peserta didik jenjang SMP/MTS/SMPLB
tahun pembelajaran 2009/2010 juga siap meninggalkan bangku pendidikan
dasar, tercatat 3.605.163 peserta didik
yang berasal dari sebanyak 43.666
SMP/MTS negeri/swasta se Indonesia, juga
mendambakan kebagian bangku sekolah jenjang berikutnya. Sehingga telah siap
sekitar rata-rata 7.605.163 siswa per tahun yang telah siap menggantikan peran kita di
masyarakat nantinya. Dengan potensi sebesar itu tentu bisa kita daya gunakan
guna kemajuan bangsa ini, apabila kita melakukan “educational approach”
yang benar. Minimal kita memberi resep yang jitu guna raihan karakter standar
yang dikemas dalam “pembelajaran karakter” , dengan memberi porsi
analisis karakter per siswa. Gejala
gejala pembelokan karakter sedini mungkin dihindarkan, seperti membolos,
curang, tidak berbakti pada pendidik dan tidak menghargai waktu, seperti yang
umum terjadi pada siswa di Indonesia .
Sehingga peran
pendidik disamping sebagai sumber fasilitator pembelajaran, juga mampiu memberi
resep mujarab kepada peserta didiknya yang melakukan pelanggaran ini. Hal ini
tentunya bisa gampang dilakukan bila sang pendidik tersebut memiliki track
record psikhologi anak tersebut yang telah dikonsultasikan oleh ahli psikhologi
perkembangan peserta didik. Fungsi ini layaknya seorang mekanik yang telah tahu
persis kerusakan mesin mobil milik
pelanggannya. Apabila kita berhasil menerapkan pembelajaran yang professional
dan proporsional maka niscaya kita mampu mensejajarkan diri dengan Negara maju
lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar