Cerpen Remaja Effi Nuntanti
Sylvie
terjerambab dalam udara gerah yang memagut hari siang begini. Sama dengan teman teman lainnya, di
tengah kemarau panjang, mereka yang berada dalam kelas pada pelajaran jam teakhir selalu saja melempar
pandang ke jam dinding kelas, yang kokoh bergantung di dinding depan kelas. Sebuah benda yang selalu ditatap dingin lantaran berjalan melawan kata
hati mereka. Meski di bawah jam dinding itu, senyuman tipis, selalu di tebarkan
oleh seorang guru yang barangkali terlahir dari jaman pewayangan. Demikian
Sylvie dan teman temanya, selalu menyebut Pak Albert dengan seloroh demikian.
Tak satu
matapun mampu melepaskan sorotnya, bila “sang guru mirip arjuna” ini membei
pembelajaran bahasa inggris, meski kala itu ‘perut yang berteriak” turut mengecam jarum jam yang tidak mau
melumatkan siang ini. Sebentar sebentar Sylvie mengeluh dengan dengusan nafas
panjang, sebentar sebentar pula Pak Albert melempar joke ringan yang selalu
disusul dengan senyum tipisnya, hingga membuka deretan giginya yang tertata
rapi dan putih itu.
Saat yang
ditunggu telah menghadang mereka, bel panjang berbunyi, melesatlah mereka bagai
anak panah lepas dari busurnya, beranjak dari tempat duduknya. Waktu untuk
berdoa pun terasa lama. Hanya Sylvie saja yang asyik memperhatikan bibir Pak
Guru Arjuna melantunkan doa, yang bagi Sylvie laksana arjuna sedang berkomat
kamit memainkan sihir .
“Selamat
siang anak-anak. Hati hati di jalan, jangan lupa pelajari lagi readingnya tadi,
dan tugas “answer the question correctly” di bawahnya kalian isi di rumah.
Selamat siang anak-anak” seru guru lajang berkumis ganteng itu.
Sylvie
memburu waktu, ingin rasanya secepat angin kembara di tengah musim kemarau bisa
sampai di rumahnya, apalagi kini seisi perutnya ingin rasanya di layangkan ke
cewek-cewek gaul teman satu kelasnya, yang saat itu sedang merajuk perhatian
sang guru ganteng yang lajang itu, Mereka bagaikan kupu-kupu beterbangan
mengitari lampu neon di tengah desir angin malam yang dingin. Mereka saling
bergaut di pundak, guru yang mengenakan hem berlengan panjang dengan corak
warna yang serasi dan gaul. Sylvie dengan muka dilipat dan dengu nafas panjang
berlalu saja dari teman teman itu.
Kamar
pribadinya kini tak khayal lagi menjadi musuhnya, padahal sedari pagi sudah
ditata dengan rap oleh pembantu pembantunyai. Namun kini menjadi pesakitan di
depan gadis kolokan itu. Ingin rasanya dia membanting apa saja yang dilihat di
depanya. Ini karena salah kamu semua,
mengapa guru arjunaku mengabaikan aku, mengapa pula bukan aku yang
bergayut di lenganya, mengapa aku yang menjadi bunga sekolah sama sekali
kelihatan seperti nenek sihir yang renta dan jelek, sehingga sang arjuna
mencari cinta sama sekali tidak mmberi harapan pada aku. Bisik hati seperti itu
bertubi-tubi memenuhi bilik jantungnya.
“Eh,lu, Cermin beri aku gambar wajah
yang secantik bidadari kahyangan. Mengapa lu nggak mampu beri aku yang kaya
gitu ?”
“Ampun tuan putri, hamba sudah
semaksimal mungkin memantulkan sinar kecantikan yang ada di wajahmu tuan putri”
“Tapi mana buktinya, mana ?”
“Mungkin sesuatu telah memudarkan
kecantikan, tuan putrid?”
“Siapa yang berani kaya, gitu”
“Hati tuan putri sendiri”
“Hatiku ?, ada apa dengan hatiku ?”
“Ampun tuan putri, hati tuan putrid
sendiri yang mengotori kecantikan wajah tuan putrid, sehingga tak lebihnya tuan
putrid bagai ratu yang berkubang di lumpur”
“Kueang ajar, kamu !!!”
Terdengar
suara teriak melengking dari sang cermin karena menahan rasa sakit, kini cermin
itu tergolek di lantai pecah berkeping-keping seperti hatinya sang ratu yang
tak kalah hancurnya. Sang ratu meradang pilu, sang ratu merasa egonya yang
penuh bunga bunga wangi kini terkoyak, tetapi hanya karena suatu alasan yang
tidak jelas.
Maka pagi
itu, meski sang mentari menorehkan kelembutanya dengan menghangati semua
jengkal tanah di bumi ini, menghangati setiap pembuluh darah manusia yang
membuat degup jantung manusia bergairah untuk merajut hidup penuh keserasian
dan kedamamaian. Tetapi bagi sang ratu Sylvie tetap saja, hari bergambar sendu,
temaram dan hempasan angkaranya yang dipelantingkan ke semua penjuru bumi ini,
ke arah hati sang guru arjuna juga, apalagi terhadap.
“Cepatlah
Sylvie, terjang semua teman teman cewek kampungan itu, yang terus saja berusaha
meluruhkan hati sang guru arjuna yang dingin bagaikan gunung e situ. Nantinya
kau akan menyesal. Engkaulah ratu semua wanita dan bumi ini. Bahkan Dewi
Supraba di Kahyangan bertekuk lutut padamu !!!!! “. Pekik bayang bayang hitam
yang bercokol di sudut jantung Sylvie terus saja menyodorkan bara dihatinya.
***
“Pak Albert
!, Sylvie ingin Pak Albert jangan pulang dulu nanti, piss !!!” pinta Sylvie yang membara hatinya
sehingga ketidaksantunan hatinya terlontarkan begitu saja, sementara sang guru
arjuna yang bijak hanya senyum tipis di
bawah bibirnya yang semakin membuat Sylvie semakin merasa memiliki dunia ini.
“Sylvie, ayo
katakana apa maksud kamu ?” pinta Pak Albert di ruang guru yang kini lengang.
“Ah, aku
harus bicara apa ?”
“Lho, apa
artinya kamu meminta saya menemui kamu”
“Pak Albert
dusta !”
“Dusta
tentang apa, Sylvie ?”
“Pak Albert
egois, apa arti Sylvie untuk Pak Albert, dusta macam apa lagi Pak?” sebuah
kalaimat lepas dari Sylvie memenuhi ruang guru itu yang menjadi saksi, entah
apa yang terjadi antara Sang Arjuna dan Dewi Supraba itu.
“Sylvie, Pak
Albert masih sayang sama kamu, dari dulu hingga kamu kelas dua belas ini, Pak
Albert tak pernah berubah “
“Tapi mengapa
Pak Albert sekarang dekat dengan cewek cewek jalang seperti Caroline, Winda,
Kathrine dan Lina. Mereka sekarang telah mencuri hati Pak Albert. Sedang aku
begitu saja diabaikan, bapak !”. Suara anak mama yang kolokan itu menambah
suasana ruang guru menjadi semakin sepi mencekam.
“Kamu ngomong
apa sih, Sylvie !, pak guru sekarang senang kamu telah kembali lagi mau
sekolah, setelah beberapa semester lalu kamu limbung, tak punya prinsip.
Sedangkan mereka semua sekarang mengalami seperti kamu dulu, bahkan mereka
semua kini mulai mengenal narkoba. Itulah mengapa aku dekat dengan mereka”
“Lantas,
Sylvie pak guru campakan ?” Sylvie mulai menelusuri sisi hatinya yang gelap dan
membara.
“Sylvie, kamu
sudah dewasa !, kamu sudah bisa menapakai dirimu sendiri !”
“Bukan ini
semua yang aku butuhkan, Pak Albert selama ini egois ?”
“Sylvie !,
pak guru tidak bisa, hanya itu yang mampu aku berikan. Maafkan pak guru, ya
Sylvie!”
Sayap sayap
yang ada di angan Sylvie kini mulai merentang untuk terbang mengarungi egonya
yang kelam yang penuh misteri. Tanpa sepatah kata untuk pamit, kini dia
menghambur ke luar ruang guru dengan wajah terlipat dan bintik air mata
membasahi kedua bening matanya.
“Sylvie, pak
guru masih tetap sayang padamu” teriak guru arjuna itu
Ruang guru
itu kini tercekam dalam sepi, bersama hati pak guru yang berdegup sedih***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar