Cerpen Remaja Effi Nurtanti
Lydia
semakin acuh saja, saban aku lekatkan lagi hati ini. Namun semua itu bisa aku tepiskan,
lantaran aku laki laki yang dikodratkan untuk tegar dalam menghadapi kehidupan.
Entahlah kehidupan macam apa yang seperti ini. Kata hati seperti ini saja yang mampu selalu aku
benamkan dalam telaga hatiku yang berair jingga, hanya itu pula yang menjadi
kekuatanku dalam menggapai angin sejuk yang akan aku sinari cahaya bulan dalam
keranjang hati ini.
Dalam
keranjang hati yang bersulam kain sutra selembut anganku, dalam sentuhan angina
kemarau di senja hari. Selalu aku sertakan Lydia dengan sejuta sayapnya untuk
terbang mengitari langit misteri, bermega jernih. Namun akupun tiada pernah
meluruhkan sayapku kala rona wajah Lydia menjadi masam, berlembayung
hitam dan nampak mengusung keragu-raguan. Inilah sebuah hasrat dariku Lydia ,
inilah kala sebuah hati harus menerjang tebing tebing tinggi yang menjadi pagar
taman bunga. Namun sekokoh apapun sebuah pagar, tidak akan mampu menahan gelora
Ombak Laut Selatan yang memiliki seribu tangan untuk menerkamnya.
Lydia masih saja menatap angkuh pada
gambaran halaman hatiku, nampaknya apa yang ada di hatinya betul betul terkemas
dalam batu pualam yang kokoh dan dikungkung seribu misteri.
“Lydia lihatlah
dalam keranjang ini, lembutnya kain
sutra tidak selembut hatimu dan lihatlah pula bulan telah memberikan seberkas
cahyanya untuk diri kamu “
“Herlin
terjanglah gunung es jauh di depanmu, tak kan mampu kau mendapatkan keranjang
itu. Arti sebuah persahabatan bagiku, perlu kamu simpan rapat dalam kantong
bajumu “. Lydia
membisikan sendu sedanya itu dekat telingaku.Hingga aku tak kuasa lagi untuk
meneruskan tidurku lagi. Bergegaslah aku tepis mimpi itu di tengah malam yang terpagut sepi.
Nampaknya hanya malam saja yang bisa menjadi wujud untuk berbagi meradangnya
hati, sehingga aku jaga malam itu dari terkaman fajar. Namun malampun harus
bergegas pergi.
Hanya
eksotis wajah pagi saja yang masih berminat menemaniku, dengan ocehan burung
kenari di dahan pohon rambutan. Sekali sekali terdengar juga burung nuri yang
ikut nimbrung simponi alam ini. Pagi ini
pula yang memberiku sebuah ide cemerlang, di tengahnya hati yang membujur
dingin. Entah kekuatan apa yang membuat aku mau meluncur ke rumah Lydia
minggu pagi ini. Ataukah selaksa
malaikat yang terjelmakan dari hasrat hatiku yang melemparkan aku ke tengah
gedung loji milik keluarga besar Lydia yang berada di tengah Kota Semarang.
Namun kaki
ini belum sempurna betul menyentuh pijakan bumi, kala aku harus melewati wajah
wajah berselimut aneh menatapku asing, manusia manusia berpakaian perlente
memenuhi halaman rumah Lydia yang luas berlantai rumput halus, disela-sela
pohon palm dan pot pot bunga besar. Mereka mengelilingi Om Bernhard papinya Lydia
entah berniat apa mereka berkumpul di sini. Oh Tuhan mengapa harus hari ini
aku ke rumah Lydia , yang dapat aku lakukan hanya mengutuk diriku
sendiri.
***
“Mohon maaf,
apakah sudah ada appointment dengan Tuan Benhard“. Tanya seorang berbadan tinggi
besar dan mengenakan jas dengan dasi yang panjang hingga ke pusarnya. Anehnya
orang ini bertanya dengan wajah bersungut sungut, bagaikan manusia yang dibuat dari mesin, tanpa
memiliki hati barang sedikitpun. Bukankah ini Kota Semarang yang masih kental
dengan nila kesantunan. Lantas apakah Lydia bersedia menemuiku bila
berada di lingkungan seperti ini. Tapi memang aku yang tolol, bukankah Lydia
tidak pernah bergaul sembarangan di kampus, yang sama sekali tidak pernah menorehkan
sebuah senyumanpun pada aku kala berjumpa di kampus. Mengapa sekarang aku di
rumahnya. Atau lantaran senyum Lydia kala menghiasi wajah yang melangkonis ini,
dengan penampilan yang selalu serasi dengan kulit tubuhnya yang kuning langsat yang tidak mudah kulupakan.
Lantas
mengapa pula Lydia sering minta tolong aku untuk ngerjain soal soal mekanika
tehnik, kala kita satu kelas belajar bersama di perpustakaan. Bukankah aku juga
berhak mengenalnya lebih dekat. Mengapa pula dia tidak pernah cerita kalau di
putri seorang pebisnis besar. Sedangkan aku hanya anak seorang wartawan daerah
dan penulis yang tidak seberapa mutu tulisanya. Namun papikupun terus
membanggakan dirinya semata agar putra putra, termasuk aku mampu hidup dengan
mandiri.
“Oh, maaf
aku hanya teman satu kampus Lydia”
“Maaf tuan,
Lydia hari ini sibuk sekali. Dia sebentar lagi memberi presentasi tentang
rancangan Fly Over “
“Oh, maaf
apakah dia mampu ?”
“Tuan ini
siapa ?. Bicara tuan sangat merendahkan Tuan Lydia . Maaf tuan segera pergi dari
tempat ini. Terus terang kedatangan tuan tidak dikehendaki Tyan Benhard “.
“Sebentar
lagi aku akan pergi, memang ini bukan dunia saya. Tapia kun kasihan sama Lydia
barangkali dia mengalami kesulitan dalam materi mekanika tehnik dan konstruksi
beton. Tuan , Lydia sering bertanya padaku
masalah out di kampus. Cobalah hubungi dia dulu “
“Baik tuan,
untuk kali ini saja tuan saya beri kesempatan. Bila Non Lydia tidak bersedia,
tuan, enyahlah dari rumah ini dan jangan ganggu Non Lydia lagi.
Suara pintu
tebal dari kayu jati mengagetkan kedua laki laki itu, kala dengan terburu Lydia
membuka pintu itu. “Sukurlah Herlin aku sangat membutuhkan kamu “. Tangan Lydia
segera melilit bahu Herlian dan segera
menariknya menuju ruang kerjanya di pojok ruang tamu yang ditata dengan ornemen
dan lay out model Jerman.
“Apa apaan
Lydia, kamu udah gila ?”
“Masa bodoh,
aku sudah nggak punya waktu lagi. Satu jam lagi papa menyuruhku presentasi. Aku
masih banyak menemui kesulitan. Tolong Herlian aku minta bantuanmu”
Tentang apa
?”
“Mekanika
tehnik untuk rancangan Fly Over di Kota Semarang “
“Jadi proyek
besar dong Lydia ?”
“Ah itu
nanti, sekarang lihatlah gambar ini.Tolong kamu analisa ini”
“Baik, kalau
itu mah yang paling aku senangi. Maka aku mendapat nilai A untuk ini “
“Oh, ya. Kamu
tahu dari mana aku mau presentasi”
“ Aku asal
asalan saja ,main. Aku tadi naik BRT, aku punya rencana minggu ini main ke
rumah temen 2x, termasuk kau Lydia
“
Lydia hanya
diam membisu, sebentar sebentar pandangan matanya tertuju pada cowok udik yang
nggak ngerti gaul dan hidup apa adanya, tapi pinternya minta ampun. Hari hari
biasanya di kampus, cowok ini kelihatan
biasa biasa saja. Lantaran dandanan dan sikapnya yang nggak ngerti gaul. Tapi
kala Lydia
tidak sengaja mengamati keseriusan cowok ini dalam melakukan analisa. Lydiapun
telah mengakui bahwa kegantengan Adipati Karna, tokoh dunia pewayangan kini berada di depanya.
Bukankah
Herlian berambut ikal bergelombang dan hitam dengan hidung mancung dan bibir
yang tipis. Dan lagi postur tubuhnya yang ideal bila bersanding denganya,
apanya yang kurang dengan cowok itu, tapi dekilnya memang membuat Lydia selama
ini mengabaikan dia. Lydia merasakan sesuatu yang tidak adil, bila selama ini
dia hanya minta tolong menyelesaikan tugas dan ujian semester. Tentang kelembutan cowok ini Lydiapun telah mengakuinya.
Lydiapun
sekarang dengan tangkas dan mempesona memberikan presentasi rancangan
konstruksi proyek papinya di depan hadirin. Sebentar sebentar mata yang indah
dan bulat itu selalu memberikan sorotnya pada Herlian yang dipaksa ikut
presentasi Lydia
itu. Seakan akan Herlianlah yang
sekarang menjadi konsultan megakonstruksi proyek besar di Kota Semarang .
Sudah barang tentu kehadiran Herlian
sekarang menambah pdnya.
“Herlian,
terimakasih sekali kamu telah memberikan advice konstruksi ini, dan papapun
kelihatanya puas dengan ide ideku, yang
sebenarnya adalah ide kamu. Aku nggak ngeti Lian, mengapa justru kamu datang
saat aku membutuhkanmu. Aku dari pagi mencari no Hpmu, tapi nggak ketemu, dan
alamat rumahmu apalagi..”
“Ah, hal
kaya gitu biasa aja Lyn, nggak ada yang istimewa. Hari udah siang aku mau
pulang. Sampai ketemu lagi besok di kampus “
“Ntar aku
antar kamu pulang sekalian aku pengin tahu alamatmu. Trimakasih ya Lyan..”
.Lydia tak meneruskan kata katanya. Karena bibirnya kini sudah memagut bibir
cowok udik ini, bagai ular kobra yang mematuk mangsanya.
“Aku nggak
pernah menerima biasa menerima ciuman kaya gini, Lydia ?”
“Herlian…!!!
” Lydiapun tambah manja dipelukan Herlian, yang kini sudah tidak canggung lagi.
Tapi Herlian telah lama menghadirkan gadis manja itu di hatinya, hanya saja
sikap cowok ini tidak eksotis dalam meabuhkan cintanya. Maka Herlianpun segera
menyurutkan hasrat penuh gairah itu. Karena yang dia inginkan dari Lydia
adalah segalanya, bukan hanya gairah cinta anak ingusan.
“Herlian
…mengapa ?”
“ Kamu
cantik Lydia, kamu segalanya. Suatu saat kitapun saling memiliki “
“Maafkan aku
ya Herlian”
Herlian
hanya memberikan senyuman yang mampu memberikan keteduhan bagi hati Lydia.
Kedua remaja kinipun bergandengan tangan menemui papanya Lydia , lantaran sudah saatnya
Herlian pamit. Om Bernhard menjadi kagum dengan kemampuan anak muda sekarang,
yang jauh dengan masa mudanya dulu, yang hanya bisa berjuang menegakan
nasionalisme dijaman revolusi dahulu. Sekarang jaman sudah berubah, yang sangat
diperlukan adalah lahirnya The Smart
Generation seperti mereka berdua.
“Lydia
sayang, apa kamu sudah lama kenal Herlian “
“Sudah pap,
Cuma Herlian agak pemalu jadi baru kali ini berani main ke rumah”
“Oh, begitu.
Selamat jalan Herlian, besok besok jangan sungkan-sungkan main kesini !’
“Tentu, Om !
“.
Keduanya kini meluncur dengan mobil warna merah metallik,
menelusuri jalan jalan kota Semarang yang dipagari tanaman bunga warna warni,
kini keranjang yang tak layak telah berisi sinar bulan yang menerangi hati
Herlian yang tadinya gelap mencekam. Keranjang itu pula kini berenda benang
sutra yang halus dan lembut. Kedua remaja inipun kini menembus kegelapan Kota Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar