Senin, 14 Mei 2012

GuruKU ArjunaKU


Cerpen Remaja Effi Nuntanti

Sylvie terjerambab dalam udara gerah yang memagut hari siang  begini. Sama dengan teman teman lainnya, di tengah kemarau panjang, mereka yang berada dalam kelas  pada pelajaran jam teakhir selalu saja melempar pandang ke jam dinding kelas, yang kokoh bergantung di dinding depan kelas.  Sebuah benda yang selalu  ditatap dingin lantaran berjalan melawan kata hati mereka. Meski di bawah jam dinding itu, senyuman tipis, selalu di tebarkan oleh seorang guru yang barangkali terlahir dari jaman pewayangan. Demikian Sylvie dan teman temanya, selalu menyebut Pak Albert dengan seloroh demikian.

Tak satu matapun mampu melepaskan sorotnya, bila “sang guru mirip arjuna” ini membei pembelajaran bahasa inggris, meski kala itu ‘perut yang berteriak”  turut mengecam jarum jam yang tidak mau melumatkan siang ini. Sebentar sebentar Sylvie mengeluh dengan dengusan nafas panjang, sebentar sebentar pula Pak Albert melempar joke ringan yang selalu disusul dengan senyum tipisnya, hingga membuka deretan giginya yang tertata rapi dan putih itu.

Saat yang ditunggu telah menghadang mereka, bel panjang berbunyi, melesatlah mereka bagai anak panah lepas dari busurnya, beranjak dari tempat duduknya. Waktu untuk berdoa pun terasa lama. Hanya Sylvie saja yang asyik memperhatikan bibir Pak Guru Arjuna melantunkan doa, yang bagi Sylvie laksana arjuna sedang berkomat kamit memainkan sihir .

“Selamat siang anak-anak. Hati hati di jalan, jangan lupa pelajari lagi readingnya tadi, dan tugas “answer the question correctly” di bawahnya kalian isi di rumah. Selamat siang anak-anak” seru guru lajang berkumis ganteng itu.

Sylvie memburu waktu, ingin rasanya secepat angin kembara di tengah musim kemarau bisa sampai di rumahnya, apalagi kini seisi perutnya ingin rasanya di layangkan ke cewek-cewek gaul teman satu kelasnya, yang saat itu sedang merajuk perhatian sang guru ganteng yang lajang itu, Mereka bagaikan kupu-kupu beterbangan mengitari lampu neon di tengah desir angin malam yang dingin. Mereka saling bergaut di pundak, guru yang mengenakan hem berlengan panjang dengan corak warna yang serasi dan gaul. Sylvie dengan muka dilipat dan dengu nafas panjang berlalu saja dari teman teman itu.

Kamar pribadinya kini tak khayal lagi menjadi musuhnya, padahal sedari pagi sudah ditata dengan rap oleh pembantu pembantunyai. Namun kini menjadi pesakitan di depan gadis kolokan itu. Ingin rasanya dia membanting apa saja yang dilihat di depanya. Ini karena salah kamu semua,  mengapa guru arjunaku mengabaikan aku, mengapa pula bukan aku yang bergayut di lenganya, mengapa aku yang menjadi bunga sekolah sama sekali kelihatan seperti nenek sihir yang renta dan jelek, sehingga sang arjuna mencari cinta sama sekali tidak mmberi harapan pada aku. Bisik hati seperti itu bertubi-tubi memenuhi bilik jantungnya.

            “Eh,lu, Cermin beri aku gambar wajah yang secantik bidadari kahyangan. Mengapa lu nggak mampu beri aku yang kaya gitu ?”
            “Ampun tuan putri, hamba sudah semaksimal mungkin memantulkan sinar kecantikan yang  ada di wajahmu tuan putri”
            “Tapi mana buktinya, mana ?”
            “Mungkin sesuatu telah memudarkan kecantikan, tuan putrid?”
            “Siapa yang berani kaya, gitu”
            “Hati tuan putri sendiri”
            “Hatiku ?, ada apa dengan hatiku ?”
            “Ampun tuan putri, hati tuan putrid sendiri yang mengotori kecantikan wajah tuan putrid, sehingga tak lebihnya tuan putrid bagai ratu yang berkubang di lumpur”
            “Kueang ajar, kamu !!!”

Terdengar suara teriak melengking dari sang cermin karena menahan rasa sakit, kini cermin itu tergolek di lantai pecah berkeping-keping seperti hatinya sang ratu yang tak kalah hancurnya. Sang ratu meradang pilu, sang ratu merasa egonya yang penuh bunga bunga wangi kini terkoyak, tetapi hanya karena suatu alasan yang tidak jelas.
Maka pagi itu, meski sang mentari menorehkan kelembutanya dengan menghangati semua jengkal tanah di bumi ini, menghangati setiap pembuluh darah manusia yang membuat degup jantung manusia bergairah untuk merajut hidup penuh keserasian dan kedamamaian. Tetapi bagi sang ratu Sylvie tetap saja, hari bergambar sendu, temaram dan hempasan angkaranya yang dipelantingkan ke semua penjuru bumi ini, ke arah hati sang guru arjuna juga, apalagi terhadap.

“Cepatlah Sylvie, terjang semua teman teman cewek kampungan itu, yang terus saja berusaha meluruhkan hati sang guru arjuna yang dingin bagaikan gunung e situ. Nantinya kau akan menyesal. Engkaulah ratu semua wanita dan bumi ini. Bahkan Dewi Supraba di Kahyangan bertekuk lutut padamu !!!!! “. Pekik bayang bayang hitam yang bercokol di sudut jantung Sylvie terus saja menyodorkan bara dihatinya.
***
“Pak Albert !, Sylvie ingin Pak Albert jangan pulang dulu nanti,  piss !!!” pinta Sylvie yang membara hatinya sehingga ketidaksantunan hatinya terlontarkan begitu saja, sementara sang guru arjuna yang bijak  hanya senyum tipis di bawah bibirnya yang semakin membuat Sylvie semakin merasa memiliki dunia ini.

“Sylvie, ayo katakana apa maksud kamu ?” pinta Pak Albert di ruang guru yang kini lengang.

“Ah, aku harus bicara apa ?”
“Lho, apa artinya kamu meminta saya menemui kamu”
“Pak Albert dusta !”
“Dusta tentang apa, Sylvie ?”
“Pak Albert egois, apa arti Sylvie untuk Pak Albert, dusta macam apa lagi Pak?” sebuah kalaimat lepas dari Sylvie memenuhi ruang guru itu yang menjadi saksi, entah apa yang terjadi antara Sang Arjuna dan Dewi Supraba itu.

“Sylvie, Pak Albert masih sayang sama kamu, dari dulu hingga kamu kelas dua belas ini, Pak Albert tak pernah berubah “
“Tapi mengapa Pak Albert sekarang dekat dengan cewek cewek jalang seperti Caroline, Winda, Kathrine dan Lina. Mereka sekarang telah mencuri hati Pak Albert. Sedang aku begitu saja diabaikan, bapak !”. Suara anak mama yang kolokan itu menambah suasana ruang guru menjadi semakin sepi mencekam.

“Kamu ngomong apa sih, Sylvie !, pak guru sekarang senang kamu telah kembali lagi mau sekolah, setelah beberapa semester lalu kamu limbung, tak punya prinsip. Sedangkan mereka semua sekarang mengalami seperti kamu dulu, bahkan mereka semua kini mulai mengenal narkoba. Itulah mengapa aku dekat dengan mereka”

“Lantas, Sylvie pak guru campakan ?” Sylvie mulai menelusuri sisi hatinya yang gelap dan membara.

“Sylvie, kamu sudah dewasa !, kamu sudah bisa menapakai dirimu sendiri !”
“Bukan ini semua yang aku butuhkan, Pak Albert selama ini egois ?”
“Sylvie !, pak guru tidak bisa, hanya itu yang mampu aku berikan. Maafkan pak guru, ya Sylvie!”
Sayap sayap yang ada di angan Sylvie kini mulai merentang untuk terbang mengarungi egonya yang kelam yang penuh misteri. Tanpa sepatah kata untuk pamit, kini dia menghambur ke luar ruang guru dengan wajah terlipat dan bintik air mata membasahi kedua bening matanya.

“Sylvie, pak guru masih tetap sayang padamu” teriak guru arjuna itu
Ruang guru itu kini tercekam dalam sepi, bersama hati pak guru yang berdegup sedih***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar