membentuk mahkota warna warni
Bunga Wijaya Kusuma
mesti terselip di tengah Ombak
Laut Selatan,
aku kembalikan kerling mata….yang
mampu mengecoh
gulungan awan hitam dari langit
berwajah bengis
yang menerpakan atmosfer berjelaga, menghitamkan
pucuk palma sepanjang pantai
negeri Anggrek Bulan
yang Indah Bestari.
dalam perjalanan tali sutera
sebening embun pagi
kita mampu menukilkan sebuah
prosa
yang bertulisan wajah yang
berkerut karena kesabaran
dada yang bertelanjang
keterbukaan, pagipun
masih berjendela kasih sayang,
kita bernyanyi pagi
dengan simponi melodi burung
burung manja
kita lupakan, angin prahara dari
empat penjuru samudra
dari dua bantalan kutub terpagut
dingin membisu.
Kita masih punya arah, yang
ditunjukan
angin dua musim yang menyemai
hijau tanaman sayur
di kebon belakang rumah kita
yang teduh.
Kita acapkali mendengarkan
lengking teriakan “Koruptor”.
menggema di tengah kamar
berlantai marmer
berpilar romawi kuno dengan
altar berlumuran merah darah
dari nafas si kecil yang
memungut harap
di tengah sawah, kebon dan
pinggir jalanan
kumal dan lusuh, ditengarai
dengan mata nanar.
Kita masih memiliki suara hari
“Sebening Batas Pandang” tentang
negeri indah
Sepoi angin santun masih
mengipasi dada yang telanjang bulat
karena kita masih menutup rapat catatan Dwikora dan
Trikora
atau saudara kembar dari Timor
Leste
meski Papua dan Serambi Aceh
masih meradang luka
namun balutan kain putih berseri
dari koyakan saudara saudara
negeri santun
masih mampu menepis deru dan
debu.
Biar saja bulir mutiara berkelip
sang mentari
masih mengalungi leher Bukit
Barisan dan Jaya Wijaya
membahana menjadikan lembah
berpenghuni asri
tempat anak anak kita
berkejaran, memungut
layang laying kertas yang
terombang-ambing angin katulistiwa
jangan hardik mereka dengan
siulan keras menembus
kemanusiaan, seperti punggawa
raja yang lapar perutnya.
Mari kita benahi
sayup hasrat mengatur nafas,
menjadi dentuman seribu meriam
agar kita bersatu, menuai padi
di sawah***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar